Sebuah Angan di Langit Malam
Aksel POV
Di pinggir jembatan, gue duduk dengan kaki terjuntai ke bawah. Sebatang rokok terapit di kedua jari kanan. Sesekali gue hisap sambil memandangi kelap-kelip lampu jalanan yang terlihat kecil dari atas sini. Suara lalu lalang kendaraan memenuhi pikiran gue yang kalut.
Gue menghisap rokok itu lagi kemudian berjengit. Bara apinya menyulut jari. Sudah terlalu pendek. Ujung rokoknya lalu gue gesekkan ke pembatas jalan dan dibuang jauh ke laut di bawah. Gue merogoh saku. Sudah habis.
Langit sangat gelap. Hanya ada beberapa titik putih menyebar disana. Itu bintang kan?
Warna bintang itu apa si? Apa benar warnanya putih?
Lalu langit malam itu warnanya bagaimana? Apa warnanya gelap pekat seperti ini?
Lalu senja itu seperti apa? Kenapa banyak sekali orang berkata senja itu indah?
Gue tadi lihat senja tapi nggak indah. Warnanya abu-abu. Apa itu indah? Atau yang gue lihat itu berbeda dengan yang lain?
Haha, tentu saja. Gue kan buta warna. Mana mungkin senja berwarna abu-abu. Pasti warnanya lebih indah dan cerah. Warna yang takkan pernah gue lihat sampai kapanpun. Semua warna di dunia ini mustahil bisa gue lihat, kecuali warna milik Helen.
Helen. Hah~ gadis itu masih terus menggangu. Bukan dalam bentuk nyata. Tapi bayang-bayangnya yang seakan mengikuti kemanapun gue pergi. Helen, emang lo nggak cape apa ikutin gue terus? Gue aja cape diikutin lo terus.
Pembatas jalan di belakang gue genggam erat untuk menarik tubuh gue berdiri. Dengan tangan yang masih menggenggam erat, gue limbungkan tubuh ke depan menggantung. Mata gue terpejam dan langsung terbelalak saat sesuatu menarik gue dengan keras dan menjatuhkan gue ke jalanan.
“LO GILA YA! MAU NGAPAIN LO TADI? MAU BUNUH DIRI HAH? BUAT APA? NGGAK BAKAL NYELESAIN MASALAH LO TAU NGGAK. MIKIR!”
Jantung gue berdegup kencang saking kagetnya. Ternyata dia Reza. Dengan pakaian yang sama seperti tadi pagi dan Fany yang berdiri di belakangnya sambil menutup mulut. Kenapa Reza bisa tahu gue disini?
“Ngapain lo disini?” tanya gue sambil menatap Reza heran. Reza menatap gue nanar dengan beberapa lipatan di dahinya.
“Ngapain kata lo? Lo mikir ngga si? Lo mendadak ilang gimana gue nggak panik? Hape kalo nggak bisa dihubungi buang aja mendingan. Bisanya nyusahin aja lo!”
Gue terdiam mendengar semua perkataan Reza, atau lebih seperti makian? Lubuk hati gue tergores. Reza nggak pernah ngata-ngatain gue sampe segitunya. Dan ditambah sama ekspresi yang menakutkan, bahkan nggak pernah gue lihat. Kenapa Reza jadi gini?
“Reza cukup! Kenapa kamu jadi marahin Aksel? Dia lagi down! Nggak seharusnya kamu maki dia kaya tadi!”
Tiba-tiba Fany ada disamping gue, merangkul pundak dan membersihkan pakaian gue dari pasir jalanan yang menempel.
“Aksel, lo nggak apa-apa?” tanyanya lembut. Tapi nggak gue jawab. Gue masih menatap Reza yang sedang meraup wajahnya kasar.
“Oh, jadi gue nyusahin lo ya, Ja? Iya si. Gue baru sadar kalau gue udah repotin lo dari dulu. Lo harus milihin baju buat gue, lo bantu ngurusin segala kebutuhan gue. Ya, orang buta kaya gue mah emang bisanya gitu. Maaf ya. Gue nggak bisa kasih apa-apa buat lo kecuali beban.”
Mata Reza terbelalak lalu menggelengkan kepalanya. Isakan Fany terdengar jelas di telinga kiri gue. Dia nangis. Dari sudut mata gue, Fany menggeleng kuat dan mencengkeram erat pundak gue.
Hati gue teriris. Mengingat segala hal yang pernah gue lakukan dengan Reza yang ternyata menyusahkannya. Entah pikiran gue yang lagi berantakan atau apa, gue merasa sangat sensitif dengan kata-kata Reza tadi. Rasanya sangat menusuk.
