Saya Kapten, Saya Harus Menang
Semifinal berhasil terlewati dengan mudah. Apa yang telah dikhawatirkan tidak terjadi. Jarvis lega, setidaknya tahun ini ia berhasil lolos semifinal. Tidak seperti tahun lalu.
Namun yang ia khawatirkan sekarang adalah tim yang akan ia temui di final. Ia sudah bersyukur tidak bertemu mereka di semifinal. Namun takdir tak mengijinkan untuk bernapas lega. Jarvis harus kembali berhadapan dengan mereka, seperti setahun yang lalu.
“Wuih! Ada si Jarvis! Lama nggak ketemu ya hahaa! Gimana? Sehat?”
Jarvis tak memberikan respons. Ia berusaha abai dengan meregangkan otot-ototnya sebelum pertandingan dimulai.
“Gimana kabar tangan, Vis? Udah nyambung lagi?” ujar orang itu diiringi tawaan teman satu timnya.
Sagara melihat dari kejauhan. Ia mendekat lalu menarik Jarvis untuk berpindah tempat.
“Semoga tangan lo aman-aman aja ya!” teriak si lawan mengiringi langkah Sagara dan Jarvis yang menjauh.
“Fokus. Gue yakin lo bisa,” hibur Sagara seraya menepuk bahu Jarvis. Lelaki itu mengangguk. Jarvis lantas memberikan isyarat kepada yang lain untuk berkumpul. Sedikit memberikan petuah dan arahan sebelum pertandingan benar-benar dimulai.
“Kemenangan emang tujuan utama kita. Tapi gue harap, keselamatan tetep jadi prioritas. Jangan bahayain diri sendiri cuman buat mencetak poin. Lo pada tau alur permainan lawan. Gue pernah celaka dan gue belajar dari sana untuk lebih berhati-hati. Gue harap kalian juga belajar dari apa yang gue alamin dulu.”
Semuanya fokus mendengarkan Jarvis. Apalagi lelaki itu sampai membawa peristiwa traumatis yang membuat salah satu tangannya cidera. Tak ayal, beberapa dari mereka khawatir kejadian itu akan terulang, terutama Sagara yang melihat langsung bagaimana Jarvis tergeletak di lapangan sambil merintih kesakitan.
“Lo juga, Vis. Jaga diri lo,” balas Sagara yang diangguki Jarvis.
“Yo! Semangat!” seru Wira sambil menjulurkan tangannya. Yang lain bergantian menumpuk tangan sambil menyuarakan kalimat penyemangat.
“MENANG! MENANG! MENANG!”
Pertandingan dimulai dengan sengit. Poin keduanya hampir seimbang. Setiap poin yang tercetak akan langsung dibalas. Decit sepatu bersautan menambah suasana tegang dalam stadion.
Tangan Jarvis dingin, terutama tangan kanan yang dulu jadi korban dari kelalaiannya. Namun ia tidak boleh mundur. Dia kapten, dia harus membawa timnya menang. Dia harus membawa piala paling tinggi di podium, seperti apa yang dikatakan oleh Bisma. Jarvis harus melawan rasa takutnya.
Baru saja ia akan menyerang, salah seorang lawan menubruk tubuhnya. Peluit wasit memekik. Sorakan penonton menggelegar. Jarvis terjatuh dengan tumpuan tangan kanan. Ia meringis, rasanya ngilu.
“Vis!” Sagara yang kebetulan mengoper bola pada Jarvis lambung berlari menghampiri. “Vis, lo nggak apa-apa, Vis?”
“Nggak apa-apa,” jawab Jarvis yang masih mengernyit sambil menggerakkan tangan kanannya.
Derap langkah beberapa pemain terdengar mendekat. Mereka langsung mengerubungi Jarvis yang tengah berusaha berdiri.
“Ada yang luka, Vis?” tanya Wira khawatir.
“Nggak ada. Kalem aja,” jawab Jarvis berusaha menenangkan meskipun gagal. Mereka jelas khawatir karena Jarvis beberapa mengernyit sambil memijat tangannya.
“Lo kalo main yang bener dong, sat! Jangan bawa-bawa fisik!”
Tanpa diduga, Yasa menghampiri lelaki yang baru saja membuat Jarvis terjatuh. Suasana kembali memanas saat tim lawan tak terima dengan ucapan Yasa. Peluit wasit kembali melengking. Penonton semakin riuh.
“KONTROL EMOSI! YASA! JANGAN TERPANCING!” teriak sang pelatih, Angga, dari pinggir lapangan. Dia lalu menyuruh anak timnya ke pinggir setelah mendapat ijin dari wasit.
“Semuanya tenangkan diri! Silakan minum dulu!” perintah pak Angga yang langsung dituruti semua anak timnya, termasuk Jarvis.
“Jarvis, kalau tangan kamu sakit, mundur saja. Biar Bagas yang menggantikan.”
“Nggak,” tolak Jarvis dengan tegas.
“Jangan memaksakan diri. Nanti kamu cedera lagi.”
“Saya kapten. Saya harus ikut sampai akhir, sampai tim saya menang.”
Pak Angga tampak menghela napas pasrah. Anak didiknya ini memang keras kepala. “Kompres dulu tangannya. Biarkan tim kesehatan cek tanganmu.”
Pak Angga memanggil tim kesehatan dengan tepukan tangan. Jarvis memandang sengit. Dia benci dengan kenyataan bahwa Angga masih sangat peduli pada keadaannya.
Pertandingan kembali dilanjutkan. Seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya, langkah Jarvis makin gesit dan lincah. Ia beberapa kali menghindari tubrukan lawan yang beresiko membuatnya jatuh. Dengan kerja sama yang baik, putra harapan makin melebarkan jarak poin dengan lawan.
Rissa tak sadar menggigit jarinya bersamaan dengan bola mata yang bergulir ke sana ke mari mengikuti langkah Jarvis. Ia hampir menangis saat Jarvis kembali terjatuh. Namun lelaki itu langsung bangkit. Ia bisa merasakan kuatnya ambisi Jarvis untuk membawa kemenangan.
Sesuai harapan, tim putra harapan menang. Sorak sorai penonton menggelegar. Jarvis berteriak keras, membebaskan beban yang menggantung di jiwanya. Ia berhasil, ia berhasil membawa timnya meraih kemenangan.
Semua anggota tim putra harapan langsung berlari mengerubungi Jarvis untuk berselebrasi atas kemenangan yang baru saja diraih. “MENANG! MENANG! MENANG!”
Rissa sontak melompat saking bahagianya saat Jarvis memasukkan poin terakhir penentu kemenangan. Ia sangat lega apa yang dikhawatirkan sedari tadi tidak terjadi. Melihat Jarvis dengan senyum lebar yang sangat jarang ia lihat membuat rongga dadanya menghangat.
“Selamat, Kak! Selamat kak Jarvis!” batin Rissa tanpa melepas pandang dari Jarvis. Namun maniknya mendadak membulat saat Jarvis tiba-tiba tenggelam dalam kerumunan. Teman-temannya panik.
“EH ITU TANDU! TANDUNYA KELUARIN!” pekik salah seorang panitia di samping Rissa.
Rissa kembali melempar pandang ke lapangan. Terlihat Jarvis yang direbahkan di tandu lalu diangkut ke luar lapangan. Rissa bisa melihat dengan jelas lelaki itu memegangi tangan kanannya dengan raut kesakitan.
“Astaga!” Rissa bergegas mengemasi barangnya dan menyusul mereka.