Sagara: Figure Kakak dan Bapak
“Loh? Kak Aga udah dari tadi kah?”
Rissa baru pulang dari sekolah setelah sebelumnya makan siang (mungkin lebih tepatnya sore) bersama Jarvis. Ia mendapati Sagara tengah duduk di ruang tengah bersama ibunya. Di hadapan mereka tersaji bolu bikinan ibunya semalam dan dua gelas sirup jeruk yang tersisa setengah.
“Lumayan. Kok lama banget pulangnya?” tanya Sagara lantas bergeser agar Rissa bisa duduk di sebelahnya.
“Tadi agak lama emang rapatnya. Trus pulangnya ...,” jeda Rissa untuk melirik ibunya. “Mampir makan dulu sama ... temen,” tambahnya sambil menatap Sagara kikuk.
“Loh, kamu udah makan? Padahal Aga—”
“Gapapa, Bu,” sela Sagara sebelum ibu Rissa menyelesaikan kalimat.
“Padahal apa?” tanya Rissa.
“Mandi dulu sana. Lo bau asem,” sahut Sagara mengalihkan topik.
Rissa refleks mengendus kedua ketiaknya. “NGGAK YA! GUE MASIH WANGI!”
“Ya menurut lo wangi, kan itu bau tubuh lo. Coba tanya Ibu nih. Bau asem ya, Bu?”
“Iya, bau banget!” jawab Ibu hiperbola sambil mengibas-ibaskan tangannya di depan hidung.
“IBU MAAHHHH!!!” rengek Rissa lantas memukul lengan Sagara dan menghentakkan kakinya pergi dari sana. Gelak tawa Sagara dan Ibu Rissa saling bersahutan mengiringi langkah kesalnya.
Sebetulnya Rissa masih penasaran dengan apa yang ingin dikatakan ibunya. Padahal Aga? Apa lanjutannya? Kalimat itu seolah-olah ada hal yang akan dilakukan Sagara tapi gagal. Tapi apa? Kenapa Sagara seakan tidak mau Rissa mengetahuinya? Dia terus mengalihkan topik.
Yang bikin Rissa kepikiran lagi itu saat Sagara tidak membahas sebutan “teman” yang ia gunakan buat mengganti Jarvis. Sagara pasti tahu kalau dia pulang bersama Jarvis. Tapi kenapa dia kaya biasa aja? Maksudnya, Rissa udah ketar-ketir Sagara bakal menyebut nama Jarvis di depan ibunya. Dia males ditanya-tanya soal Jarvis. Dia pikir Sagara bakal kaya “Bilang aja Jarvis elah segala ngomong sama temen.” atau “Bukan temen, Bu. Rissa pergi sama Jarvis tuh.” Ya pokoknya yang ngeledekin dia! Tapi ini kok kaya kalem aja....
“KAKAKKKK ANTERIN AKU LESSS!!!!”
Tiba-tiba Kayla, adik Rissa, muncul dari kamar ibunya yang terletak di samping kamar Rissa. Ia sigap memeluk pinggang Rissa, menahan kakaknya yang baru saja mau masuk kamar.
“Sama ibu aja lah. Kakak cape banget baru pulang.”
“Nggak mau! Sama kak Rissa aja!”
“Kakak cape, Kay.”
“Sini sama kak Aga aja, Kay!”
Sagara tampak melongok dari ruang tengah sambil melambai-lambai ke Kayla. Tangannya terus memanggil-manggil membujuk Kayla agar tidak mengganggu Rissa.
“Tuh, sama kak Aga sana!” pinta Rissa ikut membujuk agar Kayla segera melepaskannya.
“Sama kakak juga!”
“Ya masa udah sama kak Aga sama kakak juga? Kebanyakan dong. Motornya nggak muat!”
“Ih muuaaaatt!! Nanti aku duduk di tanki!”
“Jangan gitu lah, Kay. Kakak lagi cape. Bu, ini lah Kayla gimana!”
“Kayla! Sini sama ibu!!”
“Nggak mau!!!”
Rasanya Rissa mau nangis aja. Hari ini dia full kegiatan di sekolah. Nggak pernah rasanya cape yang secape ini. Tapi kenapa sih Kayla harus tantrum di saat tidur adalah hal yang pengen banget dilakuin Rissa sekarang?
Melihat keributan yang tak kunjung selesai, Sagara menghampiri mereka. “Yuk, sama kak Aga aja!”
Kayla menggeleng tegas. Mukanya udah merah. Gawat, ini bocil bentar lagi meledak.
“Katanya kamu mau beli es krim yang baru tuh. Namanya apa ya kakak lupa. Yang deket tempat les kamu. Jadi beli nggak?”
“Jadi, tapi, tapi tuh ...,” jawab Kayla yang suaranya udah parau ditambah gagap karena nahan nangis. “Aku nggak tau tempatnya di mana. Soalnya kata Rara udah pindah.”
“Ooh pindah. Ya nggak apa-apa. Nanti kita cari sama-sama.”
“Tuh mau dibeliin es krim sama kak Aga. Kalo kamu berangkat sama kakak, nggak beli es krim,” timpal Rissa.
“Mau, ya?” tambah Sagara meyakinkan. Kayla tampak mengangguk lemah dan perlahan melepaskan pelukannya pada Rissa. Sagara mengulurkan tangan dan langsung digenggam oleh Kayla.
Rissa berseru dalam hati. Akhirnya dia terbebas dari bocil kematian itu.
“Ati-ati di jalan ya kak. Sorry jadi ngerepotin.”
“Gapapa. Lo mau es krim juga nggak?”
“Eh? Dapet jatah nih gue?”
“Kalo mau.”
“Mau hehehe.”
“Nggak boleh!” Kayla tiba-tiba nyolot.
“Yee, orang kakak mintanya ke kak Aga bukan ke kamu.”
“Kak Aga cuman mau beliin aku DOANG!” jawab Kayla dengan nada songongnya.
“Eh! Tadi siapa ya yang nangis-nangis minta berangkat sama kakak???”
“Udah, ris, lo mau dia nangis beneran apa?”
“Dia tuh kak nyebelin!” tunjuk Rissa pada Kayla yang dibalas juluran lidah adiknya.
“Dadah! Aku mau beli es krim! Kakak enggak!” ledek Kayla seraya melangkah pergi dengan tangan yang masih dalam genggaman Sagara.
Rissa mengangkat kepalan tangannya, seperti hendak memukul Kayla. Namun pukulannya hanya berayun di udara. Ia memperhatikan Sagara dan Kayla yang jalan bergandengan sampai keluar rumah. Lirih terdengar obrolan mereka yang membicarakan rasa apa yang akan dibeli nanti. Keduanya tampak akrab. Pemandangan yang lazim. Rissa merasa beruntung ada Sagara yang selalu bisa membantu menjinakkan adiknya.
Sagara tiba-tiba menoleh ke arahnya. Entah mengapa jantung Rissa langsung mengentak keras. Wajahnya pun terasa panas saat Sagara melambaikan tangan. Apa ini? Kenapa Rissa jadi merasa seperti ini?
“Aga pinter ya jagain Kayla. Udah ada bibit-bibit Bapak yang baik,” ujar ibu Rissa tiba-tiba membuat degup Rissa semakin cepat.