Senioritas
“Gue nggak apa-apa kok, Kak. Ini udah jadi tugas gue dan gue nggak keberatan. Jadi kayaknya lo nggak perlu ngobrol sama mereka.”
Rissa panik melihat Jarvis mengemasi barangnya dengan kasar. Cowok itu mengatakan ingin bertemu dengan panitia lain yang membiarkan Risaa bekerja sendirian. Entah apa yang akan dikatakan cowok itu. Namun Rissa menebak ini bukanlah hal yang baik.
Jarvis melipat kedua tangannya di dada. “Lo sadar nggak sih? Lo lagi dimanfaatin sama mereka.”
Dahi cewek itu mengerut. “Dimanfaatin?”
“Dari awal lo disuruh nempel poster hasil seleksi aja udah keliatan, Ris. Apalagi habis itu lo disuruh mereka buat yakinin gue kan? Terus sekarang masalah kaya gini lagi-lagi cuman lo yang handle. Dan lo masih nggak ngerasa dimanfaatin?”
“Tapi ini emang tugas gue kan, Kak?”
“Tugas apa? Tugas jinakin Jarvis gitu?”
Tawa Risaa hampir menyembur kalau aja nggak ditahan. Ternyata cowok ini sadar kalau dirinya perlu dijinakkin.
“Mampir rumah gue dulu ya. Gue mau ambil hape,” ujar Jarvis sembari menggendong tasnya.
“Hah?! Rumah lo?!” pekik Rissa membuat Jarvis berjengit.
“Gue cuman mau ambil hp, bukan ngenalin lo ke orang tua. Ngapain kaget banget dah,” ujar Jarvis sambil berlalu meninggalkan Rissa. Cewek itu berusaha mati-matian menahan belah pipinya yang merebus malu.
Rissa lantas menyusul Jarvis yang sudah menaiki motor NMAX hitam miliknya. Cowok itu tampak gagah menaiki motor dengan body besar dan lebar, sesuai dengan postur tubuh Jarvis. Sepasang kaki Rissa berusaha maksimal menopang tubuhnya yang lemas lunglai melihat pemandangan menyegarkan itu.
“Lo ke sini naik apaan?” tanya Jarvis menyadari tak ada kendaraan lain di sana selain motornya.
“Jalan, Kak.”
“Jalan?! Lo dari sekolah ke sini jalan?”
“Habisnya gue panik jadi nggak sempet minta dianter.” Rissa mengerucutkan bibirnya gemas.
Terdengar helaan napas kasar dari Jarvis. “Ya udah naik.”
INI SERIUS GUE BONCENG KAK JARVIS?
Cowok itu memutar arah motornya terlebih dahulu. Risaa menanti saat yang tepat untuk naik. Jarvis sedikit menoleh memastikan Rissa sudah naik. Yang dilirik bergegas naik sebelum Jarvi mengomel.
“Gue cuman bawa helm satu. Nanti lo sembunyi aja di punggung gue.”
Tenggorokan Rissa mendadak kering. Wangi tubuh Jarvis menyeruak bercampur dengan keringat yang sama wanginya. Rambut bagian belakang Jarvis tampak basah. Bahu dan punggungnya membentang seluas samudra. Ada cetakan kaos yang dijadikan dalaman. Rissa menahan napas, takut menghirup aroma tubuh Jarvis yang memabukkan.
Motor melaju. Rissa hampir terjungkal karena kaget. Tangannya meraba-raba ke bagian belakang, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Nihil, Rissa hanya mengandalkan pahanya untuk berpegangan.
Semoga rumah kak Jarvis jauh. Gue nggak mau cepet-cepet turun dari motornya.
“Udah dichat?” tanya Jarvis pada Rissa yang lagi mondar-mandir gelisah sambil menatap ponselnya.
“Udah, Kak. Kayaknya lagi otw ke sini.”
Jarvis mengangguk. “Ya udah duduk sini. Tenang aja, gue nggak macem-macem sama mereka,” ujar Jarvis sambil menepuk bangku sebelahnya. Rissa menurut dan duduk di sana.
Derap langkah terdengar mendekat. Keduanya menoleh ke pintu dan menemukan Tama dan Arjuna. Mereka tampak habis berlari. Terlihat dari napasnya yang terengah.
“Jar?! Ngapain masih di sini? Buruan ke lapangan!” pinta Arjuna.
“Gampang. Lo berdua duduk di situ dulu,” jawab Jarvis seraya menunjuk deretan bangku yang tersusun di hadapannya. Mau tidak mau, dua cowok itu menurut. Jarvis tidak suka dan tidak akan bisa dibantah.
