Quinzaharu

Gue ngeliat Justin muncul dari gerbang samping parkiran. Dia jalan sambil sesekali mengembuskan asap rokok yang ia hisap. Seragamnya berantakan. Satu kancing atas dan bawah dibiarkan terbuka ditambah dasi yang menyembul di kantung celananya. Bener-bener definisi siswa berandalan tapi gue suka aja liatnya. Dia keliatan atraktif.

“Mana sih motornya?” tanya Justin sembari mengembuskan asap rokoknya ke arah lain, lantas membuang putungnya setelah ia mengisapnya sekali lagi.

“Rokok lo ih!” tegur gue melihat Justin sembarangan membuang putung rokoknya. “Emang nggak ketauan guru apa lo ngerokok di area sekolah?”

“Lagi engga,” jawab Justin dengan kekehan khasnya kemudian memungut putung rokok tadi untuk dibuang ke tempat sampah.

“Mana motornya?” tanya Justin lagi sehabis membuang sampah.

“Inii yang Vario,” tunjuk gue ke motor temen yang diapit dua motor gede.

“Masa nggak kuat sih?” tanya Justin yang melemparkan senyum ejek ke gue sama Naya, temen yang mau gue tebengin.

“Lo liat noh! Motor segede gajah gitu nggak kuat lah gue. Motornya Naya aja udah gede.”

Justin goyang-goyangin stang motor yang ngapit motor Naya. “Dikunci stang dua-duanya anjir. Gimana, ya?” ujar Justin dengan kedua tangan di pinggang, keliatan lagi mikirin cara lain buat ngeluarin motor Naya.

“Gue tegakin kek ginj trus lo berdua coba bawa keluar motornya. Bisa nggak?”

“Dicoba dulu kali ya?”

“Yaudah coba.”

Naya lalu naik ke motornya sedangkan gue bersiap di belakang buat bantu tarik. Justin kemudian ngangkat motor gede yang ada di samping kanan jadi tegak. Naya berusaha negakin motornya tapi nggak bisa, bahkan standar motornya pun nggak bisa naik.

“Sempit banget, Tin! Nggak bisa deh!” eluh Naya.

“Susah ya? Yaudah turun, Nay.”

Kami bertiga saling berhadapan, mikirin cara lain.

“Ini kalo nggak dikunci stang sih bisa gue keluarin dulu. Sebenernya bisa juga gue keluarin tapi takut nyenggol motor lain atau parahnya bikin motor ini lecet. Motor kek ginian haram buat lecet,” jelas Justin.

“Ya udah, Ra, lo bilang aja sama bu Ayu nggak bisa keluar soalnya nggak ada motor gitu. Daripada kita pusing gini,” saran Naya.

“Ngambil di mana sih? Jauh ya?” tanya Justin.

“Perempatan depan belok kiri, lurus terus masuk gang. Sebenernya nggak jauh-jauh banget cuman kalo jalan kaki jadi jauh.”

“Pake motor gue aja gimana?” usul Justin.

“Hah? Gue nggak bisa bawa motor lo lah!”

“Ya maksudnya lo gue bonceng. Motor gue kebetulan parkir di warung depan. Nggak ribet harus ngeluarin.”

“Iya udah sama Justin aja, Ra,” timpal Naya.

“Emang gapapa, Tin? Nggak ngerepotin lo?”

“Sante aja. Cuman motor gue kek gitu lo keberatan kagak? Knalpotnya lagi berisik, lupa belum gue copot makanya gue nggak berani bawa masuk.”

“Gapapa sih gue. Yang penting bisa ambil plakatnya.”

“Ya udah ayo.”

“Yaudah lo sama Justin jadinya kan? Gue balik kelas ya, Ra.”

“Iya, Nay. Makasih banyak ya!”

Naya melambaikan tangan lantas pergi ninggalin gue sama Justin di parkiran berdua. Justin lalu ngajak gue nyamperin motornya.

“Eh, lo bawa celana olahraga kan?” tanya Justin.

“Iya, bawa. Nanti ada jam olahraga kan, jam terakhir. Aneh banget olahraga siang-siang. Yang bener mah pagi nggak sih?”

“Pake dulu gih.”

“Hah?”

“Rok lo pendek itu. Motor gue tinggi, takut lo nggak nyaman. Kalo pake celana panjang kan aman.”

Mulai saat itu gue sadar, ritme jantung gue udah nggak pernah stabil lagi setiap berhadapan sama Justin.

Gue emang udah nggak punya perasaan sama Aidam. Eh, bukan nggak punya, tapi udah nggak sebesar dulu. Soalnya udah ada orang yang ngambil bagian lebih besar atas perasaan gue sekarang, dan itu bukan Aidam lagi.

Kabar dari Nawa lumayan bikin gue seneng. Seneng? Iya, seneng. Sahabat gue bisa dapetin cowok yang dia suka. Semua harap dan khayalan yang dia ceritain ke gue bisa terwujud dengan cara yang menurut gue nggak terduga. Kek???? Tiba-tiba banget Aidam nembak Nawa? Padahal baru beberapa hari yang lalu Marva bilang Aidam lagi nggak suka siapa-siapa.

Harusnya gue ngerasa seneng doang. Tapi kenapa perasaan sesak ikut menyelinap? Aidam itu tetangga gue. Kita udah saling kenal sejak sekolah dasar. Semua kenangan yang pernah gue lewatin sama Aidam mendadak berkeliaran di ingatan. Dan dari semua kenangan itu, Aidam sukanya sama Nawa yang baru dikenal pas SMA? Dari waktu sesingkat itu, Aidam bisa yakin buat nembak Nawa? Kenapa dia nggak pernah nembak gue? Apa gue nggak semenarik itu di mata Aidam?

Gue bingung banget sama perasaan gue sekarang. Pikiran gue kosong. Cuman bisa ngelamun di ayunan sebuah taman yang makin gelap sehingga memancing nyalanya lampu di sana. Aidam yang gue suka dari SMP sekarang udah punya pacar. Dan pacarnya itu Nawa, sahabat gue. Dua orang yang gue sayang itu menyatu. Gue harusnya seneng. Gue nggak boleh sedih.

“ARSY!”

Tubuh gue terlonjak kaget. Seketika desir panas mengalir deras di dalam tubuh gue. Namun desir itu belum cukup untuk mencairkan tubuh gue yang mendadak beku saat seorang cowok dengan napas terengah berdiri tak jauh dari gue. Rambut cowok itu berantakan. Resleting jaketnya dibiarkan terbuka. Cuman ngeliat dari bahunya yang naik turun cepat, gue bisa terbayang sejauh dan sekencang apa dia berlari.

Dia berlari ke arah gue. Tubuh gue masih membeku. Buat kedip pun nggak bisa bahkan ketika mata gue udah tersiksa sama beribu jarum yang menghujam. Getar merambat ke bibir. Pandang mulai kabur. Gerimis kah? Gue ngerasain tangan gue ketetesan air.

“Sy...”

Sekarang dia udah berdiri di depan gue. Kepala gue mendongak dan saat itu juga gue merasakan tetesan kedua membasahi tangan. Kayaknya bentar lagi mau hujan.

“Sakit banget ya, Sy?”

Dia bertanya lantas berjongkok, menyejajarkan pandangan Kami. Pandangannya teduh. Dia khawatir. Senyum tipis terpanggil untuk tergurat di bibir gue. Cuman itu yang bisa gue lakuin buat jawab pertanyaan dia.

“Gapapa nangis aja, Sy. Gue di sini.”

Dia berujar kembali sambil menggenggam tangan gue. Bagai beton yang menghantam dinding sebuah bangunan, pertahanan gue runtuh saat itu juga. Derai air mata terus mengalir di pipi tanpa bisa gue hentikan. Tubuh gue gemetar seluruhnya. Semua rasa yang sempat tertahan saling berlomba membebaskan diri.

Gue lihat bola matanya membulat. Sigap, dia langsung narik tubuh gue ke pelukan. Tangis gue makin deras. Mungkin orang-orang di kejauhan bisa mendengarnya. Gue nggak peduli. Biarin mereka tahu seberapa sakit rasa yang bercokol di dada gue sekarang.

“Pukul aja punggung gue, Sy. Pukul sekeras mungkin biar gue tau gimana sakit yang lagi lo rasain sekarang.”

Alih-alih menuruti permintaan dia, gue meremas jaket biru dongker yang ia kenakan. Tubuh dia tersentak sedikit karena nggak sengaja gue mencakar punggungnya. Seketika gue lepas cengkraman tangan gue, berpindah ke bahu dia dan menenggelamkan kepala gue di sana.

Marva, andai lo tau, air mata yang udah membasahi jaket lo sekarang itu bukan buat Aidam, bukan untuk siapa-siapa. Gue menangisi takdir yang bikin kita ketemu sebagai dua orang yang saling berbagi kisah, bukan kasih. Gue menangis udah membangun batas yang bikin kita sulit berandai kalau suatu saat kita bisa menyatu seperti mereka. Gue menangis untuk hati yang nggak bisa jujur kalo gue udah jatuh sama lo.

Gue udah nggak suka sama Aidam, Va. Gue sukanya sama lo. Kalo suatu saat lo ngerasain perasaan yang sama, tolong kasih tau gue. Kalo suatu saat lo ngerasain doa-doa gue yang selalu meminta agar lo peka sama perasan gue, tolong percayai itu. Gue udah nggak kuat mendem perasaan ini terus. Gue pengen sama lo. Gue pengen banget. Tolong kabulin permintaan gue, Va.

Napas Sagara tercekat saat pintu kamar Rissa terbuka. Gadis itu sangat kacau. Ikatan rambut yang kendur membuat rambutnya berantakan. Sepasang mata kecil Rissa makin sipit oleh luka yang terpupuk di sana.

“Kak ....”

Suara gadis itu terdengar parau. Menggoreskan perih di relung Sagara yang ia kumpulkan dalam satu kepalan tangan. Amarahnya bergejolak. Berkali-kali batinnya meneriakkan sumpah serapah pada seseorang yang menciptakan tangis di wajah bocilnya.

Sagara menyesal. Seharusnya dari awal dia tidak pernah mengijinkan Jarvis untuk masuk ke kehidupan Rissa. Bertahun ia mengenal kalau Jarvis tak mungkin semudah itu membuka hati pada orang baru. Seharusnya dia tidak membuka peluang, bahkan persaingan, untuk Jarvis bisa mendapatkan Rissa. Seharusnya ia langsung menarik Rissa ke sisinya, bukan membiarkan gadis itu terombang-ambing oleh lelaki yang tak pernah benar-benar melihatnya.

Senyum kecil dipaksakan terbit di bibir Sagara. “Gapapa, Ris. Ayo, duduk dulu.”

Rissa tampak menggigit bibir bawahnya. Menahan sesak saat Sagara berucap Gapapa. Dia membuka jalan agar Sagara dapat masuk lalu kembali menutup pintu kamarnya dengan menyisakan sedikit celah terbuka.

Sagara merangkul Rissa untuk duduk di tepi ranjang. Sedangkan ia duduk di kursi dekat meja belajar Rissa. Secangkir teh hangat yang ia bawa lantas diulurkan ke gadis itu.

“Diminum dulu biar agak lega.”

Rissa menerima uluran itu lantas meminumnya pelan.

“Tadi pulang naik ojol?” Gadis itu mengangguk. “Kok berani?”

“Terpaksa,” jawab Rissa masih terdengar serak, namun sudah lebih baik dari sebelumnya.

“Kenapa nggak chat gue?”

“Nggak kepikiran.”

Sagara mengembus napas halus. “Kacau banget, ya?”

“Pas dia dateng, dia udah nggak liat gue lagi. Gue dianggep nggak ada. Dia nggak nyariin gue. Bahkan perlu waktu setengah jam lebih buat dia sadar kalau gue udah nggak di sana.”

“Setengah jam?”

Rissa mengangguk mantap. Air matanya kembali menggenang. Rasa sakit itu datang lagi.

“Sadarnya pas lo udah balik?”

“Pas gue lagi di ojol mungkin. Nggak tau.”

Mereka kompak mengakhiri obrolan.

Sesekali terdengar sesenggukan Rissa dan embusan napas halus Sagara. Keduanya sama-sama tengah bertarung melawan emosi masing-masing. Sagara ingin bertanya banyak hal pada Rissa. Namun melihat keadaan gadis itu, sepertinya tidak memungkinkan. Dan lagi, dia sudah berjanji hanya akan menjadi pendengar di cerita Rissa kali ini.

