Quinzaharu

“Loh? Kak Aga udah dari tadi kah?”

Rissa baru pulang dari sekolah setelah sebelumnya makan siang (mungkin lebih tepatnya sore) bersama Jarvis. Ia mendapati Sagara tengah duduk di ruang tengah bersama ibunya. Di hadapan mereka tersaji bolu bikinan ibunya semalam dan dua gelas sirup jeruk yang tersisa setengah.

“Lumayan. Kok lama banget pulangnya?” tanya Sagara lantas bergeser agar Rissa bisa duduk di sebelahnya.

“Tadi agak lama emang rapatnya. Trus pulangnya ...,” jeda Rissa untuk melirik ibunya. “Mampir makan dulu sama ... temen,” tambahnya sambil menatap Sagara kikuk.

“Loh, kamu udah makan? Padahal Aga—”

“Gapapa, Bu,” sela Sagara sebelum ibu Rissa menyelesaikan kalimat.

“Padahal apa?” tanya Rissa.

“Mandi dulu sana. Lo bau asem,” sahut Sagara mengalihkan topik.

Rissa refleks mengendus kedua ketiaknya. “NGGAK YA! GUE MASIH WANGI!”

“Ya menurut lo wangi, kan itu bau tubuh lo. Coba tanya Ibu nih. Bau asem ya, Bu?”

“Iya, bau banget!” jawab Ibu hiperbola sambil mengibas-ibaskan tangannya di depan hidung.

“IBU MAAHHHH!!!” rengek Rissa lantas memukul lengan Sagara dan menghentakkan kakinya pergi dari sana. Gelak tawa Sagara dan Ibu Rissa saling bersahutan mengiringi langkah kesalnya.

Sebetulnya Rissa masih penasaran dengan apa yang ingin dikatakan ibunya. Padahal Aga? Apa lanjutannya? Kalimat itu seolah-olah ada hal yang akan dilakukan Sagara tapi gagal. Tapi apa? Kenapa Sagara seakan tidak mau Rissa mengetahuinya? Dia terus mengalihkan topik.

Yang bikin Rissa kepikiran lagi itu saat Sagara tidak membahas sebutan “teman” yang ia gunakan buat mengganti Jarvis. Sagara pasti tahu kalau dia pulang bersama Jarvis. Tapi kenapa dia kaya biasa aja? Maksudnya, Rissa udah ketar-ketir Sagara bakal menyebut nama Jarvis di depan ibunya. Dia males ditanya-tanya soal Jarvis. Dia pikir Sagara bakal kaya “Bilang aja Jarvis elah segala ngomong sama temen.” atau “Bukan temen, Bu. Rissa pergi sama Jarvis tuh.” Ya pokoknya yang ngeledekin dia! Tapi ini kok kaya kalem aja....

“KAKAKKKK ANTERIN AKU LESSS!!!!”

Tiba-tiba Kayla, adik Rissa, muncul dari kamar ibunya yang terletak di samping kamar Rissa. Ia sigap memeluk pinggang Rissa, menahan kakaknya yang baru saja mau masuk kamar.

“Sama ibu aja lah. Kakak cape banget baru pulang.”

“Nggak mau! Sama kak Rissa aja!”

“Kakak cape, Kay.”

“Sini sama kak Aga aja, Kay!”

Sagara tampak melongok dari ruang tengah sambil melambai-lambai ke Kayla. Tangannya terus memanggil-manggil membujuk Kayla agar tidak mengganggu Rissa.

“Tuh, sama kak Aga sana!” pinta Rissa ikut membujuk agar Kayla segera melepaskannya.

“Sama kakak juga!”

“Ya masa udah sama kak Aga sama kakak juga? Kebanyakan dong. Motornya nggak muat!”

“Ih muuaaaatt!! Nanti aku duduk di tanki!”

“Jangan gitu lah, Kay. Kakak lagi cape. Bu, ini lah Kayla gimana!”

“Kayla! Sini sama ibu!!”

“Nggak mau!!!”

Rasanya Rissa mau nangis aja. Hari ini dia full kegiatan di sekolah. Nggak pernah rasanya cape yang secape ini. Tapi kenapa sih Kayla harus tantrum di saat tidur adalah hal yang pengen banget dilakuin Rissa sekarang?

Melihat keributan yang tak kunjung selesai, Sagara menghampiri mereka. “Yuk, sama kak Aga aja!”

Kayla menggeleng tegas. Mukanya udah merah. Gawat, ini bocil bentar lagi meledak.

“Katanya kamu mau beli es krim yang baru tuh. Namanya apa ya kakak lupa. Yang deket tempat les kamu. Jadi beli nggak?”

“Jadi, tapi, tapi tuh ...,” jawab Kayla yang suaranya udah parau ditambah gagap karena nahan nangis. “Aku nggak tau tempatnya di mana. Soalnya kata Rara udah pindah.”

“Ooh pindah. Ya nggak apa-apa. Nanti kita cari sama-sama.”

“Tuh mau dibeliin es krim sama kak Aga. Kalo kamu berangkat sama kakak, nggak beli es krim,” timpal Rissa.

“Mau, ya?” tambah Sagara meyakinkan. Kayla tampak mengangguk lemah dan perlahan melepaskan pelukannya pada Rissa. Sagara mengulurkan tangan dan langsung digenggam oleh Kayla.

Rissa berseru dalam hati. Akhirnya dia terbebas dari bocil kematian itu.

“Ati-ati di jalan ya kak. Sorry jadi ngerepotin.”

“Gapapa. Lo mau es krim juga nggak?”

“Eh? Dapet jatah nih gue?”

“Kalo mau.”

“Mau hehehe.”

“Nggak boleh!” Kayla tiba-tiba nyolot.

“Yee, orang kakak mintanya ke kak Aga bukan ke kamu.”

“Kak Aga cuman mau beliin aku DOANG!” jawab Kayla dengan nada songongnya.

“Eh! Tadi siapa ya yang nangis-nangis minta berangkat sama kakak???”

“Udah, ris, lo mau dia nangis beneran apa?”

“Dia tuh kak nyebelin!” tunjuk Rissa pada Kayla yang dibalas juluran lidah adiknya.

“Dadah! Aku mau beli es krim! Kakak enggak!” ledek Kayla seraya melangkah pergi dengan tangan yang masih dalam genggaman Sagara.

Rissa mengangkat kepalan tangannya, seperti hendak memukul Kayla. Namun pukulannya hanya berayun di udara. Ia memperhatikan Sagara dan Kayla yang jalan bergandengan sampai keluar rumah. Lirih terdengar obrolan mereka yang membicarakan rasa apa yang akan dibeli nanti. Keduanya tampak akrab. Pemandangan yang lazim. Rissa merasa beruntung ada Sagara yang selalu bisa membantu menjinakkan adiknya.

Sagara tiba-tiba menoleh ke arahnya. Entah mengapa jantung Rissa langsung mengentak keras. Wajahnya pun terasa panas saat Sagara melambaikan tangan. Apa ini? Kenapa Rissa jadi merasa seperti ini?

“Aga pinter ya jagain Kayla. Udah ada bibit-bibit Bapak yang baik,” ujar ibu Rissa tiba-tiba membuat degup Rissa semakin cepat.

“Loh? Kak Aga udah dari tadi kah?”

Rissa baru pulang dari sekolah setelah sebelumnya makan siang (mungkin lebih tepatnya sore) bersama Jarvis. Ia mendapati Sagara tengah duduk di ruang tengah bersama ibunya. Di hadapan mereka tersaji bolu bikinan ibunya semalam dan dua gelas sirup jeruk yang tersisa setengah.

“Lumayan. Kok lama banget pulangnya?” tanya Sagara lantas bergeser agar Rissa bisa duduk di sebelahnya.

“Tadi agak lama emang rapatnya. Trus pulangnya ...,” jeda Rissa untuk melirik ibunya. “Mampir makan dulu sama ... temen,” tambahnya sambil menatap Sagara kikuk.

“Loh, kamu udah makan? Padahal Aga—”

“Gapapa, Bu,” sela Sagara sebelum ibu Rissa menyelesaikan kalimat.

“Padahal apa?” tanya Rissa.

“Mandi dulu sana. Lo bau asem,” sahut Sagara mengalihkan topik.

Rissa refleks mengendus kedua ketiaknya. “NGGAK YA! GUE MASIH WANGI!”

“Ya menurut lo wangi, kan itu bau tubuh lo. Coba tanya Ibu nih. Bau asem ya, Bu?”

“Iya, bau banget!” jawab Ibu hiperbola sambil mengibas-ibaskan tangannya di depan hidung.

“IBU MAAHHHH!!!” rengek Rissa lantas memukul lengan Sagara dan menghentakkan kakinya pergi dari sana. Gelak tawa Sagara dan Ibu Rissa saling bersahutan mengiringi langkah kesalnya.

Sebetulnya Rissa masih penasaran dengan apa yang ingin dikatakan ibunya. Padahal Aga? Apa lanjutannya? Kalimat itu seolah-olah ada hal yang akan dilakukan Sagara tapi gagal. Tapi apa? Kenapa Sagara seakan tidak mau Rissa mengetahuinya? Dia terus mengalihkan topik.

Yang bikin Rissa kepikiran lagi itu saat Sagara tidak membahas sebutan “teman” yang ia gunakan buat mengganti Jarvis. Sagara pasti tahu kalau dia pulang bersama Jarvis. Tapi kenapa dia kaya biasa aja? Maksudnya, Rissa udah ketar-ketir Sagara bakal menyebut nama Jarvis di depan ibunya. Dia males ditanya-tanya soal Jarvis. Dia pikir Sagara bakal kaya “Bilang aja Jarvis elah segala ngomong sama temen.” atau “Bukan temen, Bu. Rissa pergi sama Jarvis tuh.” Ya pokoknya yang ngeledekin dia! Tapi ini kok kaya kalem aja....

“KAKAKKKK ANTERIN AKU LESSS!!!!”

Tiba-tiba Kayla, adik Rissa, muncul dari kamar ibunya yang terletak di samping kamar Rissa. Ia sigap memeluk pinggang Rissa, menahan kakaknya yang baru saja mau masuk kamar.

“Sama ibu aja lah. Kakak cape banget baru pulang.”

“Nggak mau! Sama kak Rissa aja!”

“Kakak cape, Kay.”

“Sini sama kak Aga aja, Kay!”

Sagara tampak melongok dari ruang tengah sambil melambai-lambai ke Kayla. Tangannya terus memanggil-manggil membujuk Kayla agar tidak mengganggu Rissa.

“Tuh, sama kak Aga sana!” pinta Rissa ikut membujuk agar Kayla segera melepaskannya.

“Sama kakak juga!”

“Ya masa udah sama kak Aga sama kakak juga? Kebanyakan dong. Motornya nggak muat!”

“Ih muuaaaatt!! Nanti aku duduk di tanki!”

“Jangan gitu lah, Kay. Kakak lagi cape. Bu, ini lah Kayla gimana!”

“Kayla! Sini sama ibu!!”

“Nggak mau!!!”

Rasanya Rissa mau nangis aja. Hari ini dia full kegiatan di sekolah. Nggak pernah rasanya cape yang secape ini. Tapi kenapa sih Kayla harus tantrum di saat tidur adalah hal yang pengen banget dilakuin Rissa sekarang?

Melihat keributan yang tak kunjung selesai, Sagara menghampiri mereka. “Yuk, sama kak Aga aja!”

Kayla menggeleng tegas. Mukanya udah merah. Gawat, ini bocil bentar lagi meledak.

“Katanya kamu mau beli es krim yang baru tuh. Namanya apa ya kakak lupa. Yang deket tempat les kamu. Jadi beli nggak?”

“Jadi, tapi, tapi tuh ...,” jawab Kayla yang suaranya udah parau ditambah gagap karena nahan nangis. “Aku nggak tau tempatnya di mana. Soalnya kata Rara udah pindah.”

“Ooh pindah. Ya nggak apa-apa. Nanti kita cari sama-sama.”

“Tuh mau dibeliin es krim sama kak Aga. Kalo kamu berangkat sama kakak, nggak beli es krim,” timpal Rissa.

“Mau, ya?” tambah Sagara meyakinkan. Kayla tampak mengangguk lemah dan perlahan melepaskan pelukannya pada Rissa. Sagara mengulurkan tangan dan langsung digenggam oleh Kayla.

Rissa berseru dalam hati. Akhirnya dia terbebas dari bocil kematian itu.

“Ati-ati di jalan ya kak. Sorry jadi ngerepotin.”

“Gapapa. Lo mau es krim juga nggak?”

“Eh? Dapet jatah nih gue?”

“Kalo mau.”

“Mau hehehe.”

“Nggak boleh!” Kayla tiba-tiba nyolot.

“Yee, orang kakak mintanya ke kak Aga bukan ke kamu.”

“Kak Aga cuman mau beliin aku DOANG!” jawab Kayla dengan nada songongnya.

“Eh! Tadi siapa ya yang nangis-nangis minta berangkat sama kakak???”

“Udah, ris, lo mau dia nangis beneran apa?”

“Dia tuh kak nyebelin!” tunjuk Rissa pada Kayla yang dibalas juluran lidah adiknya.

