Quinzaharu

“Gue nggak apa-apa kok, Kak. Ini udah jadi tugas gue dan gue nggak keberatan. Jadi kayaknya lo nggak perlu ngobrol sama mereka.”

Rissa panik melihat Jarvis mengemasi barangnya dengan kasar. Cowok itu mengatakan ingin bertemu dengan panitia lain yang membiarkan Risaa bekerja sendirian. Entah apa yang akan dikatakan cowok itu. Namun Rissa menebak ini bukanlah hal yang baik.

Jarvis melipat kedua tangannya di dada. “Lo sadar nggak sih? Lo lagi dimanfaatin sama mereka.”

Dahi cewek itu mengerut. “Dimanfaatin?”

“Dari awal lo disuruh nempel poster hasil seleksi aja udah keliatan, Ris. Apalagi habis itu lo disuruh mereka buat yakinin gue kan? Terus sekarang masalah kaya gini lagi-lagi cuman lo yang handle. Dan lo masih nggak ngerasa dimanfaatin?”

“Tapi ini emang tugas gue kan, Kak?”

“Tugas apa? Tugas jinakin Jarvis gitu?”

Tawa Risaa hampir menyembur kalau aja nggak ditahan. Ternyata cowok ini sadar kalau dirinya perlu dijinakkin.

“Mampir rumah gue dulu ya. Gue mau ambil hape,” ujar Jarvis sembari menggendong tasnya.

“Hah?! Rumah lo?!” pekik Rissa membuat Jarvis berjengit.

“Gue cuman mau ambil hp, bukan ngenalin lo ke orang tua. Ngapain kaget banget dah,” ujar Jarvis sambil berlalu meninggalkan Rissa. Cewek itu berusaha mati-matian menahan belah pipinya yang merebus malu.

Rissa lantas menyusul Jarvis yang sudah menaiki motor NMAX hitam miliknya. Cowok itu tampak gagah menaiki motor dengan body besar dan lebar, sesuai dengan postur tubuh Jarvis. Sepasang kaki Rissa berusaha maksimal menopang tubuhnya yang lemas lunglai melihat pemandangan menyegarkan itu.

“Lo ke sini naik apaan?” tanya Jarvis menyadari tak ada kendaraan lain di sana selain motornya.

“Jalan, Kak.”

“Jalan?! Lo dari sekolah ke sini jalan?”

“Habisnya gue panik jadi nggak sempet minta dianter.” Rissa mengerucutkan bibirnya gemas.

Terdengar helaan napas kasar dari Jarvis. “Ya udah naik.”

INI SERIUS GUE BONCENG KAK JARVIS?

Cowok itu memutar arah motornya terlebih dahulu. Risaa menanti saat yang tepat untuk naik. Jarvis sedikit menoleh memastikan Rissa sudah naik. Yang dilirik bergegas naik sebelum Jarvi mengomel.

“Gue cuman bawa helm satu. Nanti lo sembunyi aja di punggung gue.”

Tenggorokan Rissa mendadak kering. Wangi tubuh Jarvis menyeruak bercampur dengan keringat yang sama wanginya. Rambut bagian belakang Jarvis tampak basah. Bahu dan punggungnya membentang seluas samudra. Ada cetakan kaos yang dijadikan dalaman. Rissa menahan napas, takut menghirup aroma tubuh Jarvis yang memabukkan.

Motor melaju. Rissa hampir terjungkal karena kaget. Tangannya meraba-raba ke bagian belakang, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Nihil, Rissa hanya mengandalkan pahanya untuk berpegangan.

Semoga rumah kak Jarvis jauh. Gue nggak mau cepet-cepet turun dari motornya.


“Udah dichat?” tanya Jarvis pada Rissa yang lagi mondar-mandir gelisah sambil menatap ponselnya.

“Udah, Kak. Kayaknya lagi otw ke sini.”

Jarvis mengangguk. “Ya udah duduk sini. Tenang aja, gue nggak macem-macem sama mereka,” ujar Jarvis sambil menepuk bangku sebelahnya. Rissa menurut dan duduk di sana.

Derap langkah terdengar mendekat. Keduanya menoleh ke pintu dan menemukan Tama dan Arjuna. Mereka tampak habis berlari. Terlihat dari napasnya yang terengah.

“Jar?! Ngapain masih di sini? Buruan ke lapangan!” pinta Arjuna.

“Gampang. Lo berdua duduk di situ dulu,” jawab Jarvis seraya menunjuk deretan bangku yang tersusun di hadapannya. Mau tidak mau, dua cowok itu menurut. Jarvis tidak suka dan tidak akan bisa dibantah.

Tak lama kemudian, Prayoga yang menjabat sebagai ketua panitia menyusul bersama Nana. Melihat dua temannya sudah datang, Yoga tanpa banyak bicara langsung bergabung dengan mereka.

“Gimana, Jar?” tanya Yoga tenang.

“Di antara banyaknya anak acara dan panitia lain, yang kerja cuman Rissa doang apa?” ucap Jarvis langsung menembak ke poin pembicaraan.

Arjuna hendak menanggapi tapi langsung ditahan oleh Yoga. “Atas dasar apa lo bilang kaya gitu?”

“Lo pada numbalin Rissa buat handle gue kan?”

“Bukan numbalin, tapi emang itu tugas dia.”

Rissa meremas ujung kausnya. Tatapan mereka sangat tajam, menusuk ulu hatinya. Ia ingin Jarvis berhenti. Semua ini tidak perlu dipermasalahkan. Namun Rissa tak punya cukup nyali untuk menghentikan cowok itu.

“Ya masa dari awal Rissa doang yang maju? Lo pada ngapain?”

“Lo pikir kerjaan kita cuman ngurusin lo, Vis?” Arjuna yang sudah tidak tahan ikut nimbrung.

“Ya, nggak usah nyuruh anak baru bisa kan? Dia nggak tau apa-apa tapi udah disuruh ngadepin gue. Lo pada tau gue orangnya gimana. Nggak kasian apa nyerahin semuanya ke dia?”

Suasana menegang. Mulut mereka sama terkunci. Rissa tak berani mengangkat kepalanya.

“Dari awal pas gue nggak mau gabung basket, lo pada nyuruh dia buat bujukin gue. Sampe bilang keberhasilan proker bergantung sama berhasil nggaknya dia bujuk gue. Keliatan sederhana emang, tapi berat beban pikirnya, Bro. Dan lo pada ngelimpahin itu semua ke Rissa yang masih baru di OSIS.”

Jarvis mengubah posisi duduknya. Sedikit melirik Rissa yang tampak tertekan. Sadar akan suasana tidak mengenakkan antara Rissa dan anak-anak acara itu, ia mencoba meluruskan pandangan.

“Ini gue ngomong kaya gini nggak ada suruhan dari Rissa. Murni keinginan gue.”

Rissa sedikit mendongak melirik Jarvis.

“Sekarang pas gue nggak ada kabar, lagi-lagi cuman Rissa yang nyari gue. Lo pada tau? Dia jalan kaki dari sekolah sampe minimarket jalan raya sono. Sendirian. Tega lo pada bayanginnya?”

“Tadi gue emang udah bagi-bagi tugas ke yang lain, Vis. Rissa kebagian nyari lo. Gue kira dia bakal ikut nyari sama anak basket lain. Nggak tau bakal sendirian,” jelas Yoga.

“Ya pokoknya gini lah,” potong Jarvis sambil menumpu kedua sikunya di lutut. Tangannya menunjukkan gestur menjelaskan. “Gue tau Rissa adik kelas kita. Pasti ada sedikit rasa senioritas yang bikin kita seenaknya nyuruh dia. Tapi ya nggak gini lah.”

Rissa tampak mengusap pipinya. Ia tidak bisa menahan air mata yang mendesak keluar.

“Jujur aja, ini kalo gue nggak ketemu Rissa, gue nggak akan balik ke sekolah. Nggak bakal gue ikut pertandingan jadi kapten putra harapan. Gue tadi sengaja kabur, beneran. Tapi karena dia nyari, gue akhirnya balik. Karena apa? Gue ngehargain usaha dia buat bikin acara ini berhasil.”

Jarvis menghempaskan punggungnya ke sandaran. Kembali melirik Rissa yang menatapnya tak percaya. Pandangannya lantas beralih menatap satu persatu panitia di hadapannya yang termenung.

