Secret Love
Dengan kedua tangan yang terselip di saku celana, Justin berjalan menyusuri koridor. Awalnya tidak ada yang menarik. Sampai ekor matanya menangkap seorang gadis di luar jendela tengah mengibaskan tangannya di wajah. Langkahnya terhenti. Mata serigala itu memicing dan menemukan derai air mata di kedua belah pipi sang gadis.
Justin berusaha abai. Namun nggak mungkin bisa karena gadis itu Freya. Dia udah berusaha keras buat tak acuh. Berusaha nggak menunjukkan perasaannya untuk gadis nomer satu di kelasnya itu. Namun kali ini, tungkainya memilih untuk menuruti kata hati daripada perintah otaknya. Justin berjalan ke tepi jendela dan menyenderkan tubuhnya di sana.
“Ngapain di sini sendirian?”
Freya terperanjat. Pandangnya seketika bertubrukan dengan netra redup Justin. Ia buru-buru mengusap pipinya. Menghapus jejak air mata yang sudah dilihat Justin sedari tadi.
“Nggak apa-apa kok,” jawab Freya bohong.
“Nggak apa-apa tapi ingusnya ngalir terus.”
Rasanya ada yang meledak dalam diri Freya. Ia langsung menggosok hidungnya cepat. Menciptakan seringai gemas di bibir Justin. Lucu, batinnya.
“Beneran nggak apa-apa, Justin,” ujar Freya lagi namun kali ini dengan air mata yang mengalir. Kebiasaan cewek kalo ditanyain pas lagi nangis bukannya berhenti malah makin kenceng nangisnya.
Helaan napas halus berseloroh dari mulut Justin. Kepalanya menengok ke segala sudut memastikan tidak ada orang.
“Nggak ada orang lain selain kita di sini. Cerita aja. Gue dengerin,” ujar Justin sembari melipat tangannya bersandar di tepi jendela.
Bibir gadis itu bergetar pertanda menahan tangis. “Tadi ... gue dipanggil ke ruang guru. Katanya nilai gue banyak yang turun. Trus mereka bilang ... kalo nilai gue kaya gini terus, bisa-bisa gue nggak bisa rangking satu lagi,” jelas Freya dengan menahan isak.
“Padahal ... padahal gue harus rangking satu terus menerus, biar gue bisa masuk rangking paralel. Kalo gue nggak rangking satu ... gimana? Nanti gue ... gimana?”
Freya tak sanggup menahan tangisnya lagi. Tak peduli Justin akan mengejeknya cengeng. Perkataan guru tadi begitu menyayat hatinya. Tidak bisa masuk ke deretan siswa berprestasi adalah momok paling menakutkan dalam hidup Freya. Ia tidak bisa membayangkan respons ibunya bila tahu soal ini. Freya takut, sangat takut.
Justin hanya diam. Membiarkan gadis itu untuk menghabiskan rasa sesaknya. Ia memikirkan apa yang harus ia katakan untuk sekedar mengurangi beban Freya. Dunianya dengan dunia Freya sangat berbeda. Apa yang dia anggap sepele tidak berarti sepele juga untuk Freya, contohnya persoalan nilai.
“Lo masih terlalu muda buat nangisin masa depan, Fre. Umur segini harusnya lo lebih banyak nangisin cowok atau daripada persoalan nilai yang nggak ada abisnya. Meskipun nangisin cowok juga kagak bener. Tapi ya ... menurut gue ... gimana ya,” ujar Justin yang malah bingung sendiri. Bukan bingung, tapi gugup soalnya Freya natap dia terus dari tadi.
“Pokoknya lo nggak usah takut dah nggak bisa rangking satu. Di kelas kita siapa sih yang bisa nyaingin lo? Lo kan udah dapet sebutan cewek nomer satu, pasti lo akan terus jadi nomer satu.” Bahkan di hati gue.
Freya hanya termenung. Memikirkan ucapan Justin yang menciptakan gelenyar aneh di hatinya.
“Tapi kalo beneran gue nggak rangking satu gimana?”
“Belum beruntung.”
Gadis itu merengek membuat Justin terkekeh.
“Pasti Sam yang bakal ranking satu paralel dan gue nomer dua. Harusnya gue selalu nerima ajakan Sam belajar bareng. Kan gue jadi bisa tau kemampuan Sam gimana. Nyesel banget sih,” gerutu Freya dengan kedua tangan yang sibuk menghapus air matanya.
Mendengar Freya menyebut nama cowok itu, Justin menghentikan tawanya. Dia menunduk dengan kepalan tangan yang mengerat. Sial, cowok bernama Sam itu adalah saingan terberatnya. Dan kini secara terang-terangan, Freya menyebut nama cowok itu di depannya.
Freya mendongak, ia menoleh ke kanan dan menemukan seseorang tengah berjalan hendak melewatinya. Besar kemungkinan orang itu akan melihat wajahnya yang berantakan.
“Duh, kenapa ada yang lewat sih!” Freya berusaha menyembunyikan wajahnya sambil berbalik arah. Namun dari arah lain ternyata ada orang yang hendak lewat juga. “Ihhh, kok pada lewat sini!”
Freya kembali berbalik sambil menutupi wajahnya. Justin yang menyadari hal itu lantas mengulurkan tangannya. Ia menarik kepala Freya mendekat. Freya tersentak dengan mata yang membulat. Justin membawa Freya untuk bersembunyi di bahunya.
“Dah, diem,” ujar Justin singkat dengan masih memeluk kepala Freya. Tangan satunya dibuat menopang dagu. Dia berusaha santai, walau hatinya bergetar tak karuan.
Freya masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Matanya bahkan tak bisa berkedip. Aroma parfum cowok itu menyeruak, menembus indra penciumannya. Sebuah elusan lembut terasa di kepala. Apa .. kenapa Justin tiba-tiba memeluknya seperti ini?
Namun tak bisa dipungkiri, ini terasa nyaman. Maka dengan menyampingkan egonya, Freya menelusup semakin dalam di bahu Justin. Tangisnya kembali berderai. Ia bahkan lupa kapan terakhir kalinya mendapat pelukan hangat. Selama ini, Freya tak punya tempat untuk bersandar seperti sekarang.
Justin tahu Freya menangis di sana. Ia bisa merasakan dingin air mata Freya yang membasahi seragamnya. Tak ada kalimat yang terucap. Namun detaknya sangat berisik. Justin takut Freya mendengarnya.
“Lo gemeter banget,” ucap Justin menyadari tubuh Freya bergetar sedari tadi.
“Maaf,” lirih gadis itu hendak menarik kepalanya dari sana namun Justin tahan.
“Nggak apa-apa, gue juga.”
haruquinza