Sebuah Rahasia yang Tergali
Stella masih bertanya-tanya alasan Agam membawa dia dan Bella ke perayaan ulang tahun ayah lelaki itu. Masalahnya setelah ia sampai di lokasi, orang-orang yang datang di sana sangat asing. Sama sekali tak tampak anak kelas sepuluh yang hadir. Bahkan anak kelas dua belas yang seangkatan dengan Agam jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
Seperti apa yang dikatakan lelaki itu, acara ini adalah perayaan ulang tahun sang ayah. Namun mengapa Stella tidak melihat satu pun tamu yang tampak seumuran dengan ayah Agam? Setidaknya ada satu ada beberapa teman sang ayah yang diundang bukan? Pesta ini lebih terlihat seperti perayaan ulang tahun Agam ketimbang ayahnya.
Agam membawa mereka berdua ke sebuah meja di mana ada seorang pria yang Stella yakini adalah ayah Agam tengah duduk. Melihat kedatangan mereka bertiga, pria itu sontak berdiri. Raut wajahnya tampak sangat sumringah. Di ujung matanya, terdapat bercak air yang menggenang.
“Stella dan Bella?” sambut pria itu seraya menatap mereka bergantian. Agam tampak mengangguk pelan. Sedangkan Stella dan Bella tersenyum canggung.
“Astaga, tunggu sebentar.” Pria itu berbalik badan. Entah apa yang dia lakukan di belakang sana. Namun dapat Stella dengar pria itu menghela napas begitu panjang. Seperti tengah melepas beban yang selama ini tertahan di jiwa.
Pria itu berbalik. “Ayo duduk!” ajaknya dengan gestur mempersilakan Stella dan Bella duduk. Dua gadis itu duduk bersebelahan. Sedangkan Agam dan ayahnya duduk di hadapan mereka. Kening Stella berkerut saat menyadari kedua manik ayah Agam sangat merah.
“Mau pesan apa? Stella suka rendang, kan? Kalau Bella sukanya ayam bakar, betul? Mau makan itu?”
Kedua gadis itu menegang bersamaan. Bagaimana bisa pria itu tahu makanan favorit mereka berdua? Mereka bahkan baru pertama kali bertemu malam ini. Namun mengapa … mengapa ia merasa sudah sangat dekat dengan ayah Agam?
Agam menangkap raut kebingungan Stella dan Bella. Ia tahu isi hati kedua gadis itu. Ah, ayahnya terlalu excited sehingga ia melupakan kalau seharusnya ia berakting menjadi orang asing di depan dua gadis itu.
Ditepuk pelan paha ayahnya untuk mengingatkan. Untungnya sang ayah langsung menangkap kode sang anak. Pria itu lalu berdeham. “Ah, om hanya menebak saja. Dua menu itu yang paling sering dipesan di restoran om. Siapa tau kalian juga suka,” kilah ayah Agam dengan raut agak panik.
“Tapi tebakan om bener. Saya emang suka rendang dan Bella suka ayam bakar,” timpal Stella dengan menatap selidik.
Ayah Agam tampak gelagapan. Namun ia tutupi dengan tawaan canggung. “Oh, berarti selera anak muda memang begitu, ya! Pantas saja banyak yang pesan dua menu itu.”
Mau tak mau Stella dan Bella jadi ikut tertawa canggung. Bella yang memang punya rasa ingin tahu tinggi tidak akan melewatkan hal tersebut begitu saja. Tidak mungkin, apa yang ditebak ayah Agam tadi tidak mungkin hanya sebuah kebetulan.
“Ah iya, sampai lupa om belum memperkenalkan diri. Nama om, Danang. Om ini adalah ayah dari Agam yang mengundang kalian ke acara ….” jeda pria bernama Danang itu sambil melirik Agam.
“Ulang tahun,” timpal Agam.
“Ya, ke acara ulang tahun om. Agam ini sudah beberapa kali cerita tentang kalian berdua dan om ingin bertemu dengan kalian secara langsung. Maka dari itu, sekalian saja om undang kalian ke acara ulang tahun malam ini.”
”Cerita tentang gue sama Bella? Apa yang diceritain kak Agam ke ayahnya? Dan buat apa dia cerita ke ayahnya? Aneh banget sih!”
Kecurigaan kedua gadis itu semakin bertambah ketika tahu Danang sudah tahu banyak tentang mereka dari Agam. Obrolan itu terus mengalir. Saking lancarnya sampai mengikis kecurigaan yang bercokol di benak Stella dan Bella. Dengan makanan yang tersaji, mereka mengobrol akrab. Sangat akrab seperti tiga orang yang sudah bersama dalam kurun waktu yang lama.
“Oh iya, om dengar Bella suka sama desain digital ya?”
“Eh? Kok om Danang bisa tahu?”
“Kelihatan dari kantung mata kamu yang tebel itu. Pasti suka natap layar lama-lama ya?”
Ledekan Danang menuai tawaan dari mereka berdua, termasuk Agam yang sedari tadi turut berbahagia menatap raut wajah sumringah sang ayah.
“Iya om! Aku juga suka coding gitu,” timpal Bella senang ada orang yang menyenggol hobinya.
