Suatu Malam di Sentul

Mati rasa. Freya sudah mati rasa. Bahkan ketika pipinya ditampar begitu keras, ia tak bergeming. Luka goresan di pipi karya sang ibu pun tak terasa sakit. Bisa karena terbiasa. Freya bisa menahan sakit karena memang sudah jadi kebiasaannya.

Kali ini, sang ibu kesal karena Freya menolak pindah sekolah, tepatnya ke sekolah mendiang kakaknya. Sulit untuk gadis itu beradaptasi dengan lingkungan baru. Apalagi ia tahu seberapa besar tekanan yang akan ia terima di sana. Membayangkannya saja hampir membuat kepala Freya meledak.

Freya dituntut bisa menggantikan kakaknya sebagai siswa dengan julukan si nomer satu. Tentunya akan sangat berat untuk dirinya yang memang tak terlalu menonjol soal akademik. Namun sang ibu mana peduli. Yang ada di pikirannya hanya soal harga diri dan prestasi.

Sebenarnya Freya tahu penolakan ini akan sia-sia. Dia sudah berjanji untuk menuruti semua kemauan sang ibu. Dia sudah menyanggupi segala beban menjadi seorang anak tunggal. Semuanya untuk membayar kesalahannya di masa lalu yang membuat sang kakak pulang ke pangkuan Tuhan.

Kejadian traumatis itu membuatnya sakit jiwa. Puluhan butir obat telah menyatu dalam darah. Tak terhitung berapa garis yang ia gores di lengan. Bukan hanya Della, sang kakak, yang telah tiada, Freya pun begitu. Raganya masih di sini, namun jiwanya telah ikut terbang bersama sang kakak.

Setelah memarahinya habis-habisan, sang ibu pergi bersama kesibukannya. Malam sudah hampir larut. Namun keluarganya dari dulu tidak pernah mengenal kata pagi, apalagi malam. Ayahnya saja sudah hampir sebulan tidak pulang ke rumah.

“Non, ya Tuhan! Non Freya nggak apa-apa, kan?”

Itu Bi Yanti, perempuan paruh baya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Freya. Ia yang menjadi saksi bagaimana semesta menempa Freya begitu keras. Namun Bi Yanti pun tidak dapat berbuat banyak. Nadi kehidupannya akan diputus jika ia berani ikut campur.

Freya tersenyum tipis. Bi Yanti membawanya dalam pelukan. Beban di pundak Freya sedikit runtuh bersamaan dengan air matanya yang meluruh.

“Maaf, bibi nggak bisa jagain non Freya. Bibi sakit sekali melihat non Freya diperlakukan seperti tadi. Tapi bibi nggak bisa apa-apa. Bibi minta maaf,” ujar Bi Yanti dengan isakan yang menyesakkan. Freya mengurai pelukan.

“Nggak apa-apa, Bi. Makasih ya udah baik sama Freya.”

Bi Yanti membenahi rambut Freya yang berantakan sembari mengusap eluhnya. “Lukanya diobatin dulu, ya, Non!” ajak Bi Yanti yang disetujui Freya.

“Bi, nanti Freya mau keluar sebentar, ya. Bibi langsung tidur, nggak usah nungguin Freya pulang. Pintunya dikunci aja. Freya punya kunci cadangan kok,” ujar Freya sembari melangkah dituntun Bi Yanti.

Bi Yanti yang memang tahu Freya sering keluar malam setiap ada masalah tak dapat mencegah. Ke mana gadis itu pergi, ia tidak tahu. Yang terpenting, Freya selalu kembali selamat dengan satu guratan senyum di bibirnya.


“Cewek ngapain jam segini ke Sentul?”

“Nggak ngaca bro? Lo juga ngapain di sini lesehan kaya gelandangan?”

Lelaki yang menegur Freya tertawa sumbang. Ia menyapukan tangan ke aspal sampingnya mempersilakan Freya untuk duduk di sana. Gadis itu tak menolak.

“Udah pada balik, ya?” tanya Freya lagi.

“Iya. Lo tumben telat dateng,” jawab lelaki itu.

“Ada gangguan sedikit di rumah. Kenapa lo masih di sini?”

“Nungguin lo.”

Di balik maskernya, Freya tersenyum. Sudah beberapa kali ia bertemu dengan lelaki ini. Awalnya hanya rival balap. Namun lama kelamaan mereka jadi akrab karena sering tak sengaja bertemu seusai balapan, seperti malam ini. Keduanya jadi yang paling lama menghabiskan malam di arena.

“Tadi siapa yang menang?” tanya Freya setelah beberapa menit tidak ada obrolan.

“Geng lo. Lawannya cetek, baru gabung ke Sentul minggu lalu.”

