Who Knows?
Travis tidak bisa menahannya lagi. Dia harus ke toilet sekarang. Tapi dia tidak mungkin meninggalkan Ara sendirian di sini. Bunda masih dalam perjalanan. Setidaknya dia harus menunggu bundanya datang. Namun sepertinya panggilan alam ini sudah tidak mau menunggu lagi.
Dia melangkah ke luar ruangan. Mencari seseorang yang bisa dimintai tolong menjaga Ara selama ia ke toilet. Kepalanya tengok kanan-kiri. Ada seseorang tengah duduk di kursi tunggu tak jauh darinya. Ia menengok sekali ke Ara, memastikan adiknya masih terlelap, lantas melangkah cepat menghampiri orang itu.
“Mas, lagi sibuk nggak?”
Seseorang yang sedang sibuk dengan ponselnya itu mendongak. Ia tengok kanan-kiri lantas menunjuk dirinya. “Saya?”
“Iya, sibuk nggak, Mas? Saya mau minta tolong.”
“Minta tolong apa?” tanya orang itu ragu-ragu.
“Bisa jagain adik saya sebentar? Saya mau ke toilet. Udah kebelet banget. Bisa nggak?”
Orang itu menggaruk kepala ragu. “Emang adiknya di mana, Mas?”
“Di ICU. Bantu liatin dari jendela aja. Kalo ada apa-apa langsung lapor ke perawat misal saya belum balik. Bisa nggak, Mas?”
Orang itu tampak berpikir, meneliti penampilan Travis dari atas sampai bawah, lantas menatap pintu ruangan di mana adik Travis berada.
“Yaudah boleh.”
“Makasih banyak, Mas! Saya bakal balik secepatnya!”
Travis lantas mengantar orang itu berpindah ke dekat ruangan sang adik. Mereka sama-sama mengintip ke dalam, melihat seorang gadis yang dikelilingi beberapa alat rumah sakit masih terlelap tenang. Travis menepuk bahu orang itu berkali-kali sekaligus berjanji akan kembali secepatnya.
“Kalo boleh tau, adiknya sakit apa, Mas?”
Travis telah kembali dari toilet. Kebetulan Bunda juga sudah datang. Orang yang ia mintai tolong tadi duduk di kursi tepat di depan ruangan adiknya. Mungkin menunggu Travis kembali untuk melaporkan bahwa ia telah menyelesaikan tanggung jawab.
“Anemia aplastik, pernah denger nggak?”
Sebagai ucapan terima kasih, Travis membelikan sebotol minuman untuk orang itu. Mereka jadi mengobrol bersama di sana.
“Taunya cuman anemia sih.”
“Sama.”
Mereka tenggelam pada minuman masing-masing setelahnya. Travis baru sadar kalau ini pertama kalinya ia mau basa-basi dengan orang lain. Seharusnya dia hanya mengucapkan terima kasih, tidak sampai memberikan reward ke orang itu. Apalagi sampai memberitahu penyakit yang diderita adiknya.
“Kalo mas...? Ngapain di sini?”
Lihatlah, Travis bahkan membuka topik obrolan lagi. Sejak kapan dia peduli dengan kehidupan orang lain?
“Abis ambil obat, Mas. Eh, kayaknya saya pamit sekarang ya, Mas. Udah ditunggu orang rumah.”
Keduanya lantas berdiri bersamaan. “Oh, oke, Mas. Makasih ya buat bantuannya,” ujar Travis sambil menjabat tangan orang itu.
Orang itu membungkuk sebelum melangkah pergi. Ia berjalan membawa rasa bingung sambil sesekali memeriksa penampilannya dari pantulan layar ponsel.
“Emang gue kayak mas-mas, ya?”