“Oh, iya? Kemarin om dapat tawaran dari salah satu rekan bisnis om yang kerja di bidang elektronik. Katanya ada laptop keluaran terbaru yang bagus buat orang yang suka desain sama coding seperti kamu. Nanti kalau ada waktu, kita main ke sana. Siapa tahu ada yang cocok buat kamu.”
Kedua alis Bella terangkat. Ia tampak heran tapi tidak menyangkal ia merasa bahagia mendapat tawaran itu. Ah, sepertinya Bella mulai lupa kalau Danang ini adalah pria asing yang baru ia temui malam ini.
“Kalau Stella sukanya apa?” tanya Danang membuat Stella yang sedari tadi hanya menyimak jadi sedikit terperanjat.
“Mmm, nggak ada sih om. Paling suka nyoba make up sendiri. Cuman sekarang udah nggak dibolehin sama mamih.”
Ada satu hentakan keras yang menggema di salah satu rongga dada empat orang itu.
“Kenapa?” tanya Danang.
“Takut ada cowok macem-macem sama aku katanya. Soalnya kalau pakai make up jadi ngundang perhatian orang, terutama cowok. Jadi nggak boleh.”
Danang tampak merenung. Bibirnya lantas dipaksakan tersenyum tipis.
“Kak Agam, kayaknya aku sama Bella harus pulang sekarang deh. Udah mau jam sembilan soalnya,” ujar Stella pada Agam.
“Oh iya, sudah hampir jam sembilan. Ya, sudah, Stella sama Bella diantar pulang sama Agam ya. Kamu pakai mobil ayah aja, Gam,” sahut Danang.
“Iya, yah. Kakak anterin pulang ya.”
“Nggak ngerepotin nih kak?”
“Nggak, kan kakak yang udah undang kalian ke sini. Masa pulangnya nggak dianterin. Nanti kayak jailangkung dong.” Jawaban Agam menuai tawaan ringan dari mereka.
“Eee … Stella, Bella, kalau suatu saat om ajak kalian makan bareng lagi boleh?”
Stella dan Bella refleks bertatapan. Mereka tampak menimbang dan berakhir mengangguk ragu. Senyum penuh kelegaan timbul di bibir Danang.
“Terima kasih, ya, nak.”
“Kayaknya ini bukan jalan pulang ke rumahku deh, Kak,” ucap Stella yang duduk di kursi belakang sopir, menghadap jendela. Bella yang duduk di sebelahnya ikut melongok keluar.
“Ada sesuatu yang mau kakak tunjukin. Sebentar aja kok,” jawab lelaki itu.
Mobil silver itu memasuki jalan penuh pepohonan dengan penerangan minim. Pikiran kedua gadis itu melayang ke mana-mana. Tidak, Agam bukan lelaki yang seperti itu. Dia tidak mungkin punya niat jahat kepada mereka.
Keempat roda itu berhenti saat tiba di atas jembatan. Stella melongok sambil membuka jendela mobil. “Ini tempat apa, Kak?” tanya Stella bingung melihat banyaknya gerombolan orang berpakaian serba hitam di bawah sana.
“Sentul. Tempat orang-orang balapan,” jawab Agam yang turut membuka jendela mobilnya.
“Trus ngapain kita di sini? Kakak mau balapan juga?” timpal Bella membuat Agam tergelak.
“Coba kamu perhatikan lagi orang-orang di sana. Ada yang kamu kenal nggak?”
Bella lalu merapatkan diri pada Stella lalu melongok bersama. Dua pasang mata lentik itu menyipit. Meneliti satu persatu orang yang tampak kecil di bawah sana.
“Hah?! itu Kevin bukan sih, La?” seru Bella membuat Stella tersentak.
“Hah! Kevin? Mana!” tanya Stella panik.
“Itu yang pake motor merah! Kevin kan? Eh, itu Justin bukan sih? Anjir! Kok ada Jayden juga sih?!”
Kedua anak kembar itu jadi heboh sendiri. Sedangkan Agam menarik salah satu sudut bibirnya. Tersenyum puas setelah berhasil menguak sisi gelap lelaki yang sedang dekat dengan dua gadis itu.
“Jayden siapa?” tanya Stella.
“Pacarnya Bella, kan?” timpal Agam disertai kekehan.
“Eh, bukan!” tampik Bella terlihat gelagapan.
“Hah! Serius lo udah punya pacar, Bel?!”
“Enggak ih, kak Agam ngarang tuh!”
“Alah! Ngeles ya lo! Ihhh punya pacar kok nggak bilang-bilang gue?!”
“Siapa yang pacaran sih?!”
“Udah, udah,” lerai Agam. “Sekarang kalian lihat sendiri. Cowok yang deket sama kalian bukan cowok yang baik. Lihat aja tuh kelakuan mereka malem-malem gini. Mau kalian punya hubungan sama cowok berandal kaya mereka?”
Pertanyaan Agam membuat dua gadis itu merenung. Stella tak bisa mengalihkan pandangan dari cowok yang saat ini menjadi salah satu hal yang ia pikirkan sebelum tidur. Beberapa kali ia menampik kenyataan lelaki itu bukan Kevin. Namun mau dilihat beribu kali pun, dia memang Kevin. Entah mengapa, Stella jadi sedikit kecewa.