“Gue harap ini bisa jadi bahan evaluasi lo pada. Ya udah lah, sekarang balik aja ke acara. Kalo diterusin makin banyak yang gue omongin.”

Cowok itu beranjak lalu mengambil tas dan menyampirkan jaketnya ke bahu. “Ayo, Ris!” ajaknya menyuruh Rissa ikut keluar bersamanya.

Rissa berdiri dengan ragu-ragu. Ia mengangguk bermaksud berpamitan dengan kakak kelasnya. Lalu ia melangkah cepat menyusul Jarvis.

Semoga saja setelah ini tidak ada resiko yang harus ditanggung Rissa karena membiarkan Jarvis membelanya di hadapan para senior.

Lagu In The Name of Love milik Martin Garrix dan Bebe Rexha menggema. Penjaga kasir itu punya selera yang bagus juga. Jarvis sesekali bersenandung. Dengan sebotol kopi kemasan dalam genggaman, ia duduk di pelataran minimarket sembari menatap lalu lalang kendaraan.

Tidak seharusnya dia di sini, Jarvis paham betul. Entahlah, mendadak dia malas mengikuti pertandingan setelah pak Angga menyapanya di parkiran. Pria itu menunggu piala kemenangan dari Jarvis, katanya. Seharusnya dia bersyukur Jarvis sudah mau turun ke lapangan. Tidak usah segala menuntut banyak hal.

Kepalanya mengangguk kecil selaras dengan musik yang didengar. Tidak peduli pertandingan itu akan kacau karenanya. Salahkan saja Angga yang sudah merusak mood Jarvis.

“KAK JARVIS!!!!”

Jarvis tersedak sampai kopinya menyembur membasahi celananya. Kepalanya mendongak dan mendapati seorang gadis tengah berlari tergesa ke arahnya. Suaranya lantang bukan main. Lelaki itu berdecak sambil mengelap celananya.

“Kakak ngapain di sini?” tanya gadis bernama Rissa itu. Dia berdiri di hadapan Jarvis dengan napas yang hampir habis. Rambutnya berantakan. Basah, entah karena keringat atau air mata.

“Duduk,” jawab Jarvis enteng. Dia bahkan masih sempat menenggak kopinya.

“Kakak nggak lupa kan hari ini ada pertandingan?”

“Nggak, bentar ya. Tadi ban motor gue bocor pas mau berangkat.”

Jarvis baru sadar gimana kacaunya Rissa sekarang. Mendadak ada rasa bersalah menjalar di hatinya. Tanpa ditanya pun, sudah jelas alasan di balik kacaunya gadis itu. Ah, kenapa dia sampai lupa ada Rissa di balik pertandingan itu?

Mendengar jawaban Jarvis, Rissa sontak meluruh ke lantai. Segala emosinya membludak. Air mata yang sedari ditahan merembes keluar. Rissa menyembunyikan wajah dalam dekapan tangannya dan meraung.

Rissa sangat takut. Proker yang selangkah lagi menuju keberhasilan akan gagal. Dia sudah mengorbankan segalanya untuk ini. Dia sudah bahagia mendapatkan banyak kepercayaan dari kakak kelasnya. Dia sudah bangga berhasil membujuk Jarvis untuk ikut pertandingan. Namun semuanya hampir saja pupus.

“Loh ris?!” Jarvis panik lantas turun dari kursinya. “Kenapa hei?” bujuknya sambil menepuk bahu Risaa pelan.

“Gue kira kak Jarvis nggak akan dateng. Gue takut banget nggak bisa ketemu lo, Kak. Gue udah cari kemana-mana. Udah telfon dan chat lo, tapi lo nggak bales. Gue takut banget lo nggak dateng kak,” jawab Rissa dengan suara bergetar.

“Gue udah mikir macem-macem. Gue kira lo mau mainin gue, mainin semua panitia. Tapi ternyata lo ada masalah. Maafin gue udah nethink sama lo, Kak.”

Dada Jarvis bergemuruh. Alasannya tadi bahkan hanya alibi, tidak benar-benar terjadi. Apa yang dipikirkan Rissa, apa yang dia bayangkan adalah alasan sebenarnya. Jarvis memang sengaja tidak datang ke pertandingan. Ban motornya baik-baik saja. Namun Rissa malah meminta maaf atas kebohongan Jarvis.

Jarvis merogoh sakunya. “Hape gue ketinggalan di rumah, Ris. Maaf.” Kali ini Jarvis tidak berbohong. Pantas saja ia merasa ada yang tertinggal.

Gadis itu masih saja menangis. Jarvis merasakan sebuah gejolak perasaan yang luar biasa. Dia benar-benar egois.

Ada sebuah kantung plastik yang digenggam Rissa. Jarvis mengintip isinya. Jantungnya mengentak keras. Itu pocari sweat.

“Duduk di atas, Ris. Jangan kaya gini. Nanti seragam lo kotor.”

Rissa sedikit mendongak untuk menghapus air matanya. “Maaf jadi ngerepotin lo, Kak. Gue malah nangis gini.”

Tolong jangan semakin membuat Jarvis merasa bersalah, Ris.

Jarvis membantu Rissa untuk duduk. Dia bingung. Tidak ada tisu, tidak ada air minum. Apa yang harus dia berikan pada gadis itu?

“Ini minuman buat kita, kan?” tanya Jarvis sambil menunjuk kantung plastik milik Rissa.

Rissa mengangguk. “Pesenan lo, Kak.”

Jarvis segera mengambil salah satu botol lalu membukanya. Ia lantas mengulurkannya pada Rissa. “Diminum dulu.”

Sejenak Rissa menatap botol yang telah dibuka Jarvis. Pandangannya naik menatap Jarvis. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar menerima botol dari Jarvis.

“Lo minum juga, Kak,” pinta Rissa. Ia bersorak dalam hati kala Jarvis mengangguk.

Rissa menatap Jarvis yang tengah minum. Pandangannya beralih pada botol dalam genggaman. Gue sama Kak Jarvis minum pocari sweat bareng.

“Btw, kenapa cuman lo yang nyari gue?”

“Temen-temen lo juga nyariin dari tadi, Kak.”

“Bukan, maksud gue nggak ada panitia lain yang nemenin lo?”

Rissa menggeleng ragu.

Tatapan Jarvis meredup.

“Gue mau ketemu mereka sebelum tanding.”

“Oh, jadi itu yang namanya kak Jarvis,” gumam Dara.

Sepulang sekolah, Rissa dan Dara nggak mungkin langsung balik kalau gedung olahraga lagi penuh sama atlet yang latihan buat PORSENI. Biasanya nggak terlalu banyak siswa yang dateng ke sini. Tapi nggak tau kenapa hari ini tribun gedung olahraga PENUH BANGET sama siswa yang kebanyakan cewek. Untung aja Rissa sama Dara masih kebagian tempat.

Ya, gimana nggak penuh? Di sana ada atlet kebanggan putra harapan yang baru aja balik setelah sekian lama vakum. Banyak orang yang nunggu moment ini. Nggak akan ada orang yang rela pulang awal, melewatkan atlet yang lagi latihan itu.

“Kak Jarvis seterkenal itu ya, Dar?”

Sorakan penonton menggelegar ke segala penjuru gedung. Telinga Rissa sampai dibuat pengang. Hanya satu nama yang mereka sorakkan.

“JARVIS! JARVIS! JARVIS! JARVIS!”

Bulu kuduk Rissa merinding. Demi, suasana kali ini bahkan melebihi ramainya pertandingan tanpa Jarvis. Padahal ini baru latihan doang. Gimana nanti pas PORSENI? Rissa nggak bisa bayangin seramai apa suasana hari itu.

“Iya, Ris! Semuanya neriakin kak Jarvis. Pastinya dia seterkenal itu.”

Bola mata Rissa bergulir ke sana kemari mengikuti gerak-gerik Jarvis yang menggiring bola. Dari postur tubuhnya, Jarvis emang udah ideal banget. Badannya tinggi, bahunya lebar, kakinya kekar, ditambah wajahnya yang tegas dan manis. Siapa coba yang nggak kepincut?

“Lo liat noh di bangkunya kak Jarvis. Penuh sama minuman dari cewek-cewek yang dateng hari ini,” ujar Dara sambil menunjuk bangku Jarvis yang persis di bawah mereka.

