Travis dan Kejujuran

“Haruto?”

Travis merotasikan bola matanya ketika ia bertemu seorang perempuan yang tengah berdiri di depan pintu ruangan ayahnya. Ada setitik rasa rindu yang ia rasakan. Namun titik itu langsung terhapus oleh kebenciannya.

“Kamu sudah sembuh? Aku senang kamu tidak perlu pakai tongkat lagi,” ujar perempuan bernama Miyawaki Sora itu lantas menghampiri Travis. Namun lelaki itu malah berjalan melewatinya. Refleks ia menahan lengan Travis.

“Jangan masuk dulu. Di dalem lagi …,”

“Apa yang sudah kau katakan pada Haruto!”

Ucapan Sora terpotong oleh teriakan dari dalam ruangan Tuan Watanabe. Keduanya menoleh ke arah pintu. Travis mengenali suara itu. Suara Ishida Harumi, ibunya.

“Dia bilang aku meninggalkannya! Kau sudah membohongi anakmu sendiri!”

Tubuh Travis menegang. Teriakan parau itu menandakan emosi ibunya yang begitu memuncak disertai air mata yang mungkin sudah berderai di belah pipinya. Dan lagi, ucapan wanita itu. Bohong? Apa yang bohong?

Travis bergegas menghampiri pintu berwarna coklat itu. Namun kembali ditahan oleh Sora. “Haruto,” ujar Sora sambil menggeleng. Namun Travis menghempas tangan Sora dan masuk ke dalam ruangan ayahnya.

“Bohong? Siapa yang sudah berbohong?” ujar Travis mengagetkan kedua orang tuanya. Sang ibu tampak gelagapan. Berbeda dengan sang ayah yang tampak santai namun dari sorot matanya terdapat sebuah kekhawatiran.

“Kenapa nggak ada yang jawab?” tanya Travis lagi. Ia masih setia berdiri di dekat pintu. Mengambil jarak yang cukup jauh dari orang tuanya. Matanya mendadak terasa panas. “Bun, bilang yang sebenarnya. Kenapa bunda bilang ayah berbohong?”

Sang ibu tampak kebingungan. Ia melirik mantan suaminya yang hanya diam lalu kembali menatap Travis. “Bunda tidak pernah meninggalkanmu. Saat itu, saat bunda mendadak pergi, ayahmu merasa bunda tidak bisa merawatmu. Karena itu, bunda disuruh pergi.”

Raut wajah Travis menegang. Begitu terkejut dengan apa yang dibilang ibunya, benar-benar berbanding terbalik dengan yang dikatakan ayahnya. Sang ayah mengatakan ibunya pergi karena tidak mau mengurusnya lagi dan lebih mementingkan pekerjaannya.

Sang ayah yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Bagaimanapun, ibumu yang meminta perceraian. Sama saja dia yang meninggalkanmu,” ujar ayahnya yang makin menambah luka di hati Travis. Apalagi ketika sang ibu yang terlihat terkejut dan menyuruh ayahnya diam.

Ia tertawa kecut. “Trus apa yang dilakukan ayah?” tanya Travis membuat ayahnya bingung. “Ayah bilang sendiri kalau bunda nggak bisa ngurus aku. Emang ayah bisa? Kapan ayah ngurus aku?” ujar Travis pilu yang tak sadar sudah meneteskan air matanya.

Kedua orang tuanya tampak menegang. Sang ibu tampak terkejut oleh kenyataan bahwa mantan suaminya tidak pernah memperhatikan anaknya dengan baik. Selama ini, ia yang selalu disudutkan. Namun nyatanya, mereka berdua sama saja.

Merasa tak menuai jawaban dari sang ayah, Travis tertawa miris. “Oh, aku tau. Ayah dan bunda lagi bersaing untuk jadi yang terburuk ya? Terburuk dalam hal mengurus anaknya.”

“Nggak seperti itu, Haruto,” sambar sang bunda cepat.

Sang ayah lalu berdiri dari kursinya. “Aku yang sudah membesarkanmu. Aku sudah memberikanmu fasilitas lengkap. Sudah banyak biaya yang aku keluarkan untuk mengurusmu. Apa itu tidak bisa dibilang seorang ayah yang mengurus anaknya?”

Travis tergelak. Namun air matanya terus berjatuhan. Ia menggeleng tak percaya dengan yang dikatakan ayahnya. Travis sangat kecewa. Di situasi seperti ini, mereka berdua bahkan masih berusaha membela diri. Tak mau mengakui kesalahan.

“Terserah.” Tungkainya melangkah keluar. Sang ibu lantas menyusulnya. Ia bertemu Sora yang masih menunggu di depan. Perempuan itu tampak terkejut melihat Travis yang berderai air mata. Ia hendak menahan namun Travis sudah menepis.

