Seorang Anak Bernama Justin Mahendra

“Parah sumpah lo, Tin! PARAH!”

“Gue nggak ngerti lo bisa sebego ini, Tin. Anjir!”

“Lo sadar nggak siapa yang baru aja lo tantang? Lo mikir kagak sebelum ngomong!”

Justin memijit pelipisnya mendengar sumpah serapah itu. Kini mereka tengah berada di kedai langganan mereka, kedai uncle Lim, setelah menyelesaikan balapan. Justin baru saja melakukan kesalahan besar dengan menantang seorang ketua geng besar untuk bertanding dengannya. Ia refleks mengatakan itu karena sudah tak sanggup menerima cemoohan dari anak geng lawan yang menganggap remeh gengnya.

“Gue ngelakuin ini juga demi geng kita. Emang lo pada mau ditindas terus?”

“Ya lo liat dulu lah siapa yang mau lo lawan. Noir, Tin! Noir! Dia bisa bikin lo mati anjir!”

Justin sendiri belum pernah bertemu dengan Noir. Ketua geng yang ia dengar mengerikan itu jarang menampakkan diri di Sentul. Ia hanya mendengar rumornya sesekali. Namun Justin tidak pernah tertarik untuk mencari tahu lebih dalam mengenai Noir.

Alasan itu yang membuat Justin tidak ragu untuk menantang Noir. Selain ingin mengangkat derajat gengnya, ia pun penasaran siapa sosok di balik nama Noir itu. Bagaimana kemampuannya memacu kuda besi dan seberapa mengerikan orang itu sampai bisa membuatnya mati.

Menurut informasi Jayden, Noir sudah menerima tantangannya. Sekarang hanya perlu menunggu Noir muncul untuk membayar tantangan Justin.

“Tenang aja lah! Kalo takdirnya gue belom mati, mau gue lawan presiden Korea Utara sekalipun gue nggak bakal mati,” jawab Justin enteng lantas menyesap kopi hitamnya.

“Gue nggak mau ikut campur urusan lo kali ini. Lo yang nantangin Noir jadi harus lo yang lawan dia. Gue nggak bertanggung jawab atas penyesalan lo nanti saat Noir dateng buat ngadepin lo,” peringat Jayden.

“Gue pasti lawan Noir dan gue nggak akan menyesal.”


Justin membawa motornya pulang. Di perjalanan, dia memikirkan ucapan teman-temannya soal Noir. Sebenarnya ia tidak terlalu yakin bisa melawan ketua geng itu. Huh, memang seharusnya ia tidak asal bicara saat emosi tengah menguasai.

Belum sampai ke halaman rumah, Justin mendadak menarik pedal remnya dalam. Ia hampir terjerembab jika saja tidak bisa menjaga keseimbangan. Kedua matanya membulat sempurna. Mobil hitam yang terparkir di halaman jadi alasannya.

Ayahnya di rumah, ini sangat kacau. Kenapa ibunya tidak memberitahu mengenai kepulangan sang kepala keluarga itu? Ini sudah larut malam. Tak ada alasan yang bisa membebaskan Justin dari kemarahan sang ayah.

Baru-baru ini, Justin mengetahui jika ayahnya sudah tahu kebiasaannya tiap malam. Ia pun sudah berkali-kali diperingatkan untuk tidak kembali ke Sentul jika masih ingin diakui sebagai anak. Namun Justin itu paling tidak suka dikekang. Apalagi balapan sudah menjadi hobinya sejak lama.

Sudah jam berapa ini? Yang jelas Justin sudah melewati batas jam malamnya. Sekarang ia hanya perlu menyiapkan jiwa dan raga untuk menerima berbagai kata kasar dari sang ayah.

Mesin motornya dimatikan. Berharap orang tuanya, terutama sang ayah, sudah terlelap. Namun sepertinya itu mustahil. Sang ayah tidak akan tidur sebelum anak lelaki satu-satunya pulang.

Motornya sudah dimasukkan ke garasi dengan aman. Belum terlihat tanda-tanda keberadaan sang ayah. Justin membasuh wajahnya terlebih dahulu sebelum masuk. Dengan segenap keberanian yang terkumpul, ia masuk ke rumah melalui pintu belakang.

Sayup-sayup suara televisi menyala sudah jadi alarm darurat untuk Justin. Sang ayah masih terjaga. Sudah pasti ia akan kena marah.

Justin melangkah perlahan. Menghampiri sang ayah yang terduduk di sofa sambil menonton televisi. Sebenarnya Justin ingin langsung masuk ke kamar. Namun masalah akan bertambah besar jika ia tidak menyapa sang ayah. Ia bisa dicap sebagai anak yang tidak punya sopan santun.

“Yah?” sapa Justin yang sudah berdiri di samping ayahnya. Ia mengulurkan tangan meminta salam. Sang ayah menyambut uluran tangan Justin tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Justin cukup heran. Biasanya sang ayah akan langsung memarahinya. Namun hingga ia selesai mencium tangan sang ayah dan tangan mereka terlepas, sang ayah masih diam. Apa mungkin ayahnya membiarkan Justin lolos malam ini?

Baru ia hendak melangkah, panggilan sang ayah menginterupsi. “Duduk,” tambah ayahnya menyuruh Justin mengambil tempat di sebelahnya.

“Habis kebut-kebutan di jalan?” tanya ayah Justin dengan tenang namun tetap saja membuat Justin merinding.