Beberapa botol minuman terlihat berjejer di sana. Dari air mineral, teh, kopi, bahkan minuman bersoda. Masing-masing botol itu ditempel kertas notes berisi kalimat penyemangat untuk Jarvis.

“Tapi kok nggak ada pocari sweat?”

Rissa jadi teringat permintaan Jarvis yang nyuruh dia bawa pocari sweat. Mungkin nanti pas pertandingan, botol pocari sweat dia bakal jadi salah satu dari deretan botol di sana. Entah mengapa, Rissa jadi merasa ciut.

“Yang kak Jarvis minta dari lo?”

Rissa mengangguk.

“Iya juga ya. Apa kak Jarvis sukanya pocari sweat?”

Perhatian mereka kembali tertuju pada lapangan. Sesekali Dara bersorak ketika bola berhasil masuk ke ring, terutama kalau kak Wira yang masukin. Sedangkan Rissa cuman bisa termenung dengan tatapan terkunci pada Jarvis.

Sebenernya kalau Jarvis nggak ikut basket, dia nggak semenonjol itu. Buktinya Rissa dan Dara aja baru kenal dia beberapa hari yang lalu. Selain soal basket, Jarvis nggak terlalu mencolok. Dia nggak banyak tingkah. Paling sebatas bikin rame kantin aja sama gengnya. Apalagi Jarvis orangnya emang agak tertutup.

Tapi meskipun dia nggak mencolok, dia punya aura yang bikin orang selalu natap dia lebih dari tiga detik, kaya Rissa sekarang. Dara sampe harus nepuk Rissa berkali-kali karena ternyata Jarvis mergokin cewek itu ngeliatin dia terus.

“Heh! Ngalamun lo? Noh, kak Jarvis ngelirik ke lo terus dari tadi.”

“H-hah?”

Pandangan Rissa jelalatan mencari Jarvis. Dan benar, cowok itu lagi liatin dia pake ekspresinya yang emang selalu datar. SEREM BANGET!

“Kayaknya dia tau diliatin sama lo terus dari tadi,” ledek Dara sambil mendorong bahu Rissa.

“Malu banget anjrit!”

Dara tertawa melihat muka Rissa yang udah kaya kepiting rebus. Biar nggak keliatan liatin kak Jarvis banget, Rissa ngeluarin hape. Tapi sama aja karena yang dia buka malah kamera buat ngeliatin kak Jarvis dari sana. Sumpah ini cowok sia-sia banget kalo nggak diliatin, bahkan sekedar buat kedip aja rasanya nyesel.

“Foto terus!” protes Dara.

“Ganteng, Dar,” jawab Rissa polos.

“Gapapa, lanjutkan! Gue juga udah motoin kak Wira terus dari tadi.”

Mereka berdua terkekeh.

“Tapi yang di sana jangan lupa diperhatiin juga, Ris!” ujar Dara sambil menunjuk seseorang. Pandangan Rissa mengikuti arah tunjuk Dara yang berakhir ke Sagara. “Mukanya udah bete banget nyadar nggak diliatin sama lo dari tadi.”

Pandangan mereka bertemu. Sagara lantas tersenyum. Rissa ikut tersenyum sambil mengepalkan tangan memberi semangat. Senyum Sagara makin lebar.

Nggak tau kenapa, bola mata Rissa langsung bergulir ke Jarvis. Dia pengen kasih semangat juga buat Jarvis. Tapi keliatan sok akrab banget nggak sih? Apalagi Jarvis juga nggak lagi ngeliat ke arah sini. Kayaknya dia risi abis Rissa liatin tadi.

Rissa pengen jadi seseorang yang bisa nyemangatin Jarvis tanpa ragu. Pengen jadi seseorang yang ngasih minuman ke dia tiap hari. Pengen jadi seseorang yang selalu dilihat Jarvis. Pengen jadi alasan Jarvis tersenyum. Apa Rissa bisa jadi seseorang itu buat Jarvis?

Risaa cuman satu di antara banyaknya cewek yang mau sama Jarvis. Ngeliat deretan botol minuman pemberian mereka aja, Rissa udah insecure. Pasti di luar sana, banyak cewek yang lebih baik dari Rissa. Apalagi pertemuan Rissa sama Jarvis udah jelek banget. Pasti kesan Rissa di mata Jarvis sama jeleknya.

Tapi gimana pun, Rissa seneng bisa kenal, bisa chatting, bisa ngobrol sama Jarvis. Dia ngasih warna baru ke kehidupan cewek itu. Rissa jadi punya alasan baru buat rajin berangkat sekolah, alasan buat dandan cantik meskipun mungkin Jarvis nggak akan tertarik. Dan pastinya, Rissa bakal lebih rajin mangkal di tribun untuk Jarvis!

Insecure, sebuah kata yang udah nggak asing lagi buat kita. Siapa sih yang nggak pernah insecure? Idol seganteng Park Jeongwoo aja kadang masih insecure sama visualnya. PADAHAL DIA UDAH SEGANTENG ITU LOH! Kok bisa ya?

Kata insecure di sini aku artikan sebagai suatu perasaan yang bikin kita nggak percaya diri dengan diri sendiri. Sebuah perasaan yang membuat kita merasa kurang atas apa yang kita punya. Jadi mau sebanyak apapun validasi yang kita dapet dari orang kalau kita sendiri anggap itu masih kurang, tetep aja masih insecure.

Kunci buat terbebas dari perasaan insecure ya kita harus merasa puas, merasa cukup, merasa percaya diri dengan apa yang udah kita punya. Susah, susah banget. Tapi susah bukan berarti nggak bisa kan? Terima semua yang kita punya, nggak usah mengharap lebih apalagi ngarepin punya orang lain. Semua orang udah punya porsinya masing-masing.

No one will think less of you. Nggak akan ada orang yang berpikir tentang kekuranganmu. Nggak ada seseorang yang akan memandang kamu rendah. Tanamkan kalimat itu dalam pikiran kamu. Karena sejatinya, semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Adil bukan? Jadi buat apa kamu merasa tidak percaya diri kalo yang kurang bukan kamu aja?

Carissa Aurora, salah satu cewek yang sering banget ngerasain insecure. Kadang dia ngerasa nggak sehebat orang lain, nggak secantik cewek lain, nggak punya kemampuan apapun yang bisa dibanggain. Padahal dianya aja yang belum kenal sama dirinya sendiri.

Menginjak SMA, Rissa pengen jadi seseorang yang “dianggap”. Seseorang yang bisa diandalkan, seseorang yang bisa melakukan semuanya dengan baik, dan seseorang yang nggak akan dipandang rendah. Rissa ingin diakui, Rissa butuh validasi. Tapi di sisi lain, dia nggak punya apa-apa buat wujudin itu.

Rissa rela melakukan apapun yang disuruh seniornya biar dianggap bisa diandalkan. Dia mati-matian ngelakuin segala cara untuk mencapai keinginannya. Dia nggak akan biarin sekecil masalah menghambat tujuannya. Semuanya bisa aja dia dapetin kalau aja senior galak itu nggak merusak rencananya.

Porseni jadi program kerja pertama Rissa di OSIS. Tapi dia udah dihadapin masalah salah satu atlet yang nggak mau terpilih jadi kapten. Ini masalah besar buat Rissa. Kalau sampai atlet itu nggak dateng, proker pertamanya bakal gagal!

Jarvis Arkatama namanya. Dulu, dia salah satu atlet kebanggan SMA Putra Harapan. Namun karena suatu kejadian, Jarvis jadi membenci segala hal berbau basket, terutama klub basket sekolahnya. Dia udah bersumpah nggak akan turun ke lapangan membawa nama Putra Harapan. Buat apa dia membanggakan sesuatu yang udah membuat tangan kanannya patah?

Bak nggak punya muka, tiba-tiba Putra Harapan kembali memanggilnya menjadi kapten. Jarvis tentu marah besar. Dia nggak sudi balik ke mereka. Dia sampe melakukan segala cara biar namanya terhapus dari daftar atlet basket yang ikut porseni tahun ini, termasuk mengancam seseorang yang sebenernya nggak bersalah, Rissa.

