Sisi Baik Travis
Segala urusan di kantor polisi akhirnya selesai.
Motor Justin kembali.
Bocah lelaki itu bahkan tak kuasa menahan air mata melihat motor kesayangannya kembali ke pelukan. Tak henti-hentinya ia meneliti setiap inchi dari motor kekar di hadapannya itu, memastikan jika motor itu benar-benar miliknya. Senyum penuh rasa lega terukir di bibir ketiga teman yang turut senang melihat Justin kembali bertemu dengan motornya.
Travis menatap dari kejauhan dengan kedua tangan terlipat di dada. Tertawa remeh melihat Justin yang menangis tersedu-sedu di samping motornya. Diam-diam, dia mengambil foto sebagai bukti untuk Freya agar gadis itu tak memikirkan Justin lagi.
Justin yang menangkap keberadaan Travis lantas mendekat. Bola matanya kembali memanas. Travis yang menangkap gelagat aneh dari Justin sontak beranjak mundur. Dan benar saja, sedetik kemudian tubuhnya didekap erat oleh lelaki itu.
“Makasih, Bro. Makasih banget udah bantuin gue. Sumpah, gue utang budi banget sama lo. Makasih banget,” ujar Justin berkali-kali membuat Travis merinding. Ia sontak menarik tubuhnya dan mendorong Justin hingga pelukan mereka terlepas.
“LO UDAH GAK PUNYA AKAL YA? NGAPAIN PELUK GUE ANJING?!” teriak Travis tampak sangat syok.
Justin mengelus tengkuknya sembari terkekeh canggung. “Sorry sorry, gue kepalang seneng. Tapi serius, gue bener-bener makasih sama lo!”
“Iya, iya! Dah, gak usah makasih mulu! Gue balik dah!”
“Bentar, Vis!”
Travis langsung menatap Justin nyalang.
“Maksud gue, Noir,” koreksi Justin. “lo ada waktu, gak? Rencananya gue mau ajak makan lo sama temen-temen gue di rumah. Itung-itung syukuran motor gue balik.”
“Nggak salah lo ngajak gue???”
“Gue cuman pengen bales kebaikan lo. Kalo nggak ada lo, mungkin motor gue belum balik sampe sekarang. Gue nggak ada maksud lain. Cuman sebagai ucapan makasih aja. Bisa, ya?”
Travis mengela napas kasar. Namun entah mengapa, langkah kakinya berbalik mengikuti Justin dan teman-temannya pulang.
“Tambah lagi nasinya, Mas. Kok makannya sedikit banget?”
Travis sedikit tersindir dengan ucapan ibu Justin. Namun ia tidak yakin kalau dia yang sedang diajak berbicara. Ia tidak mengangkat kepalanya sedikitpun. Tidak tahu ke mana arah ibu Justin berbicara.
Dia tidak habis pikir. Bagaimana bisa sekarang ia sedang makan bersama Justin dan teman satu gengnya? Dia? Justin? Makan? di satu meja yang sama? di rumah Justin??? Benar-benar hari yang konyol.
Lengannya disikut. Pelakunya adalah Justin yang duduk di sebelahnya.
“Ditanya nyokap gue tuh! Tambah nasinya!” ujar Justin.
Travis tampak gelagapan. Ia langsung melempar pandang pada wanita paruh baya yang berdiri di seberangnya. Dan benar, wanita itu sedang menatapnya. Sesuatu lantas berdesit di palung jiwa Travis.
“Kenapa makannya sedikit banget? Karena sudah makan atau nggak suka sama lauknya, Mas? atau ada alergi?” tanya ibu Justin.
“Ooh, enggak ... Tan. Saya memang makannya segini,” jawab Travis gugup.
“Panggil Ibu saja,” timpal ibu Justin dengan senyum lembut. “Ya sudah, kalau kurang langsung ambil saja, ya! Jangan malu-malu. Ini pokoknya makanan yang ada di meja harus dihabiskan, oke?”
“SIAP, BU!” Kevin tiba-tiba menyerobot dengan semangat.
Ibu Justin refleks mengusap kepala Kevin. Setelahnya, ia beranjak pergi dari sana. Travis bahkan tak sadar kalau bola matanya terus bergulir mengikuti wanita itu sampai hilang di balik dinding pemisah ruang makan dan ruang lainnya.
Justin lagi-lagi menyikut lengannya. “Malah bengong, makan ayo. Nasi lo secimit amat kaya porsi anak perawan.”
“Bacot,” umpat Travis lirih, hampir tidak bersuara.
Ponsel Travis yang diletakkan di antara ia dan Justin menyala. Terpampang nama Freya menelpon. Ia spontan melirik Justin yang sedang menatap ponselnya. Mereka bertatapan sejenak sebelum akhirnya Travis membawa ponselnya menjauh dari sana.
“Mau ke mana dia, Tin?” tanya Kevin.
“Angkat telpon,” jeda Justin. “Dari Freya.”