“Lo nggak turun?”

“Danny yang turun.” Freya mengangguk paham.

Lelaki itu menyodorkan sepuntung rokok pada Freya. Namun sebelum Freya meraih, puntung rokok itu ditarik kembali. “Cewek kok ngerokok,” gumam lelaki itu sambil memantik rokoknya.

Freya menatap lelaki di sampingnya. Korek elektrik itu menyala. Menyinari wajah keduanya di tengah gelapnya malam. Mata tajam lelaki itu mengilat. Menyadari sesuatu yang asing di pelipis Freya.

Setelah mengembus asap ke arah lain, tangannya terulur menepikan rambut Freya yang menutupi pelipis. Namun segera ditangkis oleh Freya.

“Pelipis lo kenapa?”

Freya yang baru ingat luka di pelipisnya bergegas merapikan rambut agar lukanya kembali tertutup. “Nggak apa-apa,” jawabnya.

“Nggak apa-apa gimana? Itu berdarah.”

“Cuman kegores aja tadi.”

“Vanessa.”

Gadis itu mematung. Sebanyak apapun nama itu masuk ke telinganya, Freya masih saja belum terbiasa. Dia selalu saja terkejut, berjengit, atau kadang pikirannya langsung blank. Itu bukan namanya, tapi itulah panggilannya.

Sebagai gadis nomer satu di sekolah, tentunya ia tidak boleh mengotori tracking kehidupannya. Apa jadinya jika anak seorang pengusaha dan model terkenal ditemukan sebagai salah satu pembalap liar di Sentul? Mungkin sang ibu akan membunuhnya jika tahu.

Maka dari itu, Freya tidak pernah melepas maskernya. Freya selalu menghindari percakapan yang mengarah ke kehidupan pribadi. Tak ada yang tahu siapa namanya selain Vanessa. Tidak ada yang tahu di mana rumahnya. Tidak ada yang tahu dari mana ia berasal selain dari geng Black Rose. Semuanya ditutup dengan sangat rapat.

Kini Freya terang-terangan menyelipkan rambutnya hingga luka itu terlihat jelas. “Lo mungkin udah tahu dari mana gue dapet luka ini.”

“Nyokap?”

Freya tersenyum miris. Sebagai dua orang yang sering duduk bersama, kadang Freya kelepasan menceritakan masalahnya pada lelaki di sampingnya. Untung saja lelaki itu bisa dipercaya, semoga. Terbukti sampai sekarang ia tidak pernah membahas keluarga Freya jika bukan Freya sendiri yang memulainya.

Freya tersentak saat dagunya ditarik lelaki itu. Mereka saling menatap.

“Kok bisa kaya gini? Dia mukul lo pake apa?”

Freya tak memberikan tanggapan. Ia terbius oleh tatapan penuh kekhawatiran lelaki yang baru ia sadari cukup tampan. Namun bukan ketampanan yang membuat Freya mematung. Kepedulian lelaki yang bahkan baru ia kenal beberapa minggu ini membuat hatinya berdesir.

Menyadari tak ada jawaban dari Freya membuat tatapan sang lelaki yang awalnya ke pelipis jadi berpindah ke iris Freya. Pandangannya turun, menyelusuri pangkal hidung Freya yang tak tertutup masker. Ia penasaran dengan apa yang ada di balik masker itu.

Freya dengan degup jantung yang berisik menyadari tangan lelaki itu beranjak ke maskernya. Ia tak memberikan perlawanan. Namun ketika maskernya perlahan ditarik ke bawah, ia langsung menghindar.

Lelaki itu mengerjap beberapa kali. Freya menggeser tubuhnya sedikit menjauh.

“Nes,” panggil lelaki itu. “Gue pengen liat wajah lo.”

Bola mata Freya membulat. Ia menelan saliva sebelum menjawab. “Lo tau gue nggak bisa ngelakuin itu.”

“Kenapa? Nggak ada orang di sini selain gue,” jawabnya terdengar memaksa.

“Justin.”

Lelaki bernama Justin itu terdiam. Ia hampir melewati garis pembatas antara dirinya dengan gadis yang ia kenal bernama Vanessa. Seharusnya ia tidak melangkah sejauh ini. Dia dan Vanessa hanya sepasang asing yang tak mempunyai hak untuk mengetahui kehidupan pribadi masing-masing. Namun entahlah, malam ini Justin ingin mengenal Vanessa lebih dalam.

“Sorry.”

Freya melihat raut penyesalan di wajah Justin. Ia jadi merasa bersalah. “Suatu saat gue bakal nunjukin wajah gue di depan lo. Gue janji.”

Wajah Justin tampak bersinar. “Gue akan tunggu saat itu.”