Masalah itu bikin keduanya saling mengejar. Rissa ngejar Jarvis biar mau ikut porseni. Sedangkan Jarvis ngejar Rissa biar namanya dihapus dari daftar pemain basket. RIBET YA BUND! Tapi karena itu, mereka jadi akrab. Ya walaupun sering adu bacot.

Awalnya Rissa mikir Jarvis cuman kakak kelas galak yang bisanya ngomel doang. Seiring berjalannya waktu, Rissa ngerasa banyak hal yang bisa dia pelajari dari Jarvis. Lelaki itu ngajarin dia buat selalu percaya diri, walaupun di sisi lain Jarvis sendiri yang kadang bikin Rissa nggak percaya diri. Siapa yang nggak insecure bersanding sama atlet hebat penuh prestasi kaya Jarvis? Rissa mah cuman butiran debu buat Jarvis.

Jarvis paling nggak suka kalo Rissa mikir gitu. Apa gunanya sih nganggep rendah diri sendiri? Semua orang pasti punya kelebihan dalam porsi mereka masing-masing. Dia paling benci kalo ada hal yang bikin Rissa nggak pede atau dia ngeluhin sesuatu yang dianggap nggak worth it buat dia. Harga diri adalah segalanya buat Jarvis. Nggak ada satu orang pun yang boleh merendahkan diri di hadapannya.

Gimana ya jadinya kalau si cowok dengan tingkat percaya diri selangit bersanding sama cewek yang dikit-dikit insecure? Nggak tau bakal cocok apa enggak. Jalanin aja dulu.

Insecure, sebuah kata yang udah nggak asing lagi buat kita. Siapa sih yang nggak pernah insecure? Idol seganteng Park Jeongwoo aja kadang masih insecure sama visualnya. PADAHAL DIA UDAH SEGANTENG ITU LOH! Kok bisa ya?

Kata insecure di sini aku artikan sebagai suatu perasaan yang bikin kita nggak percaya diri dengan apa yang kita punya. Sebuah perasaan yang membuat kita merasa kurang atas apa yang kita punya. Jadi mau sebanyak apapun validasi yang kita dapet dari orang kalau kita sendiri anggap itu masih kurang, tetep aja masih insecure.

Kunci buat terbebas dari perasaan insecure ya kita harus merasa puas, merasa cukup, merasa percaya diri dengan apa yang udah kita punya. Susah, susah banget. Tapi susah bukan berarti nggak bisa kan? Terima semua yang kita punya, nggak usah mengharap lebih apalagi ngarepin punya orang lain. Semua orang udah punya porsinya masing-masing.

No one will think less of you. Nggak akan ada orang yang berpikir tentang kekuranganmu. Nggak ada seseorang yang akan memandang kamu rendah. Tanamkan kalimat itu dalam pikiran kamu. Karena sejatinya, semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Adil bukan? Jadi buat apa kamu merasa tidak percaya diri kalo yang kurang bukan kamu aja?

Carissa Aurora, salah satu cewek yang sering banget ngerasain insecure. Kadang dia ngerasa nggak sehebat orang lain, nggak secantik cewek lain, nggak punya kemampuan apapun yang bisa dibanggain. Padahal dianya aja yang belum kenal sama dirinya sendiri.

Menginjak SMA, Rissa pengen jadi seseorang yang “dianggap”. Seseorang yang bisa diandalkan, seseorang yang bisa melakukan semuanya dengan baik, dan seseorang yang nggak akan dipandang rendah. Rissa ingin diakui, Rissa butuh validasi. Tapi di sisi lain, dia nggak punya apa-apa buat wujudin itu.

Rissa rela melakukan apapun yang disuruh seniornya biar dianggap bisa diandalkan. Dia mati-matian ngelakuin segala cara untuk mencapai keinginannya. Dia nggak akan biarin sekecil masalah menghambat tujuannya. Semuanya bisa aja dia dapetin kalau aja senior galak itu nggak merusak rencananya.

Porseni jadi program kerja pertama Rissa di OSIS. Tapi dia udah dihadapin masalah salah satu atlet yang nggak mau terpilih jadi kapten. Ini masalah besar buat Rissa. Kalau sampai atlet itu nggak dateng, proker pertamanya bakal gagal!

Jarvis Arkatama namanya. Dulu, dia salah satu atlet kebanggan SMA Putra Harapan. Namun karena suatu kejadian, Jarvis jadi membenci segala hal berbau basket, terutama klub basket sekolahnya. Dia udah bersumpah nggak akan turun ke lapangan membawa nama Putra Harapan. Buat apa dia membanggakan sesuatu yang udah membuat tangan kanannya patah?

Bak nggak punya muka, tiba-tiba Putra Harapan kembali memanggilnya menjadi kapten. Jarvis tentu marah besar. Dia nggak sudi balik ke mereka. Dia sampe melakukan segala cara biar namanya terhapus dari daftar atlet basket yang ikut porseni tahun ini, termasuk mengancam seseorang yang sebenernya nggak bersalah, Rissa.

Masalah itu bikin keduanya saling mengejar. Rissa ngejar Jarvis biar mau ikut porseni. Sedangkan Jarvis ngejar Rissa biar namanya dihapus dari daftar pemain basket. RIBET YA BUND! Tapi karena itu, mereka jadi akrab. Ya walaupun sering adu bacot.

Awalnya Rissa mikir Jarvis cuman kakak kelas galak yang bisanya ngomel doang. Seiring berjalannya waktu, Rissa ngerasa banyak hal yang bisa dia pelajari dari Jarvis. Lelaki itu ngajarin dia buat selalu percaya diri, walaupun di sisi lain Jarvis sendiri yang kadang bikin Rissa nggak percaya diri. Siapa yang nggak insecure bersanding sama atlet hebat penuh prestasi kaya Jarvis? Rissa mah cuman butiran debu buat Jarvis.

Jarvis paling nggak suka kalo Rissa mikir gitu. Apa gunanya sih nganggep rendah diri sendiri? Semua orang pasti punya kelebihan dalam porsi mereka masing-masing. Dia paling benci kalo ada hal yang bikin Rissa nggak pede atau dia ngeluhin sesuatu yang dianggap nggak worth it buat dia. Harga diri adalah segalanya buat Jarvis. Nggak ada satu orang pun yang boleh merendahkan diri di hadapannya.

Gimana ya jadinya kalau si cowok dengan tingkat percaya diri selangit bersanding sama cewek yang dikit-dikit insecure? Nggak tau bakal cocok apa enggak. Jalanin aja dulu.

Insecure, sebuah kata yang udah nggak asing lagi buat kita. Siapa sih yang nggak pernah insecure? Idol seganteng Park Jeongwoo aja kadang masih insecure sama visualnya. PADAHAL DIA UDAH SEGANTENG ITU LOH! Kok bisa ya?

Kata insecure di sini aku artikan sebagai suatu perasaan yang bikin kita nggak percaya diri dengan apa yang kita. Sebuah perasaan yang membuat kita merasa kurang atas apa yang kita punya. Jadi mau sebanyak apapun validasi yang kita dapet dari orang kalau kita sendiri anggap itu masih kurang, tetep aja masih insecure.

Kunci buat terbebas dari perasaan insecure ya kita harus merasa puas, merasa cukup, merasa percaya diri dengan apa yang udah kita punya. Susah, susah banget. Tapi susah bukan berarti nggak bisa kan? Terima semua yang kita punya, nggak usah mengharap lebih apalagi ngarepin punya orang lain. Semua orang udah punya porsinya masing-masing.

No one will think less of you. Nggak akan ada orang yang berpikir tentang kekuranganmu. Nggak ada seseorang yang akan memandang kamu rendah. Tanamkan kalimat itu dalam pikiran kamu. Karena sejatinya, semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Adil bukan? Jadi buat apa kamu merasa tidak percaya diri kalo yang kurang bukan kamu aja?

Carissa Aurora, salah satu cewek yang sering banget ngerasain insecure. Kadang dia ngerasa nggak sehebat orang lain, nggak secantik cewek lain, nggak punya kemampuan apapun yang bisa dibanggain. Padahal dianya aja yang belum kenal sama dirinya sendiri.

Menginjak SMA, Rissa pengen jadi seseorang yang “dianggap”. Seseorang yang bisa diandalkan, seseorang yang bisa melakukan semuanya dengan baik, dan seseorang yang nggak akan dipandang rendah. Rissa ingin diakui, Rissa butuh validasi. Tapi di sisi lain, dia nggak punya apa-apa buat wujudin itu.