“Gue nggak tau kenapa mantannya ada di sana. Kenapa gue harus ditarik pergi dari situ. Dia kan mau ketemu gue, kenapa jadi gue yang pergi? Harusnya cewek itu yang diusir, bukan gue.”

Sagara menyadari kalau Rissa tak menyebut nama Jarvis ataupun Laras sejak tadi. Bukan masalah besar. Sagara bahkan akan mengganti nama Jarvis menjadi si Bangsat kalau dia ada di posisi Rissa.

“Gue kira dia bakal nahan gue atau sekedar negur si Adis yang seenaknya narik-narik gue. Ya, apa kek biar gue tetep ada di situ. Tapi nggak, dia nggak ngelakuin apa-apa. Malah fokus melototin mantannya.”

Kedua belah bibir Sagara mengulum ke dalam. Menahan senyum yang tercipta dari omelan Rissa yang tampak lucu di matanya.

“Padahal dia udah mau confess. Kenapa sih harus dateng di timing itu???” eluh Rissa seraya meraup wajahnya dan kembali menangis.

“Hah? Confess? Siapa yang mau confess? Jarvis?” tanya Sagara panik. Dia sampai memajukan kursi lebih dekat ke Rissa.

“Nggak usah sebut namanya!!!”

“Oh ya oke oke! Maksud gue, si BANGSAT?”

Rissa mengangguk ragu. “Dari kalimatnya sih keliatan gitu. Tapi gatau, keburu dua cewek itu dateng. Sebel gue.”

“Ini gue boleh kasih komentar nggak?”

“Boleh, tapi jangan roasting gue dulu. Roasting temen lo aja.”

“Iyaa, bagian lo mah nanti. Paling seminggu lagi juga gue ungkit,” jeda Sagara untuk terkekeh.

“Sebenernya dua cewek itu nggak salah sih, Ris. Jangan fokus nyalahin mereka berdua doang. Keadaannya nggak bakal kaya gini kalau Jar—si bangsat nggak ngerespon. Wajar mereka berdua nyamperin buat sekedar nyapa. Harusnya yaudah berhenti di situ. Ngapain malah ngobrol sampe setengah jam?”

Gadis di depan Sagara hanya menunduk sambil memainkan ujung kaosnya.

“Udah percaya kan sekarang si bangsat orangnya gimana? Dibilangin dari awal dia belum selese sama masa lalunya nggak mau percaya. Udah kaya gini baru sadar.”

“Jangan roasting gue dulu!!!”

“Itu nasehat, bukan roasting.”

Rissa mencebikkan bibirnya seraya menendang tulang kering Sagara. Yang ditendang hanya meringis sambil mengusap bekas tendangan Rissa.

“Jadi sekarang mau gimana? Kapok belum nyakitin diri sendiri?”

“Kapok.”

“Pinter.”

“Tapi itu jahat banget nggak sih, Kak? Setidaknya jangan ngilangin gue kek. Setidaknya sadar gue nggak ada di situ. Dia kan datengnya sama gue. Masa se-nggak inget itu sama gue?” ujar Rissa yang mulai menangis lagi.

“Berharga banget ya mantannya buat hidup dia sampe dengan gampangnya ngilangin gue? Kalo iya, kenapa sih harus biarin gue masuk ke hatinya? Kenapa pake segala bukain pintu, nyambut, ngasih banyak jamuan, nge-treat gue sebaik mungkin. Kenapa sih dia harus kaya gitu? Kenapa sih dia jahat banget sama gue? Emang gue salah apa sama dia?”

Tangis Rissa semakin keras mendorong Sagara untuk berpindah tempat duduk ke sebelahnya.

“Sshh, udah, udah, lo nggak salah apa-apa, Ris.”

“Gue tuh udah banyak banget effort buat mantesin diri biar layak di samping dia. Gue cuman mau dihargain, Kak. Tapi dia malah gitu.”

“Iya, iya, maaf ya. Maaf lo jadi ketemu manusia seanjing itu. Dah, abisin dulu nangisnya. Tapi jangan lama-lama. Nanti mata lo makin merem. Kalo sampe nggak bisa melek kan berabe,” ujar Sagara menenangkan sembari mengusap pelan punggung Rissa.

“Boleh peluk nggak, Kak?”

You can do anything you want. Come here.

Sagara merenggangkan tangan, mengajak Rissa ke pelukan. Dengan segenang air mata yang meluruh di pipi, Rissa melesak ke tubuh Sagara. Lelaki itu lantas mengunci tubuh Rissa dalam dekapan yang hangat.

Selintas kejadian di halte berseliweran di pikiran Rissa. Semalam, memori itu masih ampuh membuat beribu kupu-kupu terbang di perutnya. Namun sore ini, memori menggelikan itu telah menjelma menjadi cakaran kucing yang tampak sederhana tapi perihnya tak terelakkan. Dunia benar-benar berputar begitu cepat.

Rissa tak bisa menemukan apa yang ia dapat dari Jarvis di pelukan Sagara. Tak ada debaran yang membuat telinganya bergetar. Tak ada degup yang menular ke miliknya. Tak ada desir panas yang mengalir di tubuhnya.

Namun satu hal yang ia temukan di Sagara tapi tak ada di Jarvis: kenyamanan.

Rissa tak perlu merasa bersalah atas pelukan ini. Rissa tak perlu memikirkan apa yang ada di pikiran Sagara saat ini. Rissa tak perlu memikirkan bagaimana sikap Sagara setelah ini.

Dan yang terpenting, Rissa tak perlu menjadi orang lain di depan Sagara.

Karena Sagara takkan membuat dunianya pudar. Sagara takkan membuatnya hilang. Dan, Sagara akan selalu menunggunya pulang.

Saat duniamu mulai pudar Dan kau merasa hilang Ku akan selalu jadi sayap pelindungmu

Napas Sagara tercekat saat pintu kamar Rissa terbuka. Gadis itu sangat kacau. Ikatan rambut yang kendur membuat rambutnya berantakan. Sepasang mata kecil Rissa makin sipit oleh luka yang terpupuk di sana.

“Kak ....”

Suara gadis itu terdengar parau. Menggoreskan perih di relung Sagara yang ia kumpulkan dalam satu kepalan tangan. Amarahnya bergejolak. Berkali-kali batinnya meneriakkan sumpah serapah pada seseorang yang menciptakan tangis di wajah bocilnya.

Sagara menyesal. Seharusnya dari awal dia tidak pernah mengijinkan Jarvis untuk masuk ke kehidupan Rissa. Bertahun ia mengenal kalau Jarvis tak mungkin semudah itu membuka hati pada orang baru. Seharusnya dia tidak membuka peluang, bahkan persaingan, untuk Jarvis bisa mendapatkan Rissa. Seharusnya ia langsung menarik Rissa ke sisinya, bukan membiarkan gadis itu terombang-ambing oleh lelaki yang tak pernah benar-benar melihatnya.

Senyum kecil dipaksakan terbit di bibir Sagara. “Gapapa, Ris. Ayo, duduk dulu.”

Rissa tampak menggigit bibir bawahnya. Menahan sesak saat Sagara berucap Gapapa. Dia membuka jalan agar Sagara dapat masuk lalu kembali menutup pintu kamarnya dengan menyisakan sedikit celah terbuka.

Sagara merangkul Rissa untuk duduk di tepi ranjang. Sedangkan ia duduk di kursi dekat meja belajar Rissa. Secangkir teh hangat yang ia bawa lantas diulurkan ke gadis itu.

“Diminum dulu biar agak lega.”

Rissa menerima uluran itu lantas meminumnya pelan.

“Tadi pulang naik ojol?” Gadis itu mengangguk. “Kok berani?”

“Terpaksa,” jawab Rissa masih terdengar serak, namun sudah lebih baik dari sebelumnya.

“Kenapa nggak chat gue?”

“Nggak kepikiran.”

Sagara mengembus napas halus. “Kacau banget, ya?”

“Pas dia dateng, dia udah nggak liat gue lagi. Gue dianggep nggak ada. Dia nggak nyariin gue. Bahkan perlu waktu setengah jam lebih buat dia sadar kalau gue udah nggak di sana.”

“Setengah jam?”

Rissa mengangguk mantap. Air matanya kembali menggenang. Rasa sakit itu datang lagi.

“Sadarnya pas lo udah balik?”

“Pas gue lagi di ojol mungkin. Nggak tau.”

Mereka kompak mengakhiri obrolan.

Sesekali terdengar sesenggukan Rissa dan embusan napas halus Sagara. Keduanya sama-sama tengah bertarung melawan emosi masing-masing. Sagara ingin bertanya banyak hal pada Rissa. Namun melihat keadaan gadis itu, sepertinya tidak memungkinkan. Dan lagi, dia sudah berjanji hanya akan menjadi pendengar di cerita Rissa kali ini.

“Gue nggak tau kenapa mantannya ada di sana. Kenapa gue harus ditarik pergi dari situ. Dia kan mau ketemu gue, kenapa jadi gue yang pergi? Harusnya cewek itu yang diusir, bukan gue.”

Sagara menyadari kalau Rissa tak menyebut nama Jarvis ataupun Laras sejak tadi. Bukan masalah besar. Sagara bahkan akan mengganti nama Jarvis menjadi si Bangsat kalau dia ada di posisi Rissa.

“Gue kira dia bakal nahan gue atau sekedar negur si Adis yang seenaknya narik-narik gue. Ya, apa kek biar gue tetep ada di situ. Tapi nggak, dia nggak ngelakuin apa-apa. Malah fokus melototin mantannya.”

Kedua belah bibir Sagara mengulum ke dalam. Menahan senyum yang tercipta dari omelan Rissa yang tampak lucu di matanya.

“Padahal dia udah mau confess. Kenapa sih harus dateng di timing itu???” eluh Rissa seraya meraup wajahnya dan kembali menangis.

“Hah? Confess? Siapa yang mau confess? Jarvis?” tanya Sagara panik. Dia sampai memajukan kursi lebih dekat ke Rissa.

“Nggak usah sebut namanya!!!”

“Oh ya oke oke! Maksud gue, si BANGSAT?”

Rissa mengangguk ragu. “Dari kalimatnya sih keliatan gitu. Tapi gatau, keburu dua cewek itu dateng. Sebel gue.”

“Ini gue boleh kasih komentar nggak?”

“Boleh, tapi jangan roasting gue dulu. Roasting temen lo aja.”

“Iyaa, bagian lo mah nanti. Paling seminggu lagi juga gue ungkit,” jeda Sagara untuk terkekeh.

“Sebenernya dua cewek itu nggak salah sih, Ris. Jangan fokus nyalahin mereka berdua doang. Keadaannya nggak bakal kaya gini kalau Jar—si bangsat nggak ngerespon. Wajar mereka berdua nyamperin buat sekedar nyapa. Harusnya yaudah berhenti di situ. Ngapain malah ngobrol sampe setengah jam?”

Gadis di depan Sagara hanya menunduk sambil memainkan ujung kaosnya.

“Udah percaya kan sekarang si bangsat orangnya gimana? Dibilangin dari awal dia belum selese sama masa lalunya nggak mau percaya. Udah kaya gini baru sadar.”

“Jangan roasting gue dulu!!!”

“Itu nasehat, bukan roasting.”

Rissa mencebikkan bibirnya seraya menendang tulang kering Sagara. Yang ditendang hanya meringis sambil mengusap bekas tendangan Rissa.

“Jadi sekarang mau gimana? Kapok belum nyakitin diri sendiri?”

“Kapok.”

“Pinter.”

“Tapi itu jahat banget nggak sih, Kak? Setidaknya jangan ngilangin gue kek. Setidaknya sadar gue nggak ada di situ. Dia kan datengnya sama gue. Masa se-nggak inget itu sama gue?” ujar Rissa yang mulai menangis lagi.

“Berharga banget ya mantannya buat hidup dia sampe dengan gampangnya ngilangin gue? Kalo iya, kenapa sih harus biarin gue masuk ke hatinya? Kenapa pake segala bukain pintu, nyambut, ngasih banyak jamuan, nge-treat gue sebaik mungkin. Kenapa sih dia harus kaya gitu? Kenapa sih dia jahat banget sama gue? Emang gue salah apa sama dia?”

Tangis Rissa semakin keras mendorong Sagara untuk berpindah tempat duduk ke sebelah gadis itu.

“Sshh, udah, udah, lo nggak salah apa-apa, Ris.”

“Gue tuh udah banyak banget effort buat mantesin diri biar layak di samping dia. Gue cuman mau dihargain, Kak. Tapi dia malah gitu.”

