Quinzaharu

Do we need somebody Just to feel like we're alright Is the only reason you're holding me tonight 'Cause we're scared to be lonely?

“Lagu apaan sih!”

Travis secepat kilat menggeser layar ponselnya untuk beralih ke lagu lain.

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?

“Bangsat makin parah! Ini spotify gue kenapa, sih?!”

Ibu jari Travis menekan layar dengan penuh emosi untuk beralih ke lagu selanjutnya.

Roti dan selai. Bunga dan kumbang.

“BANGSAAAATTT!” umpatnya seraya mengangkat ponselnya tinggi, bermaksud membanting kalau saja ia tidak ingat ponsel itu adalah alat komunikasi satu-satunya yang ia miliki sekarang. Ponsel itu mengambang di udara dan hanya ia ayunkan penuh kekesalan.

Travis menekan tombol 1 di layar ponselnya dan langsung tersambung dengan seseorang.

“Spotify premium gue habis, beliin!”

“Lo di mana anjing??? Nyokap lo nyariin dari tadi!”

“Beliin gue spotify premium! Gue nggak mau denger roti dan selai!” tandas Travis lantas memutuskan telepon tanpa menunggu jawaban dari orang di seberang sana.

Kalian bertanya di mana Travis berada?

Sebuah halte tua yang sepertinya sudah lama tidak terpakai adalah jawabannya. Halte tersebut terletak di pinggir jalanan yang tengah disergap kesunyian malam. Tidak banyak pemukiman di sana. Hanya semak belukar yang kadang berbunyi gemrisik oleh terpaan angin malam.

Travis juga tidak tahu bagaimana ia bisa berjalan sampai ke tempat ini.

Ya, dia berjalan. Tidak menggunakan motor atau mobil mahalnya. Hanya mengandalkan sepasang kaki jenjang yang terlapis celana selutut dan sandal slop bernilai jutaan rupiah. Kaos pendek yang dipakai berbalut hoodie hitam dengan kalung rantai menjuntai di dada. Rambutnya dikuncir dengan poni yang berantakan. Kedua telinganya terselip airpods yang tak mengeluarkan suara. Trauma sama roti dan selai.

Entah style apa yang digunakan Travis saat ini. Dia hanya asal menggunakan apa yang tergeletak di kasur sebelum ia “kabur” dari apartemennya.

Sepasang netra yang menyipit karena kantuk berpendar menatap sekitar. Sepi. Tidak ada orang. Tidak ada kehidupan yang ia kenal. Semuanya terasa asing. Namun Travis takkan dibuat takut. Inilah dunianya. Tak merasakan kehadiran siapapun walau ia berdiri di tengah keramaian sekalipun.

“Huuu ... huuuu ... huuu ....”

Kepalanya menoleh sampai tulang lehernya berbunyi. Ia meringis sambil mengusap leher. Suara apa tadi? Tidak ada seorang pun. Namun ia yakin ada suara seseorang menangis di sekitar sini. Bahkan suaranya terekam jelas walau telinganya tersumbat earphone tak bersuara.

Sial! Bukan keramaian seperti ini yang Travis maksud!

“Hiks ... hiks ....”

Rintihan itu kembali terdengar. Kali ini Travis refleks berdiri. Ia melihat cahaya dari kejauhan tengah berjalan mendekat, seperti cahaya dari lampu motor. Namun lajunya sangat pelan. Ia bahkan tidak melihat seseorang tengah mengendarainya.

“Bangsat, ini gue lagi diliatin setan?!?!”

Travis berusaha tenang. Walaupun di sisi lain, kakinya sudah memasang kuda-kuda yang tidak tahu fungsinya untuk apa. Kedua tangannya mengepal di depan wajahnya. Menunggu serangan yang tidak tahu bisa ia lawan atau tidak.

Motor itu makin dekat. Mata Travis makin memicing. Semakin jelas ia melihat kalau ternyata ada seseorang di sana. Bukannya mengendarai, orang itu malah menuntun motornya. Padahal dapat Travis dengar mesinnya menyala. Orang lampunya aja nyala.

“Itu orang lagi stress banget kah sampe nuntun motor malem-malem sendirian???”

Travis mengubah gaya berdirinya menjadi tegap dengan tangan yang terlipat di dada. Kembali ke mode “sok” keren yang biasa ia perlihatkan di depan orang-orang.

“Lah cewek?” gumamnya lagi saat orang itu hampir melintas di depannya. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaan Travis di sini.

“Mbak?”

Yang dipanggil sontak menoleh dengan raut terkejut. Dia benar-benar tidak menyadari keberadaan Travis.

“Kenapa nggak dinaiki, Mbak?”

Cewek itu mengusap hidungnya yang berair. Dengan sempoyongan, ia berusaha menyandarkan motornya yang tampak kelewat berat untuk tubuh kecilnya. Travis refleks menengadahkan tangan melihat motor itu hampir jatuh. Setelahnya, cewek itu melangkah ke hadapan Travis dengan takut-takut.

Mata sembab gadis itu menelusuri penampilan Travis dari atas sampai bawah. Telunjuknya terulur ragu menuju bagian perut Travis dan menusuknya kilat. Travis terkejut dan langsung mundur.

“Ngapain, anjir?!”

“Ini ... manusia?”

Rahang bawah Travis hampir jatuh ke tanah mendengarnya.

“Harusnya gue yang tanya!”

“Gue manusia, sih. Kalo lo?”

“Ya, gue manusia juga.”

Kenapa pembicaraan ini terdengar sangat tidak wajar????

Setelah mendengar jawaban Travis, cewek itu sontak merosot ke tanah seperti energinya meluap. Ia menghela napas panjang, setengah berteriak.

“Akhirnya penderitaan gue selesai!!!”

Tanpa diduga, cewek itu langsung menyergap kaki Travis. “Tolongin gue, please!” ujarnya sambil memeluk kaki Travis.

“Apaan woy! Lepasin!” tolak Travis seraya berusaha menarik kakinya dari pelukan cewek itu.

“Tolong gue,” rengek cewek itu.

“Lepasin dulu anjing! Apa mau gue tendang muka lo?”

Cewek itu mencebikkan bibir lantas melepas kaki Travis. Cowok itu berbalik dan duduk di kursi halte.

“Duduk,” pintanya sambil menunjuk sebelah kirinya dengan dagu.

Cewek itu kesusahan berdiri. Dia menjulurkan tangan, bermaksud meminta bantuan pada Travis tapi tak direspon. Lihat, dia bahkan bisa berdiri tanpa bantuan sekarang. Tipu muslihat wanita memang luar biasa.

Sebelum pantatnya mendarat di kursi, Travis terlebih dahulu menyela dengan sebuah pertanyaan.

“Mesin motornya nggak mau dimatiin? Bapak lo yang punya POM kah?”

Cewek itu mendecih lantas menghampiri motornya untuk mematikan mesin. Ia kembali dan menghempaskan tubuhnya dengan keras hingga besi panjang tempat mereka duduk bergoyang.

“Gue butuh bantuan lo. Please, tolongin gue!”

“Gue bukan anak bengkel. Nggak bisa benerin motor lo.”

“Hah???” Cewek itu menggaruk kepalanya bingung. “Motor gue nggak kenapa-kenapa tuh???”

“Kenapa nggak dinaikin?”

“Nggak bisa hehe.” Gadis itu terkekeh malu sambil menggaruk kepalanya lagi.

“Nggak bisa??? Maksudnya???”

“Ya nggak bisa, nggak bisa gue naikin. Apanya yang maksudnya???”

“Lo nggak bisa naik motor? Trus ngapain bawa MOTOR???”

Cewek itu tampak gelisah menjawab pertanyaan Travis. Hampir saja Travis refleks beli obat penghilang ketombe atau kutu soalnya ini cewek ngapain garuk-garuk kepala mulu anjing?????

“Jadi gini, gue baru punya motor ini sekitar semingguan lah. Nah gue baru latihan makenya sekali sama abang gue.”

“SEKALI???”

“TENANG DULU! Gue jago loh walau cuman sekali latihan. Approved by abang gue sendiri! Cuman ... ya ... sekarang gue lagi lupa aja cara makenya hehe.”

“Itu namanya lo belum jago, tolol! Jadi lo nggak naikin motor lo karena lupa cara bawanya?”

“Ya .. gitu. Ya nggak lupa sih. Tapi ya ... iya.”

Travis memejam frustasi sambil meraup wajahnya. “Lagian ngapa sih cewe pake motor gituan???”

Motor yang dipakai cewek itu memang jarang dipake sama cewek. Motornya sejenis kaya punya Travis. Warnanya merah. Dilihat dari catnya yang masih mengilap tanpa goresan, Travis percaya kalau motor itu masih baru.

“Yeee, emang nggak boleh?! Lo tuh sama aja ya kaya abang-abang gue! Mereka aja boleh punya motor kaya gitu masa gue enggak??”

“Motornya nggak cocok sama lo. Liat, lo nggak bisa pake kan?”

“Bukan nggak bisa, tapi LUPA.”

“SAMA AJA.”

Mereka saling memunggungi karena kesal.

“Jadi lo mau bantuin gue nggak?” ujar cewek itu memulai percakapan kembali.

“Apa?”

“Gue mau nyusulin abang gue di arena. Anterin gue ke sana dong!”

“Arena apaan?”

“Arena balapan! Abang gue markasnya di sana. Dia anak geng motor tau. Keren nggak?”

Alis Travis mengerut sejenak lalu kembali normal. “Biasa aja.”

Cewek itu dengan enteng memukul bahu Travis. “Please, gue minta tolong banget. Gue harus ke sana sekarang sebelum balapannya selesai. Tolongin gue dong!”

Travis sampai menggeser posisinya ketika cewek itu terus mengikis jarak. Ia melirik jam tangan yang menunjukkan waktu sudah melewati tengah malam. Sebenernya dia males banget nolongin cewek ini. Di samping dia emang nggak ada basic suka nolong orang, dia sama sekali nggak kenal sama cewek ini. Siapa namanya, darimana dia berasal, apa dia benar-benar manusia, intinya bukan Travis banget yang nolongin orang asing yang bahkan nggak ngasih untung apa-apa buat dia.

Tapi sayangnya cewek itu megang kelemahan Travis.

Kelemahan Travis: Cewek lemah yang butuh dia

Alias dia bakal luluh kalau ada cewek lemah yang ngandelin dia. Bawaannya kek pengen ngasih apapun buat dia gitu. Tapi lemahnya yang nggak dibuat-buat kaya pick me girl. Dan yang bisa menilai semua itu cuman Travis. Sialnya, cewek ini punya kriteria cewek lemah yang bikin Travis luluh!

“Lo tau tempatnya?” tanya Travis.

“Tau!”

Travis mengulurkan tangan. “Mana kuncinya?”

Cewek itu kegirangan sebelum akhirnya teringat suatu hal. “Eh, lo bisa bawa motor gue, kan?”


“Gue nggak nyangka ternyata lo jago!” pekik cewek itu saat Travis membawa motornya melesat menembus malam. Ia sampai memeluk erat perut Travis saking kencangnya laju motor itu. Travis tak keberatan. Toh motor ini memang diciptakan untuk berboncengan dengan gaya seperti ini, pikirnya.

“Ini ke mana—aduh!” Travis menoleh yang membuat dahinya terantuk helm cewek itu. Cukup sakit karena dia nggak pake helm dan persis terkena ujung kaca helm-nya.

“Aduh! Sorry! Lo sih nggak mau pake helm-nya tadi! Ini masih lurus aja! Tuh, yang banyak lampunya itu tempatnya!”

Tak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang masuk. Travis mendekat ke jaring-jaring besi yang melingkari area tersebut setelah memarkir motornya di pinggir gerbang. Dilihatnya banyak sekali orang berkumpul di sana dengan pakaian senada bersama motor mereka yang berisik. Travis cukup tercengang mengetahui ada tempat seperti ini di sekitarnya.

“Baru tau ada tempat kaya gini di sini,” gumamnya.

“Emang jauh dari kota sih. Nggak banyak orang yang tau,” jawab cewek itu yang lantas berdiri di sebelah Travis.

Mereka termenung sejenak sebelum akhirnya cewek itu tersadar sesuatu. “Oh, iya! Lo kan nggak bawa kendaraan ya?! Trus lo baliknya gimana dong?!”

“Ya lo yang bawa gue ke sini.”

“Iya juga.” Gadis itu menggaruk kepalanya. “Gue minta abang gue nganterin lo ya? Soalnya kalo gue yang nganterin sama aja. Nanti gue nggak bisa balik ke sini lagi.”

“Nggak usah! Gue bisa minta jemput asis—temen gue nanti.” Setelahnya, Travis tampak mengirim pesan kepada seseorang sebelum ia menyimpan ponselnya kembali untuk menganggumi tempat itu.

“Oh iya, kenalin nama gue Jelita. Makasih banget ya udah bantuin gue. Padahal kita nggak saling kenal tadi.”

Travis melirik pada uluran tangan cewek itu. “Ngapain kenalan? Kaya kita bakal ketemu lagi aja.”

“Emangnya kita nggak bakal ketemu lagi?”

Entahlah, Travis pun tidak bisa memastikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan cewek bernama Jelita itu. Namun ia yakin, cepat atau lambat, dia akan kembali ke tempat ini lagi.

Bukan untuk menemui Jelita.

Melainkan untuk menghuni rumah barunya.

Segala urusan di kantor polisi akhirnya selesai.

Motor Justin kembali.

Bocah lelaki itu bahkan tak kuasa menahan air mata melihat motor kesayangannya kembali ke pelukan. Tak henti-hentinya ia meneliti setiap inchi dari motor kekar di hadapannya itu, memastikan jika motor itu benar-benar miliknya. Senyum penuh rasa lega terukir di bibir ketiga teman yang turut senang melihat Justin kembali bertemu dengan motornya.