Rissa rela melakukan apapun yang disuruh seniornya biar dianggap bisa diandalkan. Dia mati-matian ngelakuin segala cara untuk mencapai keinginannya. Dia nggak akan biarin sekecil masalah menghambat tujuannya. Semuanya bisa aja dia dapetin kalau aja senior galak itu nggak merusak rencananya.

Porseni jadi program kerja pertama Rissa di OSIS. Tapi dia udah dihadapin masalah salah satu atlet yang nggak mau terpilih jadi kapten. Ini masalah besar buat Rissa. Kalau sampai atlet itu nggak dateng, proker pertamanya bakal gagal!

Jarvis Arkatama namanya. Dulu, dia salah satu atlet kebanggan SMA Putra Harapan. Namun karena suatu kejadian, Jarvis jadi membenci segala hal berbau basket, terutama klub basket sekolahnya. Dia udah bersumpah nggak akan turun ke lapangan membawa nama Putra Harapan. Buat apa dia membanggakan sesuatu yang udah membuat tangan kanannya patah?

Bak nggak punya muka, tiba-tiba Putra Harapan kembali memanggilnya menjadi kapten. Jarvis tentu marah besar. Dia nggak sudi balik ke mereka. Dia sampe melakukan segala cara biar namanya terhapus dari daftar atlet basket yang ikut porseni tahun ini, termasuk mengancam seseorang yang sebenernya nggak bersalah, Rissa.

Masalah itu bikin keduanya saling mengejar. Rissa ngejar Jarvis biar mau ikut porseni. Sedangkan Jarvis ngejar Rissa biar namanya dihapus dari daftar pemain basket. RIBET YA BUND! Tapi karena itu, mereka jadi akrab. Ya walaupun sering adu bacot.

Awalnya Rissa mikir Jarvis cuman kakak kelas galak yang bisanya ngomel doang. Seiring berjalannya waktu, Rissa ngerasa banyak hal yang bisa dia pelajari dari Jarvis. Lelaki itu ngajarin dia buat selalu percaya diri, walaupun di sisi lain Jarvis sendiri yang kadang bikin Rissa nggak percaya diri. Siapa yang nggak insecure bersanding sama atlet hebat penuh prestasi kaya Jarvis? Rissa mah cuman butiran debu buat Jarvis.

Jarvis paling nggak suka kalo Rissa mikir gitu. Apa gunanya sih nganggep rendah diri sendiri? Semua orang pasti punya kelebihan dalam porsi mereka masing-masing. Dia paling benci kalo ada hal yang bikin Rissa nggak pede atau dia ngeluhin sesuatu yang dianggap nggak worth it buat dia. Harga diri adalah segalanya buat Jarvis. Nggak ada satu orang pun yang boleh merendahkan diri di hadapannya.

Gimana ya jadinya kalau si cowok dengan tingkat percaya diri selangit bersanding sama cewek yang dikit-dikit insecure? Nggak tau bakal cocok apa enggak. Jalanin aja dulu.

image

Kalau inget jaman awal-awal deket sama Stella, Kevin suka bangga sama dirinya sendiri. Dia bangga karena nggak pernah nyerah buat dapetin Stella. Dia bangga selalu optimis bisa deket sama Stella. Karena cewek ini emang layak buat diperjuangin.

Kevin tahu, Stella bukan cewek baik dalam artian kalem, pinter, lembut, atau disukai banyak orang. Dia sama Stella nggak beda jauh sebenernya, dalam konteks anak badung di sekolah. Kevin suka bikin onar sama gengnya. Stella doyan ngelabrak dan dilabrak. Kalau disatuin, mereka patut dapet predikat couple troublemaker.

Beberapa bulan deket sama Stella, ada banyak sifat nggak terduga dari cewek itu yang baru Kevin tahu. Stella yang biasa adu bacot atau jambak-jambakan sama kakak kelas ternyata bisa nangis cuman karena ngeliat anak kucing yang besarnya sama kaya genggaman tangannya jalan sendirian di trotoar.

Katanya, “Gue nggak bisa bayangin kucing sekecil ini tinggal sendirian, nyari makan sendiri, tidur sendiri, tengak-tengok nyari ibunya. Kalau dia pengen minum susu ibunya gimana? Kalau dia jatuh trus nggak bisa bangun gimana?” dan berakhir nangis kejer yang bikin Kevin gemes sekaligus kasihan sama cewek yang bentar lagi bakal jadi pacarnya itu.

Ada satu sifat Stella yang paling Kevin suka. Saat cewek itu cerita tentang apapun yang dia suka. Hewan peliharaannya, review make up yang pernah dia coba, atau tempat-tempat yang dia pengen kunjungi. The way cewek itu cerita unik menurut Kevin. Ngomongnya kayak ngerap, selalu pake kata “gitu” di akhir kalimat, dan kadang pake nabok kalau ceritanya bikin greget.

“Tau nggak sih? Semalem gue scroll tik tok gitu. Ada vt lewat lagi nge-review make up yang emang viral sekarang. Jadi ceritanya make up tuh bentuknya kaya cushion gitu, tapi gue nggak tau sih itu cushion apa bedak apa foundation. Bentuknya kaya bedak padet, tapi creamy gitu. Kayaknya sih cushion deh, tapi bentukan cushion juga nggak kaya gitu. Gue jadi bingung.”

Kevin menyangga kepalanya sembari memperhatikan Stella yang sibuk mengoceh seperti biasanya. Dia nggak tau apa yang diomongin Stella tapi nggak tau kenapa seru aja didengerin. Bibirnya mengulas senyum tipis yang kadang memunculkan gigi taringnya kalau ada hal lucu yang diceritain Stella.

Setiap gadis itu cerita, dia nggak pernah natap Kevin. Cuman sesekali nengok buat mastiin Kevin masih dengerin. Bukan karena salting, tapi emang Stella nggak biasa ngobrol sambil natap mata. Aneh aja rasanya.

Angin sejuk sesekali menerbangkan rambut Stella yang tergerai bebas. Mereka sekarang lagi di pinggir pantai menunggu matahari terbenam. Langit telah berubah menjadi senja. Waktu yang pas untuk nongkrong sambil ngobrol ringan.

“Nah, lo tau nggak sih Kev? Cushion—gue sebut cushion aja deh ya— itu bener-bener coverage gitu! Masa sekali oles aja bekas jerawatnya langsung ilang? Kek— bagus banget sumpah! Mana harganya nggak terlalu mahal. Nggak nyampe 100k! Gue kan jadi pengen beli!”

“Trus udah beli?”

“Belum, soalnya gue belum pernah beli di tiktok. Takut salah nanti duit gue melayang lagi.”

“Coba kirim link-nya. Nanti gue yang check out.”

“Emang lo udah pernah beli di tiktok???”

“Belum. Tapi kalau duit gue ilang nggak apa-apa kok. Nggak nyampe 100k juga kan?”

Stella menggigit bibir dalamnya. Salah satu hal yang bikin dia nyaman sama Kevin ya ini. Cowok terpeka dan ter—act of service yang pernah dia temui. Awalnya Stella ngira Kevin cuman punya omong kosong atau gombalan cringe yang dia pake buat luluhin hatinya. Tapi seiring berjalannya waktu, Stella semakin percaya kalau Kevin emang cowok idaman yang dia cari selama ini.

“Lo penasaran nggak alasan gue nggak suka dideketin lo?”

“Karena gue aneh?”

Stella terbahak. “Iya itu salah satunya, tapi bukan itu yang gue maksud.”

“Trus apa?”

“Karena gue takut sama cowok.”

Senyum yang tergurat di bibir Kevin perlahan mengendur. Tatapannya berubah serius. Apalagi saat Stella menunduk dan memaksakan sebuah senyuman.

“Gue takut jatuh cinta. Gue takut menaruh perasaan sama seseorang. Gue takut ditinggalin lagi.”

Lagi?

“Gue boleh tau alasannya?” tanya Kevin hati-hati.

Pandangan Stella berubah menerawang. Menatap matahari yang sudah setengah tenggelam dengan pikiran yang menyelami masa lalu.

“Orang-orang bilang cinta pertama seorang anak perempuan itu ayahnya. Gue mengakui benar pernyataan itu. Tapi gue nggak nyangka, cinta pertama itu juga yang bikin gue takut jatuh cinta.”

