Yudha dan Petak Umpet

Seperti biasa, setelah latihan selesai, Yudha pamit untuk pulang lebih awal. Sebenarnya di akhir latihan selalu ada evaluasi. Namun Yudha selalu melewatkan hal tersebut dengan alasan harus menjemput adiknya ke sekolah.

Raja sebagai kapten tidak dapat mencegah. Apalagi Yudha pun sudah mendapat ijin dari coach. Namun lama kelamaan pemain lain mulai menaruh curiga pada Yudha.

“Emang ada ya SD pulang jam segini?” ujat Juna membuka sesi perjulidan. Dilihatnya Yudha yang sudah meninggalkan sekolah dengan motor scooter-nya.

“SD paling jam satuan udah balik kan? Ya, nggak tau sih. Sekarang kan kurikulumnya udah beda,” sahut Deon di sebelahnya.

“Kurikulum beda pun nggak mungkin tega biarin anak kecil balik sekolah jam lima lah,” timpal Manggala.

Barra menghentikan kegiatan minumnya saat mendengar percakapan tiga orang temannya itu. Sebenarnya ia juga menaruh curiga pada Yudha. Lelaki itu memang kelihatan sibuk sekali akhir-akhir ini. Dari raut wajahnya tergurat sebuah rasa lelah yang menumpuk. Tak jarang Yudha pun sering ketiduran di kelas.

Yudha cenderung tertutup soal kehidupan keluarganya. Lebih dari setahun berteman, Barra bahkan tidak tahu di mana letak rumah Yudha. Dia hanya pernah bertemu dengan adik Yudha yang dulu sering dibawa latihan. Dan kini, adiknya tidak pernah terlihat lagi. Yudha pun semakin tertutup soal keluarganya.

Pikiran Barra melayang pada sosok Yudha yang ia lihat kemarin di kafe. Bukan sebagai seorang pengunjung, melainkan pelayan. Apa benar selama ini Yudha kerja part time di belakang mereka? Kalau iya, mengapa Yudha harus menyembunyikan semuanya?

“Jangan-jangan Yudha latihan di tempat lain,” ujar Sultan tiba-tiba membuat semua orang di sana menoleh ke arahnya.

“Maksud lo?! Yudha mau berkhianat ke kita?” balas Juna cepat.

“Ya, gue nggak mau suudzon. Tapi kalian tau sendiri lah. Dia di sini jarang latihan tapi mainnya makin bagus aja. Selesai latihan dari sini langsung cabut nggak mau dievaluasi. Gue cuman ngerasa ada yang disembuyiin Yudha dari kita.”

Suasana mendadak riuh oleh penuturan Sultan. Mereka semua jadi berpikiran yang sama.

“Gue baru inget, kapan hari gue liat di tas Yudha ada kaos oren,” timpal Deon memperpanas suasana.

“Oren? Maksud lo seragam Galasena?” Tebakan Sultan makin menghebohkan Dewandaru.

Selain Baruna, Dewandaru punya musuh bebuyutan bernama Galasena. Klub tersebut berada di urutan terakhir di antara tiga klub itu. Mereka selalu jadi lawan Dewandaru untuk masuk final. Memang Dewandaru belum pernah kalah dari mereka. Namun kualitas permainan mereka terus meningkat tiap tahunnya.

“Pada ngomongin apa sih?” Raja yang baru saja selesai bertemu pelatih heran dengan anggotanya yang mendadak riuh.

“Ja, lo kayaknya perlu curigain Yudha. Dia kayaknya berkhianat sama Dewandaru.”

“Berkhianat? Maksud lo?” tanya Raja lantas duduk di lantai lapangan. Mereka langsung menceritakan satu persatu kecurigaan itu pada Raja.

Barra tidak tertarik dengan omongan yang belum tentu terbukti benar. Ia masih penasaran dengan laki-laki yang dilihatnya kemarin. Barra lantas mengemasi tasnya dan beranjak berdiri. “Eh, gue balik duluan ya!” pamit Barra yang diangguki oleh semuanya.

