Sosok Kapten yang Sempurna

Sesampainya di rumah, sang ayah yang duduk di ruang tamu dengan kaki menyilang seketika melempar pandang ke daun pintu. Raja tampak meneguk ludahnya lantas mendekat tanpa disuruh. Sang ayah menatapnya tajam. Jantung Raja berdegup tak karuan.

“Gimana Yudha?” tanya ayahnya dingin. Raja tahu ini hanya basa-basi sebelum sesi ceramah panjang dimulai.

“Nggak boleh ikut popda, Yah,” jawan Raja dengan kedua tangan yang sudah tertaut erat.

“Apa alasan dia gabung ke Galasena?”

“Karena uang.”

“Uang?” ulang sang ayah terdengar tak percaya dengan ucapan Raja.

“Yudha butuh uang. Haidar nawarin bantuan ke dia dengan syarat dia harus gabung ke Galasena.”

“Kenapa bukan kamu yang nawarin bantuan ke Yudha?”

“Aku nggak tau kalo Yudha butuh bantuan.”

“Kok bisa nggak tau? Kamu itu kaptennya bukan?”

Raja menghela napas ringan. “Kapten nggak harus tahu semua hal tentang anggotanya kan, Yah? Apalagi ini masalah pribadi. Aku nggak mungkin ikut campur.”

“Masalah pribadi Yudha bikin tim kamu kacau. Artinya itu masih jadi tanggung jawab kamu.”

Raja hanya bisa diam. Dia sudah terlalu lelah untuk melawan. Apapun jawabannya, sang ayah punya seribu alasan agar perlawanan tadi berbalik menyerangnya. Sekarang yang perlu ia lakukan hanya diam mendengarkan ceramah sang ayah dan berharap akan segera berakhir karena ia sudah sangat lelah.

“Sebenarnya kamu sudah sadar atau belum kamu ini kapten? Sudah paham atau belum apa yang perlu kamu lakukan sebagai seorang kapten?”

Pertanyaan beruntun itu tak mampu dijawab. Raja hanya menunduk. Meredam semua emosi dan letih yang menyergap tubuhnya. Semakin hari Raja semakin yakin seharusnya ia tidak pernah menerima takdir untuk menjadi kapten Dewandaru.

“Ayah tadi sudah mengobrol dengan pelatihmu. Akhir-akhir ini Dewandaru banyak masalah. Semangat pemain juga menurun. Tau kamu apa yang ayah rasakan setelah dengar itu? Malu, Raja. Ayah malu.”

Raja mendongak cepat. Dua pasang mata ayah dan anak itu beradu. Dapat Raja lihat raut ketegangan di wajah sang ayah.

“Kenapa malu? Selain pelatih, orang yang akan dapat banyak kritikan itu kamu. Anak ayah, kaptennya. Apa kamu tidak malu dianggap kapten yan gagal?”

Sesak, Raja sudah sangat sesak dengan segala kesempurnaan yang harus dimiliki seorang kapten.

“Yah, nggak ada manusia yang sempurna. Kapten nggak harus selalu sempurna, Yah. Aku ataupun kapten-kapten di luar sana cuman manusia yang pastinya pernah melakukan kesalahan. Kenapa aku harus selalu sempurna, Yah?”

“Karna kamu anak ayah,” jeda sang ayah sejenak. “Karena kamu anak ayah maka kamu harus sempurna. Ayah melakukan ini untuk masa depan kamu, Ja. Kalau kamu sukses, bukan ayah yang menikmati tapi kamu sendiri yang menikmati. Seharusnya kamu bersyukur masih bisa diperhatikan ayah sendiri.”

Kalau saja Raja tidak ahli menahan air matanya, pasti sekarang wajahnya sudah sangat basah.

“Tapi aku capek, Yah,” balas Raja dengan suara bergetar.

“Capek apa? Kamu hanya perlu mengikuti perintah ayah. Itu aja.”

“Ada sesuatu yang lama pengin aku bicarain sama ayah,” ujar Raja yang mendadak menyela ayahnya.

“Jujur, aku malu setiap ayah dateng pas aku latihan. Aku bukan anak kecil, Yah. Nggak perlu diikutin ke mana-mana terus. Aku nggak suka saat ayah ikut ngatur sana-sini padahal ayah bukan siapa-siapa di Dewandaru. Aku malu sama temen-temen, Yah. Mereka ngomongin aku di belakang. Dibilang anak ayah, caper, licik, semuanya bikin aku capek, Yah.”

Sang ayah menurunkan satu kakinya bersiap untuk berdiri. Raut wajahya tampak sangat syok. Perkataan Raja begitu menyayat hatinya.

“Ayah itu bukan siapa-siapa di Dewandaru. Jadi jangan sok ikut campur, Yah. Ayah juga nggak perlu ikut ngatur aku karena ayah nggak tau apa-apa soal Voli. Biarin aku tumbuh sendiri, Yah. Aku capek harus menuhin ekspetasi ayah terus.”

PLAAKKK!!!

Mendaratlah sebuah tamparan keras di pipi Raja. Terasa anyir di lidah. Sudut bibirnya ternyata robek. Raja melotot tak percaya. Sakit, jiwa dan raganya benar-benar sakit.

“Kamu pikir kamu siapa bisa ngomong seperti itu di depan ayah? Jangan sok pinter! Kamu itu nggak ada apa-apanya buat ayah. Jangan berlagak bisa menjamin masa depanmu sendiri kalau makan masih numpang di rumah ayah!”

Satu persatu air mata mulai menderas di pipi Raja. Rasa sakit di pipi tak ada apa-apanya dibanding luka batin yang ia rasakan selama ini. Raja hanya ingin bebas. Raja hanya ingin melakukan semuanya sesuai dengan apa yang dia inginkan. Apakah itu salah?

“Kalau tidak bisa jadi anak yang berguna jangan sok menyalahkan ayah! Coba introspeksi sama diri kamu sendiri. Sudah sempurna atau belum sampai berani mengkritik ayah sendiri.”

Tidak bisa jadi anak yang berguna.

Kalimat itu terus berdengung di telinga Raja. Cukup, Raja sudah tidak kuat lagi. Dia memang tidak ditakdirkan berjalan di jalan yang ia ciptakan sendiri.

Mata yang sudah sangat sembab itu menatap sang ayah yang menatap nyalang. Raja berbalik dengan masih memegangi pipi hasil tamparan sang ayah. Ia melenggang keluar rumah, berpapasan dengan sang kakak yang tampak kaget melihatnya menangis.

“Yah, ada apa?!”

Itu adalah kalimat terakhir yang didengar Raja sebelum melesat begitu cepat pergi dari rumah. Dia sudah tak bisa memikirkan apapun. Raja hanya ingin terbebas dari penjara yang membelenggu dirinya.