“Dadah! Aku mau beli es krim! Kakak enggak!” ledek Kayla seraya melangkah pergi dengan tangan yang masih dalam genggaman Sagara.

Rissa mengangkat kepalan tangannya, seperti hendak memukul Kayla. Namun pukulannya hanya berayun di udara. Ia memperhatikan Sagara dan Kayla yang jalan bergandengan sampai keluar rumah. Lirih terdengar obrolan mereka yang membicarakan rasa apa yang akan dibeli nanti. Keduanya tampak akrab. Pemandangan yang lazim. Rissa merasa beruntung ada Sagara yang selalu bisa membantu menjinakkan adiknya.

Sagara tiba-tiba menoleh ke arahnya. Entah mengapa jantung Rissa langsung mengentak keras. Wajahnya pun terasa panas saat Sagara melambaikan tangan. Apa ini? Kenapa Rissa jadi merasa seperti ini?

“Aga pinter ya jagain Kayla. Udah ada bibit-bibit Bapak yang baik,” ujar ibu Rissa tiba-tiba membuat degup Rissa semakin cepat.

Gue nggak kebayang bakal musuhan sama Sagara karena persoalan sesimpel 'rebutan' cewek. Kita udah temenan lumayan lama. Baik gue maupun Sagara udah saling tahu tipe cewek kita masing-masing. Dan itu sama sekali nggak berhubungan alias tipe cewek kita beda banget.

Sagara suka sama cewek yang dikenal banyak orang. Soalnya dia emang haus atensi. Kalo dia bisa macarin cewek itu, otomatis dia bakal dikenal juga, gitu pemikiran anjingnya. Tipe cantik yang disenengin Sagara gue juga tau anjing! Keahlian yang sama sekali nggak gue syukuri.

Semua tipe cewek Sagara yang gue tau itu sama sekali nggak ada di diri Rissa. Bahkan wajah Rissa beda jauh sama mantan terakhir Sagara, si Githa. Gue akui dua-duanya cantik. Tapi cantiknya mereka itu beda! Dan gue gatau bedanya apa! Pokoknya Rissa beda aja dari tipenya Sagara.

Ya, gue belum bisa mastiin Sagara marah sama gue karena dia juga 'suka' sama Rissa. Mungkin aja dia marah karena gue udah nyakitin cewek yang udah dia anggap kaya adik sendiri. Makanya di sini gue mau mastiin alesan dia apa. Nggak enak musuhan sama temen deket karena salah paham doang.

Kalo tipe cewek gue? Rahasia. Kalo diceritain, nanti banyak yang mau memantaskan diri lagi.

Udah hampir setengah jam gue duduk sama Sagara ngomongin soal basket. Gatau dah di sini kita kaya nggak ada masalah apa-apa. Diskusi ya enak aja. Ya mungkin si Sagara juga udah sadar kalo musuhan sama gue itu banyak ruginya. Iya lah, yakali dia buang temen sekeren gue.

“Berarti udah fix ini dia yang kepilih?” tanya gue sambil menunjuk nama yang dari tadi Kami diskusikan.

“Ya kalo dari gue sih dia yang paling pantes.”

“Gue juga. Berarti tinggal gue diskusiin sama Bisma.”

Sagara mengangguk. “Udah berarti? Mau ngomongin apa lagi?”

Gue berdeham lantas mengubah posisi duduk menjadi agak tegap. “Masalah gue sama lo. Gue nggak mau masalahnya berlarut lama atau sampe merambat ke mana-mana. Jadi mending kita selesain sekarang aja lah mumpung belum nyebar.”

“Yaudah apa?”

Sagara yang duduk di hadapan gue menyandarkan punggungnya. Tangannya terlipat di dada. Gue berasa lagi di sidang anjir!

“Lo sebenernya kenapa kemarin diemin gue? Masih soal Rissa? Salah apa lagi sih gue, Ga?”

Terdengar helaan napas halus milik Sagara. “Gue masih belum terima sama apa yang lo lakuin ke Rissa. Nggak peduli Rissa udah maafin lo atau dia nyuruh gue minta maaf sama lo, gue masih nggak terima. Gue udah jagain dia dari dulu, Jar. Lo yang baru masuk ke kehidupan Rissa udah ngasih banyak masalah ke hidup dia. Gue nggak ikhlas.”

Giliran gue yang mengela napas. “Trus lo mau gue gimana? Jauhin Rissa?”

“Iya, gue mau lo jauhin Rissa. Tapi gue tau, Rissa nggak bakal mau dijauhin lo. Yang ada malah nambah masalah.”

Gue cukup speechless sama omongan cowok di depan gue ini. Sagara paham banget sama Rissa. Ini membuktikan kalau Sagara bener-bener tumbuh bersama Rissa. Pantesan mereka udah dijodohin dari kecil. Sagara keliatan bisa banget lindungin Rissa.

“Ya terus?”

“Ya, udah, nggak ada penyelesaian. Paling bentar lagi gue udah balik kaya dulu. Nggak usah dipikir.”

“Gue tetep boleh deket sama Rissa?”

Sagara langsung menatap gue tajam. “Lo anggep Rissa apa?”

“Cewek. Gue anggep dia sebagai cewek. Bukan adik kelas, apalagi sekedar kenalan. Gue anggep dia cewek yang bisa kapan aja gue milikin.”

Kami sama-sama terdiam. Gue nggak tau apa isi kepala Sagara sekarang. Apa yang gue ucapin tadi tiba-tiba keluar aja. Tapi bukan berarti gue main-main. Gue pengen Sagara tau kalo gue punya perasaan lebih ke Rissa.

“Kalo lo sendiri anggep Rissa apa, Ga?” tanya gue balik setelah Sagara tak kunjung melanjutkan pembicaraan.

“Cewek yang ... gue sayang,” jawab Sagara dengan akhiran yang begitu lirih. Namun gue begitu jelas mendengarnya.

Jantung gue mengentak keras. “Cewek? Bukan adik?”

Sagara menggeleng. “Cewek.”

Gue menatap mata Sagara, berusaha mencari kebohongan tapi malah keyakinan yang gue temukan. Setelah itu, gue terbahak. Sagara menatap gue heran, tapi lama-lama dia ikut ketawa juga.

“Apa yang lucu anjir???” tanya Sagara di sela tawanya.

“Lah lo juga ketawa! Apa yang lo ketawain bangsat!” balas gue yang nggak tau kenapa makin ngakak liat raut kebingungan Sagara.

“Gue ketawa karna ngeliat lo njing!”

“Gue juga!”

Ada lima menitan gue sama Sagara ketawa dengan alasan yang nggak jelas. Dan ketawa itu nggak kedengeran ketawa bahagia anjing! Tapi ketawa miris!

“Yaelah, Ga, cewek banyak kenapa lo suka sama cewek yang gue suka sih?”

“Lo juga bangsat! Cewe yang suka sama lo banyak. Belom move on dari Laras. Kenapa tiba-tiba suka sama cewek yang gue suka???”

“Brengsek! Urusin noh Githa!”

“Anjeng!”

Sesi saling memaki itu ditutup sama tawaan Kami berdua lagi.

“Tapi jujur, gue gamau kita musuhan kalo alesannya tentang cewek, Ga. Nggak etis lah. Kaya yang lo bilang, cewek yang suka gue banyak. Jadi mending gue ngelepas satu cewek daripada ngelepas temen sendiri,” ujar gue.

“Kalo gue mending nyari temen baru lah daripada ngelepas cewek yang gue suka!” balas Sagara yang gue tau dari intonasinya kalo itu cuman candaan.

“Bangke lo! Gelut aja lah!”

“Jangan spaneng banget lah, Jar! Gue juga sebenernya ogah musuhan soal cewek. Berarti siapa yang mau ngelepas Rissa di sini?”

Kami berdua sama-sama diam. Tidak adanya jawaban membuat tawa Kami menyembur.

“Nggak ada yang mau ngalah anjing!”

“Kita serahin ke Rissa aja. Siapapun yang dia pilih, kita harus terima.”

Sagara menyetujui usulan gue. Masalah Kami berdua pun selesai. Kami berjabat tangan, tanda bahwa gue maupun Sagara sepakat untuk berdamai dan memaafkan kesalahan masing-masing.

Kini saatnya Kami memulai babak baru.

Persaingan pun dimulai.

“YEAY!”

Melihat sang kekasih berdiri di daun pintunya, Freya lantas melompat ke pelukan Justin. Tubuh Justin agak terhuyung, tapi dengan sigap ia memasang kuda-kuda agar tak terjatuh. Kedua tangannya yang kekar melingkar tepat pinggang ramping perempuannya. Tepukan pelan mendarat di pantat Freya.

“Oh ini anak kecil yang dari kemaren nakal, hm? Kamu tuh kecil banget tau nggak? Liat nih liat! Aku bisa gendong kamu pake satu tangan!”

“Kyaa!!! Justin turunin ih!”

Freya berteriak kecil seraya menepuk bahu Justin dengan panik saat lelaki itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya ke dalam gendongan.

Justin tertawa gemas lantas menurunkan tubuh Freya. Namun raut wajahnya kembali ditekuk saat bertatapan dengan Freya. Kedua tangannya terlipat di dada, seperti hendak menghakimi Freya. Bukannya takut, Freya malah meniru apa yang dilakukan Justin.

“Anak nakal!” tuding Justin sambil menunjuk Freya dan menusuk pipi gembul Freya dengan telunjuknya.

“Sakitttt!!!”

“Makanya jangan nakal! Kamu tuh kecil, mungil, dari jarak semeter aja udah nggak keliatan! Nih aku aja bisa ngangkat kamu kaya gini,” ujar Justin dengan menarik kerah belakang Freya, persis seperti sedang mengangkat seekor anak kucing.

Freya langsung berontak. “Bully aja terus!!! Mentang-mentang badannya gede!!”

Lelaki itu membalasnya dengan menggosok pucuk kepala Freya berkali-kali, bahkan semakin lama gosokan itu semakin kuat. Entahlah, malam itu Justin begitu gemas dengan Freya. Mungkin karena efek ngambek seharian yang bikin dia harus nahan diri buat nggak manja-manjaan atau sekedar menusuk pipi lembut Freya. Cuman sehari aja dia udah nggak tahan gini. Ini kalo seandainya Freya bukan jodohnya gimana ya? Kayaknya Justin bakal gila.

“Papa mama nggak di rumah?”

Freya menggeleng. “Tapi kayaknya bentar lagi ada yang pulang. Jalan sekarang yuk! Daripada nanti keburu mereka pulang malah kita nggak jadi pergi.”

“Bagus dong! Biar nggak usah balapan.”

Freya menaruh kedua tangannya di pinggang, kesal. Tawa Justin lantas menggelegar.

“Iya, iya, ayo jalan! Keluarin dulu motornya.”


“Awas ati-ati ada genangan.”

“Iya, udah liat.”

Justin dan Freya berhenti ketika lampu lalu lintas berubah merah. Posisi motor mereka berada di sebelah mobil yang dengan percaya dirinya menempati pemberhentian kendaraan roda dua. Justin berada di belakang Freya. Membiarkan pacarnya yang memimpin perjalanan agar tak tertinggal. Ini terasa lebih aman karena Justin bisa mengawasi Freya sepenuhnya.

Terdengar suara knalpot yang begitu menggelegar. Justin lantas mengintip dari kaca spion. Oh, sepertinya itu salah satu anak arena. Justin tidak asing dengan motor sport merah yang dikendarainya. Namun sepertinya ia tidak berniat ke arena. Lampu sein kirinya menyala.

Tampaknya orang itu juga mengenal Justin. Ia menggeber motornya ketika melewati Justin, bermaksud mengejek. Namun Justin hanya membalasnya dengan menekan klakson. Lagi pula hal semacam pamer suara mesin udah biasa dilakuin di arena. Jadi Justin nggak begitu baper pas tiba-tiba digeber tanpa alasan.

Namun ada hal lain yang memancing emosi Justin. Orang itu dengan sengaja melaju cepat ketika melewati genangan air yang berada di samping Freya. Apa jadinya? Apalagi kalo bukan airnya muncrat dan mengguyur hampir seluruh tubuh Freya. Genangan air itu cukup dalam. Bisa dibayangkan seberapa banyak air yang membasahi tubuh Freya.

Freya berteriak histeris. Air genangan itu bahkan sampai masuk ke mulutnya.

“WOY!!!!” teriak Justin yang langsung menyalakan sein kiri dan mengejar motor itu.

“JUSTIN!” panggil Freya lantas bergegas menyusul Justin.

Saling kejar-kejaran pun tak terelakkan. Justin menarik habis pedal gasnya. Amarah terasa bercokol di ujung kepala, bersiap meledakkan lavanya. Bayangan saat air genangan mengguyur tubuh Freya bagai pemantik yang membakar emosi Justin.

Si Jaguar, nama motor Justin, meliuk-liuk lihai di jalanan. Diiringi berisiknya klakson motor atau mobil yang hampir ditabrak atau menabrak Justin. Yang tampak di mata Justin hanya kilatan merah lampu belakang motor milik orang yang beraninya mengganggu pacarnya tepat di depan matanya sendiri. Justin seolah abai dengan padatnya lalu lintas malam itu, bahkan jika ada polisi pun Justin takkan mengurangi kecepatannya.

