Tembok Besar yang Runtuh

Travis terbangun dari tidurnya. Yang pertama lihat adalah langit-langit putih bersih dengan pencahayaan minim. Ia memijit pelipisnya saat rasa nyeri tiba-tiba mendera kepalanya. Apa yang terjadi semalam sampai ia bisa berakhir di sini? Travis berusaha mengingat.

Tubuhnya terasa berat untuk bangun. Travis menoleh menatap pantulan wajahnya di kaca yang ada di lemari sampingnya. Pucat dan berantakan. Ia mencium kaos yang dipakai, bau alkohol. Baik, sekarang dia tahu apa yang ia perbuat semalam.

Pandangannya mengedar. Travis baru sadar ini bukan kamarnya. Lalu di mana ia berada sekarang?

Pintu kamar berwarna putih itu terbuka. Travis tersentak saat seorang wanita seumuran ibunya masuk dengan menenteng sebuah nampan. “Eh, sudah bangun, Mas? Gimana? Masih pusing ndak?” ujar wanita itu sambil meletakkan nampan di nakas terdekatnya.

Travis terlihat kebingungan. Ia berusaha mengingat siapa wanita di hadapannya ini. Apa mungkin kerabatnya? Namun sepertinya Travis tidak pernah bertemu dengan wanita ini.

“Semalam Justin yang bawa kamu ke sini. Katanya kamu pingsan di jalan. Jadi dia bawa kamu pulang,” jelas wanita tersebut membuat Travis terbelalak.

“Justin?” balasnya tak percaya.

“Iya, ibu ini ibunya Justin. Kamu sekarang lagi di rumah Justin.”

Ucapan wanita yang baru mengakui dirinya sebagai ibu Justin itu membuat rahang Travis terjatuh. Mana mungkin dia bisa berakhir di rumah Justin? Mustahil.

“Udah bangun orangnya, Bu?”

Terdengar suara seorang lelaki dari balik punggung ibu Justin. Travis tentu mengenal suara itu. Dan tebakannya benar saat pemilik suara itu melongok ke dalam kamar. Travis makin terbelalak. Sedangkan Justin memutar bola matanya malas.

“Sudah. Kamu suruh teman kamu makan dulu trus minum obat ya. Ibu mau ke pasar dulu,” pamit ibu Justin beranjak keluar setelah mengusap rambut Travis yang berantakan. Perlakuan tersebut tak ayal membuat Travis refleks menyentuh jejak usapan sang ibu.

“Heh!” panggil Justin merusak lamunan Travis. “Makan! Masih punya tangan buat makan kan lo? Kuat bangun nggak? Makannya di luar jangan di kamar gue,” ujar Justin ketus lalu melenggang pergi.

Travis melongo tak percaya. “Gue tidur di kamarnya Justin?!”


”Sahi? Kok lo bisa di sini?” ujar Travis terkejut melihat Asahi tengah duduk di meja makan bersama Justin dan Kevin. Kedua tangannya menggenggam nampan berisi makan dan minum yang dibawa ibu Justin tadi.

”Iya bos, gue semalem nginep juga di sini. Nungguin lo,” jawab Asahi sambil menyuap makanannya.

Entah sudah berapa kali Travis terkejut pagi ini. Melihat anak buahnya makan bersama musuhnya? Gila, ini benar-benar gila.

“Ngomong apaan sih, Tin?” tanya Kevin yang duduk di samping Justin.

“Au dah,” balas Justin tak acuh. “Heh, duduk! Mau makan sambil berdiri lo?” ujar Justin seraya menunjuk kursi di sebelah Asahi dengan sendoknya.

Travis menghela napas kasar. Sialan sekali lelaki itu. Kalau saja ini bukan rumahnya, pasti dia sudah habis olehnya. Ia lalu melangkah ke kursi di sebelah Asahi dan duduk di sana.

Mereka berempat makan bersama. Asahi tampak akrab dengan Justin dan Kevin walaupun harus menggunakan google translate untuk berkomunikasi. Sedangkan Travis hanya menyimak mereka dengan tatapan sinis. Padahal ia hanya kesal karena tidak diajak bicara.

“Sudah baikan, Mas?” sapa ibu Justin ketika melewati meja makan. Pertanyaan itu ditujukan pada Travis yang baru saja menyelesaikan makannya.

Travis agak tergagap. “S-sudah, Bu,” jawabnya terlihat gelagapan.

“Namanya siapa sih ya, mas Tin? Kok ibu lupa,” tanya sang ibu pada anak lelakinya.

“No…”

“Travis, Bu,” sela Travis cepat sebelum Justin menyebutkan nama samarannya. Justin langsung memandangkan sinis.

“Ooh, mas Travis, ta. Ya, sudah, nanti kalau kalian sudah selesai makan, bantu ibu di kebun ya?”

Sekarang Travis bukan lagi terkejut, tapi tersedak.


“Anjing! Ini apaan kenyel-kenyel!” pekik Travis heboh lantas berlari menghindar setelah ia menggali tanah untuk mengambil ubi yang tertanam.

“Apa sih berisik banget!” balas Justin tak kalah keras. Ia sudah muak. Mungkin ini sudah lima kalinya Travis berteriak. Padahal mereka baru sepuluh menit turun ke kebun.

“Itu apaan kok kenyel banget?!” sahut Travis sambil menunjuk sesuatu di tanah dengan skop di tangannya.

