Sebuah Pilihan
”... btw, suara lo mirip seseorang yang gue kenal.”
Pemuda itu sontak berdeham. “Masa sih? Perasaan lo aja kali.”
Freya memajukan bibir bawahnya. “Mungkin.” Gadis itu lalu melepas gelang dari pergelangannya. Ia menarik tangan lelaki itu lalu menaruh gelang tadi di telapaknya.
“Apa ini?” tanya pemuda itu kebingungan menatap sebuah gelang berwarna hitam dengan bandul bulan sabit di telapaknya.
“Gue nggak yakin kalo lo beneran iseng doang berdiri di sana. Apapun masalah lo, gue berharap lo cepet dapet jalan keluarnya. Dan gue berharap lo nggak mengaku kalah pada takdir. Lo harus berjuang buat dapetin kemenangan. Ini udah larut. Gue kayaknya mau pulang sekarang.”
“Terus ini gelangnya?”
Freya berdiri seraya menepuk pantatnya yang kotor karena debu. “Buat jaminan lo nggak akan lompat pas gue pergi. Dua tahun yang lalu, lo nitip jaket ke gue biar gue nggak lompat. Sekarang gue nitip gelang biar lo nggak lompat juga.” Freya melepas jaket milik lelaki tadi lalu melipatnya dan memasukan kembali ke paper bag. “Gue balik ya. Jangan lupa, lo punya tanggung jawab buat balikin gelang gue. Dah.”
Baru beberapa langkah Freya pergi, ia kembali dibuat berhenti oleh panggilan lelaki itu. Freya, begitu lelaki tadi memangilnya. Bagaimana ia tahu namanya bahkan ketika mereka tak pernah berkenalan sebelumnya?
Freya berbalik. Seketika jantungnya memompa darah begitu kuat hingga aliran darah yang panas mengalir ke seluruh tubuhnya. Di hadapannya, lelaki tadi berdiri dengan masker yang sudah tertanggal dari wajahnya. Dan yang membuat Freya mendelik adalah lelaki itu ternyata Justin.
Justin melangkah menghampiri Freya. Kini jarak mereka hanya sebatas satu jengkal. Mereka saling memandang dengan perasaan yang begitu menggebu. Tak sadar, sebuah kristal bening meluncur dari pelupuk mata Freya.
Lelaki yang mati-matian ia lupakan sekaligus yang tak pernah bisa ia lupakan. Lelaki yang tak pernah absen menemani malamnya. Lelaki yang begitu ia rindukan. Justin Mahendra, cinta pertamanya.
“Lo bilang, lo nggak bisa kembaliin jaket gue karena gue nggak kasih tau di mana lo harus kembalikan jaketnya. Sekarang gue nggak mau hal itu terulang lagi. Jadi, di mana gue bisa kembaliin gelang lo, Freya Grizelle?”
Keheningan menyelimuti mereka. Angin malam menerbangkan anak rambut Freya hingga menghalangi wajah cantik gadis itu. Freya tak sanggup menjawab. Hanya aliran sungai di pipinya yang mampu mewakili perasaannya.
Justin menelan salivanya dengan susah payah. Freya, gadis yang tak pernah ia lupakan. Gadis yang ia biarkan abadi di relung jiwanya. Kini gadis itu berdiri di hadapannya. Mati-matian ia berusaha menahan diri untuk tidak menarik gadis itu dalam pelukan. Namun ia gagal.
Tanpa ragu, Justin menarik tubuh Freya ke pelukannya. Tak ada kata yang terucap. Hanya ada sebuah pelukan yang terus mengerat seiring dengan detak kehidupan yang berlomba untuk jadi yang tercepat. Justin memejam erat menahan gejolak yang mendobrak keras pertahanannya. Rasanya sesak, sampai sangat sulit rasanya hanya untuk menarik napas.
“Gue kangen, kangen banget.” Hanya kalimat itu yang mampu terucap dari bibir Justin. Mungkin setelah ini Freya akan memberontak dan mendorongnya. Justin sudah siap dengan itu.
Namun yang ia dapat adalah sebuah remasan kuat di punggungnya. Gadis itu menyusup ke dada bidangnya. Menenggelamkan wajah di sana hingga Justin dapat merasakan dingin dari air mata yang membasahi kemejanya. “Gue juga,” rintih Freya yang menggema sampai menembus tulang rusuknya. Justin sontak semakin menekan tubuh Freya ke dalam pelukannya.
Malam itu menjadi saksi pertemuan dua insan yang saling membenci dan mencinta di waktu yang bersamaan. Biarkan mereka sejenak melupakan kebencian yang terpendam. Hanya ada sebuah kerinduan menggebu yang takkan bisa terbayar dengan pelukan singkat yang tak bersekat.
“FREYA!”
Mereka berdua terlonjak bersamaan. Freya sontak berbalik dan menemukan Travis tengah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu melangkah tegas dengan raut wajah menegang. Pandangannya tertuju pada Justin yang terkejut. Tanpa basa-basi, Travis langsung melayangkan pukulan ke wajah Justin hingga lelaki itu tersungkur.
“BAJINGAN NGGAK TAU DIRI LO! BERANINYA LO MELUK FREYA SETELAH SEMUA YANG UDAH LO LAKUIN KE DIA!”
Travis hendak melayangkan pukulan kembali namun segera dicegah oleh Freya. “TRAVIS STOP!”
Lelaki itu balik menatap Freya nanar. “Kamu juga! Udah aku bilang kalau mau ke mana-mana bilang! Susah banget sih cuman ngabarin gitu doang!”
Freya menggeleng tak percaya dengan yang dikatakan Travis.
“Sekarang pulang!” Travis lalu menarik Freya dari sana. Cengkraman lelaki itu begitu kuat hingga membuat Freya meringis. Freya menoleh ke belakang melihat Justin yang bangun dan berlari menyusul. Tautan tangan Travis dan Freya diputus.
“Jangan kasar sama cewe gue!” bentak Justin seraya menarik Freya ke sisinya. Gadis itu tampak mendelik tak percaya dengan yang dikatakan Justin barusan.
“Cewe lo?” Travis terbahak. “Woy! Ngimpi ya lo? Freya nggak akan mau jadi milik lo, cowok pengecut! Perlu lo tahu, Freya udah nggak ada rasa lagi sama lo! Jadi lo nggak usah deketin dia lagi.”
Justin tertawa sinis. “Banyak bacot lo. Emang lo siapa berani ngatur gue?”
Travis menjilat bibir atasnya lalu melangkah ke hadapan Justin dengan pandangan meredup. “Gue ... pacarnya Freya,” bisik Travis diakhiri dengan menaikkan salah satu alisnya. “Jadi, lo jauh-jauh ya dari CEWE gue.”
Travis mendengus lalu berbalik dan kembali menarik Freya pergi. Namun lagi-lagi langkahnya tertahan oleh seseorang yang menahan tangan Freya yang lain.
“Gue nggak percaya. Karena gue yang paling tahu persis gimana perasaan Freya sekarang.”
Kedua lelaki itu saling memandang sengit. Mereka sama-sama mengeratkan genggaman pada tangan Freya. Gadis yang berada di tengah-tengah mereka hanya bisa pasrah menanti salah satu dari mereka untuk mengalah.
Sebuah persaingan baru telah dimulai. Kali ini siapa yang akan jadi pemenangnya? Apakah Justin, lelaki yang menjadi cinta pertama Freya atau Travis, lelaki yang selalu ada untuk Freya?
—end