Tiba di jalanan cukup sepi, Justin makin menambah kecepatan. Ia berhasil menyusul motor itu dan dengan segenap emosinya, ia menendang motor itu hingga oleng dan jatuh ke trotoar. Justin menarik pedal remnya dalam hingga menggoreskan bekas ban di aspal.

Orang itu mengerang kesakitan karena tertimpa motor. Melihat Justin yang berjalan mendekat membuatnya bergegas bangun. Ia berlari terseok, lebih memilih menahan rasa sakit di kakinya daripada tertangkap Justin yang tampak begitu mengerikan berjalan di tengah kegelapan dengan menenteng helm di tangan kirinya. Namun tentunya mudah untuk Justin mengejar orang itu. Ia memukulkan helmnya ke punggung orang itu hingga ia tersungkur kembali.

“Gue lagi diem, Bro. Ngapain lo nyari masalah sama cewek gue?” tanya Justin mengintimidasi.

“Gue nggak sengaja, sumpah! Gue nggak sengaja! Nggak tau ada genangan di situ!”

“Ya lo minta maaf! Ngapa malah kabur!”

“Sorry, Bro! Sorry!”

“Halah! Ngucap sorry gampang! Cewek gue basah kuyup bisa kering sama kata sorry lo?! Sini lo!”

Justin lantas menarik kerah jaket orang itu dan menggeretnya. Kebetulan mereka berhenti di tepi aliran irigasi persawahan yang mengalir tenang. Tanpa ragu, Justin mendorong orang itu hingga tercebur ke sana. Irigasi itu tidak terlalu dalam, hanya sebatas lutut orang itu. Namun tetap saja membuat seluruh tubuhnya basah kuyup.

“Ini baru impas! Gue tunggu di arena buat bayar geberan motor lo!”

Justin melenggang pergi. Tersenyum puas telah berhasil menuntaskan kekesalannya. Namun tiba-tiba ia teringat sesuatu.

“Freya di mana anjir cewe gue!”

Ia langsung berlari kembali ke motornya. Tergesa-gesa mengenakan helm dan menyalakan motornya. Baru saja hendak berbalik arah, terdengar suara klakson dan teriakan seseorang.

“JUSTIN!”

Seseorang itu ternyata Freya. Dia berhenti di belakang motor Justin. Dengan pakaian yang masih basah, ia berlari kecil menghampiri Justin.

“Lo nggak apa-apa?!” tanya Freya tampak panik. “Tadi lo ngebut banget! Gue takut lo kecelakaan!”

Justin bergegas turun dari motornya dan memeluk Freya.

“Baju gue basah, Tin!”

“Makanya gue peluk biar kering.”

“Mana bisa begitu! Yang ada baju lo ikut basah!”

“Gapapa.”

“Jangan!”

Freya melepas pelukan Justin. Lelaki itu menatapnya sendu. “Maaf nggak bisa lindungin lo.”

“Ini bukan salah lo. Jangan minta maaf dong. Orangnya mana tadi? Kena nggak?”

Justin menunjuk dengan dagunya. “Lagi mandi sore.”

“Lo yang ceburin????”

Lelaki itu mengangguk bangga membuat Freya terbahak.

“Baju lo basah banget, Fre. Pulang aja yuk. Kalo dipake terus, nanti lo sakit.”

Freya menggeleng. “Kalo pulang kaya gini nanti dimarahin mamah.”

Justin berpikir sejenak. “Kalo pulang ke rumah gue ... gimana?”

“Eh?”

“Kayaknya ibu punya baju ganti buat lo. Lagian ... ibu udah lama pengen ketemu lo.”

Wajah Freya memerah. “Tapi masa gue ketemu ibu lo kaya gini sih??”

Justin tertawa. “Gapapa, ibu udah biasa kok ngeliat anaknya pulang bawa masalah.”

“Cepet amat baliknya, Kak! Lo naik burok apa gi .. ma ...”

Dentum bertalu dalam relung jiwa. Dua pasang mata yang lama tak bertemu, kini saling menyapa. Tubuh mereka membeku, bahkan desir panas yang mengalir pun tak dapat membuatnya cair. Suara melengking dari berhentinya waktu menusuk pendengaran. Memberikan kesempatan untuk mereka bertegur sapa lewat tatap sebelum lisan bersuara.

“Eh, kak Jarvis. Masuk, Kak,” ujar Rissa memecah keheningan. Ia lantas memperbaiki posisinya menjadi setengah berbaring. Sedikit merapikan rambut dan pakaiannya, lalu memberikan senyuman tipis pada lelaki di hadapannya. Sesuatu dalam dadanya masih berdegup kencang.

“Permisi,” ucap Jarvis seraya melangkah masuk dengan sedikit membungkukkan badannya, menyapa Rissa. Di bahu kanannya, tersampir tas gendong yang biasa ia bawa ke sekolah. Sedangkan tangan kirinya menenteng kantung plastik hitam berisi buah tangan untuk Rissa.

Jarvis melangkah ke sisi kanan Rissa. Tengok kanan-kiri memastikan tidak ada orang lain selain mereka berdua. Ia lantas melempar senyum canggung ke Rissa yang tak melepas pandang darinya.

“Sendirian, Ris?” tanya Jarvis.

“Ada ibu, tapi lagi ke kantin, Kak,” jawab Rissa.

Jarvis mengangguk kecil. “Gimana keadaan lo sekarang?”

“Udah mendingan. Cuman masih sering mual, Kak. Anu .. emm .. kak, kayaknya gue mau muntah. Gue ke toilet dulu ya,” ujar Rissa panik sambil berusaha meraih kantung infus yang tergantung di atasnya.

“Eh, emang lo bisa jalan? Toilet di mana?” Melihatnya, Jarvis ikut panik. Ia langsung mengambil alih kantung infus milik Rissa dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

“Di situ,” jawab Rissa yang sudah membekap mulutnya kencang. Ia berjalan tertatih dalam rengkuhan Jarvis. Kebetulan ada toilet di dalam ruangan Rissa. Jadi dia tak perlu jalan terlalu jauh.

“Anu ... bisa sendiri? Apa mau gue bantuin?” Bener-bener posisi yang serba salah. Jarvis nggak mungkin biarin Rissa di dalem toilet sendirian, tapi dia juga nggak mungkin masuk ke toilet berdua sama Rissa. Sebenernya mungkin saja. Namun Jarvis takut Rissa tidak nyaman.

“Gausah kak, gue bisa sendiri. Maaf banget ya,” ujar Rissa sebelum menutup pintu toilet, meninggalkan Jarvis di luar.

Setelahnya, terdengar suara Rissa yang tengah berusaha mengeluarkan isi perutnya, walaupun sudah tidak ada lagi yang bisa ia keluarkan. Jarvis tampak sangat khawatir. Dadanya berdegup sangat kencang. Matanya mulai memerah. Sangat takut melihat keadaan Rissa sekarang.

“Ris? Udah, Ris? Mau gue bantuin?” ujar Jarvis sambil mengetuk pelan pintu toilet.

Tak lama kemudian, pintu toilet terbuka. Menampilkan Rissa dengan rambut berantakan yang wajahnya sudah pucat dan basah. Jarvis sigap mengambil alih kantung infusnya lagi dan menuntunnya kembali ke ranjang.

“Maaf ya kak, jadi ngerepotin,” ujar Rissa lemah.

“Jangan minta maaf mulu dong,” jawab Jarvis yang suaranya sedikit bergetar.

Rissa kembali berbaring di ranjangnya. Ia menghela napas panjang. Memejamkan matanya sejenak lantas menoleh ke Jarvis yang menatapnya khawatir.

“Lemes ya?” tanya lelaki itu.

Rissa mengangguk. “Tapi udah agak mendingan sih. Kak Jarvis gamau duduk? Itu ada kursi ditarik ke sini aja kak.”

Jarvis nurut dan ambil kursi itu buat ditaro di deket Rissa. Mereka berhadapan lantas saling melempar tawa canggung.

“Ke sini sendirian, Kak? Nggak ketemu sama kak Sagara tadi di sekolah?”

“Sagara nggak masuk kan tadi?”

“Iya, tapi tadi dia baru otw ke sekolah buat jemput Dara. Kirain ketemu.”

“Engga. Kayaknya dia keluar terus gue dateng deh. Jadi nggak pas timing-nya.” Sebenernya ini timing yang pas sih menurut Jarvis.

“Ooh gitu. Nggak ngabarin juga sih ya kak Sagara mau ke sekolah. Jadi nggak bareng.”

“Iya, gue juga nggak ngabarin Sagara mau ke sini. Eh gue juga nggak ngabarin lo.”

“Iya hahaha, makanya tadi agak kaget pas kak Jarvis dateng.”

Percakapan selesai. Mereka hanya mengangguk-angguk kecil sambil menatap ke arah lain. Mencari-cari topik pembicaraan selanjutnya yang gatau ngumpet di mana.

Pandangan Jarvis jatuh ke plastik bungkusan yang ia bawa tadi. Nah ini dia topiknya.

“Oh iya, ini gue bawa roti sama buah-buahan. Udah gue cari tau aman sih dimakan lo. Tapi takutnya beda sama saran dokter. Jadi kalo mau makan, ditanyain dulu ya boleh apa engganya.”

Rissa menengok ke bungkusan yang dibawa Jarvis. “Eh, ya ampun makasih banyak kak. Jadi repot-repot bawa makanan segala.”

“Nggak repot kok. Ya masa ke sini nggak bawa apa-apa. Malu dong,” ujar Jarvis memicu gelak tawa keduanya.

“Gue minta maaf kak kemarin ngerepotin lo,” ujar Rissa tiba-tiba.

“Gue yang minta maaf, Ris. Gue gatau ternyata lo lagi sakit. Tau gitu, gue nggak bakal ajakin lo ke gym. Maafin gue nggak peka sama keadaan lo kemarin.”

Dentuman kecil muncul di relung Rissa. Menerbangkan kupu-kupu di perutnya. Melihat raut wajah Jarvis yang tampak menyesal membuatnya terharu. Jarvis ternyata peduli padanya.

Derap langkah kaki terdengar memasuki ruangan. Jarvis menoleh cepat, terkejut dengan seseorang yang baru saja masuk ke ruangan Rissa. Untung saja orang itu bukan Sagara, melainkan perempuan paruh baya yang Jarvis yakini adalah ibu Rissa.

“Eh, ada tamu,” sambut ibu Rissa melihat kehadiran Jarvis di sana.

“Sore, Tante,” sapa Jarvis yang bergegas berdiri untuk menyalami ibu Rissa.

“Sore juga, temennya Rissa?”

“Kakak kelasku, Bu. Namanya kak Jarvis,” sahut Rissa.

“Ooh Jarvis. Udah lama datengnya, Mas? Maaf ya, tadi tante lagi beli makanan di kantin.”

“Belum lama Tante, baru aja dateng ini. Gapapa, Tan. Saya juga minta maaf ke sini nggak ngabarin dulu. Soalnya habis sekolah tadi langsung ke sini.”

“Ooh iya, gapapa dong. Tante malah seneng ada yang dateng jadi Rissa ada temen ngobrolnya. Ini Aga juga lagi jemput temen kamu ya, Kak? Siapa sih itu namanya?”

“Dara, Bu. Iya tadi aku minta kak Aga jemput Dara. Kayaknya bentar lagi nyampe.”

“Ooh, ya nanti kalo Aga udah sampe, suruh makan dulu kata ibu gitu. Dia baru makan bubur doang tadi pagi.”

“Iya Bu.”

“Ini loh mas Jarvis, si Rissa ngikut-ngikut artis Korea gitu pake diet segala. Tapi dianya nggak bener ngatur makannya. Ya jadi kaya gini nih. Udah tante bilangin, gausah diet-diet. Kamu itu punya maag. Eh, ngeyel. Liat tuh jadinya kaya gini kan.”

“Buu!!!” protes Rissa.

“Loh, Rissa diet ternyata? Saya malah baru tau, Tan. Kalo diet itu ngurangin makan ris, bukan nggak makan. Apalagi kalo punya maag kan nggak boleh telat makan,” sahut Jarvis.

“Tuh, dengerin kata mas Jarvis. Ngurangin makan bukan nggak makan! Lah, ini dia sampe nggak makan berhari-hari, Mas! Tiap hari minum doang.”

“Ibu udah ih, aku malu!”

“Jangan kaya gitu ya ris. Kasian lambung kamu.”

Kamu

“Iya, kak. Maaf.”

Ketukan pintu menjeda obrolan mereka. Ketiganya menoleh bersamaan.

Sial, Jarvis terlambat keluar dari kandang singa ini. Penghuninya keburu kembali.

Do we need somebody Just to feel like we're alright Is the only reason you're holding me tonight 'Cause we're scared to be lonely?

“Lagu apaan sih!”

Travis secepat kilat menggeser layar ponselnya untuk beralih ke lagu lain.

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?

“Bangsat makin parah! Ini spotify gue kenapa, sih?!”

Ibu jari Travis menekan layar dengan penuh emosi untuk beralih ke lagu selanjutnya.

Roti dan selai. Bunga dan kumbang.