“Nggak, Yah.” Tidak ada yang salah dengan jawaban Justin. Nyatanya dia tidak kebut-kebutan di jalan. Dia menyewa arena khusus untuk balapan.

“Jangan bohong.”

“Beneran, Yah.”

“Jam segini baru pulang kamu habis ngapain?”

“Main sama temen.”

“Main motor?”

Justin diam. Sang ayah menoleh mendapati anaknya menunduk lesu.

“Kamu tahu ayah paling tidak suka dengan kebohongan, kan?”

Sang putra masih tidak menjawab. Ayah Justin menghela napas kasar.

“Ayah sudah nggak tahu harus menasehati kamu dengan cara apa lagi. Kamu tetep aja kaya gini. Mau jadi apa kamu, hm? Berandal? Nggak usah jadi anak ayah kalo kamu mau nakal.”

Kalimat itu sudah jadi template setiap ayah memarahi Justin. Entah sudah berapa kali kalimat itu diucapkan. Justin sudah terbiasa. Namun masih cukup menyakitkan juga.

“Nggak ada orang tua yang mau anaknya jadi anak nakal, Tin. Ayah melarang kamu juga demi kehidupan kamu sendiri. Kebut-kebutan yang kamu lakuin setiap malam itu nggak ada untungnya buat masa depan kamu. Ayah jarang di rumah. Kamu nggak kasian sama ibu kalo tiap hari nggak bisa tidur cuman buat nunggu kamu pulang?”

Justin tahu jelas kalau ibunya selalu membukakan pintu setiap ia pulang dari Sentul. Ia pun tidak tega. Namun bagaimana lagi, hanya Sentul yang bisa membuatnya bahagia.

“Ayah nggak akan marahin kamu kali ini. Ayah udah cape. Kamu nggak pernah dengerin kata orang tua. Terserah kamu mau buat ulah apapun. Coba kamu pikir sendiri apa yang kamu dapatkan dari hasil membantah perintah orang tua.”

Sang ayah beranjak meninggalkan Justin. Demi Tuhan, Justin lebih memilih ayah memarahinya habis-habisan daripada seperti ini. Ayahnya seakan sudah tidak peduli dengannya. Dia seakan sudah lepas tangan dengan apapun yang akan diperbuat Justin. Rasanya sakit. Justin tidak punya siapapun yang pedulinya lebih atau bahkan sekadar sama dengan orang tuanya.

“Yah!” panggil Justin membuat ayahnya yang sedang mengambil air minum menengok. “Aku minta maaf,” tambah Justin.

Ayahnya terlihat menenggak minumannya. Dengan gelas yang masih dalam genggaman, telunjuk sang ayah mengarah ke Justin.

“Kalau kamu masih terus pulang larut malam dan main motor kaya gini, ayah nggak segan kirim kamu ke Jepang buat tinggal sama om kamu di sana.”


Esok harinya, Justin masih memikirkan ucapan sang ayah. Meskipun ia tidak tahu ayahnya benar-benar serius akan mengirimnya ke Jepang atau tidak, Justin harus tetap waspada. Dia tidak mau pergi dari sini, meninggalkan teman-temannya, meninggalkan orang tuanya, dan … meninggalkan Vanessa.

“Masih pagi udah ngelamun aja lo!” tegur Kevin, teman sebangku Justin, yang baru saja datang. “Udah mulai nyesel nantangin Noir?” ujar Kevin lagi saat sudah duduk di sebelah Justin.

“Kagak lah!” timpal Justin tegas.

“Trus ada masalah apa?”

“Bukan urusan lo.”

Mereka serentak memperbaiki posisi duduk saat guru memasuki kelas. Namun kali ini ada yang lain. Guru itu tidak sendirian. Ada seorang gadis berseragam mirip dengan mereka mengekor. Justin yang duduk di bangku paling belakang menyipit untuk memindai wajah gadis itu.

“Hari ini kita kedatangan siswa baru. Dia ini pindahan dari SMA Permata. Mulai hari ini, dia akan bergabung di kelas ini untuk belajar bersama kita. Silakan, Nak, perkenalkan diri kamu terlebih dahulu,” ujar sang guru mengawali perkenalan.

Gadis itu terdengar berdeham sebelum berbicara. “Halo, selamat pagi, teman-teman! Perkenalkan nama saya Freya Grizelle. Biasa dipanggil Freya. Senang bertemu dengan kalian!” sapa gadis yang diketahui bernama Freya itu diserati senyuman manis yang berhasil membuat seorang lelaki yang duduk di bangku paling pojok mematung.

Seluruh isi kelas riuh menyambut Freya dengan ramah. Freya lalu dipersilakan duduk di bangku tengah, berseberangan dengan Justin dengan jarak dua meja. Ia melangkah sambil sesekali menyapa siswa yang menegurnya. Baru saja Freya akan duduk, sudut matanya tak sengaja menangkap seorang lelaki yang sedari tadi tak berhenti menatapnya.

Freya balik menatap. Niat hati mau menyapa. Namun melihat siapa sosok lelaki itu membuat jantungnya seakan jatuh ke lantai. “Justin?!” batin Freya.

Yang menatap pun tak kalah terkejut. Sedari awal gadis itu masuk, Justin merasa tidak asing. Sepasang mata sipit itu sangat familier. “Kok mirip Vanessa, ya?”