“Iya, iya, maaf ya. Maaf lo jadi ketemu manusia seanjing itu. Dah, abisin dulu nangisnya. Tapi jangan lama-lama. Nanti mata lo makin merem. Kalo sampe nggak bisa melek kan berabe,” ujar Sagara menenangkan sembari mengusap pelan punggung Rissa.

“Boleh peluk nggak, Kak?”

You can do anything you want. Come here.

Sagara merenggangkan tangan, mengajak Rissa ke pelukan. Dengan segenang air mata yang meluruh di pipi, Rissa melesak ke tubuh Sagara. Lelaki itu lantas mengunci tubuh Rissa dalam dekapan yang hangat.

Selintas kejadian di halte berseliweran di pikiran Rissa. Semalam, memori itu masih ampuh membuat beribu kupu-kupu terbang di perutnya. Namun sore ini, memori menggelikan itu telah menjelma menjadi cakaran kucing yang tampak sederhana tapi perihnya tak terelakkan. Dunia benar-benar berputar begitu cepat.

Rissa tak bisa menemukan apa yang ia dapat dari Jarvis di pelukan Sagara. Tak ada debaran yang membuat telinganya bergetar. Tak ada degup yang menular ke miliknya. Tak ada desir panas yang mengalir di tubuhnya.

Namun satu hal yang ia temukan di Sagara tapi tak ada di Jarvis: kenyamanan.

Rissa tak perlu merasa bersalah atas pelukan ini. Rissa tak perlu memikirkan apa yang ada di pikiran Sagara saat ini. Rissa tak perlu memikirkan bagaimana sikap Sagara setelah ini.

Dan yang terpenting, Rissa tak perlu menjadi orang lain di depan Sagara.

Karena Sagara takkan membuat dunianya pudar. Sagara takkan membuatnya hilang. Dan, Sagara akan selalu menunggunya pulang.

Saat duniamu mulai pudar Dan kau merasa hilang Ku akan selalu jadi sayap pelindungmu

Napas Sagara tercekat saat pintu kamar Rissa terbuka. Gadis itu sangat kacau. Ikatan rambut yang kendur membuat rambutnya berantakan. Sepasang mata kecil Rissa makin sipit oleh luka yang terpupuk di sana.

“Kak ....”

Suara gadis itu terdengar parau. Menggoreskan perih di relung Sagara yang ia kumpulkan dalam satu kepalan tangan. Amarahnya bergejolak. Berkali-kali batinnya meneriakkan sumpah serapah pada seseorang yang menciptakan tangis di wajah bocilnya.

Sagara menyesal. Seharusnya dari awal dia tidak pernah mengijinkan Jarvis untuk masuk ke kehidupan Rissa. Bertahun ia mengenal kalau Jarvis tak mungkin semudah itu membuka hati pada orang baru. Seharusnya dia tidak membuka peluang, bahkan persaingan, untuk Jarvis bisa mendapatkan Rissa. Seharusnya ia langsung menarik Rissa ke sisinya, bukan membiarkan gadis itu terombang-ambing oleh lelaki yang tak pernah benar-benar melihatnya.

Senyum kecil dipaksakan terbit di bibir Sagara. “Gapapa, Ris. Ayo, duduk dulu.”

Rissa tampak menggigit bibir bawahnya. Menahan sesak saat Sagara berucap Gapapa. Dia membuka jalan agar Sagara dapat masuk lalu kembali menutup pintu kamarnya dengan menyisakan sedikit celah terbuka.

Sagara merangkul Rissa untuk duduk di tepi ranjang. Sedangkan ia duduk di kursi dekat meja belajar Rissa. Secangkir teh hangat yang ia bawa lantas diulurkan ke gadis itu.

“Diminum dulu biar agak lega.”

Rissa menerima uluran itu lantas meminumnya pelan.

“Tadi pulang naik ojol?” Gadis itu mengangguk. “Kok berani?”

“Terpaksa,” jawab Rissa masih terdengar serak, namun sudah lebih baik dari sebelumnya.

“Kenapa nggak chat gue?”

“Nggak kepikiran.”

Sagara mengembus napas halus. “Kacau banget, ya?”

“Pas dia dateng, dia udah nggak liat gue lagi. Gue dianggep nggak ada. Dia nggak nyariin gue. Bahkan perlu waktu setengah jam lebih buat dia sadar kalau gue udah nggak di sana.”

“Setengah jam?”

Rissa mengangguk mantap. Air matanya kembali menggenang. Rasa sakit itu datang lagi.

“Sadarnya pas lo udah balik?”

“Pas gue lagi di ojol mungkin. Nggak tau.”

Mereka kompak mengakhiri obrolan.

Sesekali terdengar sesenggukan Rissa dan embusan napas halus Sagara. Keduanya sama-sama tengah bertarung melawan emosi masing-masing. Sagara ingin bertanya banyak hal pada Rissa. Namun melihat keadaan gadis itu, sepertinya tidak memungkinkan. Dan lagi, dia sudah berjanji hanya akan menjadi pendengar di cerita Rissa kali ini.

“Gue nggak tau kenapa mantannya ada di sana. Kenapa gue harus ditarik pergi dari situ. Dia kan mau ketemu gue, kenapa jadi gue yang pergi? Harusnya cewek itu yang diusir, bukan gue.”

Sagara menyadari kalau Rissa tak menyebut nama Jarvis ataupun Laras sejak tadi. Bukan masalah besar. Sagara bahkan akan mengganti nama Jarvis menjadi si Bangsat kalau dia ada di posisi Rissa.

“Gue kira dia bakal nahan gue atau sekedar negur si Adis yang seenaknya narik-narik gue. Ya, apa kek biar gue tetep ada di situ. Tapi nggak, dia nggak ngelakuin apa-apa. Malah fokus melototin mantannya.”

Kedua belah bibir Sagara mengulum ke dalam. Menahan senyum yang tercipta dari omelan Rissa yang tampak lucu di matanya.

“Padahal dia udah mau confess. Kenapa sih harus dateng di timing itu???” eluh Rissa seraya meraup wajahnya dan kembali menangis.

“Hah? Confess? Siapa yang mau confess? Jarvis?” tanya Sagara panik. Dia sampai memajukan kursi lebih dekat ke Rissa.

“Nggak usah sebut namanya!!!”

“Oh ya oke oke! Maksud gue, si BANGSAT?”

Rissa mengangguk ragu. “Dari kalimatnya sih keliatan gitu. Tapi gatau, keburu dua cewek itu dateng. Sebel gue.”

“Ini gue boleh kasih komentar nggak?”

“Boleh, tapi jangan roasting gue dulu. Roasting temen lo aja.”

“Iyaa, bagian lo mah nanti. Paling seminggu lagi juga gue ungkit,” jeda Sagara untuk terkekeh.

“Sebenernya dua cewek itu nggak salah sih, Ris. Jangan fokus nyalahin mereka berdua doang. Keadaannya nggak bakal kaya gini kalau Jar—si bangsat nggak ngerespon. Wajar mereka berdua nyamperin buat sekedar nyapa. Harusnya yaudah berhenti di situ. Ngapain malah ngobrol sampe setengah jam?”

Gadis di depan Sagara hanya menunduk sambil memainkan ujung kaosnya.

“Udah percaya kan sekarang Jarvis orangnya gimana? Dibilangin dari awal dia belum selese sama masa lalunya nggak mau percaya. Udah kaya gini baru sadar.”

“Jangan roasting gue dulu!!!”

“Itu nasehat, bukan roasting.”

Rissa mencebikkan bibirnya seraya menendang tulang kering Sagara. Yang ditendang hanya meringis sambil mengusap bekas tendangan Rissa.

“Jadi sekarang mau gimana? Kapok belum nyakitin diri sendiri?”

“Kapok.”

“Pinter.”

“Tapi itu jahat banget nggak sih, Kak? Setidaknya jangan ngilangin gue kek. Setidaknya sadar gue nggak ada di situ. Dia kan datengnya sama gue. Masa se-nggak inget itu sama gue?” ujar Rissa yang mulai menangis lagi.

“Berharga banget ya mantannya buat hidup dia sampe dengan gampangnya ngilangin gue? Kalo iya, kenapa sih harus biarin gue masuk ke hatinya? Kenapa pake segala bukain pintu, nyambut, ngasih banyak jamuan, nge-treat gue sebaik mungkin. Kenapa sih dia harus kaya gitu? Kenapa sih dia jahat banget sama gue? Emang gue salah apa sama dia?”

Tangis Rissa semakin keras mendorong Sagara untuk berpindah tempat duduk ke sebelah gadis itu.

“Sshh, udah, udah, lo nggak salah apa-apa, Ris.”

“Gue tuh udah banyak banget effort buat mantesin diri biar layak di samping dia. Gue cuman mau dihargain, Kak. Tapi dia malah gitu.”

“Iya, iya, maaf ya. Maaf lo jadi ketemu manusia seanjing itu. Dah, abisin dulu nangisnya. Tapi jangan lama-lama. Nanti mata lo makin merem. Kalo sampe nggak bisa melek kan berabe,” ujar Sagara menenangkan sembari mengusap pelan punggung Rissa.

“Boleh peluk nggak, Kak?”

You can do anything you want. Come here.

Sagara merenggangkan tangan, mengajak Rissa ke pelukan. Dengan segenang air mata yang meluruh di pipi, Rissa melesak ke tubuh Sagara. Lelaki itu lantas mengunci tubuh Rissa dalam dekapan yang hangat.

Selintas kejadian di halte berseliweran di pikiran Rissa. Semalam, memori itu masih ampuh membuat beribu kupu-kupu terbang di perutnya. Namun sore ini, memori menggelikan itu telah menjelma menjadi cakaran kucing yang tampak sederhana tapi perihnya tak terelakkan. Dunia benar-benar berputar begitu cepat.

Rissa tak bisa menemukan apa yang ia dapat dari Jarvis di pelukan Sagara. Tak ada debaran yang membuat telinganya bergetar. Tak ada degup yang menular ke miliknya. Tak ada desir panas yang mengalir di tubuhnya.

Namun satu hal yang ia temukan di Sagara tapi tak ada di Jarvis: kenyamanan.

Rissa tak perlu merasa bersalah atas pelukan ini. Rissa tak perlu memikirkan apa yang ada di pikiran Sagara saat ini. Rissa tak perlu memikirkan bagaimana sikap Sagara setelah ini.

Dan yang terpenting, Rissa tak perlu menjadi orang lain di depan Sagara.

Karena Sagara takkan membuat dunianya pudar. Sagara takkan membuatnya hilang. Dan, Sagara akan selalu menunggunya pulang.

Saat duniamu mulai pudar Dan kau merasa hilang Ku akan selalu jadi sayap pelindungmu

Sesekali Rissa menatap pantulan wajahnya dari layar ponsel. Mengembalikan setiap helai rambut yang mencuat ke barisan semula. Di setiap embusan napas, terselip beban yang berkecamuk. Mengingat alasan ia tidak bisa tidur semalaman karena sibuk memilih baju yang akan dipakai hari ini, alasan ia bangun pagi buta karena tidak ingin terlambat, alasan ia malas melakukan apapun karena harus menghemat energi, dan segala hal tidak penting yang Rissa lakukan demi hari ini, hari pertemuannya dengan Jarvis.

Entah apa yang akan dibicarakan lelaki itu, Rissa tidak bisa menebak. Lagipula, sejak kapan Jarvis bisa ditebak? Lelaki yang dulu menatap Rissa dengan alis menegang itu bahkan memegang tangannya tanpa alasan kemarin. Tidak cukup sampai di situ, besoknya Jarvis menghindari Rissa mati-matian. Dan sekarang? Tiba-tiba lelaki itu mengajak bertemu dengan alasan yang lagi-lagi tidak jelas. Herannya, Rissa selalu mengikuti arus berliku milik Jarvis itu dan selalu selamat, setidaknya sampai hari ini.

Mereka berangkat terpisah. Bukan sebuah kesepakatan, melainkan inisiatif Rissa yang tak kunjung mendapat ajakan dari Jarvis. Lelaki itu hanya memberitahu tempat dan waktu mereka bertemu, tidak ada pertanyaan, “Mau berangkat bareng nggak?” yang biasa Jarvis lontarkan. Cukup menyedihkan, Rissa merasa asing dengan Jarvis.