Tak lama kemudian, Prayoga yang menjabat sebagai ketua panitia menyusul bersama Nana. Melihat dua temannya sudah datang, Yoga tanpa banyak bicara langsung bergabung dengan mereka.
“Gimana, Jar?” tanya Yoga tenang.
“Di antara banyaknya anak acara dan panitia lain, yang kerja cuman Rissa doang apa?” ucap Jarvis langsung menembak ke poin pembicaraan.
Arjuna hendak menanggapi tapi langsung ditahan oleh Yoga. “Atas dasar apa lo bilang kaya gitu?”
“Lo pada numbalin Rissa buat handle gue kan?”
“Bukan numbalin, tapi emang itu tugas dia.”
Rissa meremas ujung kausnya. Tatapan mereka sangat tajam, menusuk ulu hatinya. Ia ingin Jarvis berhenti. Semua ini tidak perlu dipermasalahkan. Namun Rissa tak punya cukup nyali untuk menghentikan cowok itu.
“Ya masa dari awal Rissa doang yang maju? Lo pada ngapain?”
“Lo pikir kerjaan kita cuman ngurusin lo, Vis?” Arjuna yang sudah tidak tahan ikut nimbrung.
“Ya, nggak usah nyuruh anak baru bisa kan? Dia nggak tau apa-apa tapi udah disuruh ngadepin gue. Lo pada tau gue orangnya gimana. Nggak kasian apa nyerahin semuanya ke dia?”
Suasana menegang. Mulut mereka sama terkunci. Rissa tak berani mengangkat kepalanya.
“Dari awal pas gue nggak mau gabung basket, lo pada nyuruh dia buat bujukin gue. Sampe bilang keberhasilan proker bergantung sama berhasil nggaknya dia bujuk gue. Keliatan sederhana emang, tapi berat beban pikirnya, Bro. Dan lo pada ngelimpahin itu semua ke Rissa yang masih baru di OSIS.”
Jarvis mengubah posisi duduknya. Sedikit melirik Rissa yang tampak tertekan. Sadar akan suasana tidak mengenakkan antara Rissa dan anak-anak acara itu, ia mencoba meluruskan pandangan.
“Ini gue ngomong kaya gini nggak ada suruhan dari Rissa. Murni keinginan gue.”
Rissa sedikit mendongak melirik Jarvis.
“Sekarang pas gue nggak ada kabar, lagi-lagi cuman Rissa yang nyari gue. Lo pada tau? Dia jalan kaki dari sekolah sampe minimarket jalan raya sono. Sendirian. Tega lo pada bayanginnya?”
“Tadi gue emang udah bagi-bagi tugas ke yang lain, Vis. Rissa kebagian nyari lo. Gue kira dia bakal ikut nyari sama anak basket lain. Nggak tau bakal sendirian,” jelas Yoga.
“Ya pokoknya gini lah,” potong Jarvis sambil menumpu kedua sikunya di lutut. Tangannya menunjukkan gestur menjelaskan. “Gue tau Rissa adik kelas kita. Pasti ada sedikit rasa senioritas yang bikin kita seenaknya nyuruh dia. Tapi ya nggak gini lah.”
Rissa tampak mengusap pipinya. Ia tidak bisa menahan air mata yang mendesak keluar.
“Jujur aja, ini kalo gue nggak ketemu Rissa, gue nggak akan balik ke sekolah. Nggak bakal gue ikut pertandingan jadi kapten putra harapan. Gue tadi sengaja kabur, beneran. Tapi karena dia nyari, gue akhirnya balik. Karena apa? Gue ngehargain usaha dia buat bikin acara ini berhasil.”
Jarvis menghempaskan punggungnya ke sandaran. Kembali melirik Rissa yang menatapnya tak percaya. Pandangannya lantas beralih menatap satu persatu panitia di hadapannya yang termenung.
“Gue harap ini bisa jadi bahan evaluasi lo pada. Ya udah lah, sekarang balik aja ke acara. Kalo diterusin makin banyak yang gue omongin.”
Cowok itu beranjak lalu mengambil tas dan menyampirkan jaketnya ke bahu. “Ayo, Ris!” ajaknya menyuruh Rissa ikut keluar bersamanya.
Rissa berdiri dengan ragu-ragu. Ia mengangguk bermaksud berpamitan dengan kakak kelasnya. Lalu ia melangkah cepat menyusul Jarvis.
Semoga saja setelah ini tidak ada resiko yang harus ditanggung Rissa karena membiarkan Jarvis membelanya di hadapan para senior.