Travis menatap dari kejauhan dengan kedua tangan terlipat di dada. Tertawa remeh melihat Justin yang menangis tersedu-sedu di samping motornya. Diam-diam, dia mengambil foto sebagai bukti untuk Freya agar gadis itu tak memikirkan Justin lagi.

Justin yang menangkap keberadaan Travis lantas mendekat. Bola matanya kembali memanas. Travis yang menangkap gelagat aneh dari Justin sontak beranjak mundur. Dan benar saja, sedetik kemudian tubuhnya didekap erat oleh lelaki itu.

“Makasih, Bro. Makasih banget udah bantuin gue. Sumpah, gue utang budi banget sama lo. Makasih banget,” ujar Justin berkali-kali membuat Travis merinding. Ia sontak menarik tubuhnya dan mendorong Justin hingga pelukan mereka terlepas.

“LO UDAH GAK PUNYA AKAL YA? NGAPAIN PELUK GUE ANJING?!” teriak Travis tampak sangat syok.

Justin mengelus tengkuknya sembari terkekeh canggung. “Sorry sorry, gue kepalang seneng. Tapi serius, gue bener-bener makasih sama lo!”

“Iya, iya! Dah, gak usah makasih mulu! Gue balik dah!”

“Bentar, Vis!”

Travis langsung menatap Justin nyalang.

“Maksud gue, Noir,” koreksi Justin. “lo ada waktu, gak? Rencananya gue mau ajak makan lo sama temen-temen gue di rumah. Itung-itung syukuran motor gue balik.”

“Nggak salah lo ngajak gue???”

“Gue cuman pengen bales kebaikan lo. Kalo nggak ada lo, mungkin motor gue belum balik sampe sekarang. Gue nggak ada maksud lain. Cuman sebagai ucapan makasih aja. Bisa, ya?”

Travis mengela napas kasar. Namun entah mengapa, langkah kakinya berbalik mengikuti Justin dan teman-temannya pulang.


“Tambah lagi nasinya, Mas. Kok makannya sedikit banget?”

Travis sedikit tersindir dengan ucapan ibu Justin. Namun ia tidak yakin kalau dia yang sedang diajak berbicara. Ia tidak mengangkat kepalanya sedikitpun. Tidak tahu ke mana arah ibu Justin berbicara.

Dia tidak habis pikir. Bagaimana bisa sekarang ia sedang makan bersama Justin dan teman satu gengnya? Dia? Justin? Makan? di satu meja yang sama? di rumah Justin??? Benar-benar hari yang konyol.

Lengannya disikut. Pelakunya adalah Justin yang duduk di sebelahnya.

“Ditanya nyokap gue tuh! Tambah nasinya!” ujar Justin.

Travis tampak gelagapan. Ia langsung melempar pandang pada wanita paruh baya yang berdiri di seberangnya. Dan benar, wanita itu sedang menatapnya. Sesuatu lantas berdesit di palung jiwa Travis.

“Kenapa makannya sedikit banget? Karena sudah makan atau nggak suka sama lauknya, Mas? atau ada alergi?” tanya ibu Justin.

“Ooh, enggak ... Tan. Saya memang makannya segini,” jawab Travis gugup.

“Panggil Ibu saja,” timpal ibu Justin dengan senyum lembut. “Ya sudah, kalau kurang langsung ambil saja, ya! Jangan malu-malu. Ini pokoknya makanan yang ada di meja harus dihabiskan, oke?”

“SIAP, BU!” Kevin tiba-tiba menyerobot dengan semangat.

Ibu Justin refleks mengusap kepala Kevin. Setelahnya, ia beranjak pergi dari sana. Travis bahkan tak sadar kalau bola matanya terus bergulir mengikuti wanita itu sampai hilang di balik dinding pemisah ruang makan dan ruang lainnya.

Justin lagi-lagi menyikut lengannya. “Malah bengong, makan ayo. Nasi lo secimit amat kaya porsi anak perawan.”

“Bacot,” umpat Travis lirih, hampir tidak bersuara.

Ponsel Travis yang diletakkan di antara ia dan Justin menyala. Terpampang nama Freya menelpon. Ia spontan melirik Justin yang sedang menatap ponselnya. Mereka bertatapan sejenak sebelum akhirnya Travis membawa ponselnya menjauh dari sana.

“Mau ke mana dia, Tin?” tanya Kevin.

“Angkat telpon,” jeda Justin. “Dari Freya.”

Flashback

Tim basket Putra Harapan baru saja turun dari bus sekolah. Mereka langsung disambut heboh oleh si pemilik kandang PORSENI tahun ini. Siswa-siswi berlarian menuju gerbang, tak ingin melewatkan kesempatan bertegur sapa dengan para atlet basket dari sekolah sebelah yang memang sudah langganan jadi primadona setiap pertandingan. Bahkan mereka melupakan tim sendiri yang mungkin tengah menatap iri dari kejauhan.

“Jarvis!”

Orang yang dipanggil baru saja menginjak aspal halaman SMA Taruna Bangsa. Ia menjadi yang terakhir turun dari bus sekaligus orang yang paling dinanti kemunculannya. Siswa yang menjabat sebagai kapten di timnya itu tak pernah absen membuat para gadis menjerit histeris saat tembakan bolanya menembus ring lawan. Dia Jarvis Arkatama, kapten basket SMA Putra Harapan.

Sambil menyampirkan jaketnya di bahu, Jarvis menoleh ke seorang gadis yang memanggilnya. Barisan atlet SMA Putra Harapan ikut terhenti mendengar panggilan tersebut.

“Ini buat lo!” ujar gadis itu sambil mengulurkan sebotol minuman dengan sticky note berwarna neon tertempel di sana. Tanpa ragu, Jarvis menerima lantas membaca sekilas tulisan di sana.

“Oh, makasih,” jawab Jarvis yang bibirnya sudah menggurat senyuman. Kaki gadis itu sontak lemas dan langsung dipapah oleh teman di sisi kanan-kirinya.

“Wah, ada apa ini? Masa ngasih hadiah ke atlet yang jadi lawan sekolah kalian? Parah, nih!”

Pak Angga selaku pelatih tim basket Putra Harapan menimbrung sambil merangkul Jarvis. Cowok itu terkekeh malu mendengar ledekan sang pelatih.

“Ya, soalnya di sekolah kita nggak ada yang seganteng Jarvis, Pak!” timpal salah satu siswi memicu gelak tawa yang makin keras. Tak terkecuali Jarvis yang langsung diserbu oleh anggota timnya dengan berbagai pukulan dan candaan.

“Eh, makasih ya buat minumannya! Gue duluan,” ujar Jarvis sebelum memasuki stadion.

“Eh, Jar! Temen gue ada yang mau ngasih juga. Tunggu dulu!” sergah gadis itu.

Jarvis tampak menimbang. “Gue harus masuk sekarang. Taro aja di kursi gue. Kalo nggak, ketemu habis pertandingan, ya? Sorry banget. Sampe ketemu nanti.”

Sejauh ini, Jarvis jadi kapten teramah sepanjang PORSENI yang nggak pernah ngeluh nanggepin tiap siswa yang kadang cuman cari perhatian. Jarvis tetep ngeladenin orang-orang yang minta foto, menyampingkan napasnya yang ngos-ngosan atau keringat yang ngalir di punggungnya.

Dia bahkan nyiapin satu box khusus yang isinya hadiah atau sticky note yang dia dapetin dari setiap pertandingan. Sejak kecil, Jarvis udah diajarin buat menghargai setiap pemberian kecil yang dia dapetin dari orang lain. Karena nggak semua orang punya kesempatan kaya apa yang dia terima. Orang tua Jarvis udah berhasil ngajarin arti bersyukur ke anaknya.

Dari awal, pertandingan ini udah cukup panas. Tim-tim yang udah jadi langganan bawa piala mendadak diturunin sejak awal. Biasanya, tim-tim yang jadi inceran penonton ini muncul di akhir buat nge-keep penonton biar nonton sampe akhir. Tapi kali ini panitia keknya punya rencana lain. Tim yang biasa menyabet juara satu dan dua bahkan dijadiin pembuka pertandingan.

“Lawan tuan rumah, coy! Ini kita nggak bisa nyepelein karna mereka pasti nggak bakal sudi kalah di kandang sendiri,” ujar Wira yang sedang membaca ulang bagan pertandingan hari ini.

“Malu-maluin banget kalo kita sampe kalah sekarang. Kita bahkan nggak sempet masuk semifinal,” timpal Yasa menambah rasa panik.

“Kenapa lo pada jadi panik? Kita udah biasa ngalahin mereka, kan? Masa gara-gara tanding kali ini di kandang mereka, lo pada langsung ciut?” Sagara yang baru menenggak minumannya ikut menimbrung.

“Ayo ke lapangan! Ngapa pada masih di sini?” Jarvis yang baru menaruh barangnya heran melihat anggota timnya masih bersantai di ruang transit.

“Eh, Jar! Ini kita bisa menang nggak, sih?” tanya Wira.

Jarvis terbahak. “Pertanyaan lo kaya kita nggak pernah menang aja. Usaha dulu, Wir. Soal hasil, itu piala setinggi jerapah pasti bisa kita bawa pulang,” jawab Jarvis penuh rasa optimis.

“Noh! Kalo kapten Jarvis udah bersabda pasti semuanya beres!” Sagara ikut menimpali.

“Tapi lo harus inget, Jar. Seekor singa jantan terlahir buat menjaga wilayah kekuasaannya,” peringat Bisma yang baru selesai mengganti pakaian.

Raut wajah Jarvis berubah serius. Sebenarnya dia juga nervous dengan pertandingan kali ini. Energi kedua tim sama-sama masih penuh. Strategi mereka pasti sudah matang, apalagi disaksikan oleh penghuni kandang sendiri. Mereka tidak akan semudah itu untuk menyerah. Sama seperti yang akan dilakukan Jarvis jika SMA Putra Harapan jadi tuan rumah PORSENI suatu saat nanti.

Jarvis lantas merangkul Bisma. “Tapi singa jantan juga bisa merebut wilayah kekuasaan singa lain. Kita tinggal cari anak singa yang mereka punya.”

Bak terhipnotis, semua anggota tim Putra Harapan terdiam dan mengangguk yakin pada pernyataan Jarvis. Pemain bernomor punggung 8 itu memang terlahir untuk menjadi seorang kapten.


Pertandingan berjalan sebagaimana mestinya. Nggak bisa disebut lancar dari sudut pandang tim manapun. Kedua tim sama-sama beringas mengejar poin. Saling menyusul, berlomba menjadi paling unggul, bahkan satu poin sangat berarti bagi mereka.

Jarvis dan Sagara mendominasi pertandingan. Dibantu oleh Bisma yang sigap melesat ke dekat ring untuk membobol pertahanan. Decitan alas sepatu beradu dengan lantai. Menyiratkan gesit langkah para pemain yang berlomba menjadi si pemenang.

Semakin lama, Taruna Bangsa semakin tertinggal jauh. Cahaya kemenangan yang telah tampak di tim Putra harapan seakan menjadi suntikan semangat para pemain untuk mempertahankan jarak. Sorak sorai penonton makin ricuh. Apalagi ketika wasit beberapa kali meniup peluit tanda pelanggaran yang dilakukan oleh tim Taruna Bangsa. Mereka mulai panik melihat jarak poin yang makin jauh.

Jarvis baru saja menerima operan bola dari Bisma. Ia lantas menggiringnya ke ring lawan. Namun tiba-tiba seseorang mendorong tubuh Jarvis dari belakang dengan keras. Jarvis yang kaget langsung terjerembab dan refleks menyangga tubuhnya dengan tangan. Itu adalah kesalahan terbesar dalam hidup Jarvis.

Krak!

“ARGHHHH!!!”

“JARVIS!!!!!”

Bisma yang berjaga di belakang Jarvis menjadi yang pertama menghampiri Jarvis. Ia jatuh terduduk melihat keadaan tangan Jarvis. Mulutnya gemetar. Bahkan makin bertambah saat seluruh pemain serentak mengerubungi Jarvis.

“P-patah. Tangannya ... patah ....” gumam Bisma yang seluruh tubuhnya sudah merinding. Ia bahkan tak sanggup berdiri untuk menghampiri temannya itu.

Jarvis tidak ingat seberapa besar sakit yang ia rasakan saat itu. Ia berteriak dan menangis melihat tangannya tak lagi lurus. Peluit berbunyi keras tanda pertandingan dijeda. Ia tidak mengingat apapun yang terjadi hari itu. Namun yang paling Jarvis ingat adalah raut merah padam sang pelatih yang berteriak panik mencari pertolongan.

Flashback end

“Gue ngerasa bersalah sama pak Angga, Ris. Selama ini gue udah naruh rasa benci berlebihan ke beliau tanpa cari kebenarannya dulu. Gue kecewa karena nggak pernah percaya sama diri sendiri. Gue udah ngerasa pak Angga nggak pernah salah tapi gue milih nurutin ego yang udah dipermainkan sama keluarga sendiri. Gimana caranya nebus kesalahan gue ke beliau, Ris?”

Rissa hanya bisa menatap Jarvis yang tampak menunduk dan sesaat kemudian ia ikut tertunduk lesu. Selama ini, Rissa bertanya-tanya alasan yang membuat Jarvis begitu benci kepada pak Angga. Sore ini, Jarvis menceritakan semuanya. Tentang Porseni 2020 sebagai saksi patahnya tangan Jarvis dan tentang segala kesalahpahaman Jarvis kepada pak Angga.