“BANGSAAAATTT!” umpatnya seraya mengangkat ponselnya tinggi, bermaksud membanting kalau saja ia tidak ingat ponsel itu adalah alat komunikasi satu-satunya yang ia miliki sekarang. Ponsel itu mengambang di udara dan hanya ia ayunkan penuh kekesalan.

Travis menekan tombol 1 di layar ponselnya dan langsung tersambung dengan seseorang.

“Spotify premium gue habis, beliin!”

“Lo di mana anjing??? Nyokap lo nyariin dari tadi!”

“Beliin gue spotify premium! Gue nggak mau denger roti dan selai!” tandas Travis lantas memutuskan telepon tanpa menunggu jawaban dari orang di seberang sana.

Kalian bertanya di mana Travis berada?

Sebuah halte tua yang sepertinya sudah lama tidak terpakai adalah jawabannya. Halte tersebut terletak di pinggir jalanan yang tengah disergap kesunyian malam. Tidak banyak pemukiman di sana. Hanya semak belukar yang kadang berbunyi gemrisik oleh terpaan angin.

Travis juga tidak tahu bagaimana ia bisa berjalan sampai ke tempat ini.

Ya, dia berjalan. Tidak menggunakan motor atau mobil mahalnya. Hanya mengandalkan sepasang kaki jenjang yang terlapis celana selutut dan sandal slop bernilai jutaan rupiah. Kaos pendek yang dipakai berbalut hoodie hitam dengan kalung rantai menjuntai di dada. Rambutnya dikuncir dengan poni yang berantakan. Kedua telinganya terselip airpods yang tak mengeluarkan suara. Trauma sama roti dan selai.

Entah style apa yang digunakan Travis saat ini. Dia hanya asal menggunakan apa yang tergeletak di kasur sebelum ia “kabur” dari apartemennya.

Sepasang netra yang menyipit karena kantuk berpendar menatap sekitar. Sepi. Tidak ada orang. Tidak ada kehidupan yang ia kenal. Semuanya terasa asing. Namun Travis takkan dibuat takut. Inilah dunianya. Tak merasakan kehadiran siapapun walau ia berdiri di tengah keramaian sekalipun.

“Huuu ... huuuu ... huuu ....”

Kepalanya menoleh cepat sampai tulang lehernya berbunyi. Ia meringis sambil mengusap leher. Suara apa tadi? Tidak ada seorang pun di sini. Namun ia yakin ada suara seseorang menangis di sekitar sini. Bahkan suaranya terekam jelas walau telinganya tersumbat earphone tak bersuara.

Sial! Bukan keramaian seperti ini yang Travis maksud!

“Hiks ... hiks ....”

Rintihan itu kembali terdengar. Kali ini Travis refleks berdiri. Ia melihat cahaya dari kejauhan tengah berjalan mendekat, seperti cahaya dari lampu motor. Namun lajunya sangat pelan. Ia bahkan tidak melihat seseorang tengah mengendarainya.

“Bangsat, ini gue lagi diliatin setan?!?!”

Travis berusaha tenang. Walaupun di sisi lain, kakinya sudah memasang kuda-kuda yang tidak tahu fungsinya untuk apa. Kedua tangannya mengepal di depan wajahnya. Menunggu serangan yang tidak tahu bisa ia lawan atau tidak.

Motor itu makin dekat. Mata Travis makin memicing. Semakin jelas ia melihat kalau ternyata ada seseorang di sana. Bukannya mengendarai, orang itu malah mendorong motornya. Padahal dapat Travis dengar mesinnya menyala. Orang lampunya aja nyala.

“Itu orang lagi stress banget kah sampe dorong motor malem-malem sendirian???”

Travis mengubah gaya berdirinya menjadi tegap dengan tangan yang terlipat di dada. Kembali ke mode “sok” keren yang biasa ia perlihatkan di depan orang-orang.

“Lah cewek?” gumamnya lagi saat orang itu hampir melintas di depannya. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaan Travis di sini.

“Mbak?”

Yang dipanggil sontak menoleh dengan raut terkejut. Dia benar-benar tidak menyadari keberadaan Travis.

“Kenapa nggak dinaiki, Mbak?”

Cewek itu mengusap hidungnya yang berair. Dengan sempoyongan, ia berusaha menyandarkan motornya yang tampak kelewat berat untuk tubuh kecilnya. Travis refleks menengadahkan tangan melihat motor itu hampir jatuh. Setelahnya, cewek itu melangkah ke hadapan Travis dengan takut-takut.

Mata sembab gadis itu menelusuri penampilan Travis dari atas sampai bawah. Telunjuknya terulur ragu menuju bagian perut Travis dan menusuknya kilat. Travis terkejut dan langsung mundur.

“Ngapain, anjir?!”

“Ini ... manusia?”

Rahang bawah Travis hampir jatuh ke tanah mendengarnya.

“Harusnya gue yang tanya!”

“Gue manusia, sih. Kalo lo?”

“Ya, gue manusia juga.”

Kenapa pembicaraan ini terdengar sangat tidak wajar????

Setelah mendengar jawaban Travis, energi cewek itu seperti meluap hingga ia merosot ke tanah.

“Akhirnya penderitaan gue selesai!!!”

Cewek itu tiba-tiba langsung menyergap kaki Travis. “Tolongin gue, please!”

“Apaan woy! Lepasin!” tolak Travis seraya berusaha menarik kakinya dari pelukan cewek itu.

“Tolong gue,” rengek cewek itu.

“Lepasin dulu anjing! Apa mau gue tendang muka lo?”

Cewek itu mencebikkan bibir lantas melepas kaki Travis. Cowok itu berbalik dan duduk di kursi halte.

“Duduk,” pintanya sambil menunjuk sebelah kirinya dengan dagu.

Cewek itu kesusahan berdiri. Dia menjulurkan tangan, bermaksud meminta bantuan pada Travis tapi tak direspon. Lihat, dia bahkan bisa berdiri tanpa bantuan sekarang. Tipu muslihat wanita memang luar biasa.

Sebelum pantatnya mendarat di kursi, Travis terlebih dahulu menyela dengan sebuah pertanyaan.

“Mesin motornya nggak mau dimatiin? Bapak lo yang punya POM kah?”

Cewek itu mendecih lantas menghampiri motornya untuk mematikan mesin. Ia kembali dan menghempaskan tubuhnya dengan keras hingga besi panjang tempat mereka duduk bergoyang.

“Gue butuh bantuan lo. Please, tolongin gue!”

“Gue bukan anak bengkel. Nggak bisa benerin motor lo.”

“Hah???” Cewek itu menggaruk kepalanya bingung. “Motor gue nggak kenapa-kenapa tuh???”

“Kenapa nggak dinaikin?”

“Nggak bisa hehe.” Gadis itu terkekeh malu sambil menggaruk kepalanya lagi.

“Nggak bisa??? Maksudnya???”

“Ya nggak bisa, nggak bisa gue naikin. Apanya yang maksudnya???”

“Lo nggak bisa naik motor? Trus ngapain bawa MOTOR???”

Cewek itu tampak gelisah menjawab pertanyaan Travis. Hampir saja Travis refleks beli obat penghilang ketombe atau kutu soalnya ini cewek ngapain garuk-garuk kepala mulu anjing?????

“Jadi gini, gue baru punya motor ini sekitar semingguan lah. Nah gue baru latihan makenya sekali sama abang gue.”

“SEKALI???”

“TENANG DULU! Gue jago loh walau cuman sekali latihan. Approved by abang gue sendiri! Cuman ... ya ... sekarang gue lagi lupa aja cara makenya hehe.”

“Itu namanya lo belum jago, tolol! Mana ada orang lupa cara bawa motor!”

“Ya .. gitu. Ya nggak lupa sih. Tapi ya ... iya.”

Travis memejam frustasi sambil meraup wajahnya. “Lagian ngapa sih cewe pake motor gituan???”

Motor yang dipakai cewek itu memang jarang dipake sama cewek. Motornya sejenis kaya punya Travis. Warnanya merah. Dilihat dari catnya yang masih mengilap tanpa goresan, Travis percaya kalau motor itu masih baru.

“Yeee, emang nggak boleh?! Lo tuh sama aja ya kaya abang-abang gue! Mereka aja boleh punya motor kaya gitu masa gue enggak??”

“Motornya nggak cocok sama lo. Liat, lo nggak bisa pake kan?”

“Bukan nggak bisa, tapi LUPA.”

“SAMA AJA.”

Mereka saling memunggungi karena kesal.

“Jadi lo mau bantuin gue nggak?” ujar cewek itu memulai percakapan kembali.

“Apa?”

“Gue mau nyusulin abang gue di arena. Anterin gue ke sana dong!”

“Arena apaan?”

“Arena balapan! Abang gue markasnya di sana. Dia anak geng motor tau. Keren nggak?”

Alis Travis mengerut sejenak lalu kembali normal. “Biasa aja.”

Cewek itu dengan enteng memukul bahu Travis. “Please, gue minta tolong banget. Gue harus ke sana sekarang sebelum balapannya selesai. Tolongin gue dong!”

Travis sampai menggeser posisinya ketika cewek itu terus mengikis jarak. Ia melirik jam tangan yang menunjukkan waktu sudah melewati tengah malam. Sebenernya dia males banget nolongin cewek ini. Di samping dia emang nggak ada basic suka nolong orang, dia sama sekali nggak kenal sama cewek ini. Siapa namanya, darimana dia berasal, apa dia benar-benar manusia, intinya bukan Travis banget yang nolongin orang asing yang bahkan nggak ngasih untung apa-apa buat dia.

Tapi sayangnya cewek itu megang kelemahan Travis.

Kelemahan Travis: cewek lemah yang butuh dia

Alias dia bakal luluh kalau ada cewek lemah yang ngandelin dia. Bawaannya kek pengen ngasih apapun buat dia gitu. Tapi lemahnya yang nggak dibuat-buat kaya pick me girl. Dan yang bisa menilai semua itu cuman Travis. Sialnya, cewek ini punya kriteria cewek lemah yang bikin Travis luluh!

“Lo tau tempatnya?” tanya Travis.

“Tau!”

Travis mengulurkan tangan. “Mana kuncinya?”

Cewek itu kegirangan sebelum akhirnya teringat suatu hal. “Eh, lo bisa bawa motor gue, kan?”


“Gue nggak nyangka ternyata lo jago!” pekik cewek itu saat Travis membawa motornya melesat menembus malam. Ia sampai memeluk erat perut Travis saking kencangnya laju motor itu. Travis tak keberatan. Toh motor ini memang diciptakan untuk berboncengan dengan gaya seperti ini, pikirnya.

“Ini ke mana—aduh!” Travis menoleh yang membuat dahinya terantuk helm cewek itu. Cukup sakit karena dia nggak pake helm dan persis terkena ujung kaca helm-nya.

“Aduh! Sorry! Lo sih nggak mau pake helm-nya tadi! Ini masih lurus aja! Tuh, yang banyak lampunya itu tempatnya!”

Travis melaju sesuai arahan cewek itu. Tak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang masuk. Jaring-jaring besi mengalungi tempat itu. Raungan motor yang familier untuk Travis terdengar bersahutan. Dia memarkirkan motornya di pinggir gerbang lantas mendekat ke pagar untuk melihat suasana di dalam.

Banyak sekali orang berkumpul di sana dengan pakaian senada bersama motor mereka yang berisik. Travis cukup tercengang mengetahui ada tempat seperti ini di sekitarnya.

“Baru tau ada tempat kaya gini di sini,” gumamnya.

“Emang jauh dari kota sih. Nggak banyak orang yang tau,” jawab cewek itu yang lantas berdiri di sebelah Travis.

Mereka termenung sejenak sebelum akhirnya cewek itu tersadar sesuatu. “Oh, iya! Lo kan nggak bawa kendaraan ya?! Trus lo baliknya gimana dong?!”

“Ya lo yang bawa gue ke sini.”

“Iya juga.” Gadis itu menggaruk kepalanya. “Gue minta abang gue nganterin lo ya? Soalnya kalo gue yang nganterin sama aja. Nanti gue nggak bisa balik ke sini lagi.”

“Nggak usah! Gue bisa minta jemput asis—temen gue nanti.” Setelahnya, Travis tampak mengirim pesan kepada seseorang sebelum ia menyimpan ponselnya kembali untuk mengagumi tempat itu.

“Oh iya, kenalin nama gue Jelita. Makasih banget ya udah bantuin gue. Padahal kita nggak saling kenal.”

Travis melirik pada uluran tangan cewek itu. “Ngapain kenalan? Kaya kita bakal ketemu lagi aja.”

“Emangnya kita nggak bakal ketemu lagi?”

Entahlah, Travis pun tidak bisa memastikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Jelita. Namun ia yakin, cepat atau lambat, dia akan kembali ke tempat ini lagi.

Bukan untuk menemui Jelita.

Melainkan untuk menghuni rumah barunya.

Do we need somebody Just to feel like we're alright Is the only reason you're holding me tonight 'Cause we're scared to be lonely?

“Lagu apaan sih!”

Travis secepat kilat menggeser layar ponselnya untuk beralih ke lagu lain.

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?

“Bangsat makin parah! Ini spotify gue kenapa, sih?!”

Ibu jari Travis menekan layar dengan penuh emosi untuk beralih ke lagu selanjutnya.

Roti dan selai. Bunga dan kumbang.

