Sebuah Kehadiran yang Terlupakan
Alena menyeret anaknya sampai ke ruang tengah. Anak gadisnya itu terus meronta namun tak dihiraukan. Kesabaran Alena sudah habis. Putrinya itu semakin tidak terkontrol dan terus melawannya. Tidak ada cara lain, ia akan memasukkan Freya ke universitas yang lebih baik agar ia jauh dari pengaruh buruk teman-temannya di sini.
“Sakit, Mah! Lepasin aku!” rintih Freya dalam tangisnya. Sang ibu lantas melepas genggaman dan masuk ke ruang kerjanya untuk mengambil sesuatu.
“Sekarang kamu isi formulir ini.”
Freya menatap lembaran formulir yang disodorkan mamahnya. “Surat pengunduran diri?”
“Semester depan, kamu tidak perlu masuk kuliah lagi. Kalo kamu bisa fokus belajar selama enam bulan ke depan, kamu bisa ikut ujian masuk perguruan tinggi lagi. Ambil jurusan yang lebih baik. Mamah yakin kamu bisa.”
“Nggak mau, Mah,” jawab Freya dengan suara bergetar.
“Kamu hanya perlu turutin kemauan mamah. Cepat isi!”
“Aku nggak mau!”
“Jangan membantah mamah, Freya!”
“Aku nggak mau hidup kaya gini!”
Alena terdiam menatap sang anak yang baru saja berteriak di wajahnya. Deru napas keduanya mendominasi ruangan. Isakan Freya terdengar semakin nyaring.
“Maksud kamu apa?”
“Aku nggak bisa napas, Mah,” rintih Freya menahan sesak.
Alena menggeleng pelan. “Kamu selalu turutin semua kemauan mamah. Kenapa sekarang kamu jadi begini? Kamu sudah berjanji mau turutin semua keinginan mamah.”
“Karena mamah nggak pernah mengerti perasaanku! Mamah selalu melakukan semuanya dengan sesuka hati mamah! Semua itu bikin aku gila!” teriak Freya semakin keras. Semua rasa yang ia pendam selama ini berselancar mulus dari pengucapnya. Tak ada lagi ruang yang tersisa untuk terus memendam sesak.
“Beraninya kamu bilang seperti itu!”
“Emang itu kenyataannya!”
“FREYA!” Alena mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Melihat anaknya yang beringsut takut, ia lantas mengurungkan niatnya untuk melayangkan pukulan pada sang anak. “Mamah sudah melakukan segalanya untuk kamu. Dan ini balasan kamu atas semua yang udah mamah lakukan?!”
“Aku udah melakukan semua yang mamah minta! Apa lagi yang mamah mau? Aku selalu berusaha membuat mamah bahagia. Tapi apa mama pernah berpikir apa yang aku inginkan?”
Alena hanya bisa terdiam. Menatap sang anak yang wajahnya sudah berantakan. Pipi kanannya memerah bekas tamparannya tadi. Apa … apa yang sudah ia lakukan pada sang anak? Mengapa ia membuat anaknya jadi seperti ini?
“Yang aku inginkan bukan mamah yang terus menekanku untuk jadi yang terbaik. Bukan mamah yang membentakku kalau aku nggak bisa mencapai standar seperti kak Della yang bahkan mustahil aku raih. Tapi mamah yang selalu mendukungku dan mengatakan kalau aku bisa melakukan yang terbaik. Aku bisa membanggakan mamah dengan caraku sendiri. Aku ingin mamah yang seperti itu.”
Bibir Alena bergetar. Air mata sudah menggenang di pelupuk. Kelopaknya tak berkedip menatap sang anak yang menahan sesak.
“Mamah tau semua itu. Mamah melakukan semua ini agar kamu tidak dipandang remeh oleh keluarga kita, terutama keluarga papa. Mamah ingin kamu jadi seseorang yang terpandang. Selama ini, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu sudah berhasil menembus universitas yang baik, tetapi untuk apa kalau kamu hanya masuk ke jurusan yang nggak ada nilainya?”
“Karena cuman itu yang aku bisa, Mah,” timpal Freya cepat. “Mungkin kalo kak Della masih ada, dia bisa masuk ke jurusan yang menurut mamah ada nilainya.”
Alena menggeleng. “Nggak, mamah yakin kamu juga bisa. Kamu hanya perlu berusaha sedikit lebih keras lagi. Kamu bisa melakukan yang terbaik seperti kak Della. Kamu bisa, Freya.”
Freya menggeleng pilu. “Nggak, Mah. Freya nggak bisa. Freya udah capek, Mah.”
“Freya.” Alena hendak meraih wajah sang anak. Namun Freya melangkah mundur.
“Kadang aku berpikir, seharusnya yang selamat dari kecelakaan itu kak Della. Jadi mamah nggak perlu bersusah payah untuk menaikkan derajat keluarga kita di hadapan keluarga papa. Aku ini cuman anak yang nggak berguna, nggak sepintar kak Della. Kenapa harus aku yang hidup?”
Alena terkesiap mendengar penuturan Freya. Hatinya seperti disayat habis. Perlu dia akui, kedua anaknya ini sama berharganya. Tidak ada yang lebih, tidak ada yang kurang. Namun ia masih saja belum ikhlas atas kepergian anak sulung kebanggaanya. Dan semuanya membuat ia tak sadar kalau ada si bungsu yang membutuhkan kasih sayangnya juga.
Freya melenggang meninggalkan sang ibu yang mematung. Ia masuk ke kamar dan bersimpuh di balik pintu. Di keheningan malam, Freya melampiaskan segala sesak yang lama terpenjara dalam lubuk hatinya. Seharusnya ia lega. Namun entah mengapa rasanya semakin sesak. Duka yang terpendam seperti dikorek habis dan rasa sakitnya seperti mengelupas luka baru yang belum kering. Perih.
Sang ibu dan anak gadisnya itu menangis dalam luka mereka masing-masing. Menyadari banyak hal yang sudah terlupakan oleh mereka. Mereka terlalu berpaku pada kehilangan sampai melupakan fakta kalau mereka akan baik-baik saja karena telah memiliki satu sama lain.