Salam Perpisahan
Kematian adalah hal yang pasti akan menghampiri setiap makhluk. Namun tiada yang tahu kapan ia datang kecuali Sang Pencipta. Kemarin, Zayyan sudah pasrah jika memang ia harus kembali. Namun melihat Zafran yang begitu takut kehilangannya membuat Zayyan ingin hidup lebih lama lagi.
Sudah banyak usaha yang dilakukan keluarga Alfath demi kesembuhan Zayyan. Mereka hanya ingin pepatah usaha tidak mengkhianati hasil menunjukkan kebenarannya. Tidak ada yang mereka inginnkan selain kembali berkumpul bersama Zayyan selepas operasi. Hanya itu. Just it.
Seperti apa yang sudah dibilang Zafran, hanya Zayyan yang tahu apa yang baik untuk tubuhnya. Hanya Zayyan yang bisa merasakan apa yang terjadi dalam tubuhnya. Zayyan merasa operasi ini tidak akan bekerja dengan baik. Namun melihat keluarganya begitu optimis dengan cara ini, maka sebisa mungkin Zayyan enyahkan pikiran buruk tersebut.
Beberapa hari setelah semua pihak menyetujui tindak operasi untuk Zayyan, tibalah saat remaja lelaki itu siap masuk meja operasi. Ia sudah tergeletak lemas di ranjang rumah sakit. Menatap satu persatu keluarganya yang berkumpul untuk memberi semangat. Zayyan tersenyum tipis. Kesetiaan keluarga mendampinginya hingga titik ini membuatnya bahagia.
Tidak hanya keluarganya, di luar ruangan tampak siluet teman-teman Zayyan, teman-teman Zafran, dan juga Zanna. Ingin rasanya menyapa mereka setelah operasi. Semoga Tuhan mengabulkan.
Satu persatu keluarga menghampiri, diawali dengan sang ayah. Dia mendekati sang anak dengan mata yang sudah sangat merah. Tangannya mengelus lembut rambut Zayyan. “Ayah akan selalu di sini, menunggu Zayyan bernapas kembali. Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja. Ayah janji,” ujar ayah dengan bibir bergetar lantas mengecup dahi Zayyan.
Giliran sang bunda yang tak pernah menghentikan tangisnya sejak tadi. Ia meraih tangan kurus Zayyan dan digenggam sangat erat. Seolah tidak ingin anaknya pergi dari hadapannya. Bibir Zayyan menggurat senyuman dan menukarkannya pada sang bunda. Berhasil, namun dengan air mata yang makin menderas.
“Bunda tidak pernah berhenti untuk mendoakan Zayyan. Tuhan pasti mengabulkannya. Jangan pergi ya, nak. Bunda ingin bertemu Zayyan lagi.”
Zayyan hanya bisa mengangguk dengan air mata yang jatuh. Sang bunda langsung mengusap pipi basah Zayyan lantas memberikan kecupan dalam di sana. Terakhir, bunda memeluk Zayyan erat dengan isakan yang mengudara. Ia melangkah mundur, merangsek ke rangkulan sang suami.
“Zafran, ayo giliran kamu,” pinta sang ayah melihat Zafran tak bergeming.
“Semangat, bro,” ujar Zafran lirih hendak melenggang keluar namun dicegat oleh ayahnya. Ia memberi isyarat agar Zafran mendekat pada Zayyan. Zafran menghela napas berat lantas melangkah pelan menuju Zayyan.
“Hayo, mau ngomong apa?” ledek Zayyan saat Zafran sudah ada di hadapannya.
“Lo nggak berencana buat menyerah kan, Yan?” tanya Zafran yang langsung mengatupkan mulutnya rapat, menahan suaranya yang bergetar. “Lo akan berusaha buat bertahan kan?” ujar Zafran lagi. Kali ini dengan setetes air mata yang luruh.
Zayyan mengangguk. Dia akan bertahan, itu yang Zayyan katakan.
Zafran kembali mengikis jarak dengan Zayyan untuk memberikannya pelukan. Zayyan agak terkejut, namun tangannya perlahan melingkar di punggung Zafran. Tidak ada pembicaraan di sana. Zafran menumpahkan segala ketakutannya di sana. Pelukannya terus mengerat, tidak ingin Zayyan bergeser sedikitpun dari kehidupannya.
Mendengar tangisan sang kakak membuat air mata yang sedari tadi Zayyan tahan ikut tumpah. Wajahnya tenggelam di ceruk leher Zafran. Menumpahkan segala beban yang tak pernah berani ia suarakan pada Zafran.
“Jangan tinggalin gue. Nanti gue sama siapa kalo lo pergi, Yan,” ujar Zafran dengan suara pecah. Zayyan menggeleng. Dia juga tidak mau meninggalkan Zafran.
“Kita masih punya rencana yang menunggu buat direalisasikan. Gue bakal pikirin apa yang mau kita lakuin di poin ke delapan selama lo berjuang di sini. Gue tunggu kabar baik dari lo,” ujar Zafran seraya melepas pelukan setelah mendapat anggukan dari Zayyan.
Sulit dipercaya, kali ini Zafran beranjak mencium dahi Zayyan cukup lama. “Abang sayang Zayyan,” ujar Zafran kemudian.
Tangis Zayyan kembali merembes keluar. “Zayyan juga sayang abang.”
Zafran melangkah mundur lalu melenggang keluar, diikuti oleh ayah dan terakhir bunda yang berat melepas pandang dengan Zayyan. Ia berikan kecupan udara dengan gumaman “bunda sayang kamu” yang dibalas “aku juga sayang bunda” oleh Zayyan.
Setelahnya, Zayyan diminta untuk menghirup bius. Membuatnya lemas lantas tertidur pulas, entah sampai kapan.