“BANGSAAAATTT!” umpatnya seraya mengangkat ponselnya tinggi, bermaksud membanting kalau saja ia tidak ingat ponsel itu adalah alat komunikasi satu-satunya yang ia miliki sekarang. Ponsel itu mengambang di udara dan hanya ia ayunkan penuh kekesalan.

Travis menekan tombol 1 di layar ponselnya dan langsung tersambung dengan seseorang.

“Spotify premium gue habis, beliin!”

“Lo di mana anjing??? Nyokap lo nyariin dari tadi!”

“Beliin gue spotify premium! Gue nggak mau denger roti dan selai!” tandas Travis lantas memutuskan telepon tanpa menunggu jawaban dari orang di seberang sana.

Kalian bertanya di mana Travis berada?

Sebuah halte tua yang sepertinya sudah lama tidak terpakai adalah jawabannya. Halte tersebut terletak di pinggir jalanan yang tengah disergap kesunyian malam. Tidak banyak pemukiman di sana. Hanya semak belukar yang kadang berbunyi gemrisik oleh terpaan angin malam.

Travis juga tidak tahu bagaimana ia bisa berjalan sampai ke tempat ini.

Ya, dia berjalan. Tidak menggunakan motor atau mobil mahalnya. Hanya mengandalkan sepasang kaki jenjang yang terlapis celana selutut dan sandal slop bernilai jutaan rupiah. Kaos pendek yang dipakai berbalut hoodie hitam dengan kalung rantai menjuntai di dada. Rambutnya dikuncir dengan poni yang berantakan. Kedua telinganya terselip airpods yang tak mengeluarkan suara. Trauma sama roti dan selai.

Entah style apa yang digunakan Travis saat ini. Dia hanya asal menggunakan apa yang tergeletak di kasur sebelum ia “kabur” dari apartemennya.

Sepasang netra yang menyipit karena kantuk berpendar menatap sekitar. Sepi. Tidak ada orang. Tidak ada kehidupan yang ia kenal. Semuanya terasa asing. Namun Travis takkan dibuat takut. Inilah dunianya. Tak merasakan kehadiran siapapun walau ia berdiri di tengah keramaian sekalipun.

“Huuu ... huuuu ... huuu ....”

Kepalanya menoleh sampai tulang lehernya berbunyi. Ia meringis sambil mengusap leher. Suara apa tadi? Tidak ada seorang pun. Namun ia yakin ada suara seseorang menangis di sekitar sini. Bahkan suaranya terekam jelas walau telinganya tersumbat earphone tak bersuara.

Sial! Bukan keramaian seperti ini yang Travis maksud!

“Hiks ... hiks ....”

Rintihan itu kembali terdengar. Kali ini Travis refleks berdiri. Ia melihat cahaya dari kejauhan tengah berjalan mendekat, seperti cahaya dari lampu motor. Namun lajunya sangat pelan. Ia bahkan tidak melihat seseorang tengah mengendarainya.

“Bangsat, ini gue lagi diliatin setan?!?!”

Travis berusaha tenang. Walaupun di sisi lain, kakinya sudah memasang kuda-kuda yang tidak tahu fungsinya untuk apa. Kedua tangannya mengepal di depan wajahnya. Menunggu serangan yang tidak tahu bisa ia lawan atau tidak.

Motor itu makin dekat. Mata Travis makin memicing. Semakin jelas ia melihat kalau ternyata ada seseorang di sana. Bukannya mengendarai, orang itu malah menuntun motornya. Padahal dapat Travis dengar mesinnya menyala. Orang lampunya aja nyala.

“Itu orang lagi stress banget kah sampe nuntun motor malem-malem sendirian???”

Travis mengubah gaya berdirinya menjadi tegap dengan tangan yang terlipat di dada. Kembali ke mode “sok” keren yang biasa ia perlihatkan di depan orang-orang.

“Lah cewek?” gumamnya lagi saat orang itu hampir melintas di depannya. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaan Travis di sini.

“Mbak?”

Yang dipanggil sontak menoleh dengan raut terkejut. Dia benar-benar tidak menyadari keberadaan Travis.

“Kenapa nggak dinaiki, Mbak?”

Cewek itu mengusap hidungnya yang berair. Dengan sempoyongan, ia berusaha menyandarkan motornya yang tampak kelewat berat untuk tubuh kecilnya. Travis refleks menengadahkan tangan melihat motor itu hampir jatuh. Setelahnya, cewek itu melangkah ke hadapan Travis dengan takut-takut.

Mata sembab gadis itu menelusuri penampilan Travis dari atas sampai bawah. Telunjuknya terulur ragu menuju bagian perut Travis dan menusuknya kilat. Travis terkejut dan langsung mundur.

“Ngapain, anjir?!”

“Ini ... manusia?”

Rahang bawah Travis hampir jatuh ke tanah mendengarnya.

“Harusnya gue yang tanya!”

“Gue manusia, sih. Kalo lo?”

“Ya, gue manusia juga.”

Kenapa pembicaraan ini terdengar sangat tidak wajar????

Setelah mendengar jawaban Travis, energi cewek itu seperti meluap hingga ia merosot ke tanah.

“Akhirnya penderitaan gue selesai!!!”

Tanpa diduga, cewek itu langsung menyergap kaki Travis. “Tolongin gue, please!” ujarnya sambil memeluk kaki Travis.

“Apaan woy! Lepasin!” tolak Travis seraya berusaha menarik kakinya dari pelukan cewek itu.

“Tolong gue,” rengek cewek itu.

“Lepasin dulu anjing! Apa mau gue tendang muka lo?”

Cewek itu mencebikkan bibir lantas melepas kaki Travis. Cowok itu berbalik dan duduk di kursi halte.

“Duduk,” pintanya sambil menunjuk sebelah kirinya dengan dagu.

Cewek itu kesusahan berdiri. Dia menjulurkan tangan, bermaksud meminta bantuan pada Travis tapi tak direspon. Lihat, dia bahkan bisa berdiri tanpa bantuan sekarang. Tipu muslihat wanita memang luar biasa.

Sebelum pantatnya mendarat di kursi, Travis terlebih dahulu menyela dengan sebuah pertanyaan.

“Mesin motornya nggak mau dimatiin? Bapak lo yang punya POM kah?”

Cewek itu mendecih lantas menghampiri motornya untuk mematikan mesin. Ia kembali dan menghempaskan tubuhnya dengan keras hingga besi panjang tempat mereka duduk bergoyang.

“Gue butuh bantuan lo. Please, tolongin gue!”

“Gue bukan anak bengkel. Nggak bisa benerin motor lo.”

“Hah???” Cewek itu menggaruk kepalanya bingung. “Motor gue nggak kenapa-kenapa tuh???”

“Kenapa nggak dinaikin?”

“Nggak bisa hehe.” Gadis itu terkekeh malu sambil menggaruk kepalanya lagi.

“Nggak bisa??? Maksudnya???”

“Ya nggak bisa, nggak bisa gue naikin. Apanya yang maksudnya???”

“Lo nggak bisa naik motor? Trus ngapain bawa MOTOR???”

Cewek itu tampak gelisah menjawab pertanyaan Travis. Hampir saja Travis refleks beli obat penghilang ketombe atau kutu soalnya ini cewek ngapain garuk-garuk kepala mulu anjing?????

“Jadi gini, gue baru punya motor ini sekitar semingguan lah. Nah gue baru latihan makenya sekali sama abang gue.”

“SEKALI???”

“TENANG DULU! Gue jago loh walau cuman sekali latihan. Approved by abang gue sendiri! Cuman ... ya ... sekarang gue lagi lupa aja cara makenya hehe.”

“Itu namanya lo belum jago, tolol! Jadi lo nggak naikin motor lo karena lupa cara bawanya?”

“Ya .. gitu. Ya nggak lupa sih. Tapi ya ... iya.”

Travis memejam frustasi sambil meraup wajahnya. “Lagian ngapa sih cewe pake motor gituan???”

Motor yang dipakai cewek itu memang jarang dipake sama cewek. Motornya sejenis kaya punya Travis. Warnanya merah. Dilihat dari catnya yang masih mengilap tanpa goresan, Travis percaya kalau motor itu masih baru.

“Yeee, emang nggak boleh?! Lo tuh sama aja ya kaya abang-abang gue! Mereka aja boleh punya motor kaya gitu masa gue enggak??”

“Motornya nggak cocok sama lo. Liat, lo nggak bisa pake kan?”

“Bukan nggak bisa, tapi LUPA.”

“SAMA AJA.”

Mereka saling memunggungi karena kesal.

“Jadi lo mau bantuin gue nggak?” ujar cewek itu memulai percakapan kembali.

“Apa?”

“Gue mau nyusulin abang gue di arena. Anterin gue ke sana dong!”

“Arena apaan?”

“Arena balapan! Abang gue markasnya di sana. Dia anak geng motor tau. Keren nggak?”

Alis Travis mengerut sejenak lalu kembali normal. “Biasa aja.”

Cewek itu dengan enteng memukul bahu Travis. “Please, gue minta tolong banget. Gue harus ke sana sekarang sebelum balapannya selesai. Tolongin gue dong!”

Travis sampai menggeser posisinya ketika cewek itu terus mengikis jarak. Ia melirik jam tangan yang menunjukkan waktu sudah melewati tengah malam. Sebenernya dia males banget nolongin cewek ini. Di samping dia emang nggak ada basic suka nolong orang, dia sama sekali nggak kenal sama cewek ini. Siapa namanya, darimana dia berasal, apa dia benar-benar manusia, intinya bukan Travis banget yang nolongin orang asing yang bahkan nggak ngasih untung apa-apa buat dia.

Tapi sayangnya cewek itu megang kelemahan Travis.

Kelemahan Travis: Cewek lemah yang butuh dia

Alias dia bakal luluh kalau ada cewek lemah yang ngandelin dia. Bawaannya kek pengen ngasih apapun buat dia gitu. Tapi lemahnya yang nggak dibuat-buat kaya pick me girl. Dan yang bisa menilai semua itu cuman Travis. Sialnya, cewek ini punya kriteria cewek lemah yang bikin Travis luluh!

“Lo tau tempatnya?” tanya Travis.

“Tau!”

Travis mengulurkan tangan. “Mana kuncinya?”

Cewek itu kegirangan sebelum akhirnya teringat suatu hal. “Eh, lo bisa bawa motor gue, kan?”


“Gue nggak nyangka ternyata lo jago!” pekik cewek itu saat Travis membawa motornya melesat menembus malam. Ia sampai memeluk erat perut Travis saking kencangnya laju motor itu. Travis tak keberatan. Toh motor ini memang diciptakan untuk berboncengan dengan gaya seperti ini, pikirnya.

“Ini ke mana—aduh!” Travis menoleh yang membuat dahinya terantuk helm cewek itu. Cukup sakit karena dia nggak pake helm dan persis terkena ujung kaca helm-nya.

“Aduh! Sorry! Lo sih nggak mau pake helm-nya tadi! Ini masih lurus aja! Tuh, yang banyak lampunya itu tempatnya!”

Tak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang masuk. Travis mendekat ke jaring-jaring besi yang melingkari area tersebut setelah memarkir motor di pinggir gerbang. Dilihatnya banyak sekali orang berkumpul di sana dengan pakaian senada bersama motor mereka yang berisik. Travis cukup tercengang mengetahui ada tempat seperti ini di sekitarnya.

“Baru tau ada tempat kaya gini di sini,” gumamnya.

“Emang jauh dari kota sih. Nggak banyak orang yang tau,” jawab cewek itu yang lantas berdiri di sebelah Travis.

Mereka termenung sejenak sebelum akhirnya cewek itu tersadar sesuatu. “Oh, iya! Lo kan nggak bawa kendaraan ya?! Trus lo baliknya gimana dong?!”

“Ya lo yang bawa gue ke sini.”

“Iya juga.” Gadis itu menggaruk kepalanya. “Gue minta abang gue nganterin lo ya? Soalnya kalo gue yang nganterin sama aja. Nanti gue nggak bisa balik ke sini lagi.”

“Nggak usah! Gue bisa minta jemput asis—temen gue nanti.” Setelahnya, Travis tampak mengirim pesan kepada seseorang sebelum ia menyimpan ponselnya kembali untuk mengagumi tempat itu.

“Oh iya, kenalin nama gue Jelita. Makasih banget ya udah bantuin gue. Padahal kita nggak saling kenal tadi.”

Travis melirik pada uluran tangan cewek itu. “Ngapain kenalan? Kaya kita bakal ketemu lagi aja.”

“Emangnya kita nggak bakal ketemu lagi?”

Entahlah, Travis pun tidak bisa memastikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan cewek bernama Jelita itu. Namun ia yakin, cepat atau lambat, dia akan kembali ke tempat ini lagi.

Bukan untuk menemui Jelita.

Melainkan untuk menghuni rumah barunya.

Do we need somebody Just to feel like we're alright Is the only reason you're holding me tonight 'Cause we're scared to be lonely?

“Lagu apaan sih!”

Travis secepat kilat menggeser layar ponselnya untuk beralih ke lagu lain.

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?

“Bangsat makin parah! Ini spotify gue kenapa, sih?!”

Ibu jari Travis menekan layar dengan penuh emosi untuk beralih ke lagu selanjutnya.