Beribu pertanyaan tak terjawab memenuhi pikiran Rissa sejak kejadian sore itu. Perubahan sikap Jarvis adalah tanda tanya terbesar di sana. Mengapa? Apakah Jarvis marah karena Rissa sudah memeluknya tanpa ijin? Atau, apakah karena Rissa tak sengaja mendengar detak asing dalam diri Jarvis? Lantas kalau begitu, bukankah Rissa juga punya hak untuk marah karena Jarvis telah menggenggam tangannya tanpa alasan? Dan juga Jarvis yang sudah memporak-porandakan jam tidurnya oleh lima menit genggaman hangat itu.

Semua tanda tanya itu seolah tak pernah ada di pikiran Jarvis. Dia seakan tak merasa bersalah telah membuat Rissa bingung. Jarvis kembali seperti tidak terjadi apa-apa dan seenaknya mengajak Rissa bertemu. Bodohnya, Rissa tak punya nyali untuk sekadar menegur Jarvis atau menolak permintaannya.

Sepuluh menit berlalu tapi Jarvis belum tampak juga. Lelaki itu tidak terlambat, tapi Rissa saja yang datang terlalu awal. Keputusan yang pantas untuk disesali. Rissa jadi harus menunggu Jarvis dan jadi pusat perhatian orang-orang yang hendak masuk ke kafe.

Lelaki itu datang. Rissa sontak berpura-pura tidak mengetahui kedatangan Jarvis walaupun itu SANGAT sia-sia karena mereka jelas sudah saling memandang.

Rissa meremas tali tas slempangnya. Sudut matanya menangkap Jarvis tengah melangkah ke arahnya. Rissa tidak bisa menahan kepalanya untuk menoleh. Ia pun melempar senyuman kaku sembari melambai tangan ringan.

“Sorry, udah nunggu lama, ya?” sapa Jarvis dengan raut setengah terkejut. Dia pikir, dia yang akan datang lebih dulu.

“Engga, baru aja kok, Kak,” kilah Rissa sambil meringis, padahal dia sudah menunggu lebih dari 15 menit.

“Ooh.” Tiga detik berlalu canggung. “Mau masuk?” ajak Jarvis.

“Boleh, Kak.”


“Gue sebenernya udah dari kemaren-kemaren mau ngajak lo ke sini. Cuman baru nemu waktu buat ngajak pas hari Kamis itu. Trus gue harus nyesuain sama jadwal latihan cheers lo juga, jadi baru bisa ngajak sekarang. Sorry ya, kemarin gue ngajaknya nggak jelas.”

Jarvis membuka obrolan saat Rissa sibuk memilih menu. Penyataan yang cukup membuat jari Rissa berhenti menelusuri dan menaruh atensi sepenuhnya pada Jarvis.

“Ooh, gapapa kok, Kak. Gue makasih malah lo sampe mikirin ke jadwal latihan gue. Yang penting kan sekarang udah ketemu.”

Perlu waktu dua detik untuk mencerna kalimat Rissa sampai sebuah senyum terbit di wajah Jarvis.

“Udah nemu yang mau dipesen?”

“Aduh, gatau gue bingung! Lo dulu aja deh, Kak!”

Jarvis menarik lembaran menu itu ke tengah. “Yaudah, liat bareng-bareng aja.”


“Kak Jarvis tuh sebenernya mau ngomongin apa sih?”

Jarvis bergeming. Mendengar pertanyaan Rissa membuatnya bergerak tidak nyaman. Ia pun memaksakan tawa yang terdengar sumbang.

“Makanannya aja belom dateng, masa udah mau ke intinya? Harusnya ada pembukaan, sambutan, doa bersama, baru ke inti. Abis itu lain-lain alias makan.”

“Emang mau pengajian?”

Keduanya terbahak.

“Lagian lo pake nggak ngasih tau mau ngomongin apa. Kan gue jadi penasaran!”

“Tujuan gue emang itu, bikin lo penasaran. Kalo gue kasih tau nanti lo nggak mau ketemu gue.”

“Kenapa gue harus nggak mau?”

Senyap.

Dari balik meja, Jarvis meremas celananya. Sedikit berdeham untuk menjernihkan suara.

“Kita kenal udah dari kapan sih, Ris?”

Pupil Rissa melebar. Sorot matanya tenggelam oleh tatap sedalam palung yang tengah mengikatnya. Tidak ada yang istimewa dari pertanyaan Jarvis. Bahkan pertanyaan itu sangatlah sederhana untuk bisa Rissa jawab. Namun suasana siang ini mendukung munculnya persepsi lain dari pertanyaan itu.

“Kapan ya? Dari sebelum Porseni? Sekitar 4 bulan yang lalu berarti?”

“Lumayan lama juga ya,” tanggap Jarvis dengan tatapan menerawang ke arah lain. “Dari empat bulan itu, lo mungkin jadi tau gimana sifat gue, karakter gue, atau kebiasaan gue. Begitu juga dengan gue, gue juga udah tau lo gimana,” tambah Jarvis tanpa berani menatap Rissa.

Si puan masih setia mendengarkan setiap kalimat yang terucap. Menebak-nebak apa yang akan dituju oleh lelaki di depannya dengan gelisah.

“Dari situ gue ngerasa kalo ... gue nyaman sama lo.” Jarvis memberanikan diri untuk melirik Rissa. Memastikan apakah gadis itu mendengar kalimat terakhir yang sengaja ia ucapkan lirih. Dari raut wajahnya, Jarvis yakin gadis itu mendengar jelas setiap kalimatnya.

“Gue pengen kenal lo lebih jauh, pengen tau setiap hal yang lo lakuin, setiap rasa yang lo rasain. Gue pengen tau apa yang lo makan buat sarapan, apa yang lo lakuin setiap pulang sekolah, jam berapa lo tidur di setiap malam. Gue pengen tau segalanya tentang lo.”

Semakin banyak kalimat yang terucap, semakin banyak pula keberanian yang terkumpul di benak Jarvis.

“Gue ... pengen jadi ....”

“JARVIS!”

Kalimat Jarvis menggantung, bahkan mulutnya yang hendak mengucapkan kalimat selanjutnya masih terbuka, saat seseorang tiba-tiba memanggilnya. Ia menoleh cepat. Menemukan seorang gadis tengah melambai ke mereka dari ambang pintu masuk.

Oh, bukan seseorang, ada seseorang lagi yang mengekor di belakang.

Seseorang yang membuat bola mata Jarvis membulat sempurna diiringi ledakan besar di rongga dadanya.

Gadis itu menarik seseorang di belakangnya untuk menghampiri Jarvis. Lelaki itu tersentak berdiri.

Melihat Jarvis beranjak dari duduknya, Rissa ikut berdiri. Sepasang alisnya menukik tajam mengamati apa yang sedang terjadi. Dahinya ikut berkerut mendapati Jarvis yang terpaku pada sosok yang sedang menghampiri mereka.

“Lo ngapain di sini anjirrr??? Sumpah ini bener-bener kebetulan yang harus lo syukurin di hidup lo!!!”

Adhisty, nama gadis yang memotong ucapan Jarvis tadi. Ia datang begitu heboh membuat hampir seisi kafe menatap mereka. Ia menarik seseorang yang bersembunyi di punggungnya dan mendorongnya ke sisi Jarvis. Lelaki itu spontan mengambil selangkah mundur. Namun tatapannya masih terpaku pada gadis yang kini berdiri beberapa centi di depannya.

“Udah gue bilang! Lo berdua emang jodoh anjir!!!” ujar Adhisty dengan pekikan kecil dan tepuk tangan heboh. Sudut matanya menemukan kehadiran Rissa yang termenung di sebelahnya. “Eh, ada Rissa! Yaudah, lo berdua ngobrol dulu deh ya! Gue juga ada yang diobrolin sama Rissa! Ayo, Ris!”

Tanpa persetujuan dari Rissa, Adhisty menarik tangannya begitu kuat. Rissa sempat melirik Jarvis, berharap lelaki itu akan menahan. Namun sampai ia lenyap di balik pintu pun, Jarvis tak menoleh kepadanya sedikitpun.


“Lo lagi ada urusan apa sama Jarvis? Kok berduaan tadi?”

Adhisty mengajak Rissa duduk di depan kafe. Dari sini, mereka dapat memantau Jarvis yang kini tampak mengobrol dengan gadis yang masih membuat Rissa bingung. Siapa dia? Rissa menangkap sebuah binar kebahagiaan di mata Jarvis saat menatap gadis itu.

“Kak Jarvis yang ngajak, Kak. Katanya ada yang mau diomongin.”

“Apa?”

Rissa tak langsung menjawab. Tatapan Adhisty tampak terganggu dengan jawaban Rissa. Ia seperti tidak suka Jarvis mengajak Rissa bertemu.

“Nggak tau. Kak Jarvis belum sempet ngomong, Kak.”

Tempo pusat kehidupan Rissa meningkat kala mengingat ucapan Jarvis sebelum terpotong oleh panggilan Adhisty. Rissa merasa bisa menebak potongan lain dari ucapan Jarvis. Setengah mati ia menunggu kalimat itu benar-benar terucap. Namun mengapa semesta tak membiarkan kalimat itu terselesaikan?

“Lo masih inget omongan gue buat nggak deketin Jarvis kan, Ris?”

Bola mata Rissa bergulir cepat menatap Adhisty.

“Percaya sama gue, Ris. Jarvis nggak worth it buat lo.”

“Emang kenapa?”

Adhisty memajukan tubuhnya, berbisik ke Rissa sambil menunjuk Jarvis. “Lo tau siapa yang duduk sama Jarvis sekarang?”

Rissa menggeleng ragu. Bukan karena ia merasa tidak yakin dengan jawabannya. Rissa tidak siap mendengar kenyataan yang akan terucap dari Adhisty, atau bahkan, dia tidak mau mendengarnya.

“Dia Ayunda Larasati, mantannya Jarvis.”

Sebuah beton besar menghantam tubuh Rissa. Kepalanya berdenyut hebat hingga pandangannya berkunang. Namun sebanyak apapun kunang yang mengerubungi pandangan, Rissa masih dapat melihat jelas ukiran kebahagiaan di wajah Jarvis saat menatap gadis di depannya.

“Hatinya Jarvis masih buat Laras, Ris. Lo pasti bisa liat dari matanya Jarvis pas natap Laras.”

Tatapan lemah Rissa mendarat ke tujuan. Energi di sana begitu kuat hingga membuatnya tak sanggup menatap lama-lama. Hanya sebuah gigitan di bibir dalam yang dapat menguatkan Rissa.

“Gue kalo udah suka sama satu cewek, susah ngelirik cewek lain ris.”

Oh, pantas saja, Jarvis tak melirik Rissa sedikit pun saat Laras datang. Bahkan saat Rissa meminta pertolongan pun, Jarvis tak mengulurkan tangannya.

“Kalo gue nemu yang cocok, yaudah gue fokus ke dia aja.”

Tidak ada kebohongan di setiap kalimat yang ditulis Jarvis. Saking fokusnya, Jarvis tidak merasakan ketiadaan Rissa. Dia bertingkah seolah-olah Rissa tak pernah ada di sana. Benar-benar tidak merasa ada yang hilang dari pandangannya.

“Di mata gue, cuman dia yang terbaik.”

Rissa tersenyum getir. Cuman dia yang terbaik.

Kukira kau rumah Nyatanya kau cuma aku sewa Dari tubuh seorang perempuan yang memintamu untuk pulang

Sesekali Rissa menatap pantulan wajahnya dari layar ponsel. Mengembalikan setiap helai rambut yang mencuat ke barisan semula. Di setiap embusan napas, terselip beban yang berkecamuk. Mengingat alasan ia tidak bisa tidur semalaman karena sibuk memilih baju yang akan dipakai hari ini, alasan ia bangun pagi buta karena tidak ingin terlambat, alasan ia malas melakukan apapun karena harus menghemat energi, dan segala hal tidak penting yang Rissa lakukan demi hari ini, hari pertemuannya dengan Jarvis.

Entah apa yang akan dibicarakan lelaki itu, Rissa tidak bisa menebak. Lagipula, sejak kapan Jarvis bisa ditebak? Lelaki yang dulu menatap Rissa dengan alis menegang itu bahkan memegang tangannya tanpa alasan kemarin. Tidak cukup sampai di situ, besoknya Jarvis menghindari Rissa mati-matian. Dan sekarang? Tiba-tiba lelaki itu mengajak bertemu dengan alasan yang lagi-lagi tidak jelas. Herannya, Rissa selalu mengikuti arus berliku milik Jarvis itu dan selalu selamat, setidaknya sampai hari ini.