“Lo nggak sepenuhnya salah kok, Kak. Sebelumnya lo kan nggak tau. Gue yakin pak Angga juga memaklumi sikap lo selama ini. Mereka tau segalanya, tapi lo nggak. Kalo gue jadi lo, pasti gue juga benci ke pak Angga.”

Jarvis mengusap hidungnya yang masih berair, bekas dari tangisnya beberapa menit lalu. Rissa sigap mengulurkan selembar tisu yang kebetulan selalu tersedia di tasnya. Lelaki itu menerima dengan menggumamkan ucapan terima kasih.

“Pak Angga itu pelatih kebanggaan gue, Ris. Rasa hormat gue ke beliau sama kaya gimana gue menghormati orang tua sendiri. Beliau udah gue anggap kaya bokap sendiri. Apalagi setelah bokap gue nggak ada.”

Rissa menoleh cepat. “Emangnya ... Ayah kak Jarvis ke mana?” tanya Rissa yang spontan membekap mulutnya menyadari pertanyaan bodoh yang baru keluar dari sana.

Jarvis refleks tersenyum. “Gue belum cerita, ya? Bokap gue udah meninggal. Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu.”

Rissa membeku.

“Pak Angga sama ayah itu temen deket. Mereka sama-sama atlet. Tapi mereka beda bidang. Ayah atlet sepak bola, pak Angga basket. Inget piala-piala yang ada di ruang tengah pas lo main ke rumah gue?”

Rissa mengangguk cepat.

“Itu punya ayah,” ujar Jarvis penuh kebanggaan. Rissa terperangah takjub. Teringat jumlah piala yang terpajang di sana.

“Keren banget!” puji Rissa.

“Bokap gue cukup terkenal saat itu. Dia bagian dari tim nasional. Tapi herannya, gue malah nurunin pak Angga jadi anak basket, bukan anak bola kaya ayah,” ujar Jarvis sambil terkekeh.

“Kok bisa, Kak???” Rissa ikut heran.

“Dulu waktu gue kecil, gue lebih seneng pas diajak nonton basket daripada nonton bola katanya,” jeda Jarvis untuk tertawa. “Gue selalu nangis kalo turun ke lapangan berumput. Apalagi kalo nggak dipakein sepatu. Dari situ, pak Angga langsung semangat banget ngajarin gue main basket.”

Rissa terbahak membayangkan bayi Jarvis yang menangis karena tidak mau menginjak rumput. “Ayah lo nggak kesel gitu liat anaknya lebih seneng jadi anak orang lain?” ledek Rissa.

“Awalnya iya, tapi mau gimana lagi, anaknya nggak mau.” Rissa makin terbahak. “Lama kelamaan, ayah sadar kalo anaknya nggak harus ngikutin jejak dia. Dia udah seneng liat gue jadi atlet, walaupun gue jadinya keliatan anaknya pak Angga bukan anak ayah gue.”

Jarvis agak terkejut mendengar Rissa tertawa begitu keras. Tawa yang seketika menular kepadanya. Walaupun ia harus menelan dalam-dalam pujian yang ingin ia lontarkan pada Rissa. Cantik, gadis itu cantik dengan senyum lebar terukir di wajahnya.

“Ayah mau gue jadi atlet nasional, ngikutin jejak dia. Gue pun bertekad buat wujudin keinginan ayah itu. Tapi ternyata Tuhan manggil ayah duluan.”

Tawa tadi seketika meredup, berubah menjadi sendu.

“Tapi walaupun ayah udah pergi, dia masih bisa liat gue dari langit kan, Ris?”

Rissa hanya bisa mengangguk. Kedua matanya mendadak perih.

“Makanya gue tetep berusaha mewujudkan keinginan ayah. Beliau emang nggak bisa nemenin gue di sini, tapi gue yakin ayah selalu mengawasi gue dari atas sana.”

Jarvis mendongak. Menatap langit sekaligus membendung buliran air mata yang kembali mendobrak pertahanannya.

“Tapi gue udah kecewain ayah, Ris. Gue berhenti dari basket. Gue berhenti jadi atlet. Dan semua itu karena mamah dan abang gue nggak ingin gue jadi atlet. Mereka bikin gue benci sama basket. Mereka bikin gue benci sama pak Angga. Mereka nggak tau kalo cuman itu yang bisa gue lakuin buat bikin ayah bangga.”

Jarvis merasakan nyeri menembus ulu hatinya. Basket adalah salah satu cara untuk mengenang sang ayah. Saat bermain basket, Jarvis bisa merasakan dukungan sang ayah dari sudut lapangan. Mendengar sorakan pak Angga yang mirip dengan ayahnya. Namun keluarganya seakan memaksa Jarvis untuk menghapus segala jejak sang ayah di hidupnya.

“Huh, kenapa jadi mellow gini ya, Ris?” ujar Jarvis dengan kekehan kecil lantas menoleh ke Rissa. “Lah, lo nangis, Ris?!” Jarvis tampak terkejut melihat Rissa yang sibuk menghapus air matanya.

“Eh, engga, Kak! Ini kelilipan tadi!” balas Rissa panik karena ketahuan.

Jarvis tahu Rissa berbohong. Namun ia tidak akan membahasnya. “Lo suka bakso nggak, Ris?”

“Suka, Kak, suka!” Rissa masih berusaha memaksakan diri untuk menahan air mata. Beberapa kali ia menarik dan mengembuskan napas agar tenang. Jarvis diam-diam mengulum senyum melihat tingkat Rissa yang menurutnya lucu.

“Mau makan bakso nggak? Di sini ada yang enak loh. Dulu gue sering makan bareng pak Angga sama ayah di sana.”

Bola mata Rissa kembali panas. Namun ia langsung mengerjap-erjap agar tidak menangis lagi.

“Tapi gue lagi nunggu ojol, Kak!” kilah Rissa.

“Udah ada yang nyangkut?”

“B-belum, sih.” Rissa yang polos ini tidak bisa berbohong.

“Ya udah nanti pulang sama gue aja. Gimana?”

Rissa memainkan kuku jarinya, membuang rasa gugup. “Ya udah deh kalo kak Jarvis maksa.”

Kedua sudut bibir Jarvis terangkat. Ia lantas beranjak mengajak Rissa menghampiri motornya.

Flashback

Tim basket Putra Harapan baru saja turun dari bus sekolah. Mereka langsung disambut heboh oleh si pemilik kandang PORSENI tahun ini. Siswa-siswi berlarian menuju gerbang, tak ingin melewatkan kesempatan bertegur sapa dengan para atlet basket dari sekolah sebelah yang memang sudah langganan jadi primadona setiap pertandingan. Bahkan mereka melupakan tim sendiri yang mungkin tengah menatap iri dari kejauhan.

“Jarvis!”

Orang yang dipanggil baru saja menginjak aspal halaman SMA Taruna Bangsa. Ia menjadi yang terakhir turun dari bus sekaligus orang yang paling dinanti kemunculannya. Siswa yang menjabat sebagai kapten di timnya itu tak pernah absen membuat para gadis menjerit histeris saat tembakan bolanya menembus ring lawan. Dia Jarvis Arkatama, kapten basket SMA Putra Harapan.

Sambil menyampirkan jaketnya di bahu, Jarvis menoleh ke seorang gadis yang memanggilnya. Barisan atlet SMA Putra Harapan ikut terhenti mendengar panggilan tersebut.

“Ini buat lo!” ujar gadis itu sambil mengulurkan sebotol minuman dengan sticky note berwarna neon tertempel di sana. Tanpa ragu, Jarvis menerima lantas membaca sekilas tulisan di sana.

“Oh, makasih,” jawab Jarvis yang bibirnya sudah menggurat senyuman. Kaki gadis itu sontak lemas dan langsung dipapah oleh teman di sisi kanan-kirinya.

“Wah, ada apa ini? Masa ngasih hadiah ke atlet yang jadi lawan sekolah kalian? Parah, nih!”

Pak Angga selaku pelatih tim basket Putra Harapan menimbrung sambil merangkul Jarvis. Cowok itu terkekeh malu mendengar ledekan sang pelatih.

“Ya, soalnya di sekolah kita nggak ada yang seganteng Jarvis, Pak!” timpal salah satu siswi memicu gelak tawa yang makin keras. Tak terkecuali Jarvis yang langsung diserbu oleh anggota timnya dengan berbagai pukulan dan candaan.

“Eh, makasih ya buat minumannya! Gue duluan,” ujar Jarvis sebelum memasuki stadion.

“Eh, Jar! Temen gue ada yang mau ngasih juga. Tunggu dulu!” sergah gadis itu.

Jarvis tampak menimbang. “Gue harus masuk sekarang. Taro aja di kursi gue. Kalo nggak, ketemu habis pertandingan, ya? Sorry banget. Sampe ketemu nanti.”

Sejauh ini, Jarvis jadi kapten teramah sepanjang PORSENI yang nggak pernah ngeluh nanggepin tiap siswa yang kadang cuman cari perhatian. Jarvis tetep ngeladenin orang-orang yang minta foto, menyampingkan napasnya yang ngos-ngosan atau keringat yang ngalir di punggungnya.

Dia bahkan nyiapin satu box khusus yang isinya hadiah atau sticky note yang dia dapetin dari setiap pertandingan. Sejak kecil, Jarvis udah diajarin buat menghargai setiap pemberian kecil yang dia dapetin dari orang lain. Karena nggak semua orang punya kesempatan kaya apa yang dia terima. Orang tua Jarvis udah berhasil ngajarin arti bersyukur ke anaknya.

Dari awal, pertandingan ini udah cukup panas. Tim-tim yang udah jadi langganan bawa piala mendadak diturunin sejak awal. Biasanya, tim-tim yang jadi inceran penonton ini muncul di akhir buat nge-keep penonton biar nonton sampe akhir. Tapi kali ini panitia keknya punya rencana lain. Tim yang biasa menyabet juara satu dan dua bahkan dijadiin pembuka pertandingan.

“Lawan tuan rumah, coy! Ini kita nggak bisa nyepelein karna mereka pasti nggak bakal sudi kalah di kandang sendiri,” ujar Wira yang sedang membaca ulang bagan pertandingan hari ini.

“Malu-maluin banget kalo kita sampe kalah sekarang. Kita bahkan nggak sempet masuk semifinal,” timpal Yasa menambah rasa panik.

“Kenapa lo pada jadi panik? Kita udah biasa ngalahin mereka, kan? Masa gara-gara tanding kali ini di kandang mereka, lo pada langsung ciut?” Sagara yang baru menenggak minumannya ikut menimbrung.

“Ayo ke lapangan! Ngapa pada masih di sini?” Jarvis yang baru menaruh barangnya heran melihat anggota timnya masih bersantai di ruang transit.

“Eh, Jar! Ini kita bisa menang nggak, sih?” tanya Wira.

Jarvis terbahak. “Pertanyaan lo kaya kita nggak pernah menang aja. Usaha dulu, Wir. Soal hasil, itu piala setinggi jerapah pasti bisa kita bawa pulang,” jawab Jarvis penuh rasa optimis.

“Noh! Kalo kapten Jarvis udah bersabda pasti semuanya beres!” Sagara ikut menimpali.

“Tapi lo harus inget, Jar. Seekor singa jantan terlahir buat menjaga wilayah kekuasaannya,” peringat Bisma yang baru selesai mengganti pakaian.

Raut wajah Jarvis berubah serius. Sebenarnya dia juga nervous dengan pertandingan kali ini. Energi kedua tim sama-sama masih penuh. Strategi mereka pasti sudah matang, apalagi disaksikan oleh penghuni kandang sendiri. Mereka tidak akan semudah itu untuk menyerah. Sama seperti yang akan dilakukan Jarvis jika SMA Putra Harapan jadi tuan rumah PORSENI suatu saat nanti.

Jarvis lantas merangkul Bisma. “Tapi singa jantan juga bisa merebut wilayah kekuasaan singa lain. Kita tinggal cari anak singa yang mereka punya.”

Bak terhipnotis, semua anggota tim Putra Harapan terdiam dan mengangguk yakin pada pernyataan Jarvis. Pemain bernomor punggung 8 itu memang terlahir untuk menjadi seorang kapten.


Pertandingan berjalan sebagaimana mestinya. Nggak bisa disebut lancar dari sudut pandang tim manapun. Kedua tim sama-sama beringas mengejar poin. Saling menyusul, berlomba menjadi paling unggul, bahkan satu poin sangat berarti bagi mereka.

Jarvis dan Sagara mendominasi pertandingan. Dibantu oleh Bisma yang sigap melesat ke dekat ring untuk membobol pertahanan. Decitan alas sepatu beradu dengan lantai. Menyiratkan gesit langkah para pemain yang berlomba menjadi si pemenang.

Semakin lama, Taruna Bangsa semakin tertinggal jauh. Cahaya kemenangan yang telah tampak di tim Putra harapan seakan menjadi suntikan semangat para pemain untuk mempertahankan jarak. Sorak sorai penonton makin ricuh. Apalagi ketika wasit beberapa kali meniup peluit tanda pelanggaran yang dilakukan oleh tim Taruna Bangsa. Mereka mulai panik melihat jarak poin yang makin jauh.

Jarvis baru saja menerima operan bola dari Bisma. Ia lantas menggiringnya ke ring lawan. Namun tiba-tiba seseorang mendorong tubuh Jarvis dari belakang dengan keras. Jarvis yang kaget langsung terjerembab dan refleks menyangga tubuhnya dengan tangan. Itu adalah kesalahan terbesar dalam hidup Jarvis.

Krak!

“ARGHHHH!!!”

“JARVIS!!!!!”