Roti dan selai. Bunga dan kumbang.

“BANGSAAAATTT!” umpatnya seraya mengangkat ponselnya tinggi, bermaksud membanting kalau saja ia tidak ingat ponsel itu adalah alat komunikasi satu-satunya yang ia miliki sekarang. Ponsel itu mengambang di udara dan hanya ia ayunkan penuh kekesalan.

Travis menekan tombol 1 di layar ponselnya dan langsung tersambung dengan seseorang.

“Spotify premium gue habis, beliin!”

“Lo di mana anjing??? Nyokap lo nyariin dari tadi!”

“Beliin gue spotify premium! Gue nggak mau denger roti dan selai!” tandas Travis lantas memutuskan telepon tanpa menunggu jawaban dari orang di seberang sana.

Kalian bertanya di mana Travis berada?

Sebuah halte tua yang sepertinya sudah lama tidak terpakai adalah jawabannya. Halte tersebut terletak di pinggir jalanan yang tengah disergap kesunyian malam. Tidak banyak pemukiman di sana. Hanya semak belukar yang kadang berbunyi gemrisik oleh terpaan angin malam.

Travis juga tidak tahu bagaimana ia bisa berjalan sampai ke tempat ini.

Ya, dia berjalan. Tidak menggunakan motor atau mobil mahalnya. Hanya mengandalkan sepasang kaki jenjang yang terlapis celana selutut dan sandal slop bernilai jutaan rupiah. Kaos pendek yang dipakai berbalut hoodie hitam dengan kalung rantai menjuntai di dada. Rambutnya dikuncir dengan poni yang berantakan. Kedua telinganya terselip airpods yang tak mengeluarkan suara. Trauma sama roti dan selai.

Entah style apa yang digunakan Travis saat ini. Dia hanya asal menggunakan apa yang tergeletak di kasur sebelum ia “kabur” dari apartemennya.

Sepasang netra yang menyipit karena kantuk berpendar menatap sekitar. Sepi. Tidak ada orang. Tidak ada kehidupan yang ia kenal. Semuanya terasa asing. Namun Travis takkan dibuat takut. Inilah dunianya. Tak merasakan kehadiran siapapun walau ia berdiri di tengah keramaian sekalipun.

“Huuu ... huuuu ... huuu ....”

Kepalanya menoleh sampai tulang lehernya berbunyi. Ia meringis sambil mengusap leher. Suara apa tadi? Tidak ada seorang pun. Namun ia yakin ada suara seseorang menangis di sekitar sini. Bahkan suaranya terekam jelas walau telinganya tersumbat earphone tak bersuara.

Sial! Bukan keramaian seperti ini yang Travis maksud!

“Hiks ... hiks ....”

Rintihan itu kembali terdengar. Kali ini Travis refleks berdiri. Ia melihat cahaya dari kejauhan tengah berjalan mendekat, seperti cahaya dari lampu motor. Namun lajunya sangat pelan. Ia bahkan tidak melihat seseorang tengah mengendarainya.

“Bangsat, ini gue lagi diliatin setan?!?!”

Travis berusaha tenang. Walaupun di sisi lain, kakinya sudah memasang kuda-kuda yang tidak tahu fungsinya untuk apa. Kedua tangannya mengepal di depan wajahnya. Menunggu serangan yang tidak tahu bisa ia lawan atau tidak.

Motor itu makin dekat. Mata Travis makin memicing. Semakin jelas ia melihat kalau ternyata ada seseorang di sana. Bukannya mengendarai, orang itu malah menuntun motornya. Padahal dapat Travis dengar mesinnya menyala. Orang lampunya aja nyala.

“Itu orang lagi stress banget kah sampe nuntun motor malem-malem sendirian???”

Travis mengubah gaya berdirinya menjadi tegap dengan tangan yang terlipat di dada. Kembali ke mode “sok” keren yang biasa ia perlihatkan di depan orang-orang.

“Lah cewek?” gumamnya lagi saat orang itu hampir melintas di depannya. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaan Travis di sini.

“Mbak?”

Yang dipanggil sontak menoleh dengan raut terkejut. Dia benar-benar tidak menyadari keberadaan Travis.

“Kenapa nggak dinaiki, Mbak?”

Cewek itu mengusap hidungnya yang berair. Dengan sempoyongan, ia berusaha menyandarkan motornya yang tampak kelewat berat untuk tubuh kecilnya. Travis refleks menengadahkan tangan melihat motor itu hampir jatuh. Setelahnya, cewek itu melangkah ke hadapan Travis dengan takut-takut.

Mata sembab gadis itu menelusuri penampilan Travis dari atas sampai bawah. Telunjuknya terulur ragu menuju bagian perut Travis dan menusuknya kilat. Travis terkejut dan langsung mundur.

“Ngapain, anjir?!”

“Ini ... manusia?”

Rahang bawah Travis hampir jatuh ke tanah mendengarnya.

“Harusnya gue yang tanya!”

“Gue manusia, sih. Kalo lo?”

“Ya, gue manusia juga.”

Kenapa pembicaraan ini terdengar sangat tidak wajar????

Setelah mendengar jawaban Travis, cewek itu sontak merosot ke tanah seperti energinya meluap. Ia menghela napas panjang, setengah berteriak.

“Akhirnya penderitaan gue selesai!!!”

Tanpa diduga, cewek itu langsung menyergap kaki Travis. “Tolongin gue, please!” ujarnya sambil memeluk kaki Travis.

“Apaan woy! Lepasin!” tolak Travis seraya berusaha menarik kakinya dari pelukan cewek itu.

“Tolong gue,” rengek cewek itu.

“Lepasin dulu anjing! Apa mau gue tendang muka lo?”

Cewek itu mencebikkan bibir lantas melepas kaki Travis. Cowok itu berbalik dan duduk di kursi halte.

“Duduk,” pintanya sambil menunjuk sebelah kirinya dengan dagu.

Cewek itu kesusahan berdiri. Dia menjulurkan tangan, bermaksud meminta bantuan pada Travis tapi tak direspon. Lihat, dia bahkan bisa berdiri tanpa bantuan sekarang. Tipu muslihat wanita memang luar biasa.

Sebelum pantatnya mendarat di kursi, Travis terlebih dahulu menyela dengan sebuah pertanyaan.

“Mesin motornya nggak mau dimatiin? Bapak lo yang punya POM kah?”

Cewek itu mendecih lantas menghampiri motornya untuk mematikan mesin. Ia kembali dan menghempaskan tubuhnya dengan keras hingga besi panjang tempat mereka duduk bergoyang.

“Gue butuh bantuan lo. Please, tolongin gue!”

“Gue bukan anak bengkel. Nggak bisa benerin motor lo.”

“Hah???” Cewek itu menggaruk kepalanya bingung. “Motor gue nggak kenapa-kenapa tuh???”

“Kenapa nggak dinaikin?”

“Nggak bisa hehe.” Gadis itu terkekeh malu sambil menggaruk kepalanya lagi.

“Nggak bisa??? Maksudnya???”

“Ya nggak bisa, nggak bisa gue naikin. Apanya yang maksudnya???”

“Lo nggak bisa naik motor? Trus ngapain bawa MOTOR???”

Cewek itu tampak gelisah menjawab pertanyaan Travis. Hampir saja Travis refleks beli obat penghilang ketombe atau kutu soalnya ini cewek ngapain garuk-garuk kepala mulu anjing?????

“Jadi gini, gue baru punya motor ini sekitar semingguan lah. Nah gue baru latihan makenya sekali sama abang gue.”

“SEKALI???”

“TENANG DULU! Gue jago loh walau cuman sekali latihan. Approved by abang gue sendiri! Cuman ... ya ... sekarang gue lagi lupa aja cara makenya hehe.”

“Itu namanya lo belum jago, tolol! Jadi lo nggak naikin motor lo karena lupa cara bawanya?”

“Ya .. gitu. Ya nggak lupa sih. Tapi ya ... iya.”

Travis memejam frustasi sambil meraup wajahnya. “Lagian ngapa sih cewe pake motor gituan???”

Motor yang dipakai cewek itu memang jarang dipake sama cewek. Motornya sejenis kaya punya Travis. Warnanya merah. Dilihat dari catnya yang masih mengilap tanpa goresan, Travis percaya kalau motor itu masih baru.

“Yeee, emang nggak boleh?! Lo tuh sama aja ya kaya abang-abang gue! Mereka aja boleh punya motor kaya gitu masa gue enggak??”

“Motornya nggak cocok sama lo. Liat, lo nggak bisa pake kan?”

“Bukan nggak bisa, tapi LUPA.”

“SAMA AJA.”

Mereka saling memunggungi karena kesal.

“Jadi lo mau bantuin gue nggak?” ujar cewek itu memulai percakapan kembali.

“Apa?”

“Gue mau nyusulin abang gue di arena. Anterin gue ke sana dong!”

“Arena apaan?”

“Arena balapan! Abang gue markasnya di sana. Dia anak geng motor tau. Keren nggak?”

Alis Travis mengerut sejenak lalu kembali normal. “Biasa aja.”

Cewek itu dengan enteng memukul bahu Travis. “Please, gue minta tolong banget. Gue harus ke sana sekarang sebelum balapannya selesai. Tolongin gue dong!”

Travis sampai menggeser posisinya ketika cewek itu terus mengikis jarak. Ia melirik jam tangan yang menunjukkan waktu sudah melewati tengah malam. Sebenernya dia males banget nolongin cewek ini. Di samping dia emang nggak ada basic suka nolong orang, dia sama sekali nggak kenal sama cewek ini. Siapa namanya, darimana dia berasal, apa dia benar-benar manusia, intinya bukan Travis banget yang nolongin orang asing yang bahkan nggak ngasih untung apa-apa buat dia.

Tapi sayangnya cewek itu megang kelemahan Travis.

Kelemahan Travis: Cewek lemah yang butuh dia

Alias dia bakal luluh kalau ada cewek lemah yang ngandelin dia. Bawaannya kek pengen ngasih apapun buat dia gitu. Tapi lemahnya yang nggak dibuat-buat kaya pick me girl. Dan yang bisa menilai semua itu cuman Travis. Sialnya, cewek ini punya kriteria cewek lemah yang bikin Travis luluh!

“Lo tau tempatnya?” tanya Travis.

“Tau!”

Travis mengulurkan tangan. “Mana kuncinya?”

Cewek itu kegirangan sebelum akhirnya teringat suatu hal. “Eh, lo bisa bawa motor gue, kan?”


“Gue nggak nyangka ternyata lo jago!” pekik cewek itu saat Travis membawa motornya melesat menembus malam. Ia sampai memeluk erat perut Travis saking kencangnya laju motor itu. Travis tak keberatan. Toh motor ini memang diciptakan untuk berboncengan dengan gaya seperti ini, pikirnya.

“Ini ke mana—aduh!” Travis menoleh yang membuat dahinya terantuk helm cewek itu. Cukup sakit karena dia nggak pake helm dan persis terkena ujung kaca helm-nya.

“Aduh! Sorry! Lo sih nggak mau pake helm-nya tadi! Ini masih lurus aja! Tuh, yang banyak lampunya itu tempatnya!”

Tak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang masuk. Travis mendekat ke jaring-jaring besi yang melingkari area tersebut setelah memarkir motornya di pinggir gerbang. Dilihatnya banyak sekali orang berkumpul di sana dengan pakaian senada bersama motor mereka yang berisik. Travis cukup tercengang mengetahui ada tempat seperti ini di sekitarnya.

“Baru tau ada tempat kaya gini di sini,” gumamnya.

“Emang jauh dari kota sih. Nggak banyak orang yang tau,” jawab cewek itu yang lantas berdiri di sebelah Travis.

Mereka termenung sejenak sebelum akhirnya cewek itu tersadar sesuatu. “Oh, iya! Lo kan nggak bawa kendaraan ya?! Trus lo baliknya gimana dong?!”

“Ya lo yang bawa gue ke sini.”

“Iya juga.” Gadis itu menggaruk kepalanya. “Gue minta abang gue nganterin lo ya? Soalnya kalo gue yang nganterin sama aja. Nanti gue nggak bisa balik ke sini lagi.”

“Nggak usah! Gue bisa minta jemput asis—temen gue nanti.” Setelahnya, Travis tampak mengirim pesan kepada seseorang sebelum ia menyimpan ponselnya kembali untuk menganggumi tempat itu.

“Oh iya, kenalin nama gue Jelita. Makasih banget ya udah bantuin gue. Padahal kita nggak saling kenal tadi.”

Travis melirik pada uluran tangan cewek itu. “Ngapain kenalan? Kaya kita bakal ketemu lagi aja.”

“Emangnya kita nggak bakal ketemu lagi?”

Entahlah, Travis pun tidak bisa memastikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan cewek bernama Jelita itu. Namun ia yakin, cepat atau lambat, dia akan kembali ke tempat ini lagi.

Bukan untuk menemui Jelita.

Melainkan untuk menghuni rumah barunya.

Do we need somebody Just to feel like we're alright Is the only reason you're holding me tonight 'Cause we're scared to be lonely?

“Lagu apaan sih!”

Travis secepat kilat menggeser layar ponselnya untuk beralih ke lagu lain.

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?