Mereka berangkat terpisah. Bukan sebuah kesepakatan, melainkan inisiatif Rissa yang tak kunjung mendapat ajakan dari Jarvis. Lelaki itu hanya memberitahu tempat dan waktu mereka bertemu, tidak ada pertanyaan, “Mau berangkat bareng nggak?” yang biasa Jarvis lontarkan. Cukup menyedihkan, Rissa merasa asing dengan Jarvis.

Beribu pertanyaan tak terjawab memenuhi pikiran Rissa sejak kejadian sore itu. Perubahan sikap Jarvis adalah tanda tanya terbesar di sana. Mengapa? Apakah Jarvis marah karena Rissa sudah memeluknya tanpa ijin? Atau, apakah karena Rissa tak sengaja mendengar detak asing dalam diri Jarvis? Lantas kalau begitu, bukankah Rissa juga punya hak untuk marah karena Jarvis telah menggenggam tangannya tanpa alasan? Dan juga Jarvis yang sudah memporak-porandakan jam tidurnya oleh lima menit genggaman hangat itu.

Semua tanda tanya itu seolah tak pernah ada di pikiran Jarvis. Dia seakan tak merasa bersalah telah membuat Rissa bingung. Jarvis kembali seperti tidak terjadi apa-apa dan seenaknya mengajak Rissa bertemu. Bodohnya, Rissa tak punya nyali untuk sekadar menegur Jarvis atau menolak permintaannya.

Sepuluh menit berlalu tapi Jarvis belum tampak juga. Lelaki itu tidak terlambat, tapi Rissa saja yang datang terlalu awal. Keputusan yang pantas untuk disesali. Rissa jadi harus menunggu Jarvis dan jadi pusat perhatian orang-orang yang hendak masuk ke kafe.

Lelaki itu datang. Rissa sontak berpura-pura tidak mengetahui kedatangan Jarvis walaupun itu SANGAT sia-sia karena mereka jelas sudah saling memandang.

Rissa meremas tali tas slempangnya. Sudut matanya menangkap Jarvis tengah melangkah ke arahnya. Rissa tidak bisa menahan kepalanya untuk menoleh. Ia pun melempar senyuman kaku sembari melambai tangan ringan.

“Sorry, udah nunggu lama, ya?” sapa Jarvis dengan raut setengah terkejut. Dia pikir, dia yang akan datang lebih dulu.

“Engga, baru aja kok, Kak,” kilah Rissa sambil meringis, padahal dia sudah menunggu lebih dari 15 menit.

“Ooh.” Tiga detik berlalu canggung. “Mau masuk?” ajak Jarvis.

“Boleh, Kak.”


“Gue sebenernya udah dari kemaren-kemaren mau ngajak lo ke sini. Cuman baru nemu waktu buat ngajak pas hari Kamis itu. Trus gue harus nyesuain sama jadwal latihan cheers lo juga, jadi baru bisa ngajak sekarang. Sorry ya, kemarin gue ngajaknya nggak jelas.”

Jarvis membuka obrolan saat Rissa sibuk memilih menu. Penyataan yang cukup membuat jari Rissa berhenti menelusuri dan menaruh atensi sepenuhnya pada Jarvis.

“Ooh, gapapa kok, Kak. Gue makasih malah lo sampe mikirin ke jadwal latihan gue. Yang penting kan sekarang udah ketemu.”

Perlu waktu dua detik untuk mencerna kalimat Rissa sampai sebuah senyum terbit di wajah Jarvis.

“Udah nemu yang mau dipesen?”

“Aduh, gatau gue bingung! Lo dulu aja deh, Kak!”

Jarvis menarik lembaran menu itu ke tengah. “Yaudah, liat bareng-bareng aja.”


“Kak Jarvis tuh sebenernya mau ngomongin apa sih?”

Jarvis bergeming. Mendengar pertanyaan Rissa membuatnya bergerak tidak nyaman. Ia pun memaksakan tawa yang terdengar sumbang.

“Makanannya aja belom dateng, masa udah mau ke intinya? Harusnya ada pembukaan, sambutan, doa bersama, baru ke inti. Abis itu lain-lain alias makan.”

“Emang mau pengajian?”

Keduanya terbahak.

“Lagian lo pake nggak ngasih tau mau ngomongin apa. Kan gue jadi penasaran!”

“Tujuan gue emang itu, bikin lo penasaran. Kalo gue kasih tau nanti lo nggak mau ketemu gue.”

“Kenapa gue harus nggak mau?”

Senyap.

Dari balik meja, Jarvis meremas celananya. Sedikit berdeham untuk menjernihkan suara.

“Kita kenal udah dari kapan sih, Ris?”

Pupil Rissa melebar. Sorot matanya tenggelam oleh tatap sedalam palung yang tengah mengikatnya. Tidak ada yang istimewa dari pertanyaan Jarvis. Bahkan pertanyaan itu sangatlah sederhana untuk bisa Rissa jawab. Namun suasana siang ini mendukung munculnya persepsi lain dari pertanyaan itu.

“Kapan ya? Dari sebelum Porseni? Sekitar 4 bulan yang lalu berarti?”

“Lumayan lama juga ya,” tanggap Jarvis dengan tatapan menerawang ke arah lain. “Dari empat bulan itu, lo mungkin jadi tau gimana sifat gue, karakter gue, atau kebiasaan gue. Begitu juga dengan gue, gue juga udah tau lo gimana,” tambah Jarvis tanpa berani menatap Rissa.

Si puan masih setia mendengarkan setiap kalimat yang terucap. Menebak-nebak apa yang akan dituju oleh lelaki di depannya dengan gelisah.

“Dari situ gue ngerasa kalo ... gue nyaman sama lo.” Jarvis memberanikan diri untuk melirik Rissa. Memastikan apakah gadis itu mendengar kalimat terakhir yang sengaja ia ucapkan lirih. Dari raut wajahnya, Jarvis yakin gadis itu mendengar jelas setiap kalimatnya.

“Gue pengen kenal lo lebih jauh, pengen tau setiap hal yang lo lakuin, setiap rasa yang lo rasain. Gue pengen tau apa yang lo makan buat sarapan, apa yang lo lakuin setiap pulang sekolah, jam berapa lo tidur di setiap malam. Gue pengen tau segalanya tentang lo.”

Semakin banyak kalimat yang terucap, semakin banyak pula keberanian yang terkumpul di benak Jarvis.

“Gue ... pengen jadi ....”

“JARVIS!”

Kalimat Jarvis menggantung, bahkan mulutnya yang hendak mengucapkan kalimat selanjutnya masih terbuka, saat seseorang tiba-tiba memanggilnya. Ia menoleh cepat. Menemukan seorang gadis tengah melambai ke mereka dari ambang pintu masuk.

Oh, bukan seseorang, ada seseorang lagi yang mengekor di belakang.

Seseorang yang membuat bola mata Jarvis membulat sempurna diiringi ledakan besar di rongga dadanya.

Gadis itu menarik seseorang di belakangnya untuk menghampiri Jarvis. Lelaki itu tersentak berdiri.

Melihat Jarvis beranjak dari duduknya, Rissa ikut berdiri. Sepasang alisnya menukik tajam mengamati apa yang sedang terjadi. Dahinya ikut berkerut mendapati Jarvis yang terpaku pada sosok yang sedang menghampiri mereka.

“Lo ngapain di sini anjirrr??? Sumpah ini bener-bener kebetulan yang harus lo syukurin di hidup lo!!!”

Adhisty, nama gadis yang memotong ucapan Jarvis tadi. Ia datang begitu heboh membuat hampir seisi kafe menatap mereka. Ia menarik seseorang yang bersembunyi di punggungnya dan mendorongnya ke sisi Jarvis. Lelaki itu spontan mengambil selangkah mundur. Namun tatapannya masih terpaku pada gadis yang kini berdiri beberapa centi di depannya.

“Udah gue bilang! Lo berdua emang jodoh anjir!!!” ujar Adhisty dengan pekikan kecil dan tepuk tangan heboh. Sudut matanya menemukan kehadiran Rissa yang termenung di sebelahnya. “Eh, ada Rissa! Yaudah, lo berdua ngobrol dulu deh ya! Gue juga ada yang diobrolin sama Rissa! Ayo, Ris!”

Tanpa persetujuan dari Rissa, Adhisty menarik tangannya begitu kuat. Rissa sempat melirik Jarvis, berharap lelaki itu akan menahan. Namun sampai ia lenyap di balik pintu pun, Jarvis tak menoleh kepadanya sedikitpun.


“Lo lagi ada urusan apa sama Jarvis? Kok berduaan tadi?”

Adhisty mengajak Rissa duduk di depan kafe. Dari sini, mereka dapat memantau Jarvis yang kini tampak mengobrol dengan gadis yang masih membuat Rissa bingung. Siapa dia? Rissa menangkap sebuah binar kebahagiaan di mata Jarvis saat menatap gadis itu.

“Kak Jarvis yang ngajak, Kak. Katanya ada yang mau diomongin.”

“Apa?”

Rissa tak langsung menjawab. Tatapan Adhisty tampak terganggu dengan jawaban Rissa. Ia seperti tidak suka Jarvis mengajak Rissa bertemu.

“Nggak tau. Kak Jarvis belum sempet ngomong, Kak.”

Tempo pusat kehidupan Rissa meningkat kala mengingat ucapan Jarvis sebelum terpotong oleh panggilan Adhisty. Rissa merasa bisa menebak potongan lain dari ucapan Jarvis. Setengah mati ia menunggu kalimat itu benar-benar terucap. Namun mengapa semesta tak membiarkan kalimat itu terselesaikan?

“Lo masih inget omongan gue buat nggak deketin Jarvis kan, Ris?”

Bola mata Rissa bergulir cepat menatap Adhisty.

“Percaya sama gue, Ris. Jarvis nggak worth it buat lo.”

“Emang kenapa?”

Adhisty memajukan tubuhnya, berbisik ke Rissa sambil menunjuk Jarvis. “Lo tau siapa yang duduk sama Jarvis sekarang?”

Rissa menggeleng ragu. Bukan karena ia merasa tidak yakin dengan jawabannya. Rissa tidak siap mendengar kenyataan yang akan terucap dari Adhisty, atau bahkan, dia tidak mau mendengarnya.

“Dia Ayunda Larasati, mantannya Jarvis.”

Sebuah beton besar menghantam tubuh Rissa. Kepalanya berdenyut hebat hingga pandangannya berkunang. Namun sebanyak apapun kunang yang mengerubungi pandangan, Rissa masih dapat melihat jelas ukiran kebahagiaan di wajah Jarvis saat menatap gadis di depannya.

“Hatinya Jarvis masih buat Laras, Ris. Lo pasti bisa liat dari matanya Jarvis pas natap Laras.”

Tatapan lemah Rissa mendarat ke tujuan. Energi di sana begitu kuat hingga membuatnya tak sanggup menatap lama-lama. Hanya sebuah gigitan di bibir dalam yang dapat menguatkan Rissa.

“Gue kalo udah suka sama satu cewek, susah ngelirik cewek lain ris.”

Oh, pantas saja, Jarvis tak melirik Rissa sedikit pun saat Laras datang. Bahkan saat Rissa meminta pertolongan pun, Jarvis tak mengulurkan tangannya.

“Kalo gue nemu yang cocok, yaudah gue fokus ke dia aja.”

Tidak ada kebohongan di setiap kalimat yang ditulis Jarvis. Saking fokusnya, Jarvis tidak merasakan ketiadaan Rissa. Dia bertingkah seolah-olah Rissa tak pernah ada di sana. Benar-benar tidak merasa ada yang hilang dari pandangannya.

“Di mata gue, cuman dia yang terbaik.”

Rissa tersenyum getir. Cuman dia yang terbaik.

Kukira kau rumah Nyatanya kau cuma aku sewa Dari tubuh seorang perempuan yang memintamu untuk pulang

Sesekali Rissa menatap pantulan wajahnya dari layar ponsel. Mengembalikan setiap helai rambut yang mencuat ke barisan semula. Di setiap embusan napas, terselip beban yang berkecamuk. Mengingat alasan ia tidak bisa tidur semalaman karena sibuk memilih baju yang akan dipakai hari ini, alasan ia bangun pagi buta karena tidak ingin terlambat, alasan ia malas melakukan apapun karena harus menghemat energi, dan segala hal tidak penting yang Rissa lakukan demi hari ini, hari pertemuannya dengan Jarvis.