Bisma yang berjaga di belakang Jarvis menjadi yang pertama menghampiri Jarvis. Ia jatuh terduduk melihat keadaan tangan Jarvis. Mulutnya gemetar. Bahkan makin bertambah saat seluruh pemain serentak mengerubungi Jarvis.

“P-patah. Tangannya ... patah ....” gumam Bisma yang seluruh tubuhnya sudah merinding. Ia bahkan tak sanggup berdiri untuk menghampiri temannya itu.

Jarvis tidak ingat seberapa besar sakit yang ia rasakan saat itu. Ia berteriak dan menangis melihat tangannya tak lagi lurus. Peluit berbunyi keras tanda pertandingan dijeda. Ia tidak mengingat apapun yang terjadi hari itu. Namun yang paling Jarvis ingat adalah raut merah padam sang pelatih yang berteriak panik mencari pertolongan.

Flashback end

“Gue ngerasa bersalah sama pak Angga, Ris. Selama ini gue udah naruh rasa benci berlebihan ke beliau tanpa cari kebenarannya dulu. Gue kecewa karena nggak pernah percaya sama diri sendiri. Gue udah ngerasa pak Angga nggak pernah salah tapi gue milih nurutin ego yang udah dipermainkan sama keluarga sendiri. Gimana caranya nebus kesalahan gue ke beliau, Ris?”

Rissa hanya bisa menatap Jarvis yang tampak menunduk dan sesaat kemudian ia ikut tertunduk lesu. Selama ini, Rissa bertanya-tanya alasan yang membuat Jarvis begitu benci kepada pak Angga. Sore ini, Jarvis menceritakan semuanya. Tentang Porseni 2020 sebagai saksi patahnya tangan Jarvis dan tentang segala kesalahpahaman Jarvis kepada pak Angga.

“Lo nggak sepenuhnya salah kok, Kak. Sebelumnya lo kan nggak tau. Gue yakin pak Angga juga memaklumi sikap lo selama ini. Mereka tau segalanya, tapi lo nggak. Kalo gue jadi lo, pasti gue juga benci ke pak Angga.”

Jarvis mengusap hidungnya yang masih berair, bekas dari tangisnya beberapa menit lalu. Rissa sigap mengulurkan selembar tisu yang kebetulan selalu tersedia di tasnya. Lelaki itu menerima dengan menggumamkan ucapan terima kasih.

“Pak Angga itu pelatih kebanggaan gue, Ris. Rasa hormat gue ke beliau sama kaya gimana gue menghormati orang tua sendiri. Beliau udah gue anggap kaya bokap sendiri. Apalagi setelah bokap gue nggak ada.”

Rissa menoleh cepat. “Emangnya ... Ayah kak Jarvis ke mana?” tanya Rissa yang spontan membekap mulutnya menyadari pertanyaan bodoh yang baru keluar dari sana.

Jarvis refleks tersenyum. “Gue belum cerita, ya? Bokap gue udah meninggal. Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu.”

Rissa membeku.

“Pak Angga sama ayah itu temen deket. Mereka sama-sama atlet. Tapi mereka beda bidang. Ayah atlet sepak bola, pak Angga basket. Inget piala-piala yang ada di ruang tengah pas lo main ke rumah gue?”

Rissa mengangguk cepat.

“Itu punya ayah,” ujar Jarvis penuh kebanggaan. Rissa terperangah takjub. Teringat jumlah piala yang terpajang di sana.

“Keren banget!” puji Rissa.

“Bokap gue cukup terkenal saat itu. Dia bagian dari tim nasional. Tapi herannya, gue malah nurunin pak Angga jadi anak basket, bukan anak bola kaya ayah,” ujar Jarvis sambil terkekeh.

“Kok bisa, Kak???” Rissa ikut heran.

“Dulu waktu gue kecil, gue lebih seneng pas diajak nonton basket daripada nonton bola katanya,” jeda Jarvis untuk tertawa. “Gue selalu nangis kalo turun ke lapangan berumput. Apalagi kalo nggak dipakein sepatu. Dari situ, pak Angga langsung semangat banget ngajarin gue main basket.”

Rissa terbahak membayangkan bayi Jarvis yang menangis karena tidak mau menginjak rumput. “Ayah lo nggak kesel gitu liat anaknya lebih seneng jadi anak orang lain?” ledek Rissa.

“Awalnya iya, tapi mau gimana lagi, anaknya nggak mau.” Rissa makin terbahak. “Lama kelamaan, ayah sadar kalo anaknya nggak harus ngikutin jejak dia. Dia udah seneng liat gue jadi atlet, walaupun gue jadinya keliatan anaknya pak Angga bukan anak ayah gue.”

Jarvis agak terkejut mendengar Rissa tertawa begitu keras. Tawa yang seketika menular kepadanya. Walaupun ia harus menelan dalam-dalam pujian yang ingin ia lontarkan pada Rissa. Cantik, gadis itu cantik dengan senyum lebar terukir di wajahnya.

“Ayah mau gue jadi atlet nasional, ngikutin jejak dia. Gue pun bertekad buat wujudin keinginan ayah itu. Tapi ternyata Tuhan manggil ayah duluan.”

Tawa tadi seketika meredup, berubah menjadi sendu.

“Tapi walaupun ayah udah pergi, dia masih bisa liat gue dari langit kan, Ris?”

Rissa hanya bisa mengangguk. Kedua matanya mendadak perih.

“Makanya gue tetep berusaha mewujudkan keinginan ayah. Beliau emang nggak bisa nemenin gue di sini, tapi gue yakin ayah selalu mengawasi gue dari atas sana.”

Jarvis mendongak. Menatap langit sekaligus membendung buliran air mata yang kembali mendobrak pertahanannya.

“Tapi gue udah kecewain ayah, Ris. Gue berhenti dari basket. Gue berhenti jadi atlet. Dan semua itu karena mamah dan abang gue nggak ingin gue jadi atlet. Mereka bikin gue benci sama basket. Mereka bikin gue benci sama pak Angga. Mereka nggak tau kalo cuman itu yang bisa gue lakuin buat bikin ayah bangga.”

Jarvis merasakan nyeri menembus ulu hatinya. Basket adalah salah satu cara untuk mengenang sang ayah. Saat bermain basket, Jarvis bisa merasakan dukungan sang ayah dari sudut lapangan. Mendengar sorakan pak Angga yang mirip dengan ayahnya. Namun keluarganya seakan memaksa Jarvis untuk menghapus segala jejak sang ayah di hidupnya.

“Huh, kenapa jadi mellow gini ya, Ris?” ujar Jarvis dengan kekehan kecil lantas menoleh ke Rissa. “Lah, lo nangis, Ris?!” Jarvis tampak terkejut melihat Rissa yang sibuk menghapus air matanya.

“Eh, engga, Kak! Ini kelilipan tadi!” balas Rissa panik karena ketahuan.

Jarvis tahu Rissa berbohong. Namun ia tidak akan membahasnya. “Lo suka bakso nggak, Ris?”

“Suka, Kak, suka!” Rissa masih berusaha memaksakan diri untuk menahan air mata. Beberapa kali ia menarik dan mengembuskan napas agar tenang. Jarvis diam-diam mengulum senyum melihat tingkat Rissa yang menurutnya lucu.

“Mau makan bakso nggak? Di sini ada yang enak loh. Dulu gue sering makan bareng pak Angga sama ayah di sana.”

Bola mata Rissa kembali panas. Namun ia langsung mengerjap-erjap agar tidak menangis lagi.

“Tapi gue lagi nunggu ojol, Kak!” kilah Rissa.

“Udah ada yang nyangkut?”

“B-belum, sih.” Rissa yang polos ini tidak bisa berbohong.

“Ya udah nanti pulang sama gue aja. Gimana?”

Rissa memainkan kuku jarinya, membuang rasa gugup. “Ya udah deh kalo kak Jarvis maksa.”

Kedua sudut bibir Jarvis terangkat. Ia lantas beranjak mengajak Rissa menghampiri motornya.


Punggung Jarvis ditepuk membuatnya berjengit. Ia menoleh dan menemukan Sagara duduk di sampingnya. Kurang dari sepuluh menit, pertandingan akan segera dimulai. Mendadak Jarvis panik mengetahui siapa yang menjadi lawan timnya kali ini.

“Lo boleh nggak turun sekarang kalo belum siap. Gue sama yang lain masih bisa handle mereka.”

Jarvis hanya mengela napas. Menatap satu persatu anggota tim lawan dan menemukan beberapa orang yang pernah ia temui setahun lalu, terutama orang yang sudah membuat ia lama vakum dari basket. Orang itu tampak melayangkan tatapan ejek kepadanya.

“Justru gue dipaksa ikut karena mereka lawannya, Gar,” jawab Jarvis sembari menyambar botol pocari sweat.

“Gue bakal koordinasi sama pak Angga biar lo dimasukin ke match selanjutnya. Ini anaknya parah-parah. Persis kaya waktu itu. Gue takut lo kenapa-kenapa.”

Jarvis menghabiskan setengah botol minumannya. Ia lantas memasukkannya ke dalam tas dan beranjak dari sana.

“Gue nggak mau stuck di sini terus. Gue bakal lawan mereka.”


“Cowok nomer punggung 8 paling keren!”

“Yang nomer 17 lah!”

“Masih keren nomer 8. Nggak ada yang lebih keren dari kapten!”

“HUH!”

Rissa menjulurkan lidahnya ke Dara yang tampak kesal. Mereka serentak histeris saat kedua tim memasuki area pertandingan. Rissa dan Dara kompak melompat-lompat kecil seraya menyerukan semangat untuk tim kebanggaan mereka.

“PUHA SEMANGAT! PUHA SEMANGAT!”

“KAK JARVIS SEMANGAAAATTT!”

Dara spontan memukul bahu Rissa. “Nggak usah kenceng-kenceng, bego! Sakit kuping gue!”

“Bodo amat!”

“Kak Jarvis mulu deh! Kak Sagara udah nggak lo anggep ya?”

“Ih kata siapa? Ini mau semangatin. KAK AGA SEMANGAAAATTT!!!” Sebuah teriakan yang berakhir Dara membekap mulut Rissa.

Peluit tanda mulai pertandingan ditiup. Jarvis sigap menguasai bola. Ia langsung menggiring ke ring lawan dan berhasil menjebol pertahanan bahkan belum sampai satu menit sejak pertandingan dimulai. Penonton berseru gembira, tak terkecuali teriakan melengking dari seorang gadis bernama Carissa Aurora.

Awal bagus yang dimulai Jarvis untuk timnya. Bola-bola lain berdatangan, menembus pertahanan lawan. Satu poin dari lawan dibalas tiga poin menciptakan selisih yang cukup kentara di kedua tim itu. Putra Harapan seperti menemukan jiwanya yang sudah lama terpendam.

Jarvis masih bisa menikmati permainan sebelum akhirnya ia berpapasan dengan pemain yang dulu pernah membuat tangannya patah. Keduanya saling menatap tajam dengan Jarvis yang berusaha mempertahankan bola di tangannya.

“Lama nggak keliatan ya, Vis? Tangan lo udah nggak bengkok lagi?” ejek cowok itu di tengah napasnya yang terengah sambil tersenyum miring.

Jarvis tak terpengaruh dengan ejekan itu. Ia lantas melompat dan melakukan lemparan dari jauh. Bola berhasil mendarat di ring dengan mulus. Teriakan penonton menggelegar. Jarvis melenggang dari hadapan cowok yang tampak terkejut dengan tembakan mendadak dari Jarvis.

Babak pertama selesai. Putra Harapan unggul. Mereka menepi untuk mendengarkan arahan pelatih. Namun Jarvis memilih duduk untuk menyeka keringat dan mengisi cairan di tubuhnya.

“Permainan yang hebat, Jarvis! Pertahankan sampai babak terakhir, ya!”

Pria bernama Angga yang paham Jarvis takkan sudi mendengarkan perintahnya memilih untuk menghampiri anak didiknya itu. Jarvis hanya menatapnya sekilas. Angga tersenyum tipis sembari menepuk bahu Jarvis. Sebuah perhatian yang membuat seorang pemuda yang duduk di tribun penonton meremas botol di tangannya hingga kerempeng.

Babak kedua dimulai. Entah mendapat petuah apa dari pelatih mereka, tim lawan menjadi lebih agresif dari sebelumnya. Beberapa pemain tampak sengaja mendorong dan menghalangi pemain Putra Harapan dengan kasar. Bahkan Yasa ditampar sampai hidungnya mengeluarkan darah.

“Kak Yasa cidera! Gimana, nih?” ujar Rissa tampak khawatir.

“Gue ngerasa anak Taruna Bangsa jadi beringas deh. Iya nggak sih? Masa dari tadi dorong-dorong terus?” tanggap Dara membuat dua gadis itu mengerutkan dahi pertanda khawatir.

Dan benar saja, makin lama permainan tim lawan makin kacau. Peluit wasit tanda pelanggaran seperti tak ada harganya untuk mereka. Angga yang menyimak permainan dari pinggir lapangan tampak khawatir.

“Defense! Defense! Jarvis! Yak! Good ball!” teriaknya memberi arahan.

“Bang, gue kosong!” teriak Fazwan sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi kepada Jarvis. Sang kapten menerima kode lantas melemparkan bola pada Fazwan.

Bola mendarat di tangan Fazwan dengan mulus. Ia hendak melangkah menuju ring lawan. Namun tanpa diduga, kakinya diinjak oleh lawan hingga tubuhnya langsung terguling ke lapangan.

“WAN!” pekik Jarvis yang melihat Fazwan terjatuh dengan memegangi kakinya yang terkilir.

Wasit memberikan peluit tanda pelanggaran ke orang yang sengaja membuat Fazwan terjatuh. Namun orang itu malah mengangkat bahunya tak peduli. Kelihatannya dia memang sengaja melakukan itu.