“Bangsat makin parah! Ini spotify gue kenapa, sih?!”

Ibu jari Travis menekan layar dengan penuh emosi untuk beralih ke lagu selanjutnya.

Roti dan selai. Bunga dan kumbang.

“BANGSAAAATTT!” umpatnya seraya mengangkat ponselnya tinggi, bermaksud membanting kalau saja ia tidak ingat ponsel itu adalah alat komunikasi satu-satunya yang ia miliki sekarang. Ponsel itu mengambang di udara dan hanya ia ayunkan penuh kekesalan.

Travis menekan tombol 1 di layar ponselnya dan langsung tersambung dengan seseorang.

“Spotify premium gue habis, beliin!”

“Lo di mana anjing??? Nyokap lo nyariin dari tadi!”

“Beliin gue spotify premium! Gue nggak mau denger roti dan selai!” tandas Travis lantas memutuskan telepon tanpa menunggu jawaban dari orang di seberang sana.

Kalian bertanya di mana Travis berada?

Sebuah halte tua yang sepertinya sudah lama tidak terpakai adalah jawabannya. Halte tersebut terletak di pinggir jalanan yang tengah disergap kesunyian malam. Tidak banyak pemukiman di sana. Hanya semak belukar yang kadang berbunyi gemrisik oleh terpaan angin malam.

Travis juga tidak tahu bagaimana ia bisa berjalan sampai ke tempat ini.

Ya, dia berjalan. Tidak menggunakan motor atau mobil mahalnya. Hanya mengandalkan sepasang kaki jenjang yang terlapis celana selutut dan sandal slop bernilai jutaan rupiah. Kaos pendek yang dipakai berbalut hoodie hitam dengan kalung rantai menjuntai di dada. Rambutnya dikuncir dengan poni yang berantakan. Kedua telinganya terselip airpods yang tak mengeluarkan suara. Trauma sama roti dan selai.

Entah style apa yang digunakan Travis saat ini. Dia hanya asal menggunakan apa yang tergeletak di kasur sebelum ia “kabur” dari apartemennya.

Sepasang netra yang menyipit karena kantuk berpendar menatap sekitar. Sepi. Tidak ada orang. Tidak ada kehidupan yang ia kenal. Semuanya terasa asing. Namun Travis takkan dibuat takut. Inilah dunianya. Tak merasakan kehadiran siapapun walau ia berdiri di tengah keramaian sekalipun.

“Huuu ... huuuu ... huuu ....”

Kepalanya menoleh sampai tulang lehernya berbunyi. Ia meringis sambil mengusap leher. Suara apa tadi? Tidak ada seorang pun. Namun ia yakin ada suara seseorang menangis di sekitar sini. Bahkan suaranya terekam jelas walau telinganya tersumbat earphone tak bersuara.

Sial! Bukan keramaian seperti ini yang Travis maksud!

“Hiks ... hiks ....”

Rintihan itu kembali terdengar. Kali ini Travis refleks berdiri. Ia melihat cahaya dari kejauhan tengah berjalan mendekat, seperti cahaya dari lampu motor. Namun lajunya sangat pelan. Ia bahkan tidak melihat seseorang tengah mengendarainya.

“Bangsat, ini gue lagi diliatin setan?!?!”

Travis berusaha tenang. Walaupun di sisi lain, kakinya sudah memasang kuda-kuda yang tidak tahu fungsinya untuk apa. Kedua tangannya mengepal di depan wajahnya. Menunggu serangan yang tidak tahu bisa ia lawan atau tidak.

Motor itu makin dekat. Mata Travis makin memicing. Semakin jelas ia melihat kalau ternyata ada seseorang di sana. Bukannya mengendarai, orang itu malah menuntun motornya. Padahal dapat Travis dengar mesinnya menyala. Orang lampunya aja nyala.

“Itu orang lagi stress banget kah sampe nuntun motor malem-malem sendirian???”

Travis mengubah gaya berdirinya menjadi tegap dengan tangan yang terlipat di dada. Kembali ke mode “sok” keren yang biasa ia perlihatkan di depan orang-orang.

“Lah cewek?” gumamnya lagi saat orang itu hampir melintas di depannya. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaan Travis di sini.

“Mbak?”

Yang dipanggil sontak menoleh dengan raut terkejut. Dia benar-benar tidak menyadari keberadaan Travis.

“Kenapa nggak dinaiki, Mbak?”

Cewek itu mengusap hidungnya yang berair. Dengan sempoyongan, ia berusaha menyandarkan motornya yang tampak kelewat berat untuk tubuh kecilnya. Travis refleks menengadahkan tangan melihat motor itu hampir jatuh. Setelahnya, cewek itu melangkah ke hadapan Travis dengan takut-takut.

Mata sembab gadis itu menelusuri penampilan Travis dari atas sampai bawah. Telunjuknya terulur ragu menuju bagian perut Travis dan menusuknya kilat. Travis terkejut dan langsung mundur.

“Ngapain, anjir?!”

“Ini ... manusia?”

Rahang bawah Travis hampir jatuh ke tanah mendengarnya.

“Harusnya gue yang tanya!”

“Gue manusia, sih. Kalo lo?”

“Ya, gue manusia juga.”

Kenapa pembicaraan ini terdengar sangat tidak wajar????

Setelah mendengar jawaban Travis, cewek itu sontak merosot ke tanah seperti energinya meluap. Ia menghela napas panjang, setengah berteriak.

“Akhirnya penderitaan gue selesai!!!”

Tanpa diduga, cewek itu langsung menyergap kaki Travis. “Tolongin gue, please!” ujarnya sambil memeluk kaki Travis.

“Apaan woy! Lepasin!” tolak Travis seraya berusaha menarik kakinya dari pelukan cewek itu.

“Tolong gue,” rengek cewek itu.

“Lepasin dulu anjing! Apa mau gue tendang muka lo?”

Cewek itu mencebikkan bibir lantas melepas kaki Travis. Cowok itu berbalik dan duduk di kursi halte.

“Duduk,” pintanya sambil menunjuk sebelah kirinya dengan dagu.

Cewek itu kesusahan berdiri. Dia menjulurkan tangan, bermaksud meminta bantuan pada Travis tapi tak direspon. Lihat, dia bahkan bisa berdiri tanpa bantuan sekarang. Tipu muslihat wanita memang luar biasa.

Sebelum pantatnya mendarat di kursi, Travis terlebih dahulu menyela dengan sebuah pertanyaan.

“Mesin motornya nggak mau dimatiin? Bapak lo yang punya POM kah?”

Cewek itu mendecih lantas menghampiri motornya untuk mematikan mesin. Ia kembali dan menghempaskan tubuhnya dengan keras hingga besi panjang tempat mereka duduk bergoyang.

“Gue butuh bantuan lo. Please, tolongin gue!”

“Gue bukan anak bengkel. Nggak bisa benerin motor lo.”

“Hah???” Cewek itu menggaruk kepalanya bingung. “Motor gue nggak kenapa-kenapa tuh???”

“Kenapa nggak dinaikin?”

“Nggak bisa hehe.” Gadis itu terkekeh malu sambil menggaruk kepalanya lagi.

“Nggak bisa??? Maksudnya???”

“Ya nggak bisa, nggak bisa gue naikin. Apanya yang maksudnya???”

“Lo nggak bisa naik motor? Trus ngapain bawa MOTOR???”

Cewek itu tampak gelisah menjawab pertanyaan Travis. Hampir saja Travis refleks beli obat penghilang ketombe atau kutu soalnya ini cewek ngapain garuk-garuk kepala mulu anjing?????

“Jadi gini, gue baru punya motor ini sekitar semingguan lah. Nah gue baru latihan makenya sekali sama abang gue.”

“SEKALI???”

“TENANG DULU! Gue jago loh walau cuman sekali latihan. Approved by abang gue sendiri! Cuman ... ya ... sekarang gue lagi lupa aja cara makenya hehe.”

“Itu namanya lo belum jago, tolol! Jadi lo nggak naikin motor lo karena lupa cara bawanya?”

“Ya .. gitu. Ya nggak lupa sih. Tapi ya ... iya.”

Travis memejam frustasi sambil meraup wajahnya. “Lagian ngapa sih cewe pake motor gituan???”

Motor yang dipakai cewek itu memang jarang dipake sama cewek. Motornya sejenis kaya punya Travis. Warnanya merah. Dilihat dari catnya yang masih mengilap tanpa goresan, Travis percaya kalau motor itu masih baru.

“Yeee, emang nggak boleh?! Lo tuh sama aja ya kaya abang-abang gue! Mereka aja boleh punya motor kaya gitu masa gue enggak??”

“Motornya nggak cocok sama lo. Liat, lo nggak bisa pake kan?”

“Bukan nggak bisa, tapi LUPA.”

“SAMA AJA.”

Mereka saling memunggungi karena kesal.

“Jadi lo mau bantuin gue nggak?” ujar cewek itu memulai percakapan kembali.

“Apa?”

“Gue mau nyusulin abang gue di arena. Anterin gue ke sana dong!”

“Arena apaan?”

“Arena balapan! Abang gue markasnya di sana. Dia anak geng motor tau. Keren nggak?”

Alis Travis mengerut sejenak lalu kembali normal. “Biasa aja.”

Cewek itu dengan enteng memukul bahu Travis. “Please, gue minta tolong banget. Gue harus ke sana sekarang sebelum balapannya selesai. Tolongin gue dong!”

Travis sampai menggeser posisinya ketika cewek itu terus mengikis jarak. Ia melirik jam tangan yang menunjukkan waktu sudah melewati tengah malam. Sebenernya dia males banget nolongin cewek ini. Di samping dia emang nggak ada basic suka nolong orang, dia sama sekali nggak kenal sama cewek ini. Siapa namanya, darimana dia berasal, apa dia benar-benar manusia, intinya bukan Travis banget yang nolongin orang asing yang bahkan nggak ngasih untung apa-apa buat dia.

Tapi sayangnya cewek itu megang kelemahan Travis.

Kelemahan Travis: Cewek lemah yang butuh dia

Alias dia bakal luluh kalau ada cewek lemah yang ngandelin dia. Bawaannya kek pengen ngasih apapun buat dia gitu. Tapi lemahnya yang nggak dibuat-buat kaya pick me girl. Dan yang bisa menilai semua itu cuman Travis. Sialnya, cewek ini punya kriteria cewek lemah yang bikin Travis luluh!

“Lo tau tempatnya?” tanya Travis.

“Tau!”

Travis mengulurkan tangan. “Mana kuncinya?”

Cewek itu kegirangan sebelum akhirnya teringat suatu hal. “Eh, lo bisa bawa motor gue, kan?”


“Gue nggak nyangka ternyata lo jago!” pekik cewek itu saat Travis membawa motornya melesat menembus malam. Ia sampai memeluk erat perut Travis saking kencangnya laju motor itu. Travis tak keberatan. Toh motor ini memang diciptakan untuk berboncengan dengan gaya seperti ini, pikirnya.

“Ini ke mana—aduh!” Travis menoleh yang membuat dahinya terantuk helm cewek itu. Cukup sakit karena dia nggak pake helm dan persis terkena ujung kaca helm-nya.

“Aduh! Sorry! Lo sih nggak mau pake helm-nya tadi! Ini masih lurus aja! Tuh, yang banyak lampunya itu tempatnya!”

Tak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang masuk. Travis mendekat ke jaring-jaring besi yang melingkari area tersebut setelah memarkir motornya di pinggir gerbang. Dilihatnya banyak sekali orang berkumpul di sana dengan pakaian senada bersama motor mereka yang berisik. Travis cukup tercengang mengetahui ada tempat seperti ini di sekitarnya.

“Baru tau ada tempat kaya gini di sini,” gumamnya.

“Emang jauh dari kota sih. Nggak banyak orang yang tau,” jawab cewek itu yang lantas berdiri di sebelah Travis.

Mereka termenung sejenak sebelum akhirnya cewek itu tersadar sesuatu. “Oh, iya! Lo kan nggak bawa kendaraan ya?! Trus lo baliknya gimana dong?!”

“Ya lo yang bawa gue ke sini.”

“Iya juga.” Gadis itu menggaruk kepalanya. “Gue minta abang gue nganterin lo ya? Soalnya kalo gue yang nganterin sama aja. Nanti gue nggak bisa balik ke sini lagi.”

“Nggak usah! Gue bisa minta jemput asis—temen gue nanti.” Setelahnya, Travis tampak mengirim pesan kepada seseorang sebelum ia menyimpan ponselnya kembali untuk menganggumi tempat itu.

“Oh iya, kenalin nama gue Jelita. Makasih banget ya udah bantuin gue. Padahal kita nggak saling kenal tadi.”

Travis melirik pada uluran tangan cewek itu. “Ngapain kenalan? Kaya kita bakal ketemu lagi aja.”

“Emangnya kita nggak bakal ketemu lagi?”

Entahlah, Travis pun tidak bisa memastikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan cewek bernama Jelita itu. Namun ia yakin, cepat atau lambat, dia akan kembali ke tempat ini lagi.

Bukan untuk menemui Jelita.

Melainkan untuk menghuni rumah barunya.

Do we need somebody Just to feel like we're alright Is the only reason you're holding me tonight 'Cause we're scared to be lonely?