Suara Stella terdengar memberat. Kevin tak mengalihkan sedikitpun pandangan dari Stella.

“Papi meninggal. Saat itu rasanya sakit banget. Ditinggalin sama seseorang yang jadi cinta pertama lo mustahil nggak sakit kan? Saat itu, gue jadi nggak mau cinta sama siapapun, gue nggak mau menaruh perasaan sama siapapun. Gue belum siap buat ngerasain rasanya ditinggalin buat kedua kalinya. Gue belum siap, dan nggak akan siap buat itu.”

Entah mengapa pembicaraan berubah lebih serius dari sebelumnya. Tak ada senyum dari Kevin. Mata Stella sudah memerah. Hening beberapa saat, menunggu respons dari Kevin.

Kevin bisa sedikit membayangkan perasaan Stella saat ditinggalkan sang ayah. Ia pun pernah merasakannya, walau sedikit berbeda. Hanya ditinggalkan seseorang, rasanya seperti ditinggalkan satu dunia. Dunia jadi hampa. Tidak ada pegangan untuk bergantung.

Wajar Stella memiliki perasaan seperti itu. Siapa manusia di dunia ini yang mau ditinggalkan? Dan Kevin siap buat jadi seseorang yang nggak akan ninggalin Stella sampai kapanpun.

“Ayah lo pasti bahagia punya anak yang sayang banget sama orang tuanya. Tapi beliau juga nggak akan suka liat lo bertahan sama ketakutan lo. Beliau pasti pengin liat lo bahagia, sama cowok yang lo sayang. Jangan terlalu memikirkan hal yang belum pasti terjadi apa enggak, La. Pasti akan ada seseorang yang nggak akan pernah ninggalin lo.”

Stella cukup kecewa dengan jawaban Kevin. Bukan ini yang dia mau. Dia ingin Kevin meyakinkan dirinya kalau Kevin tidak akan ke mana-mana, Kevin tidak akan meninggalkannya. Tapi kenapa Kevin malah menjawab seperti itu?

Apa suatu saat nanti Kevin akan meninggalkannya?

Namun di sisi lain, bukan itu maksud Kevin. Dia hanya tidak ingin menyakiti Stella dengan ucapan yang belum pasti bisa ditepati. Daripada hanya memberikan omong kosong, lebih baik ia langsung melompat ke aksi. Bukankah itu yang Stella suka?

Sore itu telah tercipta suatu kesalahpahaman di antara keduanya. Semoga saja tidak mempengaruhi hubungan mereka. Ya, semoga.

image

Justin POV

Nggak tau berapa kali kata kasar terucap di batin gue. Alasannya nggak jauh-jauh dari cewek yang baru gue pacarin sekitar dua minggu mungkin? Nggak tau persis udah berapa lama. Gue males ngitung, lebih tepatnya nggak mau ngitung.

Sesuatu yang dimulai dengan nggak baik, bakal berakhir dengan nggak baik juga. Niatnya aja udah jelek, masih berani ngarep hal baik dari Tuhan? Mustahil. Cuman dapet karma. Walaupun ada kemungkinan hal baik datang, tapi gue berani bertaruh jalan yang dilalui nggak akan lempeng-lempeng aja.

Iya, itu gue lagi ngomongin diri sendiri. Dapet cewek dari hasil taruhan. Ceweknya nggak mau tapi gue paksa pake ancaman. Kalo modelan cowoknya kaya pangeran William sih nggak rugi. Lah gue apa? Ranking aja masih untung ada si Ilham yang bikin gue nggak jadi siswa dengan peringkat terakhir di kelas. Tapi tetep nekat macarin si peringkat satu.

Timpang banget ya? Nggak masalah kalau gue nggak ada rasa. Tapi apesnya gue udah suka sama ini cewek dari hari pertama dia pindah sekolah. Gue nggak bisa biasa aja ngeliat orang yang gue suka melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sama gue. Rasanya gue pengen nyolong remote AC yang dipegang Mbak Rara buat ngademin perasaan gue.

Cemburu? Kagak lah! Ini bukan cemburu. Gue nggak bakal cemburu sama Freya.

Dari lantai dua, gue melihat pacar gue bersama cowok lain lagi bersenda gurau. Nggak perlu disebutin namanya kalian pasti udah tau. Gue juga nggak sudi nyebutnya. Cowok yang menghabiskan waktunya lebih banyak sama Freya ketimbang gue sendiri yang berpredikat sebagai PACARNYA FREYA.

Inget ya, PACARNYA FREYA.

Bukan tanpa alasan gue menegaskan diri sebagai PACARNYA FREYA. Karena selama ini orang yang dapet predikat itu ya yang sekarang lagi jalan bareng sama Freya. Jelas lah, gue sama Freya aja nggak pernah jalan bareng. Ngobrol berdua aja masih ngumpet-ngumpet.

Anjing, kenapa hubungan gue sama Freya menyedihkan banget dah. Gue emang terlalu goblok karena udah setuju sama syarat Freya yang pengen hubungan kita nggak diketahui banyak orang. Sialan itu cewek, mana cantik lagi.

Gue nggak masalah. Tapi ya nggak usah jalan sama cowok lain di depan, apalagi di belakang gue lah! Tau diri dong! Lo pacar siapa sebenernya? Pacar gue woy, pacar Justin Mahendra.

Gue ngecek hp hampir setiap detik cuman buat nunggu kabar dari Freya. Dia seharusnya hubungin gue pas urusannya selesai. Tapi gue liat-liat itu cewek cantik betah banget ngobrol sama orang yang nggak sudi gue sebut namanya.

“Njing!” Gue lalu melangkah ke tangga pas liat mereka melangkah naik ke lantai dua. Sengaja biar papasan.

Derap langkah mereka terdengar diiringi obrolan ringan serta tawaan dari Freya. Gue bener-bener harus minta Mbak Rara nurunin hujan ini mah. PANAS.

Kami berpapasan di tengah tangga. Keduanya serentak menatap gue. Freya keliatan kaget. Bibirnya yang mengulas senyum seketika mendatar melihat raut tak senang dari gue. Nggak ada teguran atau kata yang terucap. Gue ngelewatin mereka gitu aja.

Nggak tau apa yang dilakuin Freya di belakang. Yang jelas, dia nggak ngejar gue. Jelas, ada orang yang nggak sudi gue sebut namanya di sana. Nggak mungkin Freya negur gue, apalagi ngejar. Gue kan nggak ada apa-apanya dibanding dia.


Freya POV

Gawat, kayaknya gue udah melakukan kesalahan. Gue baru inget harus ngabarin Justin pas urusan gue sama Samuel selesai. Dia keliatan nggak suka pas kita papasan di tangga. Ya jelas lah, siapa yang bakal suka liat pacar mereka deket sama orang lain? Bodoh banget lo, Fre.

Tadinya gue mau langsung negur Justin. Cuman ada Samuel yang pastinya nggak akan suka. Tapi kenapa Justin nggak bilang apa-apa sih? Biasanya juga dia berani nyolot di depan Samuel. Ah, gue jadi takut kalo Justin udah diemin gue gini.

Sesampainya di kelas, gue langsung cek hape. Gila, banyak banget chat dari Justin. Gue jadi ngerasa bersalah. Tapi, kenapa Justin sampai segitunya?

Cemburu? Ya, Justin emang nggak suka kalo gue deket sama Samuel. Tapi nggak pernah sampe diemin gini deh. Biasanya juga dia langsung ceplas-ceplos yang berakhir berantem sama Samuel.

Dulu gue nggak suka banget sama cara Justin yang apa-apa dibikin ribut. Tapi ngeliat dia diem gini, kok gue ngerasa mending dia berantem aja ya?

Kevin terlihat memasuki kelas tanpa Justin. Ke mana dia? Bentar lagi bel masuk padahal.

“Vin, Justin mana?” tegur gue saat Kevin lewat.

“Nggak tau loh, dia tadi nggak sama gue. Katanya nungguin lo?” jawab Kevin.

“Iya, tapi tadi dia turun nggak tau ke mana. Kirain nyamperin lo.”

“Nggak, Fre. Coba chat aja.”

“Nggak dibales sama Justin.”