“Cacing goblok!” jawab Justin penuh emosi.

“Ehh, ehh, nggak boleh ngomong saru!” peringat ibu Justin dari kejauhan. (kotor/kasar)

“Travis, Bu!”

“Apaan kok gue?!”

“Udah, udah! Daripada lo berdua gelut mending bantu Asahi noh! Kasian dia bawa karung yang lebih gede dari badannya,” timpal Kevin membuat Justin dan Travis menoleh ke Asahi bersamaan. Terlihat lelaki kecil itu yang tampak kesusahan mengangkat sebuah karung berisi rerumputan yang baru dicabut. Mereka memekik bersamaan saat Asahi terjungkal sebab beban karung itu.


“Ambil.” Travis mendongak dengan mata menyipit terkena silau matahari. Sebuah botol teh dingin terulur di wajahnya. Ia menyambar botol itu kasar menyadari orang yang menawarkan minuman adalah Justin.

Lelaki yang baru saja memberinya minum itu duduk di sebelahnya. Tak ayal hal itu membuat Travis melirik heran. Namun ia tidak protes atau mengusir Justin.

“Orang nggak bisa mabok sok sokan minum alkohol,” ujar Justin menyindir.

“Terserah gue lah!” jawab Travis ketus.

“Mabok lo nyusahin gue!”

“Gue nggak permah minta lo bantu gue! Salah siapa bawa gue ke sini?”

Justin hanya mencibir ucapan Travis.

“Ya, makasih udah bantuin gue. Sorry kalo nyusahin lo!” ujar Travis lagi. Justin hanya mendecih.

Keduanya sama-sama terdiam. Botol minuman mereka hampir habis. Keringat yang bercucuran di kening pun sudah mulai mengering. Mereka sama-sama menatap langit biru cerah tanpa awan. Tenggelam dalam pikiran masing-masing walaupun sebenarnya ingin saling berbicara.

“Soal Jayden, sebenernya gue bohong,” ucap Travis tiba-tiba membuat Justin menoleh. “Dia nggak pernah mata-matain lo atau Freya. Gue punya orang sendiri buat ngawasin lo atau Freya. Gue nggak sebodoh itu pake Jayden buat mata-matain gengnya sendiri. Sama aja gue nyari mati.”

“Trus kenapa lo ngomong gitu kemaren?”

“Buat manas-manasin lo biar geng lo bubar.”

Justin memalingkan wajahnya malas. “Emang udah bubar,” ujarnya lalu menenggak minumannya.

“Lo nggak perlu kesel sama Jayden. Dia baik anaknya.”

Justin hanya tersenyum menanggapi. “Lo nggak mau ngikutin Freya lagi? Nyuruh orang buat ngikutin dia?”

Travis terkekeh. “Buat lo aja dah, gue punya sendiri,” jawab Travis seraya tersenyum kecut mengingat Sora yang masih terbaring di rumah sakit.

“Cepet amat lo move on?”

“Mau gue rebut lagi hah?”

“Gue gampar lo.”

Keduanya terkekeh. Suasana kembali menghening.

“Gue denger dari Freya, lo punya trauma.” Justin hanya merespon dengan tawaan singkat. “Heran gue lo bisa hidup sampe sekarang.”

Justin menghela napas. “Keinginan mati sih ada, cuman nggak gue realisasikan aja. Gue kadang mikir, buat apa gue mati karena satu alasan padahal gue punya seribu alasan buat hidup?”

Travis mengernyit. Apa ini? Ia merasa ada gelenyar aneh saat Justin mengatakan kalimat itu. Ah, tidak mungkin! Tidak mungkin Travis kagum dengan Justin.

Travis lantas berdiri. “Gue heran kenapa tanaman di kebun lo dicabut semua. Padahal ada yang belum hasilin apa-apa.”

Justin menunduk. “Gue mau pindah ke luar negeri.”

Lelaki dengan topi hitam melekat di kepalanya menoleh cepat. “Dih? Buat apa?”

Yang diajak berbicara ikut berdiri. “Cari suasana baru,” ujarnya sambil mengedarkan pandangan. “Di sini terlalu banyak kenangan yang nggak enak buat gue. Nama gue udah kotor. Gue cuman pengen menghirup udara bebas kaya dulu, tanpa tekanan, tanpa labelling buruk yang melekat di diri gue.”

“Freya gimana? Dia udah tau?”

Justin menggeleng. “Gue belum ngasih tau apa-apa ke dia. Minggu depan dia udah balik ke Jakarta. Gue bingung gimana ngomongnya ke dia.”

Terdengar decakan keras dari Travis. “Gue udah lepas Freya buat lo malah lo tinggalin.” Travis tampak terlarut dalam pikirannya sejenak seraya memasukan kedua tangannya ke saku celana. “Eh, mau balapan lagi nggak?”

Justin tertawa ejek. “Gue udah nggak pernah nyentuh arena. Lagian gue udah nggak ada motor. Balapan buat apaan dah?”

“Buat Freya.”

“Katanya lo udah nggak ngincer dia lagi?!” sambar Justin cepat.

“Bukan itu anjing! Kalo gue menang, gue bakal ngomong ke Freya kalo lo mau ninggalin dia.”

“Kalo gue menang?”

“Ya, gue nggak ngomong.”

“Males, motor gue udah jadi duit.”

Travis mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya. “Pake mobil.”