“Lagu apaan sih!”

Travis secepat kilat menggeser layar ponselnya untuk beralih ke lagu lain.

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?

“Bangsat makin parah! Ini spotify gue kenapa, sih?!”

Ibu jari Travis menekan layar dengan penuh emosi untuk beralih ke lagu selanjutnya.

Roti dan selai. Bunga dan kumbang.

“BANGSAAAATTT!” umpatnya seraya mengangkat ponselnya tinggi, bermaksud membanting kalau saja ia tidak ingat ponsel itu adalah alat komunikasi satu-satunya yang ia miliki sekarang. Ponsel itu mengambang di udara dan hanya ia ayunkan penuh kekesalan.

Travis menekan tombol 1 di layar ponselnya dan langsung tersambung dengan seseorang.

“Spotify premium gue habis, beliin!”

“Lo di mana anjing??? Nyokap lo nyariin dari tadi!”

“Beliin gue spotify premium! Gue nggak mau denger roti dan selai!” tandas Travis lantas memutuskan telepon tanpa menunggu jawaban dari orang di seberang sana.

Kalian bertanya di mana Travis berada?

Sebuah halte tua yang sepertinya sudah lama tidak terpakai adalah jawabannya. Halte tersebut terletak di pinggir jalanan yang tengah disergap kesunyian malam. Tidak banyak pemukiman di sana. Hanya semak belukar yang kadang berbunyi gemrisik oleh terpaan angin malam.

Travis juga tidak tahu bagaimana ia bisa berjalan sampai ke tempat ini.

Ya, dia berjalan. Tidak menggunakan motor atau mobil mahalnya. Hanya mengandalkan sepasang kaki jenjang yang terlapis celana selutut dan sandal slop bernilai jutaan rupiah. Kaos pendek yang dipakai berbalut hoodie hitam dengan kalung rantai menjuntai di dada. Rambutnya dikuncir dengan poni yang berantakan. Kedua telinganya terselip airpods yang tak mengeluarkan suara. Trauma sama roti dan selai.

Entah style apa yang digunakan Travis saat ini. Dia hanya asal menggunakan apa yang tergeletak di kasur sebelum ia “kabur” dari apartemennya.

Sepasang netra yang menyipit karena kantuk berpendar menatap sekitar. Sepi. Tidak ada orang. Tidak ada kehidupan yang ia kenal. Semuanya terasa asing. Namun Travis takkan dibuat takut. Inilah dunianya. Tak merasakan kehadiran siapapun walau ia berdiri di tengah keramaian sekalipun.

“Huuu ... huuuu ... huuu ....”

Kepalanya menoleh sampai tulang lehernya berbunyi. Ia meringis sambil mengusap leher. Suara apa tadi? Tidak ada seorang pun. Namun ia yakin ada suara seseorang menangis di sekitar sini. Bahkan suaranya terekam jelas walau telinganya tersumbat earphone tak bersuara.

Sial! Bukan keramaian seperti ini yang Travis maksud!

“Hiks ... hiks ....”

Rintihan itu kembali terdengar. Kali ini Travis refleks berdiri. Ia melihat cahaya dari kejauhan tengah berjalan mendekat, seperti cahaya dari lampu motor. Namun lajunya sangat pelan. Ia bahkan tidak melihat seseorang tengah mengendarainya.

“Bangsat, ini gue lagi diliatin setan?!?!”

Travis berusaha tenang. Walaupun di sisi lain, kakinya sudah memasang kuda-kuda yang tidak tahu fungsinya untuk apa. Kedua tangannya mengepal di depan wajahnya. Menunggu serangan yang tidak tahu bisa ia lawan atau tidak.

Motor itu makin dekat. Mata Travis makin memicing. Semakin jelas ia melihat kalau ternyata ada seseorang di sana. Bukannya mengendarai, orang itu malah menuntun motornya. Padahal dapat Travis dengar mesinnya menyala. Orang lampunya aja nyala.

“Itu orang lagi stress banget kah sampe nuntun motor malem-malem sendirian???”

Travis mengubah gaya berdirinya menjadi tegap dengan tangan yang terlipat di dada. Kembali ke mode “sok” keren yang biasa ia perlihatkan di depan orang-orang.

“Lah cewek?” gumamnya lagi saat orang itu hampir melintas di depannya. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaan Travis di sini.

“Mbak?”

Yang dipanggil sontak menoleh dengan raut terkejut. Dia benar-benar tidak menyadari keberadaan Travis.

“Kenapa nggak dinaiki, Mbak?”

Cewek itu mengusap hidungnya yang berair. Dengan sempoyongan, ia berusaha menyandarkan motornya yang tampak kelewat berat untuk tubuh kecilnya. Travis refleks menengadahkan tangan melihat motor itu hampir jatuh. Setelahnya, cewek itu melangkah ke hadapan Travis dengan takut-takut.

Mata sembab gadis itu menelusuri penampilan Travis dari atas sampai bawah. Telunjuknya terulur ragu menuju bagian perut Travis dan menusuknya kilat. Travis terkejut dan langsung mundur.

“Ngapain, anjir?!”

“Ini ... manusia?”

Rahang bawah Travis hampir jatuh ke tanah mendengarnya.

“Harusnya gue yang tanya!”

“Gue manusia, sih. Kalo lo?”

“Ya, gue manusia juga.”

Kenapa pembicaraan ini terdengar sangat tidak wajar????

Setelah mendengar jawaban Travis, cewek itu sontak merosot ke tanah seperti energinya meluap. Ia menghela napas panjang, setengah berteriak.

“Akhirnya penderitaan gue selesai!!!”

Tanpa diduga, cewek itu langsung menyergap kaki Travis. “Tolongin gue, please!” ujarnya sambil memeluk kaki Travis.

“Apaan woy! Lepasin!” tolak Travis seraya berusaha menarik kakinya dari pelukan cewek itu.

“Tolong gue,” rengek cewek itu.

“Lepasin dulu anjing! Apa mau gue tendang muka lo?”

Cewek itu mencebikkan bibir lantas melepas kaki Travis. Cowok itu berbalik dan duduk di kursi halte.

“Duduk,” pintanya sambil menunjuk sebelah kirinya dengan dagu.

Cewek itu kesusahan berdiri. Dia menjulurkan tangan, bermaksud meminta bantuan pada Travis tapi tak direspon. Lihat, dia bahkan bisa berdiri tanpa bantuan sekarang. Tipu muslihat wanita memang luar biasa.

Sebelum pantatnya mendarat di kursi, Travis terlebih dahulu menyela dengan sebuah pertanyaan.

“Mesin motornya nggak mau dimatiin? Bapak lo yang punya POM kah?”

Cewek itu mendecih lantas menghampiri motornya untuk mematikan mesin. Ia kembali dan menghempaskan tubuhnya dengan keras hingga besi panjang tempat mereka duduk bergoyang.

“Gue butuh bantuan lo. Please, tolongin gue!”

“Gue bukan anak bengkel. Nggak bisa benerin motor lo.”

“Hah???” Cewek itu menggaruk kepalanya bingung. “Motor gue nggak kenapa-kenapa tuh???”

“Kenapa nggak dinaikin?”

“Nggak bisa hehe.” Gadis itu terkekeh malu sambil menggaruk kepalanya lagi.

“Nggak bisa??? Maksudnya???”

“Ya nggak bisa, nggak bisa gue naikin. Apanya yang maksudnya???”

“Lo nggak bisa naik motor? Trus ngapain bawa MOTOR???”

Cewek itu tampak gelisah menjawab pertanyaan Travis. Hampir saja Travis refleks beli obat penghilang ketombe atau kutu soalnya ini cewek ngapain garuk-garuk kepala mulu anjing?????

“Jadi gini, gue baru punya motor ini sekitar semingguan lah. Nah gue baru latihan makenya sekali sama abang gue.”

“SEKALI???”

“TENANG DULU! Gue jago loh walau cuman sekali latihan. Approved by abang gue sendiri! Cuman ... ya ... sekarang gue lagi lupa aja cara makenya hehe.”

“Itu namanya lo belum jago, tolol! Jadi lo nggak naikin motor lo karena lupa cara bawanya?”

“Ya .. gitu. Ya nggak lupa sih. Tapi ya ... iya.”

Travis memejam frustasi sambil meraup wajahnya. “Lagian ngapa sih cewe pake motor gituan???”

Motor yang dipakai cewek itu memang jarang dipake sama cewek. Motornya sejenis kaya punya Travis. Warnanya merah. Dilihat dari catnya yang masih mengilap tanpa goresan, Travis percaya kalau motor itu masih baru.

“Yeee, emang nggak boleh?! Lo tuh sama aja ya kaya abang-abang gue! Mereka aja boleh punya motor kaya gitu masa gue enggak??”

“Motornya nggak cocok sama lo. Liat, lo nggak bisa pake kan?”

“Bukan nggak bisa, tapi LUPA.”

“SAMA AJA.”

Mereka saling memunggungi karena kesal.

“Jadi lo mau bantuin gue nggak?” ujar cewek itu memulai percakapan kembali.

“Apa?”

“Gue mau nyusulin abang gue di arena. Anterin gue ke sana dong!”

“Arena apaan?”

“Arena balapan! Abang gue markasnya di sana. Dia anak geng motor tau. Keren nggak?”

Alis Travis mengerut sejenak lalu kembali normal. “Biasa aja.”

Cewek itu dengan enteng memukul bahu Travis. “Please, gue minta tolong banget. Gue harus ke sana sekarang sebelum balapannya selesai. Tolongin gue dong!”

Travis sampai menggeser posisinya ketika cewek itu terus mengikis jarak. Ia melirik jam tangan yang menunjukkan waktu sudah melewati tengah malam. Sebenernya dia males banget nolongin cewek ini. Di samping dia emang nggak ada basic suka nolong orang, dia sama sekali nggak kenal sama cewek ini. Siapa namanya, darimana dia berasal, apa dia benar-benar manusia, intinya bukan Travis banget yang nolongin orang asing yang bahkan nggak ngasih untung apa-apa buat dia.

Tapi sayangnya cewek itu megang kelemahan Travis.

Kelemahan Travis: Cewek lemah yang butuh dia

Alias dia bakal luluh kalau ada cewek lemah yang ngandelin dia. Bawaannya kek pengen ngasih apapun buat dia gitu. Tapi lemahnya yang nggak dibuat-buat kaya pick me girl. Dan yang bisa menilai semua itu cuman Travis. Sialnya, cewek ini punya kriteria cewek lemah yang bikin Travis luluh!

“Lo tau tempatnya?” tanya Travis.

“Tau!”

Travis mengulurkan tangan. “Mana kuncinya?”

Cewek itu kegirangan sebelum akhirnya teringat suatu hal. “Eh, lo bisa bawa motor gue, kan?”


“Gue nggak nyangka ternyata lo jago!” pekik cewek itu saat Travis membawa motornya melesat menembus malam. Ia sampai memeluk erat perut Travis saking kencangnya laju motor itu. Travis tak keberatan. Toh motor ini memang diciptakan untuk berboncengan dengan gaya seperti ini, pikirnya.

“Ini ke mana—aduh!” Travis menoleh yang membuat dahinya terantuk helm cewek itu. Cukup sakit karena dia nggak pake helm dan persis terkena ujung kaca helm-nya.

“Aduh! Sorry! Lo sih nggak mau pake helm-nya tadi! Ini masih lurus aja! Tuh, yang banyak lampunya itu tempatnya!”

Tak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang masuk. Travis mendekat ke jaring-jaring besi yang melingkari area tersebut setelah memarkir motornya di pinggir gerbang. Dilihatnya banyak sekali orang berkumpul di sana dengan pakaian senada bersama motor mereka yang berisik. Travis cukup tercengang mengetahui ada tempat seperti ini di sekitarnya.

“Baru tau ada tempat kaya gini di sini,” gumamnya.

“Emang jauh dari kota sih. Nggak banyak orang yang tau,” jawab cewek itu yang lantas berdiri di sebelah Travis.

Mereka termenung sejenak sebelum akhirnya cewek itu tersadar sesuatu. “Oh, iya! Lo kan nggak bawa kendaraan ya?! Trus lo baliknya gimana dong?!”

“Ya lo yang bawa gue ke sini.”

“Iya juga.” Gadis itu menggaruk kepalanya. “Gue minta abang gue nganterin lo ya? Soalnya kalo gue yang nganterin sama aja. Nanti gue nggak bisa balik ke sini lagi.”

“Nggak usah! Gue bisa minta jemput asis—temen gue nanti.” Setelahnya, Travis tampak mengirim pesan kepada seseorang sebelum ia menyimpan ponselnya kembali untuk menganggumi tempat itu.

“Oh iya, kenalin nama gue Jelita. Makasih banget ya udah bantuin gue. Padahal kita nggak saling kenal tadi.”

Travis melirik pada uluran tangan cewek itu. “Ngapain kenalan? Kaya kita bakal ketemu lagi aja.”

“Emangnya kita nggak bakal ketemu lagi?”

Entahlah, Travis pun tidak bisa memastikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan cewek bernama Jelita itu. Namun ia yakin, cepat atau lambat, dia akan kembali ke tempat ini lagi.

Bukan untuk menemui Jelita.

Melainkan untuk menghuni rumah barunya.