“Kalo gue nyusahin lo, kenapa nggak biarin gue jatuh aja tadi? Kan beban lo bisa berkurang,”
“Aksel pliss udahhh. Jangan dengerin omongan Reza. Lo nggak pernah nyusahin. Plis jangan bilang kaya gitu.” Fany menggoyangkan badan gue sambil terisak. Gue menoleh menatapnya sambil tersenyum tipis. Beruntungnya Reza punya pacar berhati lembut kaya Fany.
Fany memalingkan wajahnya. “REZA NGAPA LO DIEM AJA! LO UDAH KETERLALUAN SAMA AKSEL. APA LO NGGAK MERASA BERSALAH?!”
Gue tersentak. Baru aja Fany menggentak Aksel keras. Reza sampai terbelalak tak percaya. Fany nggak pernah ngomong kasar ke Reza. Dan sebenarnya dia juga bukan gadis yang kasar.
“Fan, aku nggak maksud buat-,”
“Aku bilang ngomong buat Aksel bukan buat aku!” timpal Fany cepat membuat Reza tak berkutik.
“Udah, Fan. Nggak apa-apa. Yang dibilang Reza bener kok. Aku nggak perlu penjelasan apapun lagi,” ucap gue sambil beranjak berdiri. Lalu gue menjulurkan tangan untuk membantu Fany berdiri.
“Makasih udah nyelamatin gue tadi. Sebenarnya gue nggak mau bunuh diri. Gue cuman lagi menenangkan pikiran. Tapi kayaknya sekarang gue jadi kepikiran buat ngelakuin itu,”
Gue tersenyum lalu berbalik. Fany menahan tangan gue. Gue lepaskan dengan lembut kemudian berjalan pelan meninggalkan mereka.
Seseorang menarik tangan gue dan mendekap gue erat. Gue melihat Fany masih berdiri disana sambil terisak. Tubuh gue membeku.
“Gue minta maaf, Sel. Gue nggak maksud maki-maki lo. Lo nggak pernah nyusahin gue. Sama sekali nggak pernah. Gue kebawa emosi sampe nggak sadar sama apa yang gue omongin. Tolong, jangan lakuin hal macem-macem. Jangan tinggalin gue.”
Reza mendekap gue erat. Pelukan seorang sahabat. Terakhir kali gue pelukan sama dia saat kami berhasil diterima di universitas impian kami. Itu pun hanya pelukan sesaat, lebih tepatnya rangkulan. Sangat berbeda dengan sekarang. Reza seakan nggak ingin melepasnya. Gue jadi merasa canggung.
“Reza, bisa lepasin sekarang ngga? Lo bikin kita keliatan aneh di pinggir jalan kaya gini,”
Gue rasakan tubuh Reza menyentak dan langsung mendorong tubuh gue. “Nggak usah mikir macem-macem! Gue masih normal anjir! Liat noh pacar gue ada disana,” sentak Reza sambil menunjuk Fany di sana.
Gue terkekeh. “Lagian ngapain si peluk-peluk gue? Kan masih ada Fany yang bisa lo peluk? Ngapain malah peluk gue?”
“Najis! Gue takut lo tiba-tiba loncat kesana tau ngga! Ah, nyesel gue udah meluk lo tadi,”
“Siapa juga yang mau loncat kesana? Gue nggak bodoh kali. Gue cuman mau ambil korek disana tuh. Lo si dorong gue keras banget sampe koreknya kelempar,”
Gue menunjuk sebuah korek api yang tergeletak beberapa centi dari tempat kami berdiri. Kemudian menghampiri dan mengambilnya. Reza masih terus menatap gue. “Kenapa lagi? Udah gue bilang, gue nggak akan loncat. Ngapain liatin gue terus si?”
“Sel, lo habis ngerokok kan? Baunya kecium banget dari tubuh lo. Nggak usah bohong, gue tau lo ada masalah. Kenapa nggak cerita aja sama gue? Ngerokok segitu banyaknya nggak bakal nyelesain masalah.”
Reza memang cenayang. Pasti dia tahu ada sebungkus rokok yang sudah kosong di saku celana gue. Tadi gue nggak sadar udah ngabisin semuanya. Padahal gue udah lama berhenti merokok.
“Nggak usah. Nanti gue nyusahin lo lagi,”
“B**t! Lupain aja omongan gue tadi! Lo itu sahabat gue. Nggak mungkin lo nyusahin. Udahlah, mendingan kita bicarain di kontrakan aja. Ayo!”
Reza menarik tangan gue menuju mobil yang terparkir beberapa meter dari kami. Reza juga menghampiri Fany dan menggandeng tangannya mengajaknya untuk masuk ke mobil. Sebenarnya itu mobil Fany si. Kemudian kami pulang bersama