Entah apa yang akan dibicarakan lelaki itu, Rissa tidak bisa menebak. Lagipula, sejak kapan Jarvis bisa ditebak? Lelaki yang dulu menatap Rissa dengan alis menegang itu bahkan memegang tangannya tanpa alasan kemarin. Tidak cukup sampai di situ, besoknya Jarvis menghindari Rissa mati-matian. Dan sekarang? Tiba-tiba lelaki itu mengajak bertemu dengan alasan yang lagi-lagi tidak jelas. Herannya, Rissa selalu mengikuti arus berliku milik Jarvis itu dan selalu selamat, setidaknya sampai hari ini.

Mereka berangkat terpisah. Bukan sebuah kesepakatan, melainkan inisiatif Rissa yang tak kunjung mendapat ajakan dari Jarvis. Lelaki itu hanya memberitahu tempat dan waktu mereka bertemu, tidak ada pertanyaan, “Mau berangkat bareng nggak?” yang biasa Jarvis lontarkan. Cukup menyedihkan, Rissa merasa asing dengan Jarvis.

Beribu pertanyaan tak terjawab memenuhi pikiran Rissa sejak kejadian sore itu. Perubahan sikap Jarvis adalah tanda tanya terbesar di sana. Mengapa? Apakah Jarvis marah karena Rissa sudah memeluknya tanpa ijin? Atau, apakah karena Rissa tak sengaja mendengar detak asing dalam diri Jarvis? Lantas kalau begitu, bukankah Rissa juga punya hak untuk marah karena Jarvis telah menggenggam tangannya tanpa alasan? Dan juga Jarvis yang sudah memporak-porandakan jam tidurnya oleh lima menit genggaman hangat itu.

Semua tanda tanya itu seolah tak pernah ada di pikiran Jarvis. Dia seakan tak merasa bersalah telah membuat Rissa bingung. Jarvis kembali seperti tidak terjadi apa-apa dan seenaknya mengajak Rissa bertemu. Bodohnya, Rissa tak punya nyali untuk sekadar menegur Jarvis atau menolak permintaannya.

Sepuluh menit berlalu tapi Jarvis belum tampak juga. Lelaki itu tidak terlambat, tapi Rissa saja yang datang terlalu awal. Keputusan yang pantas untuk disesali. Rissa jadi harus menunggu Jarvis dan jadi pusat perhatian orang-orang yang hendak masuk ke kafe.

Lelaki itu datang. Rissa sontak berpura-pura tidak mengetahui kedatangan Jarvis walaupun itu SANGAT sia-sia karena mereka jelas sudah saling memandang.

Rissa meremas tali tas slempangnya. Sudut matanya menangkap Jarvis tengah melangkah ke arahnya. Rissa tidak bisa menahan kepalanya untuk menoleh. Ia pun melempar senyuman kaku sembari melambai tangan ringan.

“Sorry, udah nunggu lama, ya?” sapa Jarvis dengan raut setengah terkejut. Dia pikir, dia yang akan datang lebih dulu.

“Engga, baru aja kok, Kak,” kilah Rissa sambil meringis, padahal dia sudah menunggu lebih dari 15 menit.

“Ooh.” Tiga detik berlalu canggung. “Mau masuk?” ajak Jarvis.

“Boleh, Kak.”


“Gue sebenernya udah dari kemaren-kemaren mau ngajak lo ke sini. Cuman baru nemu waktu buat ngajak pas hari Kamis itu. Trus gue harus nyesuain sama jadwal latihan cheers lo juga, jadi baru bisa ngajak sekarang. Sorry ya, kemarin gue ngajaknya nggak jelas.”

Jarvis membuka obrolan saat Rissa sibuk memilih menu. Penyataan yang cukup membuat jari Rissa berhenti menelusuri dan menaruh atensi sepenuhnya pada Jarvis.

“Ooh, gapapa kok, Kak. Gue makasih malah lo sampe mikirin ke jadwal latihan gue. Yang penting kan sekarang udah ketemu.”

Perlu waktu dua detik untuk mencerna kalimat Rissa sampai sebuah senyum terbit di wajah Jarvis.

“Udah nemu yang mau dipesen?”

“Aduh, gatau gue bingung! Lo dulu aja deh, Kak!”

Jarvis menarik lembaran menu itu ke tengah. “Yaudah, liat bareng-bareng aja.”


“Kak Jarvis tuh sebenernya mau ngomongin apa sih?”

Jarvis bergeming. Mendengar pertanyaan Rissa membuatnya bergerak tidak nyaman. Ia pun memaksakan tawa yang terdengar sumbang.

“Makanannya aja belom dateng, masa udah mau ke intinya? Harusnya ada pembukaan, sambutan, doa bersama, baru ke inti. Abis itu lain-lain alias makan.”

“Emang mau pengajian?”

Keduanya terbahak.

“Lagian lo pake nggak ngasih tau mau ngomongin apa. Kan gue jadi penasaran!”

“Tujuan gue emang itu, bikin lo penasaran. Kalo gue kasih tau nanti lo nggak mau ketemu gue.”

“Kenapa gue harus nggak mau?”

Senyap.

Dari balik meja, Jarvis meremas celananya. Sedikit berdeham untuk menjernihkan suara.

“Kita kenal udah dari kapan sih, Ris?”

Pupil Rissa melebar. Sorot matanya tenggelam oleh tatap sedalam palung yang tengah mengikatnya. Tidak ada yang istimewa dari pertanyaan Jarvis. Bahkan pertanyaan itu sangatlah sederhana untuk bisa Rissa jawab. Namun suasana siang ini mendukung munculnya persepsi lain dari pertanyaan itu.

“Kapan ya? Dari sebelum Porseni? Sekitar 4 bulan yang lalu berarti?”

“Lumayan lama juga ya,” tanggap Jarvis dengan tatapan menerawang ke arah lain. “Dari empat bulan itu, lo mungkin jadi tau gimana sifat gue, karakter gue, atau kebiasaan gue. Begitu juga dengan gue, gue juga udah tau lo gimana,” tambah Jarvis tanpa berani menatap Rissa.

Si puan masih setia mendengarkan setiap kalimat yang terucap. Menebak-nebak apa yang akan dituju oleh lelaki di depannya dengan gelisah.

“Dari situ gue ngerasa kalo ... gue nyaman sama lo.” Jarvis memberanikan diri untuk melirik Rissa. Memastikan apakah gadis itu mendengar kalimat terakhir yang sengaja ia ucapkan lirih. Dari raut wajahnya, Jarvis yakin gadis itu mendengar jelas setiap kalimatnya.

“Gue pengen kenal lo lebih jauh, pengen tau setiap hal yang lo lakuin, setiap rasa yang lo rasain. Gue pengen tau apa yang lo makan buat sarapan, apa yang lo lakuin setiap pulang sekolah, jam berapa lo tidur di setiap malam. Gue pengen tau segalanya tentang lo.”

Semakin banyak kalimat yang terucap, semakin banyak pula keberanian yang terkumpul di benak Jarvis.

“Gue ... pengen jadi ....”

“JARVIS!”

Kalimat Jarvis menggantung, bahkan mulutnya yang hendak mengucapkan kalimat selanjutnya masih terbuka, saat seseorang tiba-tiba memanggilnya. Ia menoleh cepat. Menemukan seorang gadis tengah melambai ke mereka dari ambang pintu masuk.

Oh, bukan seseorang, ada seseorang lagi yang mengekor di belakang.

Seseorang yang membuat bola mata Jarvis membulat sempurna diiringi ledakan besar di rongga dadanya.

Gadis itu menarik seseorang di belakangnya untuk menghampiri Jarvis. Lelaki itu tersentak berdiri.

Melihat Jarvis beranjak dari duduknya, Rissa ikut berdiri. Sepasang alisnya menukik tajam mengamati apa yang sedang terjadi. Dahinya ikut berkerut mendapati Jarvis yang terpaku pada sosok yang sedang menghampiri mereka.

“Lo ngapain di sini anjirrr??? Sumpah ini bener-bener kebetulan yang harus lo syukurin di hidup lo!!!”

Adhisty, nama gadis yang memotong ucapan Jarvis tadi. Ia datang begitu heboh membuat hampir seisi kafe menatap mereka. Ia menarik seseorang yang bersembunyi di punggungnya dan mendorongnya ke sisi Jarvis. Lelaki itu spontan mengambil selangkah mundur. Namun tatapannya masih terpaku pada gadis yang kini berdiri beberapa centi di depannya.

“Udah gue bilang! Lo berdua emang jodoh anjir!!!” ujar Adhisty dengan pekikan kecil dan tepuk tangan heboh. Sudut matanya menemukan kehadiran Rissa yang termenung di sebelahnya. “Eh, ada Rissa! Yaudah, lo berdua ngobrol dulu deh ya! Gue juga ada yang diobrolin sama Rissa! Ayo, Ris!”

Tanpa persetujuan dari Rissa, Adhisty menarik tangannya begitu kuat. Rissa sempat melirik Jarvis, berharap lelaki itu akan menahan. Namun sampai ia lenyap di balik pintu pun, Jarvis tak menoleh kepadanya sedikitpun.


“Lo lagi ada urusan apa sama Jarvis? Kok berduaan tadi?”

Adhisty mengajak Rissa duduk di depan kafe. Dari sini, mereka dapat memantau Jarvis yang kini tampak mengobrol dengan gadis yang masih membuat Rissa bingung. Siapa dia? Rissa menangkap sebuah binar kebahagiaan di mata Jarvis saat menatap gadis itu.

“Kak Jarvis yang ngajak, Kak. Katanya ada yang mau diomongin.”

“Apa?”

Rissa tak langsung menjawab. Tatapan Adhisty tampak terganggu dengan jawaban Rissa. Ia seperti tidak suka Jarvis mengajak Rissa bertemu.

“Nggak tau. Kak Jarvis belum sempet ngomong, Kak.”

Tempo pusat kehidupan Rissa meningkat kala mengingat ucapan Jarvis sebelum terpotong oleh panggilan Adhisty. Rissa merasa bisa menebak potongan lain dari ucapan Jarvis. Setengah mati ia menunggu kalimat itu benar-benar terucap. Namun mengapa semesta tak membiarkan kalimat itu terselesaikan?

“Lo masih inget omongan gue buat nggak deketin Jarvis kan, Ris?”

Bola mata Rissa bergulir cepat menatap Adhisty.

“Percaya sama gue, Ris. Jarvis nggak worth it buat lo.”

“Emang kenapa?”

Adhisty memajukan tubuhnya, berbisik ke Rissa sambil menunjuk Jarvis. “Lo tau siapa yang duduk sama Jarvis sekarang?”

Rissa menggeleng ragu. Bukan karena ia merasa tidak yakin dengan jawabannya. Rissa tidak siap mendengar kenyataan yang akan terucap dari Adhisty, atau bahkan, dia tidak mau mendengarnya.

“Dia Ayunda Larasati, mantannya Jarvis.”

Sebuah beton besar menghantam tubuh Rissa. Kepalanya berdenyut hebat hingga pandangannya berkunang. Namun sebanyak apapun kunang yang mengerubungi pandangan, Rissa masih dapat melihat jelas ukiran kebahagiaan di wajah Jarvis saat menatap gadis di depannya.

“Hatinya Jarvis masih buat Laras, Ris. Lo pasti bisa liat dari matanya Jarvis pas natap Laras.”

Tatapan lemah Rissa mendarat ke tujuan. Energi di sana begitu kuat hingga membuatnya tak sanggup menatap lama-lama. Hanya sebuah gigitan di bibir dalam yang dapat menguatkan Rissa.

“Gue kalo udah suka sama satu cewek, susah ngelirik cewek lain ris.”

Oh, pantas saja, Jarvis tak melirik Rissa sedikit pun saat Laras datang. Bahkan saat Rissa meminta pertolongan pun, Jarvis tak mengulurkan tangannya.

“Kalo gue nemu yang cocok, yaudah gue fokus ke dia aja.”

Jarvis tak pernah berbohong. Saking fokusnya, Jarvis tidak merasakan ketiadaan Rissa. Dia membuat suasana seolah-olah Rissa tak pernah ada di sana. Benar-benar tidak merasa ada yang hilang dari pandangannya.

“Di mata gue, cuman dia yang terbaik.”

Rissa tersenyum getir. Cuman dia yang terbaik.

Kukira kau rumah Nyatanya kau cuma aku sewa Dari tubuh seorang perempuan yang memintamu untuk pulang

Sesekali Rissa menatap pantulan wajahnya dari layar ponsel. Mengembalikan setiap helai rambut yang mencuat ke barisan semula. Di setiap embusan napas, terselip beban yang berkecamuk. Mengingat alasan ia tidak bisa tidur semalaman karena sibuk memilih baju yang akan dipakai hari ini, alasan ia bangun pagi buta karena tidak ingin terlambat, alasan ia malas melakukan apapun karena harus menghemat energi, dan segala hal tidak penting yang Rissa lakukan demi hari ini, hari pertemuannya dengan Jarvis.

