Tentang Lingkaran Pertemanan
“Lo sebenernya akhir-akhir ini kenapa jarang dateng ke Sentul? Lo mau ngindar dari Noir?”
“Emang Noir udah dateng ke Sentul?”
“Ya, belum sih. Cuman gue penasaran kenapa lo selalu ada alesan tiap diajakin ke Sentul.”
“Gue lagi bosen aja.”
Sudah beberapa minggu Justin menahan diri untuk datang ke Sentul. Ayahnya masih di rumah. Tentu saja Justin tidak cari mati dengan tetap pergi ke arena. Dia hanya sesekali pergi dan pulang sebelum jam sepuluh malam, batas jam malam yang diberikan ayah. Hanya cukup untuk nongkrong tanpa ikut serta dalam balapan.
Sebenarnya alasan Justin tetap menyempatkan waktu ke Sentul karena ingin bertemu Vanessa. Ia ingin memastikan kalau Freya bukan Vanessa. Namun setiap ia datang ke sana, Vanessa tak pernah terlihat. Wajar, Vanessa biasa datang pukul sebelas atau dua belas malam.
Cewek bernama Freya ini masih sering mengganggu pikirannya. Apalagi popularitas cewek itu yang perlahan melejit. Baru setengah bulan ia bergabung dengan Taruna Bangsa, Freya berhasil lolos untuk mewakili sekolah dalam olimpiade Sains bersama Samuel. Namanya dibicarakan di mana-mana. Namun cewek itu terlihat tak punya teman selain Samuel.
“Guys! Minta perhatiannya sebentar boleh?”
Salah satu teman sekelas Justin mendadak berbicara di depan kelas. Seluruh perhatian langsung tertuju padanya.
“Ada yang mau disampein nih sama ketua kelas kita.”
Si ketua kelas lantas ikut bergabung di sampingnya. “Siang temen-temen! Sebelumnya gue mau ngucapin terima kasih buat kalian yang udah ngasih kepercayaan ke gue jadi ketua kelas. Tapi mohon maaf banget, kayaknya gue nggak bisa lanjut jadi ketua kelas.”
Suasana kelas mendadak riuh. Si ketua kelas berusaha menenangkan.
“Gue nggak maksud lari dari tanggung jawab. Cuman kalian tau sendiri sekarang gue ketua OSIS. Gue takut nggak bisa bagi waktu antara ngurus kelas sama OSIS. Jadi mohon maaf banget, gue bakal mundur jadi ketua kelas.”
Terdengar riuh kekecewaan di kelas tersebut.
“Tapi tenang, gue bakal bertanggung jawab dengan cari penggantinya sekarang juga. Jadi mumpung sekarang jam kosong, pada setuju nggak kalo kita adain pemilihan ketua kelas?”
“Setuju!!!”
“Oke! Buat kandidatnya, silakan yang mau mengajukan diri jadi ketua kelas, maju ke sini. Gue ambil tiga kandidat aja ya!”
Setelah itu, kelas riuh oleh mereka yang saling menunjuk siapa yang akan jadi kandidat ketua kelas. Dua orang telah terpilih. Sisa satu orang lagi yang belum mau mengajukan diri.
“Siapa lagi nih? Masih kurang satu.”
“Freya! Freya!”
Yang dipanggil namanya seketika tersentak kaget.
“Freya kan pinter banget noh! Jadiin ketua kelas aja. Pasti bisa. Ya nggak Fre?”
“Bener tuh! Gue setuju kalo Freya jadi ketua kelas!”
Freya gelagapan. “Eh? Kok gue?”
“Nggak apa-apa, Fre! Maju aja! Lo bisa sumpah!”
Setelah itu seluruh isi kelas serentak menyoraki Freya. Kelas itu mendadak dipenuhi dengan nama Freya.
“Gimana, Fre? Bersedia nggak lo jadi kandidat ketua kelas?” tanya ketua kelas.
Freya berpikir sejenak. Kalau ia menolak, pasti mereka akan kecewa. Namun yang lebih parahnya lagi, Freya takut dianggap sombong. Ia jarang berinteraksi dengan teman sekelas. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan Samuel.
Kalau sampai ia menolak kali ini, bisa-bisa ia makin dianggap anak yang cuman mau bergaul dengan sesama anak berprestasi, seperti apa yang sudah menjadi rumornya selama ini.
“Ya, udah gue bersedia.” Jawaban Freya membuat semua temannya bersorak gembira.
“Sekarang sistem pemilihannya gini, gue udah nulis nama-nama kandidatnya di sini. Nanti kalian maju satu persatu milih siapa pilihan kalian. Caranya kasih garis gini aja,” jelas salah seorang cewek yang memberikan pengumuman tadi sambil mencoret-coret papan tulis.
“Paham kan ya?”
“Paham!”
“Ya udah, yang pertama maju Salsa, trus yang terakhir Justin ya!”
Semua siswa dalam kelas lalu maju satu persatu untuk memberikan pilihan. Skor milik Freya cukup tinggi. Freya jadi curiga kalau teman kelasnya sengaja memilih Freya untuk jadi ketua kelas.
Tiba di orang terakhir, Justin. Skor sementara milik Freya seimbang dengan kandidat kedua, Nathan. Kini keputusan akhir ada di pilihan Justin.
“Gue yakin Justin bakal pilih Nathan. Dia kan nggak suka gue,” batin Freya.
Justin melangkah ke depan. Banyak sekali yang berbisik agar Justin memilih Freya. Cukup lama Justin memandangi papan tulis. Ia lalu melirik Freya sebelum menuliskan pilihannya.