Kevin mengangguk kecil. “Tunggu aja, bentar lagi balik palingan,” ujarnya lantas kembali melangkah menuju kursinya.

Gue mengela napas kasar. Nggak ada pilihan lain. Gue harus nyari Justin.


“Dilarang merokok di area sekolah.”

Justin yang lagi duduk di taman belakang sekolah tampak tersentak. Terselip sebatang rokok di tangan kirinya yang bersangga di kaki kirinya. Justin menoleh, beradu pandang dengan gue yang sukses menaikkan tempo degup jantung gue.

image (Ini gambaran pose duduk Justin)

Dia tampak tak peduli dengan tetap menghisap rokok yang diapitnya. Gue mendekat dan duduk di sebelah Justin. Cowok itu langsung mengganti posisi duduknya menjaga jarak.

“Minta,” ujar gue sambil mengambil kotak rokok di saku celana Justin.

“Apaan sih!” sahutnya dengan intonasi cukup tinggi sambil merebut kotak rokoknya.

“Gue kan mau juga.”

“Lo pikir lo keren gitu njing?”

Gue kaget. “Kasar banget sumpah.”

“Ya lo ngapa ngide mau ngerokok?”

“Ya emang kenapa? Gue juga udah biasa ngevape.”

“Ini di sekolah.”

“Ya lo sendiri gimana?”

Justin memalingkan wajah sambil mengisap rokoknya. Tanpa gue duga, dia kembali menoleh ke gue untuk mengembuskan asap rokoknya. Gue refleks mengibaskan tangan di depan wajah untuk menghalau asap tersebut.

“Baru dikasih asepnya udah risi. Sok-sokan mau ngerokok,” ucap Justin.

“Beda kalo gue yang ngisep asepnya sendiri.”

“Ngisep bibir gue aja gimana?”

Wtf????

“APA SIH?!”

Justin keliatan biasa aja setelahnya. Padahal gue di sini udah deg-degan luar biasa. BISA-BISANYA DIA KEPIKIRAN NGOMONG GITU WOY??? Sumpah! Ini cowok aneh banget kalo lagi cemburu!

Cowok itu lantas menginjak putung rokoknya yang hampir habis. Ia beranjak pergi. Namun segera gue tahan.

“Mau ke mana?” tanya gue. Justin menarik tangannya yang gue genggam. Tanpa menjawab, dia kembali melenggang.

“Justin!” Gue mengejar. Cowok itu nggak ada gelagat nungguin gue. Dia bener-bener diem, seakan gue nggak ada. Nggak, nggak bisa kalau gini. Gue mau Justin yang cerewet. Bukan dingin gini!

“Justin tunggu ih! Lo kenapa sih?”

Sekuat tenaga, gue mengejar cowok itu. Tangannya ditarik kuat. Justin akhirnya berhenti. “Lo kenapa sih, Justin?”

“Emang gue kenapa?”

“Diemin gue gini.”

“Kagak.”

“Jangan gitu ih! Ngomong dong! Gue ada salah ya?”

“Nggak ada apa-apa lah. Udah sana balik kelas.”

“Baliknya sama lo.”

“Gue mau bolos.”

“Gue ikut,” jawab gue setengah merengek.

Justin terlihat memejam dan menghela napas halus. Nggak tau alasannya apa.

“Jangan pegang-pegang. Nanti ada yang liat malah salah paham,” ujar Justin sembari menarik tangannya. Namun gue tahan.

“Nggak mau sebelum lo jawab pertanyaan gue. Lo kenapa?”

“Nggak apa-apa lah, Fre. Jangan gini lah.”

Kayaknya Justin salting deh. Muka dia merah pas gue meluk tangannya. Gemes!

“Cemburu ya?” ledek gue.

“Cemburu apaan?”

“Liat gue sama Samuel tadi.”

“Nggak.”

“Masa?” ujar gue sambil mendekatkan wajah membuat cowok itu langsung menoleh ke arah lain. “Kalo nggak, kenapa cuekin gue kaya gini coba? Ngaku aja deh, lo pasti cemburu!”

Justin menoleh cepat. Dia merendahkan kepala agar sejajar dengan gue. Refleks, gue mengendurkan genggaman di tangan Justin sambil sedikit mundur.

“Cemburu? Buat apa gue cemburu liat lo sama Samuel? Lo udah jadi milik gue. Buat apa gue cemburu?”

Alis gue bertaut bingung. “Maksudnya?”

Justin menarik tangannya, lalu memasukannya di saku celana. Dia kembali merendahkan kepala. Mata mirip serigalanya mengilat tajam menusuk manik gue. Bau rokok beraroma menthol menguar dari wajahnya. Hawa panas seketika menjalar di wajah gue.

“Cemburu itu saat lo menginginkan sesuatu yang bukan milik lo. Gue bukan cemburu, tapi territorial. Lo tau apa artinya territorial?”

Sebenernya gue tau. Kata itu pernah muncul di pelajaran geografi atau sejarah atau PKn, argh gue nggak tau! Otak gue blank sama tatapan dalam Justin yang nggak teralih sedikitpun dari gue. Tatapan yang bikin kepala gue refleks menggeleng padahal gue jelas tau ala arti kata itu.

“Territorial adalah saat lo melindungi apapun yang udah jadi milik lo. Yang seharusnya cemburu itu Samuel. Karena lo bukan milik dia tapi milik gue. Paham?”

Gue hanya menjawab dengan menelan saliva.

“Gue bukan cemburu, tapi gue territorial. Gue cuman melindungi apapun yang udah jadi milik gue dari orang-orang yang menginginkan lo. Terserah lo mau anggep gimana, gue cape.”

Setelahnya, Justin melangkah menjauh. Perasaan gue udah berantakan banget. Nggak nyangka Justin bisa berpikiran sejauh itu.

Omongan Justin bikin gue hilang akal. Segera gue mengejar cowok itu cuman buat nahan dia lagi. Justin tampak hendak melayangkan protes. Namun bibirnya mengatup rapat saat gue menarik tubuhnya merendah untuk mengecup pipinya.

Wajahnya tampak merebus. Pipi yang dikecup itu lantas dipegangi. “Fre???” ujar Justin keliatan syok banget.

“Kenapa? Gue cuman menandai wilayah territorial gue kok,” jawab gue tanpa beban. Emang cuman Justin yang bisa bikin salting.

Namun beberapa detik setelahnya, gue menyesali perbuatan itu. Senyum aneh terbit di bibir Justin. GUE PANIK.

“Giliran gue ya?”

Demi Tuhan, gue langsung lari secepat yang gue bisa. MENDING JUSTIN DIEM AJA INI MAH!

image

Justin POV

Nggak tau berapa kali kata kasar terucap di batin gue. Alasannya nggak jauh-jauh dari cewek yang baru gue pacarin sekitar dua minggu mungkin? Nggak tau persis udah berapa lama. Gue males ngitung, lebih tepatnya nggak mau ngitung.

Sesuatu yang dimulai dengan nggak baik, bakal berakhir dengan nggak baik juga. Niatnya aja udah jelek, masih berani ngarep hal baik dari Tuhan? Mustahil. Cuman dapet karma. Walaupun ada kemungkinan hal baik datang, tapi gue berani bertaruh jalan yang dilalui nggak akan lempeng-lempeng aja.

Iya, itu gue lagi ngomongin diri sendiri. Dapet cewek dari hasil taruhan. Ceweknya nggak mau tapi gue paksa pake ancaman. Kalo modelan cowoknya kaya pangeran William sih nggak rugi. Lah gue apa? Ranking aja masih untung ada si Ilham yang bikin gue nggak jadi siswa dengan peringkat terakhir di kelas. Tapi tetep nekat macarin si peringkat satu.

Timpang banget ya? Nggak masalah kalau gue nggak ada rasa. Tapi apesnya gue udah suka sama ini cewek dari hari pertama dia pindah sekolah. Gue nggak bisa biasa aja ngeliat orang yang gue suka melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sama gue. Rasanya gue pengen nyolong remote AC yang dipegang Mbak Rara buat ngademin perasaan gue.

Cemburu? Kagak lah! Ini bukan cemburu. Gue nggak bakal cemburu sama Freya.

Dari lantai dua, gue melihat pacar gue bersama cowok lain lagi bersenda gurau. Nggak perlu disebutin namanya kalian pasti udah tau. Gue juga nggak sudi nyebutnya. Cowok yang menghabiskan waktunya lebih banyak sama Freya ketimbang gue sendiri yang berpredikat sebagai PACARNYA FREYA.