Fazwan langsung dipapah menuju pinggir lapangan. Angga sigap mengecek kaki anak didiknya itu. Jarvis tampak tak beranjak dari samping Fazwan, menatap khawatir adik kelasnya yang meringis kesakitan.

“Ada pergeseran sedikit di pergelangan kakinya. Kamu istirahat dulu ya. Biar Bagas yang menggantikan,” ujar Angga.

“Eh, jangan saya, Pak! Saya nggak bisa kalo lawan mereka!” tolak Bagas.

“Udah, Pak. Saya baik-baik aja kok. Saya masih bisa main,” timpal Fazwan.

“Nggak bisa! Lo cidera kaya gini kok!” serobot Jarvis menolak permintaan Fazwan.

“Gapapa, Bang. Gue bisa.”

“Nggak, Wan. Gue nggak izinin.”

“Tapi nggak ada yang bisa gantiin gue, Bang.”

“Saya aja yang gantiin dia, Pak.”

Semuanya serentak menoleh. Mereka sama terkejutnya melihat seseorang yang baru saja menawarkan diri itu. Angga langsung bangkit menghampirinya.

“Memang hanya kamu yang Bapak butuhkan saat ini, Bisma.”

Lelaki bernama Bisma itu mencopot topi yang ia kenakan. Menatap Angga malas, apalagi teman satu timnya—terutama Jarvis—yang tampak senang akan kehadirannya.

Pertandingan kembali dimulai dengan Bisma yang menggantikan Fazwan. Jarvis awalnya ragu untuk mendekat ke Bisma. Dulu Bisma adalah partnernya untuk menyerang ke ring lawan. Mereka seringkali bergantian mencetak poin. Namun dengan keadaan sekarang, apakah Bisma masih mau kerja sama dengan Jarvis?

Keraguan Jarvis sontak runtuh saat Bisma tiba-tiba mengoper bola kepadanya. Cowok itu langsung berlari ke depan, menunggu operan balik dari Jarvis yang kemudian akan ia tembak ke ring lawan. Jarvis menyeringai. Ia yakin seratus persen kemenangan akan jatuh ke tangan timnya.

Berkat kolaborasi dua kapten itu, Putra Harapan semakin dekat dengan kemenangan. Jarvis berdiri tepat di hadapan ring, bersiap memasukkan bola. Saat ia melompat, tiba-tiba seseorang mendorong tubuhnya.

Bisma yang melihat itu sontak melotot. Terbayang kejadian di masa lalu yang sama persis seperti apa yang ia lihat sekarang. Teriang teriakan penuh kesakitan dari Jarvis yang tergeletak di tengah lapangan sambil memegangi tangannya. Tidak, hal itu tidak boleh terjadi lagi.

Maka secepat mungkin, Bisma mengambil langkah cepat dan menangkap tubuh Jarvis hingga keduanya terjatuh dengan tubuh Bisma sebagai tumpuan. Penonton memekik kaget mendengar benturan keduanya yang cukup keras.

“Fuck!” umpat Bisma saat tubuhnya menubruk lapangan.

“Anjir! Bisma!” Jarvis langsung menggulingkan tubuhnya agar Bisma tak terlalu terbebani dengan massa tubuhnya. “Weh! Lo baik-baik aja, kan?” tanya Jarvis sambil membantu Bisma bangun.

Bisma tampak meringis. Setelah mengecek tubuhnya, ia lantas melempar pandang ke Jarvis. “Lo ada yang luka nggak?” tanya Bisma.

Jarvis menunjukkan sikunya. “Cuman berdarah dikit. Thanks ya!” ujarnya yang hanya diangguki Bisma. Jarvis berdiri lantas mengulurkan tangan pada Bisma. Lelaki itu menerimanya dengan senang hati.

Keduanya tampak canggung setelah itu. Namun mereka sama-sama lega bisa menjaga satu sama lain lagi seperti dulu.

“Kayaknya siku kak Jarvis berdarah deh, Ris!” ungkap Dara.

Rissa menggigit kukunya. Ia lantas turun dari tribun dan pergi entah ke mana.

Pertandingan yang sempat terjeda kembali dilanjutkan. Jarvis dan Bisma makin bersemangat untuk mencetak poin bersama. Hingga akhirnya, tim Putra Harapan memenangkan pertandingan. Semuanya bersorak gembira.

Jarvis dan Bisma menghampiri satu sama lain. Mereka berpelukan erat dan bersorak gembira sebelum akhirnya tersadar dengan apa yang mereka lakukan. Mereka serentak menarik tubuh menjauh dan menatap kikuk.

Kecanggungan itu terselamatkan oleh pemain lain yang kompak memeluk keduanya bersama dalam sebuah lingkaran tim yang berhasil membawa pulang kemenangan.

Punggung Jarvis ditepuk membuatnya berjengit. Ia menoleh dan menemukan Sagara duduk di sampingnya. Kurang dari sepuluh menit, pertandingan akan segera dimulai. Mendadak Jarvis panik mengetahui siapa yang menjadi lawan timnya kali ini.

“Lo boleh nggak turun sekarang kalo belum siap. Gue sama yang lain masih bisa handle mereka.”

Jarvis hanya mengela napas. Menatap satu persatu anggota tim lawan dan menemukan beberapa orang yang pernah ia temui setahun lalu, terutama orang yang sudah membuat ia lama vakum dari basket. Orang itu tampak melayangkan tatapan ejek kepadanya.

“Justru gue dipaksa ikut karena mereka lawannya, Gar,” jawab Jarvis sembari menyambar botol pocari sweat.

“Gue bakal koordinasi sama pak Angga biar lo dimasukin ke match selanjutnya. Ini anaknya parah-parah. Persis kaya waktu itu. Gue takut lo kenapa-kenapa.”

Jarvis menghabiskan setengah botol minumannya. Ia lantas memasukkannya ke dalam tas dan beranjak dari sana.

“Gue nggak mau stuck di sini terus. Gue bakal lawan mereka.”


“Cowok nomer punggung 8 paling keren!”

“Yang nomer 17 lah!”

“Masih keren nomer 8. Nggak ada yang lebih keren dari kapten!”

“HUH!”

Rissa menjulurkan lidahnya ke Dara yang tampak kesal. Mereka serentak histeris saat kedua tim memasuki area pertandingan. Rissa dan Dara kompak melompat-lompat kecil seraya menyerukan semangat untuk tim kebanggaan mereka.

“PUHA SEMANGAT! PUHA SEMANGAT!”

“KAK JARVIS SEMANGAAAATTT!”

Dara spontan memukul bahu Rissa. “Nggak usah kenceng-kenceng, bego! Sakit kuping gue!”

“Bodo amat!”

“Kak Jarvis mulu deh! Kak Sagara udah nggak lo anggep ya?”

“Ih kata siapa? Ini mau semangatin. KAK AGA SEMANGAAAATTT!!!” Sebuah teriakan yang berakhir Dara membekap mulut Rissa.

Peluit tanda mulai pertandingan ditiup. Jarvis sigap menguasai bola. Ia langsung menggiring ke ring lawan dan berhasil menjebol pertahanan bahkan belum sampai satu menit sejak pertandingan dimulai. Penonton berseru gembira, tak terkecuali teriakan melengking dari seorang gadis bernama Carissa Aurora.

Awal bagus yang dimulai Jarvis untuk timnya. Bola-bola lain berdatangan, menembus pertahanan lawan. Satu poin dari lawan dibalas tiga poin menciptakan selisih yang cukup kentara di kedua tim itu. Putra Harapan seperti menemukan jiwanya yang sudah lama terpendam.

Jarvis masih bisa menikmati permainan sebelum akhirnya ia berpapasan dengan pemain yang dulu pernah membuat tangannya patah. Keduanya saling menatap tajam dengan Jarvis yang berusaha mempertahankan bola di tangannya.

“Lama nggak keliatan ya, Vis? Tangan lo udah nggak bengkok lagi?” ejek cowok itu di tengah napasnya yang terengah sambil tersenyum miring.

Jarvis tak terpengaruh dengan ejekan itu. Ia lantas melompat dan melakukan lemparan dari jauh. Bola berhasil mendarat di ring dengan mulus. Teriakan penonton menggelegar. Jarvis melenggang dari hadapan cowok yang tampak terkejut dengan tembakan mendadak dari Jarvis.

Babak pertama selesai. Putra Harapan unggul. Mereka menepi untuk mendengarkan arahan pelatih. Namun Jarvis memilih duduk untuk menyeka keringat dan mengisi cairan di tubuhnya.

“Permainan yang hebat, Jarvis! Pertahankan sampai babak terakhir, ya!”

Pria bernama Angga yang paham Jarvis takkan sudi mendengarkan perintahnya memilih untuk menghampiri anak didiknya itu. Jarvis hanya menatapnya sekilas. Angga tersenyum tipis sembari menepuk bahu Jarvis. Sebuah perhatian yang membuat seorang pemuda yang duduk di tribun penonton meremas botol di tangannya hingga kerempeng.

Babak kedua dimulai. Entah mendapat petuah apa dari pelatih mereka, tim lawan menjadi lebih agresif dari sebelumnya. Beberapa pemain tampak sengaja mendorong dan menghalangi pemain Putra Harapan dengan kasar. Bahkan Yasa ditampar sampai hidungnya mengeluarkan darah.

“Kak Yasa cidera! Gimana, nih?” ujar Rissa tampak khawatir.

“Gue ngerasa anak Taruna Bangsa jadi beringas deh. Iya nggak sih? Masa dari tadi dorong-dorong terus?” tanggap Dara membuat dua gadis itu mengerutkan dahi pertanda khawatir.

Dan benar saja, makin lama permainan tim lawan makin kacau. Peluit wasit tanda pelanggaran seperti tak ada harganya untuk mereka. Angga yang menyimak permainan dari pinggir lapangan tampak khawatir.

“Defense! Defense! Jarvis! Yak! Good ball!” teriaknya memberi arahan.

“Bang, gue kosong!” teriak Fazwan sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi kepada Jarvis. Sang kapten menerima kode lantas melemparkan bola pada Fazwan.

Bola mendarat di tangan Fazwan dengan mulus. Ia hendak melangkah menuju ring lawan. Namun tanpa diduga, kakinya diinjak oleh lawan hingga tubuhnya langsung terguling ke lapangan.

“WAN!” pekik Jarvis yang melihat Fazwan terjatuh dengan memegangi kakinya yang terkilir.

Wasit memberikan peluit tanda pelanggaran ke orang yang sengaja membuat Fazwan terjatuh. Namun orang itu malah mengangkat bahunya tak peduli. Kelihatannya dia memang sengaja melakukan itu.

Fazwan langsung dipapah menuju pinggir lapangan. Angga sigap mengecek kaki anak didiknya itu. Jarvis tampak tak beranjak dari samping Fazwan, menatap khawatir adik kelasnya yang meringis kesakitan.

“Ada pergeseran sedikit di pergelangan kakinya. Kamu istirahat dulu ya. Biar Bagas yang menggantikan,” ujar Angga.

“Eh, jangan saya, Pak! Saya nggak bisa kalo lawan mereka!” tolak Bagas.

“Udah, Pak. Saya baik-baik aja kok. Saya masih bisa main,” timpal Fazwan.

“Nggak bisa! Lo cidera kaya gini kok!” serobot Jarvis menolak permintaan Fazwan.

“Gapapa, Bang. Gue bisa.”

“Nggak, Wan. Gue nggak izinin.”

“Tapi nggak ada yang bisa gantiin gue, Bang.”

“Saya aja yang gantiin dia, Pak.”

Semuanya serentak menoleh. Mereka sama terkejutnya melihat seseorang yang baru saja menawarkan diri itu. Angga langsung bangkit menghampirinya.

“Memang hanya kamu yang Bapak butuhkan saat ini, Bisma.”

Lelaki bernama Bisma itu mencopot topi yang ia kenakan. Menatap Angga malas, apalagi teman satu timnya—terutama Jarvis—yang tampak senang akan kehadirannya.

Pertandingan kembali dimulai dengan Bisma yang menggantikan Fazwan. Jarvis awalnya ragu untuk mendekat ke Bisma. Dulu Bisma adalah partnernya untuk menyerang ke ring lawan. Mereka seringkali bergantian mencetak poin. Namun dengan keadaan sekarang, apakah Bisma masih mau kerja sama dengan Jarvis?

Keraguan Jarvis sontak runtuh saat Bisma tiba-tiba mengoper bola kepadanya. Cowok itu langsung berlari ke depan, menunggu operan balik dari Jarvis yang kemudian akan ia tembak ke ring lawan. Jarvis menyeringai. Ia yakin seratus persen kemenangan akan jatuh ke tangan timnya.

Berkat kolaborasi dua kapten itu, Putra Harapan semakin dekat dengan kemenangan. Jarvis berdiri tepat di hadapan ring, bersiap memasukkan bola. Saat ia melompat, tiba-tiba seseorang mendorong tubuhnya.

Bisma yang melihat itu sontak melotot. Terbayang kejadian di masa lalu yang sama persis seperti apa yang ia lihat sekarang. Teriang teriakan penuh kesakitan dari Jarvis yang tergeletak di tengah lapangan sambil memegangi tangannya. Tidak, hal itu tidak boleh terjadi lagi.

Maka secepat mungkin, Bisma mengambil langkah cepat dan menangkap tubuh Jarvis hingga keduanya terjatuh dengan tubuh Bisma sebagai tumpuan. Penonton memekik kaget mendengar benturan keduanya yang cukup keras.

“Fuck!” umpat Bisma saat tubuhnya menubruk lapangan.