Entah apa yang akan dibicarakan lelaki itu, Rissa tidak bisa menebak. Lagipula, sejak kapan Jarvis bisa ditebak? Lelaki yang dulu menatap Rissa dengan alis menegang itu bahkan memegang tangannya tanpa alasan kemarin. Tidak cukup sampai di situ, besoknya Jarvis menghindari Rissa mati-matian. Dan sekarang? Tiba-tiba lelaki itu mengajak bertemu dengan alasan yang lagi-lagi tidak jelas. Herannya, Rissa selalu mengikuti arus berliku milik Jarvis itu dan selalu selamat, setidaknya sampai hari ini.

Mereka berangkat terpisah. Bukan sebuah kesepakatan, melainkan inisiatif Rissa yang tak kunjung mendapat ajakan dari Jarvis. Lelaki itu hanya memberitahu tempat dan waktu mereka bertemu, tidak ada pertanyaan, “Mau berangkat bareng nggak?” yang biasa Jarvis lontarkan. Cukup menyedihkan, Rissa merasa asing dengan Jarvis.

Beribu pertanyaan tak terjawab memenuhi pikiran Rissa sejak kejadian sore itu. Perubahan sikap Jarvis adalah tanda tanya terbesar di sana. Mengapa? Apakah Jarvis marah karena Rissa sudah memeluknya tanpa ijin? Atau, apakah karena Rissa tak sengaja mendengar detak asing dalam diri Jarvis? Lantas kalau begitu, bukankah Rissa juga punya hak untuk marah karena Jarvis telah menggenggam tangannya tanpa alasan? Dan juga Jarvis yang sudah memporak-porandakan jam tidurnya oleh lima menit genggaman hangat itu.

Semua tanda tanya itu seolah tak pernah ada di pikiran Jarvis. Dia seakan tak merasa bersalah telah membuat Rissa bingung. Jarvis kembali seperti tidak terjadi apa-apa dan seenaknya mengajak Rissa bertemu. Bodohnya, Rissa tak punya nyali untuk sekadar menegur Jarvis atau menolak permintaannya.

Sepuluh menit berlalu tapi Jarvis belum tampak juga. Lelaki itu tidak terlambat, tapi Rissa saja yang datang terlalu awal. Keputusan yang pantas untuk disesali. Rissa jadi harus menunggu Jarvis dan jadi pusat perhatian orang-orang yang hendak masuk ke kafe.

Lelaki itu datang. Rissa sontak berpura-pura tidak mengetahui kedatangan Jarvis walaupun itu SANGAT sia-sia karena mereka jelas sudah saling memandang.

Rissa meremas tali tas slempangnya. Sudut matanya menangkap Jarvis tengah melangkah ke arahnya. Rissa tidak bisa menahan kepalanya untuk menoleh. Ia pun melempar senyuman kaku sembari melambai tangan ringan.

“Sorry, udah nunggu lama, ya?” sapa Jarvis dengan raut setengah terkejut. Dia pikir, dia yang akan datang lebih dulu.

“Engga, baru aja kok, Kak,” kilah Rissa sambil meringis, padahal dia sudah menunggu lebih dari 15 menit.

“Ooh.” Tiga detik berlalu canggung. “Mau masuk?” ajak Jarvis.

“Boleh, Kak.”


“Gue sebenernya udah dari kemaren-kemaren mau ngajak lo ke sini. Cuman baru nemu waktu buat ngajak pas hari Kamis itu. Trus gue harus nyesuain sama jadwal latihan cheers lo juga, jadi baru bisa ngajak sekarang. Sorry ya, kemarin gue ngajaknya nggak jelas.”

Jarvis membuka obrolan saat Rissa sibuk memilih menu. Penyataan yang cukup membuat jari Rissa berhenti menelusuri dan menaruh atensi sepenuhnya pada Jarvis.

“Ooh, gapapa kok, Kak. Gue makasih malah lo sampe mikirin ke jadwal latihan gue. Yang penting kan sekarang udah ketemu.”

Perlu waktu dua detik untuk mencerna kalimat Rissa sampai sebuah senyum terbit di wajah Jarvis.

“Udah nemu yang mau dipesen?”

“Aduh, gatau gue bingung! Lo dulu aja deh, Kak!”

Jarvis menarik lembaran menu itu ke tengah. “Yaudah, liat bareng-bareng aja.”


“Kak Jarvis tuh sebenernya mau ngomongin apa sih?”

Jarvis bergeming. Mendengar pertanyaan Rissa membuatnya bergerak tidak nyaman. Ia pun memaksakan tawa yang terdengar sumbang.

“Makanannya aja belom dateng, masa udah mau ke intinya? Harusnya ada pembukaan, sambutan, doa bersama, baru ke inti. Abis itu lain-lain alias makan.”

“Emang mau pengajian?”

Keduanya terbahak.

“Lagian lo pake nggak ngasih tau mau ngomongin apa. Kan gue jadi penasaran!”

“Tujuan gue emang itu, bikin lo penasaran. Kalo gue kasih tau nanti lo nggak mau ketemu gue.”

“Kenapa gue harus nggak mau?”

Senyap.

Dari balik meja, Jarvis meremas celananya. Sedikit berdeham untuk menjernihkan suara.

“Kita kenal udah dari kapan sih, Ris?”

Pupil Rissa melebar. Sorot matanya tenggelam oleh tatap sedalam palung yang tengah mengikatnya. Tidak ada yang istimewa dari pertanyaan Jarvis. Bahkan pertanyaan itu sangatlah sederhana untuk bisa Rissa jawab. Namun suasana siang ini mendukung munculnya persepsi lain dari pertanyaan itu.

“Kapan ya? Dari sebelum Porseni? Sekitar 4 bulan yang lalu berarti?”

“Lumayan lama juga ya,” tanggap Jarvis dengan tatapan menerawang ke arah lain. “Dari empat bulan itu, lo mungkin jadi tau gimana sifat gue, karakter gue, atau kebiasaan gue. Begitu juga dengan gue, gue juga udah tau lo gimana,” tambah Jarvis tanpa berani menatap Rissa.

Si puan masih setia mendengarkan setiap kalimat yang terucap. Menebak-nebak apa yang akan dituju oleh lelaki di depannya dengan gelisah.

“Dari situ gue ngerasa kalo ... gue nyaman sama lo.” Jarvis memberanikan diri untuk melirik Rissa. Memastikan apakah gadis itu mendengar kalimat terakhir yang sengaja ia ucapkan lirih. Dari raut wajahnya, Jarvis yakin gadis itu mendengar jelas setiap kalimatnya.

“Gue pengen kenal lo lebih jauh, pengen tau setiap hal yang lo lakuin, setiap rasa yang lo rasain. Gue pengen tau apa yang lo makan buat sarapan, apa yang lo lakuin setiap pulang sekolah, jam berapa lo tidur di setiap malam. Gue pengen tau segalanya tentang lo.”

Semakin banyak kalimat yang terucap, semakin banyak pula keberanian yang terkumpul di benak Jarvis.

“Gue ... pengen jadi ....”

“JARVIS!”

Kalimat Jarvis menggantung, bahkan mulutnya yang hendak mengucapkan kalimat selanjutnya masih terbuka, saat seseorang tiba-tiba memanggilnya. Ia menoleh cepat. Menemukan seorang gadis tengah melambai ke mereka dari ambang pintu masuk.

Oh, bukan seseorang, ada seseorang lagi yang mengekor di belakang.

Seseorang yang membuat bola mata Jarvis membulat sempurna diiringi ledakan besar di rongga dadanya.

Gadis itu menarik seseorang di belakangnya untuk menghampiri Jarvis. Lelaki itu tersentak berdiri.

Melihat Jarvis beranjak dari duduknya, Rissa ikut berdiri. Sepasang alisnya menukik tajam mengamati apa yang sedang terjadi. Dahinya ikut berkerut mendapati Jarvis yang terpaku pada sosok yang sedang menghampiri mereka.

“Lo ngapain di sini anjirrr??? Sumpah ini bener-bener kebetulan yang harus lo syukurin di hidup lo!!!”

Adhisty, nama gadis yang memotong ucapan Jarvis tadi. Ia datang begitu heboh membuat hampir seisi kafe menatap mereka. Ia menarik seseorang yang bersembunyi di punggungnya dan mendorongnya ke sisi Jarvis. Lelaki itu spontan mengambil selangkah mundur. Namun tatapannya masih terpaku pada gadis yang kini berdiri beberapa centi di depannya.

“Udah gue bilang! Lo berdua emang jodoh anjir!!!” ujar Adhisty dengan pekikan kecil dan tepuk tangan heboh. Sudut matanya menemukan kehadiran Rissa yang termenung di sebelahnya. “Eh, ada Rissa! Yaudah, lo berdua ngobrol dulu deh ya! Gue juga ada yang diobrolin sama Rissa! Ayo, Ris!”

Tanpa persetujuan dari Rissa, Adhisty menarik tangannya begitu kuat. Rissa sempat melirik Jarvis, berharap lelaki itu akan menahan. Namun sampai ia lenyap di balik pintu pun, Jarvis tak menoleh kepadanya sedikitpun.


“Lo lagi ada urusan apa sama Jarvis? Kok berduaan tadi?”

Adhisty mengajak Rissa duduk di depan kafe. Dari sini, mereka dapat memantau Jarvis yang kini tampak mengobrol dengan gadis yang masih membuat Rissa bingung. Siapa dia? Rissa menangkap sebuah binar kebahagiaan di mata Jarvis saat menatap gadis itu.

“Kak Jarvis yang ngajak, Kak. Katanya ada yang mau diomongin.”

“Apa?”

Rissa tak langsung menjawab. Tatapan Adhisty tampak terganggu dengan jawaban Rissa. Ia seperti tidak suka Jarvis mengajak Rissa bertemu.

“Nggak tau. Kak Jarvis belum sempet ngomong, Kak.”

Tempo pusat kehidupan Rissa meningkat kala mengingat ucapan Jarvis sebelum terpotong oleh panggilan Adhisty. Rissa merasa bisa menebak potongan lain dari ucapan Jarvis. Setengah mati ia menunggu kalimat itu benar-benar terucap. Namun mengapa semesta tak membiarkan kalimat itu terselesaikan?

“Lo masih inget omongan gue buat nggak deketin Jarvis kan, Ris?”

Bola mata Rissa bergulir cepat menatap Adhisty.

“Percaya sama gue, Ris. Jarvis nggak worth it buat lo.”

“Emang kenapa?”

Adhisty memajukan tubuhnya, berbisik ke Rissa sambil menunjuk Jarvis. “Lo tau siapa yang duduk sama Jarvis sekarang?”

Rissa menggeleng ragu. Bukan karena ia merasa tidak yakin dengan jawabannya. Rissa tidak siap mendengar kenyataan yang akan terucap dari Adhisty, atau bahkan, dia tidak mau mendengarnya.

“Dia Ayunda Larasati, mantannya Jarvis.”

Sebuah beton besar menghantam tubuh Rissa. Kepalanya berdenyut hebat hingga pandangannya berkunang. Namun sebanyak apapun kunang yang mengerubungi pandangan, Rissa masih dapat melihat jelas ukiran kebahagiaan di wajah Jarvis saat menatap gadis di depannya.

“Gue kalo udah suka sama satu cewek, susah ngelirik cewek lain ris.”

Oh, pantas saja, Jarvis tak melirik Rissa sedikit pun saat Laras datang. Bahkan saat Rissa meminta pertolongan pun, Jarvis tak mengulurkan tangannya.

“Kalo gue nemu yang cocok, yaudah gue fokus ke dia aja.”

Jarvis tak pernah berbohong. Saking fokusnya, Jarvis tidak merasakan ketiadaan Rissa. Dia membuat suasana seolah-olah Rissa tak pernah ada di sana. Benar-benar tidak merasa ada yang hilang dari pandangannya.

“Di mata gue, cuman dia yang terbaik.”

Rissa tersenyum getir. Cuman dia yang terbaik.