Tak!
Suara spidol yang diletakkan di meja menjadi pertanda Justin telah menentukan pilihan. Rahang bawah Freya terjatuh saking tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
“Ya! Jadi hasil pemilihan ketua kelas siang ini dimenangkan oleh … Freya!”
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Kelas sudah kosong menyisakan Freya yang masih tidak percaya dirinya kini menjabat sebagai ketua kelas. Memang apa istimewanya dia sampai dipilih dengan jabatan itu? Entah mengapa ia jadi kesal, terutama pada Justin yang membuatnya menang.
Gadis itu tersentak mendengar deritan kursi dari belakang. Oh, ternyata dia tidak sendirian. Lelaki yang duduk paling pojok, yang membuatnya kesal, yang membuatnya terpilih jadi ketua kelas masih di sana. Sibuk mengenakan jaket tanpa menatap Freya.
Justin melangkah melewati Freya yang masih duduk di kursinya. “Makasih udah bikin gue kepilih jadi ketua kelas,” ujar Freya tiba-tiba.
Justin sontak menoleh. Dari raut wajahnya, lelaki itu tampak terganggu dengan ucapan Freya. “Gue?”
“Lo pikir siapa lagi yang ada di sini selain lo?”
Justin tersenyum sinis. Ia melangkah mundur. Bersandar di meja samping Freya dengan satu tangan terselip di saku celana.
“Kayaknya lo nggak seneng sama jabatan lo sekarang.”
“Iya lah! Harusnya Nathan yang jadi ketua kelas kalo aja lo nggak pilih gue!”
Justin terkekeh. “Yang milih lo bukan cuman gue. Kenapa jadi gue yang salah?”
“Ya lo yang bikin skor gue lebih unggul dari Nathan!”
Terdengar decakan dari lelaki itu. “Denger, ada 15 orang yang milih lo. Kalo mau salahin gue, ya lo harus salahin 14 orang lainnya. Kenapa lo jadi sewot ke gue doang?”
Freya memutar posisi duduknya jadi menghadap Justin. “Skor gue sama Nathan sama. Kalo aja lo nggak milih gue di akhir dan milih Nathan, pasti Nathan yang jadi ketua kelas! Bukan gue! Lagian lo kenapa sih milih gue?”
“Suka-suka gue lah! Masa karena gue terakhir, gue yang salah gitu? Salahin orang yang bikin skor lo sama Nathan sama lah!”
Freya mendengus kesal. Lelaki ini keras kepala sekali. Kenapa sih nggak bisa ngalah dikit sama cewek?
“Ada untungnya juga lo jadi ketua kelas kan? Jadi kesannya lo di sini nggak numpang duduk buat belajar doang,” ujar Justin yang lebih terdengar seperti sindiran.
“Maksud lo?”
“Lo nggak pernah keliatan ngumpul bareng temen kelas lo. Selalu ngindarin mereka dan lebih milih sama temen olimpiade lo. Kalo lo jadi ketua kelas, mau nggak mau lo harus akrab sama mereka. Biar kesannya lo nggak ansos sama temen kelas sendiri.”
Mendengar jawaban Justin, Freya jadi tertawa. “Bilang aja lo mau akrab sama gue!”
Justin balas tertawa. “Gue? Lo mana mau anjir! Cewek kelas aja lo tolak apalagi gue? Lo kan lebih suka temenan sama yang satu level sama lo, contohnya Samuel. Bukan contohnya, tapi emang dia satu-satunya yang bisa jadi temen lo.”
“Kok lo ngomong gitu?”
“Bener kan? Coba sebutin temen selain Samuel yang pernah lo ajak ngobrol. Siapa? Nggak ada kan? Ngobrol sama gue aja baru sekarang. Itu aja karena lo protes buat hasil pemilihan tadi.”
Freya terdiam. Benar kata Justin, selama hampir satu bulan menetap di kelas ini Freya tidak pernah mengobrol dengan siapapun. Paling hanya sekadar menyapa dan bertanya satu atau dua kalimat. Sisanya Freya selalu menghindar bersama Samuel.
“Fre,” panggil Justin membuat Freya tersadar dari lamunan. “Lo nggak bisa hidup dengan mengandalkan satu orang aja. Lo harus bergaul sama temen lo yang lain.
Kalo lo butuh bantuan tapi Samuel nggak bisa bantuin lo, lo mau minta ke siapa? Nggak ada jaminan dia selalu baik ke lo. Kalo sampe hal itu terjadi, lo mau minta tolong ke siapa?”
Freya menatap Justin serius. Dia benar-benar tertampar oleh ucapan Justin. Dia seakan membuka pikiran Freya yang tertutup dan berpusat hanya pada Samuel.
Justin mendekat. Kelopak matanya tak berkedip. Bahkan saat Justin mengukungnya, Freya masih tak bergeming.
“Lo harus memperluas lingkaran pertemanan. Jangan mau dikekang sama keegoisan lo, dan juga Samuel,” ujar Justin penuh penekanan membuat Freya tertegun.
“Freya?”
Keduanya menoleh bersamaan ke arah pintu. Samuel berdiri di sana dengan raut terkejut memergoki Justin dan Freya tengah berduaan dengan jarak yang begitu dekat.
Justin langsung menarik tubuhnya. Ia melirik Freya sekilas sebelum akhirnya melenggang pergi. Tatapan matanya begitu tajam saat berpapasan dengan Samuel.
”Mereka tadi habis ngapain?”