“Anjir! Bisma!” Jarvis langsung menggulingkan tubuhnya agar Bisma tak terlalu terbebani dengan massa tubuhnya. “Weh! Lo baik-baik aja, kan?” tanya Jarvis sambil membantu Bisma bangun.

Bisma tampak meringis. Setelah mengecek tubuhnya, ia lantas melempar pandang ke Jarvis. “Lo ada yang luka nggak?” tanya Bisma.

Jarvis menunjukkan sikunya. “Cuman berdarah dikit. Thanks ya!” ujarnya yang hanya diangguki Bisma. Jarvis berdiri lantas mengulurkan tangan pada Bisma. Lelaki itu menerimanya dengan senang hati.

Keduanya tampak canggung setelah itu. Namun mereka sama-sama lega bisa menjaga satu sama lain lagi seperti dulu.

“Kayaknya siku kak Jarvis berdarah deh, Ris!” ungkap Dara.

Rissa menggigit kukunya. Ia lantas turun dari tribun dan pergi entah ke mana.

Pertandingan yang sempat terjeda kembali dilanjutkan. Jarvis dan Bisma makin bersemangat untuk mencetak poin bersama. Hingga akhirnya, tim Putra Harapan memenangkan pertandingan. Semuanya bersorak gembira.

Jarvis dan Bisma menghampiri satu sama lain. Mereka berpelukan erat dan bersorak gembira sebelum akhirnya tersadar dengan apa yang mereka lakukan. Mereka serentak menarik tubuh menjauh dan menatap kikuk.

Kecanggungan itu terselamatkan oleh pemain lain yang kompak memeluk keduanya bersama dalam sebuah lingkaran tim yang berhasil membawa pulang kemenangan.

Mungkin kalian bertanya-tanya alasan terbesar gue membenci Angga. Okelah kita panggil dia “Pak” biar kedengeran agak sopan. Dari cerita yang udah terlewat, udah terlihat jelas gimana bencinya gue ke beliau dan kalian memvalidasi perasaan gue. Beberapa alasan di baliknya udah gue jelasin secara singkat. Di mana setahun lalu tangan gue patah akibat Porseni tapi nggak ada bentuk pertanggungjawaban sedikitpun dari pihak sekolah, terutama Pak Angga sebagai pelatih gue.

Marah? Enggak. Gue benci. Pak Angga udah gue anggap sebagai ayah sendiri. Tapi dia nggak ada rasa simpati sedikitpun saat gue jatuh. Bukannya mendukung gue untuk sembuh, Pak Angga malah menghilang. Dan saat gue kembali ke Putra Harapan, gue dapet kabar kalo posisi gue udah diganti orang lain tanpa persetujuan dari gue sendiri. Kecewa? Kagak. Dari waktu Pak Angga dan bawahannya yang nggak pernah nengokin gue di rumah sakit, gue udah nggak menaruh harapan atau rasa hormat sedikitpun sama mereka. Saat itu juga, gue mundur dari tim basket dan menaruh kebencian ke segala hal yang berhubungan dengan basket.

Melawan kebencian sama orang yang dulu gue kagumi rasanya susah banget. Pak Angga adalah orang yang paling gue percaya dan paling gue banggain di Putra Harapan. Sampai sekarang, gue masih nggak nyangka sosok panutan hidup gue itu bisa dengan enteng membuang gue gitu aja hanya karena tangan gue patah. Apa dia merasa kalau gue udah nggak berguna lagi setelah itu? Apa dia cuman manfaatin kemampuan yang gue punya?

Sebesar apapun rasa benci gue ke Pak Angga, gue masih mencari kebenaran dari kejadian pahit yang gue alamin. Masa iya Pak Angga mendadak pergi begitu aja? Masih terdengar jelas di telinga gue gimana teriakan dia pas minta ambulans buat bawa gue ke rumah sakit. Bayangan raut wajah tegang disertai mata memerah yang gue lihat selalu jadi hal yang bikin gue ragu kalau Pak Angga melakukan hal setega itu ke gue, seperti apa yang selama ini gue dengar dari abang dan mamah. Apa mungkin keluarga gue berbohong?

Rumah bernuansa pastel kembali menyapa pandangan. Udah lama gue nggak berkunjung ke sini. Satu set kursi dan meja di teras menjadi ruang favorit buat gue, almarhum ayah, dan Pak Angga untuk berbincang santai. Ah, ngomong-ngomong tentang ayah ... iya, ayah gue udah nggak ada. Belum lama ini, kira-kira setahun atau dua tahun sebelum kejadian porseni. Gue nggak inget jelas kapan waktunya. Nggak ingin mengingat juga, sih. Paling kalau mamah ngajak ziarah, itu baru gue inget.

Baru ngeliat terasnya aja gue udah inget ayah. Ini yang bikin gue nggak mau ke rumah Pak Angga. Terlalu banyak jejak kenangan yang gue usahain mati-matian buat dilupain. Kalau sampai itu bapak-bapak kagak ada di rumah, gue nggak akan mau nemuin dia sampai kapanpun. Bakal gue cut-off dari kehidupan gue. [canda cut-off]

“Nggak nyasar, kan, Jar?”

Buset, gue langsung jingkrak denger suara dia. Itu orang ternyata dari tadi lagi nyiram tanaman di samping gue. Pantesan nggak keliatan. Pohon mangga yang dulu sering gue maling buahnya ngalangin pandangan.

“Kaget, ya?” ujarnya sambil ngetawain gue. “Tadi Bapak liat kamu di depan gerbang terus, nggak masuk-masuk. Kirain lagi liat apa. Ternyata ngalamun.”

Pak Angga naruh selang yang dia pake buat nyiram tanaman lalu berjalan ke arah gue buat bukain gerbang. Gue melempar senyum canggung kemudian masuk. Ini adalah suasana tercanggung yang pernah gue rasain. Harus ngomong apaan ini? Gue kesambet apa sih sampe mau nurutin dia? Mau balik, tapi itu pager udah dikunci lagi. Ya, udah, lah. Dia kan yang minta gue dateng. Ngapain juga gue repot-repot mikir mau ngomong apaan.

“Sudah makan siang atau belum, Jar?” tanya Pak Angga saat Kami melangkah beriringan ke teras rumah.

“Udah, Pak.” Gue berusaha ketus tapi kagak bisa. Pas berhadapan langsung sama beliau, gue jadi nggak berani macem-macem. BAHKAN GUE TADI REFLEKS CIUM TANGAN DIA.

“Bu! Bikinin teh manis anget ini buat Jarvis!” teriak Pak Angga dari luar rumah kepada istrinya. Oh, dia masih inget minuman favorit gue ternyata.

Fyi, gue belum nemu teh manis yang lebih enak dari buatan istrinya Pak Angga. Dan itu adalah alasan paling berat buat gue nolak tawaran pak Angga kalo diajak ke rumah.

“Mau duduk di sini apa di dalam?” tawar Pak Angga.

“Di sini aja, Pak.”

Kami berdua lantas duduk di dua kursi yang dipisahkan oleh meja. Pak Angga memantik rokoknya. Ah, ini om-om mesti mau ndongeng. Nggak bakal bisa balik cepet gue.


“Bapak kira kamu bercanda pas nolak dateng ke pelepasan Bapak tadi pagi. Ternyata dicari-cari beneran nggak datang.”

Setelah perbincangan panjang yang basi banget buat gue ceritain, akhirnya pembahasan yang gue tunggu dimulai.

“Buat apa saya dateng, Pak? Saya bukan anak basket lagi.”

“Memang ada aturan yang boleh dateng ke acara pelepasan Bapak cuman anak basket saja? Kalau begitu, kepala sekolah dan guru-guru seharusnya nggak dateng, ya? Mereka bukan anak basket. Betul, Jarvis?”

Dari dulu Pak Angga emang paling bisa balikin omongan gue. Dari beliau juga gue belajar cara menanggapi orang yang nggak sesuai sama jalan pikiran sendiri.

Pak Angga mengela napas. Kayaknya pembahasan yang lebih serius bakal dimulai.

“Ada beberapa hal yang ingin Bapak ceritakan ke kamu. Mungkin akan sulit dipercaya. Tapi Bapak juga nggak akan memaksa kamu untuk percaya.”

Perhatian gue udah sepenuhnya buat Pak Angga. Jujur, sekarang gue jadi gugup.

“Bapak nggak pernah membuang kamu, Jar. Bapak nggak mungkin membiarkan anak didik Bapak tergeletak di rumah sakit tanpa bantuan satupun.”

Gue memalingkan wajah. “Tapi nyatanya itu yang Bapak lakukan.”

“Baik dari pihak sekolah maupun Bapak sendiri sudah berusaha untuk bertanggung jawab. Tapi keluargamu menolak bantuan Kami. Bapak diminta untuk tidak ikut campur urusan kamu lagi. Dan keluargamu juga yang meminta Bapak untuk mengeluarkan kamu dari tim basket Putra Harapan.”

Gue menoleh cepat. Nggak terima dengan apa yang dibilang Pak Angga. “Bapak jangan asal bicara. Mamah dan kakak saya masih mendukung saya untuk kembali ke basket setelah keluar dari rumah sakit. Tapi saat saya kembali, ternyata posisi saya udah diganti sama orang lain dan nama saya dicoret dari anggota tim.”

Pak Angga tampak gelisah. “Bapak nggak meminta kamu untuk percaya sepenuhnya. Tapi demi Allah, bapak nggak bohong soal masalah ini.”

Sampai bawa nama Tuhan? Pak Angga beneran nggak bohong?

“Ibumu menyuruh Bapak untuk mengeluarkanmu dari tim dan bertingkah seolah Kami dan sekolah tidak bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa kamu bukan lain karena ibumu ingin kamu lepas dari basket. Ibu dan kakakmu nggak suka kamu jadi atlet basket, Jar.”

Kerutan di dahi gue bertambah tegang. “Dengan alasan?”

“Mereka tidak ingin kamu mengalami hal yang sama dengan ayahmu.”

Gue cuman bisa diam. Nggak tau mau ngerespon kaya gimana. Ini bercanda, kan?

“Sejak kematian ayahmu di pertandingan kala itu, ibu dan kakakmu selalu merayu Bapak untuk membuat kamu benci dengan basket. Karena mereka tahu, tidak akan mudah menyuruh kamu berhenti dari sesuatu yang sudah mendarah daging dalam tubuhmu. Tapi Bapak tolak dengan jaminan Bapak akan menjaga kamu agar tidak mengalami hal yang sama seperti ayahmu.

Namun Bapak gagal. Kamu celaka setahun setelahnya. Keluargamu semakin takut kehilangan kamu. Akhirnya Bapak memilih mundur. Walaupun Bapak tahu, sulit untuk kamu lepas dari basket. Benar, kan, Jarvis?”

Gue udah nggak sanggup jawab. Dua mata gue udah perih banget.

“Setahun ke belakang adalah tahun yang berat untuk Bapak. Kehilangan anak didik terbaik dengan luka kebencian yang terlihat di kedua matamu membuat Bapak merasa sudah gagal menjadi pelatih. Maka dari itu, di kesempatan terakhir bertemu dengan kamu ini, Bapak ingin lihat kamu kembali ke lapangan. Menjadi bagian dari tim Bapak lagi. Setidaknya Bapak jadi punya kenangan indah bersama anak didik terbaik sebelum Bapak pindah tugas ke tempat yang jauh nanti.”

Sial, gue udah nggak bisa nahan air mata lagi. Tapi buru-buru gue hapus. Gue nggak mau keliatan lemah di depan Pak Angga.

“Oh, ya, nanti kalau sekolah tiba-tiba kasih kabar uang porseni turun, kamu terima saja, ya!”

Gue sontak mendongak. “Kan, udah turun, Pak?”

Pak Angga tersenyum sebelum menjawab. “Belum, uangnya belum turun.”

“Lah, yang kemarin?”

“Itu hal lain yang mau Bapak ceritakan ke kamu.” Pak Angga meminum kopinya. “Kemarin pas Bisma ngejar Bapak itu sebenernya uang porseni belum turun sama sekali. Nggak tau dari mana dia kekeh bilang Bapak sudah terima uangnya. Bapak yang lagi sibuk ngurusin pindah tugas jadi nggak sempat menanggapi. Bukan berarti Bapak lari dari tanggung jawab. Tapi suatu hari tiba-tiba DUAARRRR!”

Pak Angga mendadak meninggikan suara membuat gue terlonjak kaget.

“Anak didik terbaik Bapak menghubungi. Bapak itu merasa ... hmm, kalau bahasa anak jaman sekarang itu Jarvis menghubungi duluan berarti dunia sedang tidak baik-baik saja.”

Gue refleks ketawa. Pak Angga tampak puas bikin gue ketawa. Nggak tau kenapa suasananya berubah jadi lebih hangat.

“Ternyata Jarvis sampai turun tangan dengan masalah ini. Ya, sudah, tanpa pikir panjang Bapak kirim uangnya. Gaji terakhir Bapak sebagai guru di Putra Harapan itu. Tapi nggak apa-apa, Bapak nggak ingin mengecewakan anak didik Bapak lagi. Itung-itung sedekah, kan?”

“Bapak nggak ada pesangon buat pindah berarti, ya?” Gue menanggapi dengan sedikit ledekan.

“Lah, itu gampang. Jual kambing di belakang rumah satu aja udah cukup. Apalagi sebentar lagi idul adha. Pasti laku itu si Cecep apa si Ucup.”

Gue terbahak. Pak Angga emang selalu punya jawaban yang lebih menggelitik.

“Nanti kalo uangnya turun, kamu terima aja dan dibagi sama yang lain buat uang jajan. Nggak usah bilang sudah dapet uang dari Pak Angga. Oke?”