Gue mau mampir ke kafe kemarin.


“Totalnya jadi 58.900!” ucap Yudha membacakan angka yang tertera pada komputer. Si pembeli lantas memberikan selembar uang seratus ribu. Yudha menerimanya dengan ramah.

“Seratus rupiahnya boleh didonasikan?” tanya Yudha yang diangguki cepat oleh pengunjung itu.

Secarik kertas keluar dari alat pembuat nota. Yudha merobek kertas tersebut lantas menyerahkan pada pengunjung tadi dengan uang kembaliannya. “Kembalinya 41.000. Terima kasih!”

Pengunjung itu pergi. Ada seseorang yang mengantri di belakangnya. Yudha lantas menyatukan kedua telapaknya untuk menyambut. “Selamat dat—” Ucapan Yudha terputus melihat seseorang di hadapannya, Barra.


“Udah berapa lama lo kerja di sini?” tanya Barra memecah keheningan. Kebetulan sedang tidak ada pelanggan yang perlu dilayani. Barra meminta waktu itu untuk mengobrol dengan Yudha.

“Tiga bulan lebih kayaknya,” jawab Yudha sambil menunduk. Dia malu sudah ketahuan berbohong.

“Dari awal kita masuk kelas sebelas berarti?” tanya Barra lagi, kemudian diangguki Yudha. “Lama juga.”

“Iya, lama.”

“Lama bohongin gue nya,” timpal Barra lagi membuat Yudha mendongak cepat.

“Sorry.”

“Perlu lo tau, anak-anak udah mulai curiga kenapa lo sering mangkir latihan. Mereka bahkan nuduh lo berkhianat dari Dewandaru.”

Kedua manik Yudha membulat. “Berkhianat? Maksud lo?”

“Mereka pikir lo diem-diem latihan sama Galasena.”

“Galasena?! Yang bener aja! Nggak mungkin lah!” balas Yudha terdengar sewot.

“Deon katanya liat seragam yang mirip Galasena di tas lo.”

Yudha berusaha mengingat seragam yang dimaksud Deon. “Seragam oren? Itu gue beli sendiri di Mbak Sekar anjir! Kalo lo nggak percaya, besok gue pake.”

“Trus lo di sini ngapain? Lo nggak mau jelasin ke gue?”

Yudha menghela napas halus. “Gue kerja part time. Abis latihan, gue langsung ke sini sampe malem.”

“Bukan jemput adik lo?” Barra menghempaskan punggung di sandaran saat Yudha menggeleng. “Kenapa harus bohong?”

Yudha termenung sejenak. “Gue nggak mau anak-anak tau gue kerja selama ini.”

“Kenapa? Malu?”

Yang ditanya tidak menjawab. Barra menganggap itu sebagai jawaban iya. Dia lantas menggendong tasnya dan berdiri. “Gue nggak akan bilang ini ke anak-anak. Tapi gue pengen lo sendiri yang jujur. Jangan terlalu lama memendam sesuatu yang seharusnya nggak perlu lo pendam, Yud.”

Yudha ikut berdiri. “Iya, thanks ya. Dan ... Maaf.”

“Bilang aja kalo lo perlu sesuatu. Gue pulang dulu.” Ucapan Barra diangguki Yudha. Mereka berdua lantas beriringan menuju pintu keluar. Namun langkah Yudha terhenti oleh ponsel yang bergetar. Lelaki itu segera menjauh dari Barra.

“Iya bu? ... Iya nanti malem uangnya aku transfer ... Gajiannya baru keluar hari ini bu ... Iya tunggu ya bu ...”

Walaupun berjarak jauh dan Yudha berbisik, Barra masih bisa mendengar percakapan tersebut. Ia mendapat sedikit pencerahan mengapa Yudha begitu tertutup soal keluarganya. Dan itu cukup membuat pikirannya tergerak untuk mencari solusi masalah sahabatnya.