“Haruto, dengarkan bunda!” panggil sang ibu terus berusaha mengejar anaknya. “Travis tunggu!” Sang anak akhirnya berdiri di salah satu anak tangga.

“Saat kau lahir, umur bunda masih sangat muda. Baru selesai pendidikan, kakekmu menjodohkan bunda dengan ayahmu karena alasan bisnis. Saat itu, bunda masih ingin melakukan semuanya. Karier, keluarga, merawatmu, semua ingin bunda lakukan dengan baik. Tapi ternyata bunda masih belum cukup baik untuk mengatasi semuanya. Bunda sudah gagal.”

Tangis Travis kembali pecah. Ia adalah korban dari ketidaksiapan ibunya menjadi seorang ibu di tengah gejolak semangatnya mengejar karier. Entah siapa yang salah di sini, pernikahan orang tuanya atau kelahirannya? Sepertinya pilihan kedua yang paling tepat.

“Maaf, maafkan bunda,” lirih sang ibu di tengah isakannya. Rasanya bagai dihunus seribu pedang.

“Aku pergi,” ujar Travis lalu bergegas menuruni tangga. Sang ibu tak kuat untuk mengejar Travis. Sora yang dari tadi melihat di kejauhan lantas mendekat dan berjanji akan mengejar Travis untuk memastikan lelaki itu baik-baik saja.


“Haruto, tunggu! Jangan berjalan terlalu cepat! Kakimu belum sembuh sepenuhnya! Haruto!” teriak Sora berusaha memperpendek jaraknya dengan Travis. Namun langkah lelaki itu begitu lebar dan cepat. “Haruto!”

“Berhenti!” teriak Travis lalu menghentikan langkahnya. Sora yang berdiri tak jauh di belakang terkejut dan langsung menghentikan langkahnya.

Travis berbalik. Menatap Sora dengan tatapan nanar. “Berhenti ikut campur urusanku. Semuanya sudah berakhir.”

“Belum, belum berakhir Haruto. Kamu cuman salah paham. Ayo bicarakan baik-baik.”

“Aku nggak ada waktu.” Setelahnya, Travis kembali berbalik dan sontak terhenti mendengar kalimat yang diucapkan Sora.

“Aku cinta sama kamu!”

Travis tersenyum sinis. Ia kembali berbalik menghadap Sora. “Cinta? Cintamu itu cuman sebatas bisnis, Sora. Kalau aku bukan anak Tuan Watanabe, kamu nggak mungkin cinta sama aku.”

“Sejak kapan aku cinta kamu cuman karena bisnis? Haruto ingat, kita bahkan pacaran sebelum orang tua kita saling mengenal. Aku bahkan nggak tau kalau kamu anak Tuan Watanabe saat itu. Aku tulus, Haruto. Aku tulus sama kamu.”

“Mungkin kamu tulus saat itu, tapi sekarang?”

Sora menggigit bibir dalamnya. Menghalau perasaan sakit yang menguar. “Aku benar-benar tulus. Aku juga kesulitan di sini. Tapi aku nggak pernah berpikir kalau perasaan aku ke kamu cuman sekadar bisnis.”

Travis mempersingkat jaraknya dengan Sora. Ia menatap perempuan itu dalam. Mencari sirat kebohongan yang tak ia dapatkan. Namun Travis tetaplah Travis yang berpegang teguh pada pendiriannya.

“Kamu lihat sendiri tadi? Keluargaku hancur karena mereka mementingkan urusan bisnis masing-masing. Aku nggak mau hal itu terulang kembali di keluargaku. Aku nggak mau anakku kelak merasakan hal yang sama, seperti yang aku rasakan. Sora, aku tahu gimana pentingnya pekerjaan buat kamu. Jadi aku rasa sampai sini kamu bisa paham kenapa kita nggak bisa bersama.”

Travis langsung melenggang pergi. Meninggalkan perih yang tergores di hatinya maupun hati Sora. Ia sebenarnya belum siap untuk mengakhiri semuanya dengan Sora. Namun entahlah, pikirannnya sangat kalut saat ini.

Sora hendak mengejar. Namun ditahan oleh seseorang di belakangnya, Asahi. “Biar aku yang mengejar, kamu sebaiknya pulang. Aku tahu perasaanmu nggak baik-baik aja sekarang.”

Seketika sebulir air mata jatuh di pipi Sora. Namun segera diusap oleh perempuan itu. Ia lalu melenggang pergi meninggalkan Asahi yang terus menatapnya sampai menghilang di balik mobil.

Sora, aku hanya ingin kamu tahu, tidak apa-apa untuk menjadi lemah. Kamu tidak perlu berusaha untuk selalu terlihat kuat di depanku. Bahu kokoh ini setia menunggumu untuk bersandar.