Kepala gue mengangguk ragu. “Makasih, Pak.”

“Hmm,” jawab beliau mengiyakan sambil mengisap rokok. “Soal tadi, coba diskusikan dengan keluargamu. Bapak nggak ingin bakat yang kamu punya jadi sia-sia karena keegosisan keluargamu. Terus main basket, ya. Banggakan ayahmu di sana.”

Sebuah kalimat penutup yang sukses bikin gue overthinking seharian.

“Gue nggak apa-apa kok, Kak. Ini udah jadi tugas gue dan gue nggak keberatan. Jadi kayaknya lo nggak perlu ngobrol sama mereka.”

Rissa panik melihat Jarvis mengemasi barangnya dengan kasar. Cowok itu mengatakan ingin bertemu dengan panitia lain yang membiarkan Risaa bekerja sendirian. Entah apa yang akan dikatakan cowok itu. Namun Rissa menebak ini bukanlah hal yang baik.

Jarvis melipat kedua tangannya di dada. “Lo sadar nggak sih? Lo lagi dimanfaatin sama mereka.”

Dahi cewek itu mengerut. “Dimanfaatin?”

“Dari awal lo disuruh nempel poster hasil seleksi aja udah keliatan, Ris. Apalagi habis itu lo disuruh mereka buat yakinin gue kan? Terus sekarang masalah kaya gini lagi-lagi cuman lo yang handle. Dan lo masih nggak ngerasa dimanfaatin?”

“Tapi ini emang tugas gue kan, Kak?”

“Tugas apa? Tugas jinakin Jarvis gitu?”

Tawa Risaa hampir menyembur kalau aja nggak ditahan. Ternyata cowok ini sadar kalau dirinya perlu dijinakkin.

“Mampir rumah gue dulu ya. Gue mau ambil hape,” ujar Jarvis sembari menggendong tasnya.

“Hah?! Rumah lo?!” pekik Rissa membuat Jarvis berjengit.

“Gue cuman mau ambil hp, bukan ngenalin lo ke orang tua. Ngapain kaget banget dah,” ujar Jarvis sambil berlalu meninggalkan Rissa. Cewek itu berusaha mati-matian menahan belah pipinya yang merebus malu.

Rissa lantas menyusul Jarvis yang sudah menaiki motor NMAX hitam miliknya. Cowok itu tampak gagah menaiki motor dengan body besar dan lebar, sesuai dengan postur tubuh Jarvis. Sepasang kaki Rissa berusaha maksimal menopang tubuhnya yang lemas lunglai melihat pemandangan menyegarkan itu.

“Lo ke sini naik apaan?” tanya Jarvis menyadari tak ada kendaraan lain di sana selain motornya.

“Jalan, Kak.”

“Jalan?! Lo dari sekolah ke sini jalan?”

“Habisnya gue panik jadi nggak sempet minta dianter.” Rissa mengerucutkan bibirnya gemas.

Terdengar helaan napas kasar dari Jarvis. “Ya udah naik.”

INI SERIUS GUE BONCENG KAK JARVIS?

Cowok itu memutar arah motornya terlebih dahulu. Risaa menanti saat yang tepat untuk naik. Jarvis sedikit menoleh memastikan Rissa sudah naik. Yang dilirik bergegas naik sebelum Jarvi mengomel.

“Gue cuman bawa helm satu. Nanti lo sembunyi aja di punggung gue.”

Tenggorokan Rissa mendadak kering. Wangi tubuh Jarvis menyeruak bercampur dengan keringat yang sama wanginya. Rambut bagian belakang Jarvis tampak basah. Bahu dan punggungnya membentang seluas samudra. Ada cetakan kaos yang dijadikan dalaman. Rissa menahan napas, takut menghirup aroma tubuh Jarvis yang memabukkan.

Motor melaju. Rissa hampir terjungkal karena kaget. Tangannya meraba-raba ke bagian belakang, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Nihil, Rissa hanya mengandalkan pahanya untuk berpegangan.

Semoga rumah kak Jarvis jauh. Gue nggak mau cepet-cepet turun dari motornya.


“Udah dichat?” tanya Jarvis pada Rissa yang lagi mondar-mandir gelisah sambil menatap ponselnya.

“Udah, Kak. Kayaknya lagi otw ke sini.”

Jarvis mengangguk. “Ya udah duduk sini. Tenang aja, gue nggak macem-macem sama mereka,” ujar Jarvis sambil menepuk bangku sebelahnya. Rissa menurut dan duduk di sana.

Derap langkah terdengar mendekat. Keduanya menoleh ke pintu dan menemukan Tama dan Arjuna. Mereka tampak habis berlari. Terlihat dari napasnya yang terengah.

“Jar?! Ngapain masih di sini? Buruan ke lapangan!” pinta Arjuna.

“Gampang. Lo berdua duduk di situ dulu,” jawab Jarvis seraya menunjuk deretan bangku yang tersusun di hadapannya. Mau tidak mau, dua cowok itu menurut. Jarvis tidak suka dan tidak akan bisa dibantah.

Tak lama kemudian, Prayoga yang menjabat sebagai ketua panitia menyusul bersama Nana. Melihat dua temannya sudah datang, Yoga tanpa banyak bicara langsung bergabung dengan mereka.

“Gimana, Jar?” tanya Yoga tenang.

“Di antara banyaknya anak acara dan panitia lain, yang kerja cuman Rissa doang apa?” ucap Jarvis langsung menembak ke poin pembicaraan.

Arjuna hendak menanggapi tapi langsung ditahan oleh Yoga. “Atas dasar apa lo bilang kaya gitu?”

“Lo pada numbalin Rissa buat handle gue kan?”

“Bukan numbalin, tapi emang itu tugas dia.”

Rissa meremas ujung kausnya. Tatapan mereka sangat tajam, menusuk ulu hatinya. Ia ingin Jarvis berhenti. Semua ini tidak perlu dipermasalahkan. Namun Rissa tak punya cukup nyali untuk menghentikan cowok itu.

“Ya masa dari awal Rissa doang yang maju? Lo pada ngapain?”

“Lo pikir kerjaan kita cuman ngurusin lo, Vis?” Arjuna yang sudah tidak tahan ikut nimbrung.

“Ya, nggak usah nyuruh anak baru bisa kan? Dia nggak tau apa-apa tapi udah disuruh ngadepin gue. Lo pada tau gue orangnya gimana. Nggak kasian apa nyerahin semuanya ke dia?”

Suasana menegang. Mulut mereka sama terkunci. Rissa tak berani mengangkat kepalanya.

“Dari awal pas gue nggak mau gabung basket, lo pada nyuruh dia buat bujukin gue. Sampe bilang keberhasilan proker bergantung sama berhasil nggaknya dia bujuk gue. Keliatan sederhana emang, tapi berat beban pikirnya, Bro. Dan lo pada ngelimpahin itu semua ke Rissa yang masih baru di OSIS.”

Jarvis mengubah posisi duduknya. Sedikit melirik Rissa yang tampak tertekan. Sadar akan suasana tidak mengenakkan antara Rissa dan anak-anak acara itu, ia mencoba meluruskan pandangan.

“Ini gue ngomong kaya gini nggak ada suruhan dari Rissa. Murni keinginan gue.”

Rissa sedikit mendongak melirik Jarvis.

“Sekarang pas gue nggak ada kabar, lagi-lagi cuman Rissa yang nyari gue. Lo pada tau? Dia jalan kaki dari sekolah sampe minimarket jalan raya sono. Sendirian. Tega lo pada bayanginnya?”

“Tadi gue emang udah bagi-bagi tugas ke yang lain, Vis. Rissa kebagian nyari lo. Gue kira dia bakal ikut nyari sama anak basket lain. Nggak tau bakal sendirian,” jelas Yoga.

“Ya pokoknya gini lah,” potong Jarvis sambil menumpu kedua sikunya di lutut. Tangannya menunjukkan gestur menjelaskan. “Gue tau Rissa adik kelas kita. Pasti ada sedikit rasa senioritas yang bikin kita seenaknya nyuruh dia. Tapi ya nggak gini lah.”

Rissa tampak mengusap pipinya. Ia tidak bisa menahan air mata yang mendesak keluar.

“Jujur aja, ini kalo gue nggak ketemu Rissa, gue nggak akan balik ke sekolah. Nggak bakal gue ikut pertandingan jadi kapten putra harapan. Gue tadi sengaja kabur, beneran. Tapi karena dia nyari, gue akhirnya balik. Karena apa? Gue ngehargain usaha dia buat bikin acara ini berhasil.”

Jarvis menghempaskan punggungnya ke sandaran. Kembali melirik Rissa yang menatapnya tak percaya. Pandangannya lantas beralih menatap satu persatu panitia di hadapannya yang termenung.

“Gue harap ini bisa jadi bahan evaluasi lo pada. Ya udah lah, sekarang balik aja ke acara. Kalo diterusin makin banyak yang gue omongin.”

Cowok itu beranjak lalu mengambil tas dan menyampirkan jaketnya ke bahu. “Ayo, Ris!” ajaknya menyuruh Rissa ikut keluar bersamanya.

Rissa berdiri dengan ragu-ragu. Ia mengangguk bermaksud berpamitan dengan kakak kelasnya. Lalu ia melangkah cepat menyusul Jarvis.

Semoga saja setelah ini tidak ada resiko yang harus ditanggung Rissa karena membiarkan Jarvis membelanya di hadapan para senior.

“Gue nggak apa-apa kok, Kak. Ini udah jadi tugas gue dan gue nggak keberatan. Jadi kayaknya lo nggak perlu ngobrol sama mereka.”

Rissa panik melihat Jarvis mengemasi barangnya dengan kasar. Cowok itu mengatakan ingin bertemu dengan panitia lain yang membiarkan Risaa bekerja sendirian. Entah apa yang akan dikatakan cowok itu. Namun Rissa menebak ini bukanlah hal yang baik.

Jarvis melipat kedua tangannya di dada. “Lo sadar nggak sih? Lo lagi dimanfaatin sama mereka.”

Dahi cewek itu mengerut. “Dimanfaatin?”

“Dari awal lo disuruh nempel poster hasil seleksi aja udah keliatan, Ris. Apalagi habis itu lo disuruh mereka buat yakinin gue kan? Terus sekarang masalah kaya gini lagi-lagi cuman lo yang handle. Dan lo masih nggak ngerasa dimanfaatin?”

“Tapi ini emang tugas gue kan, Kak?”

“Tugas apa? Tugas jinakin Jarvis gitu?”

Tawa Risaa hampir menyembur kalau aja nggak ditahan. Ternyata cowok ini sadar kalau dirinya perlu dijinakkin.

“Mampir rumah gue dulu ya. Gue mau ambil hape,” ujar Jarvis sembari menggendong tasnya.

“Hah?! Rumah lo?!” pekik Rissa membuat Jarvis berjengit.

“Gue cuman mau ambil hp, bukan ngenalin lo ke orang tua. Ngapain kaget banget dah,” ujar Jarvis sambil berlalu meninggalkan Rissa. Cewek itu berusaha mati-matian menahan belah pipinya yang merebus malu.

Rissa lantas menyusul Jarvis yang sudah menaiki motor NMAX hitam miliknya. Cowok itu tampak gagah menaiki motor dengan body besar dan lebar, sesuai dengan postur tubuh Jarvis. Sepasang kaki Rissa berusaha maksimal menopang tubuhnya yang lemas lunglai melihat pemandangan menyegarkan itu.

“Lo ke sini naik apaan?” tanya Jarvis menyadari tak ada kendaraan lain di sana selain motornya.

“Jalan, Kak.”

“Jalan?! Lo dari sekolah ke sini jalan?”

“Habisnya gue panik jadi nggak sempet minta dianter.” Rissa mengerucutkan bibirnya gemas.

Terdengar helaan napas kasar dari Jarvis. “Ya udah naik.”

INI SERIUS GUE BONCENG KAK JARVIS?

Cowok itu memutar arah motornya terlebih dahulu. Risaa menanti saat yang tepat untuk naik. Jarvis sedikit menoleh memastikan Rissa sudah naik. Yang dilirik bergegas naik sebelum Jarvi mengomel.

“Gue cuman bawa helm satu. Nanti lo sembunyi aja di punggung gue.”

Tenggorokan Rissa mendadak kering. Wangi tubuh Jarvis menyeruak bercampur dengan keringat yang sama wanginya. Rambut bagian belakang Jarvis tampak basah. Bahu dan punggungnya membentang seluas samudra. Ada cetakan kaos yang dijadikan dalaman. Rissa menahan napas, takut menghirup aroma tubuh Jarvis yang memabukkan.

Motor melaju. Rissa hampir terjungkal karena kaget. Tangannya meraba-raba ke bagian belakang, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Nihil, Rissa hanya mengandalkan pahanya untuk berpegangan.

Semoga rumah kak Jarvis jauh. Gue nggak mau cepet-cepet turun dari motornya.


“Udah dichat?” tanya Jarvis pada Rissa yang lagi mondar-mandir gelisah sambil menatap ponselnya.

“Udah, Kak. Kayaknya lagi otw ke sini.”

Jarvis mengangguk. “Ya udah duduk sini. Tenang aja, gue nggak macem-macem sama mereka,” ujar Jarvis sambil menepuk bangku sebelahnya. Rissa menurut dan duduk di sana.

Derap langkah terdengar mendekat. Keduanya menoleh ke pintu dan menemukan Tama dan Arjuna. Mereka tampak habis berlari. Terlihat dari napasnya yang terengah.

“Jar?! Ngapain masih di sini? Buruan ke lapangan!” pinta Arjuna.