Kukira kau rumah Nyatanya kau cuma aku sewa Dari tubuh seorang perempuan yang memintamu untuk pulang

#Praduga yang Salah

Sesekali Rissa menatap pantulan wajahnya dari layar ponsel. Mengembalikan setiap helai rambut yang mencuat ke barisan semula. Di setiap embusan napas, terselip beban yang berkecamuk. Mengingat alasan ia tidak bisa tidur semalaman karena sibuk memilih baju yang akan dipakai hari ini, alasan ia bangun pagi buta karena tidak ingin terlambat, alasan ia malas melakukan apapun karena harus menghemat energi, dan segala hal tidak penting yang Rissa lakukan demi hari ini, hari pertemuannya dengan Jarvis.

Entah apa yang akan dibicarakan lelaki itu, Rissa tidak bisa menebak. Lagipula, sejak kapan Jarvis bisa ditebak? Lelaki yang dulu menatap Rissa dengan alis menegang itu bahkan memegang tangannya tanpa alasan kemarin. Tidak cukup sampai di situ, besoknya Jarvis menghindari Rissa mati-matian. Dan sekarang? Tiba-tiba lelaki itu mengajak bertemu dengan alasan yang lagi-lagi tidak jelas. Herannya, Rissa selalu mengikuti arus berliku milik Jarvis itu dan selalu selamat, setidaknya sampai hari ini.

Mereka berangkat terpisah. Bukan sebuah kesepakatan, melainkan inisiatif Rissa yang tak kunjung mendapat ajakan dari Jarvis. Lelaki itu hanya memberitahu tempat dan waktu mereka bertemu, tidak ada pertanyaan, “Mau berangkat bareng nggak?” yang biasa Jarvis lontarkan. Cukup menyedihkan, Rissa merasa asing dengan Jarvis.

Beribu pertanyaan tak terjawab memenuhi pikiran Rissa sejak kejadian sore itu. Perubahan sikap Jarvis adalah tanda tanya terbesar di sana. Mengapa? Apakah Jarvis marah karena Rissa sudah memeluknya tanpa ijin? Atau, apakah karena Rissa tak sengaja mendengar detak asing dalam diri Jarvis? Lantas kalau begitu, bukankah Rissa juga punya hak untuk marah karena Jarvis telah menggenggam tangannya tanpa alasan? Dan juga Jarvis yang sudah memporak-porandakan jam tidurnya oleh lima menit genggaman hangat itu.

Semua tanda tanya itu seolah tak pernah ada di pikiran Jarvis. Dia seakan tak merasa bersalah telah membuat Rissa bingung. Jarvis kembali seperti tidak terjadi apa-apa dan seenaknya mengajak Rissa bertemu. Bodohnya, Rissa tak punya nyali untuk sekadar menegur Jarvis atau menolak permintaannya.

Sepuluh menit berlalu tapi Jarvis belum tampak juga. Lelaki itu tidak terlambat, tapi Rissa saja yang datang terlalu awal. Keputusan yang pantas untuk disesali. Rissa jadi harus menunggu Jarvis dan jadi pusat perhatian orang-orang yang hendak masuk ke kafe.

Lelaki itu datang. Rissa sontak berpura-pura tidak mengetahui kedatangan Jarvis walaupun itu SANGAT sia-sia karena mereka jelas sudah saling memandang.

Rissa meremas tali tas slempangnya. Sudut matanya menangkap Jarvis tengah melangkah ke arahnya. Rissa tidak bisa menahan kepalanya untuk menoleh. Ia pun melempar senyuman kaku sembari melambai tangan ringan.

“Sorry, udah nunggu lama, ya?” sapa Jarvis dengan raut setengah terkejut. Dia pikir, dia yang akan datang lebih dulu.

“Engga, baru aja kok, Kak,” kilah Rissa sambil meringis, padahal dia sudah menunggu lebih dari 15 menit.

“Ooh.” Tiga detik berlalu canggung. “Mau masuk?” ajak Jarvis.

“Boleh, Kak.”


“Gue sebenernya udah dari kemaren-kemaren mau ngajak lo ke sini. Cuman baru nemu waktu buat ngajak pas hari Kamis itu. Trus gue harus nyesuain sama jadwal latihan cheers lo juga, jadi baru bisa ngajak sekarang. Sorry ya, kemarin gue ngajaknya nggak jelas.”

Jarvis membuka obrolan saat Rissa sibuk memilih menu. Penyataan yang cukup membuat jari Rissa berhenti menelusuri dan menaruh atensi sepenuhnya pada Jarvis.

“Ooh, gapapa kok, Kak. Gue makasih malah lo sampe mikirin ke jadwal latihan gue. Yang penting kan sekarang udah ketemu.”

Perlu waktu dua detik untuk mencerna kalimat Rissa sampai sebuah senyum terbit di wajah Jarvis.

“Udah nemu yang mau dipesen?”

“Aduh, gatau gue bingung! Lo dulu aja deh, Kak!”

Jarvis menarik lembaran menu itu ke tengah. “Yaudah, liat bareng-bareng aja.”


“Kak Jarvis tuh sebenernya mau ngomongin apa sih?”

Jarvis bergeming. Mendengar pertanyaan Rissa membuatnya bergerak tidak nyaman. Ia pun memaksakan tawa yang terdengar sumbang.

“Makanannya aja belom dateng, masa udah mau ke intinya? Harusnya ada pembukaan, sambutan, doa bersama, baru ke inti. Abis itu lain-lain alias makan.”

“Emang mau pengajian?”

Keduanya terbahak.

“Lagian lo pake nggak ngasih tau mau ngomongin apa. Kan gue jadi penasaran!”

“Tujuan gue emang itu, bikin lo penasaran. Kalo gue kasih tau nanti lo nggak mau ketemu gue.”

“Kenapa gue harus nggak mau?”

Senyap.

Dari balik meja, Jarvis meremas celananya. Sedikit berdeham untuk menjernihkan suara.

“Kita kenal udah dari kapan sih, Ris?”

Pupil Rissa melebar. Sorot matanya tenggelam oleh tatap sedalam palung yang tengah mengikatnya. Tidak ada yang istimewa dari pertanyaan Jarvis. Bahkan pertanyaan itu sangatlah sederhana untuk bisa Rissa jawab. Namun suasana siang ini mendukung munculnya persepsi lain dari pertanyaan itu.

“Kapan ya? Dari sebelum Porseni? Sekitar 4 bulan yang lalu berarti?”

“Lumayan lama juga ya,” tanggap Jarvis dengan tatapan menerawang ke arah lain. “Dari empat bulan itu, lo mungkin jadi tau gimana sifat gue, karakter gue, atau kebiasaan gue. Begitu juga dengan gue, gue juga udah tau lo gimana,” tambah Jarvis tanpa berani menatap Rissa.

Si puan masih setia mendengarkan setiap kalimat yang terucap. Menebak-nebak apa yang akan dituju oleh lelaki di depannya dengan gelisah.

“Dari situ gue ngerasa kalo ... gue nyaman sama lo.” Jarvis memberanikan diri untuk melirik Rissa. Memastikan apakah gadis itu mendengar kalimat terakhir yang sengaja ia ucapkan lirih. Dari raut wajahnya, Jarvis yakin gadis itu mendengar jelas setiap kalimatnya.

“Gue pengen kenal lo lebih jauh, pengen tau setiap hal yang lo lakuin, setiap rasa yang lo rasain. Gue pengen tau apa yang lo makan buat sarapan, apa yang lo lakuin setiap pulang sekolah, jam berapa lo tidur di setiap malam. Gue pengen tau segalanya tentang lo.”

Semakin banyak kalimat yang terucap, semakin banyak pula keberanian yang terkumpul di benak Jarvis.

“Gue ... pengen jadi ....”

“JARVIS!”

Kalimat Jarvis menggantung, bahkan mulutnya yang hendak mengucapkan kalimat selanjutnya masih terbuka, saat seseorang tiba-tiba memanggilnya. Ia menoleh cepat. Menemukan seorang gadis tengah melambai ke mereka dari ambang pintu masuk.

Oh, bukan seseorang, ada seseorang lagi yang mengekor di belakang.

Seseorang yang membuat bola mata Jarvis membulat sempurna diiringi ledakan besar di rongga dadanya.

Gadis itu menarik seseorang di belakangnya untuk menghampiri Jarvis. Lelaki itu tersentak berdiri.

Melihat Jarvis beranjak dari duduknya, Rissa ikut berdiri. Sepasang alisnya menukik tajam mengamati apa yang sedang terjadi. Dahinya ikut berkerut mendapati Jarvis yang terpaku pada sosok yang sedang menghampiri mereka.

“Lo ngapain di sini anjirrr??? Sumpah ini bener-bener kebetulan yang harus lo syukurin di hidup lo!!!”

Adhisty, nama gadis yang memotong ucapan Jarvis tadi. Ia datang begitu heboh membuat hampir seisi kafe menatap mereka. Ia menarik seseorang yang bersembunyi di punggungnya dan mendorongnya ke sisi Jarvis. Lelaki itu spontan mengambil selangkah mundur. Namun tatapannya masih terpaku pada gadis yang kini berdiri beberapa centi di depannya.

“Udah gue bilang! Lo berdua emang jodoh anjir!!!” ujar Adhisty dengan pekikan kecil dan tepuk tangan heboh. Sudut matanya menemukan kehadiran Rissa yang termenung di sebelahnya. “Eh, ada Rissa! Yaudah, lo berdua ngobrol dulu deh ya! Gue juga ada yang diobrolin sama Rissa! Ayo, Ris!”

Tanpa persetujuan dari Rissa, Adhisty menarik tangannya begitu kuat. Rissa sempat melirik Jarvis, berharap lelaki itu akan menahan. Namun sampai ia lenyap di balik pintu pun, Jarvis tak menoleh kepadanya sedikitpun.


“Lo lagi ada urusan apa sama Jarvis? Kok berduaan tadi?”

Adhisty mengajak Rissa duduk di depan kafe. Dari sini, mereka dapat memantau Jarvis yang kini tampak mengobrol dengan gadis yang masih membuat Rissa bingung. Siapa dia? Rissa menangkap sebuah binar kebahagiaan di mata Jarvis saat menatap gadis itu.

“Kak Jarvis yang ngajak, Kak. Katanya ada yang mau diomongin.”

“Apa?”

Rissa tak langsung menjawab. Tatapan Adhisty tampak terganggu dengan jawaban Rissa. Ia seperti tidak suka Jarvis mengajak Rissa bertemu.

“Nggak tau. Kak Jarvis belum sempet ngomong, Kak.”

Tempo pusat kehidupan Rissa meningkat kala mengingat ucapan Jarvis sebelum terpotong oleh panggilan Adhisty. Rissa merasa bisa menebak potongan lain dari ucapan Jarvis. Setengah mati ia menunggu kalimat itu benar-benar terucap. Namun mengapa semesta tak membiarkan kalimat itu terselesaikan?

“Lo masih inget omongan gue buat nggak deketin Jarvis kan, Ris?”

Bola mata Rissa bergulir cepat menatap Adhisty.

“Percaya sama gue, Ris. Jarvis nggak worth it buat lo.”

“Emang kenapa?”

Adhisty memajukan tubuhnya, berbisik ke Rissa sambil menunjuk Jarvis. “Lo tau siapa yang duduk sama Jarvis sekarang?”

Rissa menggeleng ragu. Bukan karena ia merasa tidak yakin dengan jawabannya. Rissa tidak siap mendengar kenyataan yang akan terucap dari Adhisty, atau bahkan, dia tidak mau mendengarnya.

“Dia Ayunda Larasati, mantannya Jarvis.”

Sebuah beton besar menghantam tubuh Rissa. Kepalanya berdenyut hebat hingga pandangannya berkunang. Namun sebanyak apapun kunang yang mengerubungi pandangan, Rissa masih dapat melihat jelas ukiran kebahagiaan di wajah Jarvis saat menatap gadis di depannya.

“Gue kalo udah suka sama satu cewek, susah ngelirik cewek lain ris.”

Oh, pantas saja, Jarvis tak melirik Rissa sedikit pun saat Laras datang. Bahkan saat Rissa meminta pertolongan pun, Jarvis tak mengulurkan tangannya.

“Kalo gue nemu yang cocok, yaudah gue fokus ke dia aja.”

Jarvis tak pernah berbohong. Saking fokusnya, Jarvis tidak merasakan ketiadaan Rissa. Dia membuat suasana seolah-olah Rissa tak pernah ada di sana. Benar-benar tidak merasa ada yang hilang dari pandangannya.

“Di mata gue, cuman dia yang terbaik.”

Rissa tersenyum getir. Cuman dia yang terbaik.

Kukira kau rumah Nyatanya kau cuma aku sewa Dari tubuh seorang perempuan yang memintamu untuk pulang