“Gampang. Lo berdua duduk di situ dulu,” jawab Jarvis seraya menunjuk deretan bangku yang tersusun di hadapannya. Mau tidak mau, dua cowok itu menurut. Jarvis tidak suka dan tidak akan bisa dibantah.

Tak lama kemudian, Prayoga yang menjabat sebagai ketua panitia menyusul bersama Nana. Melihat dua temannya sudah datang, Yoga tanpa banyak bicara langsung bergabung dengan mereka.

“Gimana, Jar?” tanya Yoga tenang.

“Di antara banyaknya anak acara dan panitia lain, yang kerja cuman Rissa doang apa?” ucap Jarvis langsung menembak ke poin pembicaraan.

Arjuna hendak menanggapi tapi langsung ditahan oleh Yoga. “Atas dasar apa lo bilang kaya gitu?”

“Lo pada numbalin Rissa buat handle gue kan?”

“Bukan numbalin, tapi emang itu tugas dia.”

Rissa meremas ujung kausnya. Tatapan mereka sangat tajam, menusuk ulu hatinya. Ia ingin Jarvis berhenti. Semua ini tidak perlu dipermasalahkan. Namun Rissa tak punya cukup nyali untuk menghentikan cowok itu.

“Ya masa dari awal Rissa doang yang maju? Lo pada ngapain?”

“Lo pikir kerjaan kita cuman ngurusin lo, Vis?” Arjuna yang sudah tidak tahan ikut nimbrung.

“Ya, nggak usah nyuruh anak baru bisa kan? Dia nggak tau apa-apa tapi udah disuruh ngadepin gue. Lo pada tau gue orangnya gimana. Nggak kasian apa nyerahin semuanya ke dia?”

Suasana menegang. Mulut mereka sama terkunci. Rissa tak berani mengangkat kepalanya.

“Dari awal pas gue nggak mau gabung basket, lo pada nyuruh dia buat bujukin gue. Sampe bilang keberhasilan proker bergantung sama berhasil nggaknya dia bujuk gue. Keliatan sederhana emang, tapi berat beban pikirnya, Bro. Dan lo pada ngelimpahin itu semua ke Rissa yang masih baru di OSIS.”

Jarvis mengubah posisi duduknya. Sedikit melirik Rissa yang tampak tertekan. Sadar akan suasana tidak mengenakkan antara Rissa dan anak-anak acara itu, ia mencoba meluruskan pandangan.

“Ini gue ngomong kaya gini nggak ada suruhan dari Rissa. Murni keinginan gue.”

Rissa sedikit mendongak melirik Jarvis.

“Sekarang pas gue nggak ada kabar, lagi-lagi cuman Rissa yang nyari gue. Lo pada tau? Dia jalan kaki dari sekolah sampe minimarket jalan raya sono. Sendirian. Tega lo pada bayanginnya?”

“Tadi gue emang udah bagi-bagi tugas ke yang lain, Vis. Rissa kebagian nyari lo. Gue kira dia bakal ikut nyari sama anak basket lain. Nggak tau bakal sendirian,” jelas Yoga.

“Ya pokoknya gini lah,” potong Jarvis sambil menumpu kedua sikunya di lutut. Tangannya menunjukkan gestur menjelaskan. “Gue tau Rissa adik kelas kita. Pasti ada sedikit rasa senioritas yang bikin kita seenaknya nyuruh dia. Tapi ya nggak gini lah.”

Rissa tampak mengusap pipinya. Ia tidak bisa menahan air mata yang mendesak keluar.

“Jujur aja, ini kalo gue nggak ketemu Rissa, gue nggak akan balik ke sekolah. Nggak bakal gue ikut pertandingan jadi kapten putra harapan. Gue tadi sengaja kabur, beneran. Tapi karena dia nyari, gue akhirnya balik. Karena apa? Gue ngehargain usaha dia buat bikin acara ini berhasil.”

Jarvis menghempaskan punggungnya ke sandaran. Kembali melirik Rissa yang menatapnya tak percaya. Pandangannya lantas beralih menatap satu persatu panitia di hadapannya yang termenung.

“Gue harap ini bisa jadi bahan evaluasi lo pada. Ya udah lah, sekarang balik aja ke acara. Kalo diterusin makin banyak yang gue omongin.”

Cowok itu beranjak lalu mengambil tas dan menyampirkan jaketnya ke bahu. “Ayo, Ris!” ajaknya menyuruh Rissa ikut keluar bersamanya.

Rissa berdiri dengan ragu-ragu. Ia mengangguk bermaksud berpamitan dengan kakak kelasnya. Lalu ia melangkah cepat menyusul Jarvis.

Semoga saja setelah ini tidak ada resiko yang harus ditanggung Rissa karena membiarkan Jarvis membelanya di hadapan para senior.

Rissa sebenarnya nggak mau nyalahin Jarvis buat semua yang udah terjadi di lika-liku kehidupan kepanitiaan yang dia ikutin. Tapi mau ditahan gimanapun, tetep aja semua ini emang asalnya dari Jarvis. Kalau aja dari awal Jarvis mau jadi kapten, Rissa nggak akan kenal sedekat ini sama cowok itu. Nggak akan juga dimusuhin sama hampir semua panitia karena ulah Jarvis yang nggak ada habisnya.

Di puncak acara, Rissa nggak dikasih kepercayaan apapun buat ngurusin acara. Dia cuman luntang-lantung ke sana kemarin nggak ada tujuan. Setiap tanya sama panitia lain selalu dijawab kalau nggak ada yang perlu dikerjain cewek itu. Nggak, bukan ini yang Rissa mau. Dia pengen dapet kepercayaan banyak orang. Tapi ini? Dia kaya nggak dianggap banget.

Rissa cape. Bukan cape karena banyak kerjaan, tapi karena nggak ada kerjaan. Dan itu lebih banyak ngabisin energi. Apalagi dia nggak dapet apa-apa dari rasa cape itu.

Kalau Rissa nggak tahan setengah mati, pasti dia udah nangis dari tadi. Tapi Rissa nggak mau keliatan lemah di hadapan panitia lain. Dia mau dipercaya. Dia mau diandelin. Dia harus keliatan kuat buat dapet semua itu. Dia berusaha nutupin semuanya. Bertingkah seakan nggak ada hal yang terjadi. Rissa yakin, semua ini pasti akan segera berakhir.

Buat menuju akhir atau ending dalam sebuah cerita, harus ada klimaks atau puncak konflik yang selanjutnya turun pada penyelesaian masalah. Di titik itulah Rissa berada. Sekarang dia dan panitia lain sedang berkumpul di suatu ruangan untuk melaksanakan evaluasi. Perasaan dia udah nggak enak. Kayaknya dia bakal diserang.

Satu persatu divisi dievaluasi bersama. Mulai dari divisi yang nggak terlalu banyak mendapat masalah sampai divisi yang paling banyak bikin masalah. Divisi apalagi kalau bukan divisi acara. Divisi yang emang menduduki puncak piramida tertinggi dari divisi lain dan bisa dibilang yang mempengaruhi keberhasilan suatu acara.

“Gue denger anak acara sama Jarvis sempet ada crash sebelum tanding ya? Sampe pertandingan harus diundur beberapa menit,” ujar salah satu panitia di sana.

“Iya, ada masalah. Tapi nggak terlalu berarti,” jawab Arjuna selaku coordinator divisi acara.

“Masalah apa kalau boleh tau?” sahut panitia lain.

Saat pertanyaan itu terlontar, semua anak acara langsung ngelirik Rissa. Yang dilirik langsung gelagapan.

“Anu ….” Rissa hendak bicara tapi langsung diserobot sama Arjuna.

“Cuman salah paham dikit. Ya kalian udah tau lah si Jarvis gimana. Dari awal seleksi juga udah bikin masalah.”

“Terbuka dong masalahnya apa. Kan tujuan eval kaya gitu.” Semakin ditutupi, panitia lain malah jadi semakin penasaran.

Arjuna mendengus. “Pas hari H, Jarvis tiba-tiba ilang nggak ada kabar. Semua anak basket mencar nyariin dia. Makanya sempet amburadul. Trus pas Jarvis ketemu, ya udah balik ke pertandingan.”

“Seinget gue, semua anak acara sempet ngilang serentak. Katanya dipanggil sama Jarvis buat ngobrol. Kalian ngobrolin apa?”

Pertanyaan yang detail sekali. Rissa benar-benar takut sama suasana kaya gini.

“Jelasin, Ris! Pertanyaan ini baiknya lo aja yang jawab karena lo yang paling tau gimana kronologinya,” pinta Arjuna tiba-tiba membuat Rissa kaget bukan main.

Tangan Rissa mendadak gemetar dan dingin. Suhu tubuhnya meningkat, begitu pula degup jantungnya. Berpuluh pasang mata menatapnya. Rissa seperti akan dikuliti hidup-hidup.

“Cerita yang detail ya, Ris. Biar nggak ada salah paham,” ucap Prayoga tepat saat Rissa baru membuka mulut. Rissa mengangguk dengan menanggung tekanan yang lebih berat.

“Ijin menjelaskan, jadi kemarin pas kak Jarvis nggak ada, aku langsung inisiatif nyari karena ternyata aku PJ atlet basket putra harapan. Mohon maaf sebelumnya kak, dari awal emang nggak ada pembagian PJ jadi aku baru tau. Mungkin udah ada pembagiannya, tapi aku yang kurang memperhatikan. Sekali lagi maaf.”

Rissa tahu betul tidak ada pembagian PJ seperti itu. Dia nggak pernah ngelewatin satu pesan pun yang dikirim grup panitia. Tapi daripada dia makin kena masalah, mending ngaku salah duluan.

“Aku ketemu kak Jarvis di minimarket deket sekolah. Katanya ban motornya bocor jadi telat dating. Dia nggak bisa dihubungin karena hapenya ketinggalan. Akhirnya aku sama kak Jarvis nyari bengkel bareng trus ke rumah kak Jarvis buat ambil hp.

Di situ aku ditanyain sama kak Jarvis, kenapa sendirian? Aku jawab karena ini emang tugasku jadi aku yang harus nyari. Tapi mungkin cara aku menjelaskan yang salah jadi kak Jarvis ngiranya cuman aku yang kerja. Trus kak Jarvis minta ketemu sama panitia yang lain. Udah kak, gitu aja kalo dari aku. Makasih banyak atas perhatiannya.”

“Lo bilang cuman lo yang nyari, Ris? Panitia yang lain juga ikut nyari kan bukan lo doang? Anak basket juga ikut nyari,” timpal Arjuna.

“Iya, kak, maksud aku ….”

“Kemarin kan tugasnya udah dibagi-bagi, Ris. Jadi bukan cuman kamu aja yang harus nyari kok. Semuanya ikut nyari,” potong Prayoga.

“Maksud aku, kemarin pas ketemu kak Jarvis kan posisinya aku sendirian. Jadi kak Jarvis mikirnya cuman aku yang nyari.”

“Kenapa lo nggak bilang kalo panitia lain ikut nyari?”

“Udah, Kak.”

“Kalo udah, nggak mungkin Jarvis sampe manggil semua anak acara buat diroasting. Dia bilangnya kita cuman nyuruh lo aja. Nggak ikut kerja.” Arjuna semakin memojokkan Rissa.

Suasana semakin tegang. Tidak ada yang berani menyela.

“Kamu dikasih tugas kaya gitu aja ngeluh sampe ngadu ke Jarvis. Jangan mentang-mentang deket sama dia, kamu jadi cari aman sendiri,” ujar Nana yang terpancing emosi.

“Aku nggak ngadu, Kak. Aku bahkan nggak tau kak Jarvis bakal kaya gitu,” bela Rissa.

“Ada apa nih? Kok nama gue disebut?” ujar seseorang tiba-tiba dari ambang pintu, Jarvis.

Semua panitia terkejut dengan kedatangan Jarvis, terutama Rissa.

“Ini urusan panitia, Jar. Tolong kesopanannya lah. Lo nggak ada hak buat ikut campur.”

“Lah? Nama gue yang jadi bahan perdebatan masa gue nggak boleh ikut campur?”

Jarvis melangkah ke dalam ruangan. Ia mengambil sebuah kursi lalu duduk. “Ijin masuk forum, gue ngaku salah karena udah menghambat pertandingan tadi. Gue nggak bermaksud mencap anak acara yang kerja cuman Rissa. Tapi ya dipikir lah, ini anak nyariin gue sendirian. Nggak ada kendaraan. Kalau dia pingsan di jalan, sapa yang bakal repot? Lo semua juga kan?”

Seperti biasa, kalau Jarvis ngomong nggak akan ada yang berani menyela.

“Maksud gue, kalo lo pada nyuruh Rissa nyari gue, ya minimal ditemenin lah. Bawa kendaraan. Kalau kaya tadi, kesannya kalian ngelepas Rissa gitu aja. Wajar dong gue ngira lo pada nggak bertanggung jawab sama tugas dan cuman ngandelin Rissa?”

“Kan, udah gue jelasin tadi, Jar! Tugas anak acara itu banyak. Semua anak kebagian tugasnya masing-masing. Nggak mungkin semua anak acara cuman ngurusin lo doang kan?”

“Iya, tapi ….”

“Kak Jarvis.” Mendadak Rissa bersuara. Semua pandang langsung tertuju padanya. “Walaupun nama kakak terlibat dalam forum evaluasi ini, tapi gue pikir lo nggak ada hak buat ikut campur, Kak. Daripada suasana makin rumit, gue minta maaf banget, jangan ikut campur ya, Kak? Gue udah ngaku salah kok, dan emang gue salah. Jadi nggak perlu dibelain, Kak.”

Baru kali ini, Jarvis merasa harga dirinya merosot begitu tajam.