Inget ya, PACARNYA FREYA.

Bukan tanpa alasan gue menegaskan diri sebagai PACARNYA FREYA. Karena selama ini orang yang dapet predikat itu ya yang sekarang lagi jalan bareng sama Freya. Jelas lah, gue sama Freya aja nggak pernah jalan bareng. Ngobrol berdua aja masih ngumpet-ngumpet.

Anjing, kenapa hubungan gue sama Freya menyedihkan banget dah. Gue emang terlalu goblok karena udah setuju sama syarat Freya yang pengen hubungan kita nggak diketahui banyak orang. Sialan itu cewek, mana cantik lagi.

Gue nggak masalah. Tapi ya nggak usah jalan sama cowok lain di depan, apalagi di belakang gue lah! Tau diri dong! Lo pacar siapa sebenernya? Pacar gue woy, pacar Justin Mahendra.

Gue ngecek hp hampir setiap detik cuman buat nunggu kabar dari Freya. Dia seharusnya hubungin gue pas urusannya selesai. Tapi gue liat-liat itu cewek cantik betah banget ngobrol sama orang yang nggak sudi gue sebut namanya.

“Njing!” Gue lalu melangkah ke tangga pas liat mereka melangkah naik ke lantai dua. Sengaja biar papasan.

Derap langkah mereka terdengar diiringi obrolan ringan serta tawaan dari Freya. Gue bener-bener harus minta Mbak Rara nurunin hujan ini mah. PANAS.

Kami berpapasan di tengah tangga. Keduanya serentak menatap gue. Freya keliatan kaget. Bibirnya yang mengulas senyum seketika mendatar melihat raut tak senang dari gue. Nggak ada teguran atau kata yang terucap. Gue ngelewatin mereka gitu aja.

Nggak tau apa yang dilakuin Freya di belakang. Yang jelas, dia nggak ngejar gue. Jelas, ada orang yang nggak sudi gue sebut namanya di sana. Nggak mungkin Freya negur gue, apalagi ngejar. Gue kan nggak ada apa-apanya dibanding dia.


Freya POV

Gawat, kayaknya gue udah melakukan kesalahan. Gue baru inget harus ngabarin Justin pas urusan gue sama Samuel selesai. Dia keliatan nggak suka pas kita papasan di tangga. Ya jelas lah, siapa yang bakal suka liat pacar mereka deket sama orang lain? Bodoh banget lo, Fre.

Tadinya gue mau langsung negur Justin. Cuman ada Samuel yang pastinya nggak akan suka. Tapi kenapa Justin nggak bilang apa-apa sih? Biasanya juga dia berani nyolot di depan Samuel. Ah, gue jadi takut kalo Justin udah diemin gue gini.

Sesampainya di kelas, gue langsung cek hape. Gila, banyak banget chat dari Justin. Gue jadi ngerasa bersalah. Tapi, kenapa Justin sampai segitunya?

Cemburu? Ya, Justin emang nggak suka kalo gue deket sama Samuel. Tapi nggak pernah sampe diemin gini deh. Biasanya juga dia langsung ceplas-ceplos yang berakhir berantem sama Samuel.

Dulu gue nggak suka banget sama cara Justin yang apa-apa dibikin ribut. Tapi ngeliat dia diem gini, kok gue ngerasa mending dia berantem aja ya?

Kevin terlihat memasuki kelas tanpa Justin. Ke mana dia? Bentar lagi bel masuk padahal.

“Vin, Justin mana?” tegur gue saat Kevin lewat.

“Nggak tau loh, dia tadi nggak sama gue. Katanya nungguin lo?” jawab Kevin.

“Iya, tapi tadi dia turun nggak tau ke mana. Kirain nyamperin lo.”

“Nggak, Fre. Coba chat aja.”

“Nggak dibales sama Justin.”

Kevin mengangguk kecil. “Tunggu aja, bentar lagi balik palingan,” ujarnya lantas kembali melangkah menuju kursinya.

Gue mengela napas kasar. Nggak ada pilihan lain. Gue harus nyari Justin.


“Dilarang merokok di area sekolah.”

Justin yang lagi duduk di taman belakang sekolah tampak tersentak. Terselip sebatang rokok di tangan kirinya yang bersangga di kaki kirinya. Justin menoleh, beradu pandang dengan gue yang sukses menaikkan tempo degup jantung gue.

image (Ini gambaran pose duduk Justin)

Dia tampak tak peduli dengan tetap menghisap rokok yang diapitnya. Gue mendekat dan duduk di sebelah Justin. Cowok itu langsung mengganti posisi duduknya menjaga jarak.

“Minta,” ujar gue sambil mengambil kotak rokok di saku celana Justin.

“Apaan sih!” sahutnya dengan intonasi cukup tinggi sambil merebut kotak rokoknya.

“Gue kan mau juga.”

“Lo pikir lo keren gitu njing?”

Gue kaget. “Kasar banget sumpah.”

“Ya lo ngapa ngide mau ngerokok?”

“Ya emang kenapa? Gue juga udah biasa ngevape.”

“Ini di sekolah.”

“Ya lo sendiri gimana?”

Justin memalingkan wajah sambil mengisap rokoknya. Tanpa gue duga, dia kembali menoleh ke gue untuk mengembuskan asap rokoknya. Gue refleks mengibaskan tangan di depan wajah untuk menghalau asap tersebut.

“Baru dikasih asepnya udah risi. Sok-sokan mau ngerokok,” ucap Justin.

“Beda kalo gue yang ngisep asepnya sendiri.”

“Ngisep bibir gue aja gimana?”

Wtf????

“APA SIH?!”

Justin keliatan biasa aja setelahnya. Padahal gue di sini udah deg-degan luar biasa. BISA-BISANYA DIA KEPIKIRAN NGOMONG GITU WOY??? Sumpah! Ini cowok aneh banget kalo lagi cemburu!

Cowok itu lantas menginjak putung rokoknya yang hampir habis. Ia beranjak pergi. Namun segera gue tahan.

“Mau ke mana?” tanya gue. Justin menarik tangannya yang gue genggam. Tanpa menjawab, dia kembali melenggang.

“Justin!” Gue mengejar. Cowok itu nggak ada gelagat nungguin gue. Dia bener-bener diem, seakan gue nggak ada. Nggak, nggak bisa kalau gini. Gue mau Justin yang cerewet. Bukan dingin gini!

“Justin tunggu ih! Lo kenapa sih?”

Sekuat tenaga, gue mengejar cowok itu. Tangannya ditarik kuat. Justin akhirnya berhenti. “Lo kenapa sih, Justin?”

“Emang gue kenapa?”

“Diemin gue gini.”

“Kagak.”

“Jangan gitu ih! Ngomong dong! Gue ada salah ya?”

“Nggak ada apa-apa lah. Udah sana balik kelas.”

“Baliknya sama lo.”

“Gue mau bolos.”

“Gue ikut,” jawab gue setengah merengek.

Justin terlihat memejam dan menghela napas halus. Nggak tau alasannya apa.

“Jangan pegang-pegang. Nanti ada yang liat malah salah paham,” ujar Justin sembari menarik tangannya. Namun gue tahan.

“Nggak mau sebelum lo jawab pertanyaan gue. Lo kenapa?”

“Nggak apa-apa lah, Fre. Jangan gini lah.”

Kayaknya Justin salting deh. Muka dia merah pas gue meluk tangannya. Gemes!

“Cemburu ya?” ledek gue.

“Cemburu apaan?”

“Liat gue sama Samuel tadi.”

“Nggak.”

“Masa?” ujar gue sambil mendekatkan wajah membuat cowok itu langsung menoleh ke arah lain. “Kalo nggak, kenapa cuekin gue kaya gini coba? Ngaku aja deh, lo pasti cemburu!”

Justin menoleh cepat. Dia merendahkan kepala agar sejajar dengan gue. Refleks, gue mengendurkan genggaman di tangan Justin sambil sedikit mundur.

“Cemburu? Buat apa gue cemburu liat lo sama Samuel? Lo udah jadi milik gue. Buat apa gue cemburu?”

Alis gue bertaut bingung. “Maksudnya?”

Justin menarik tangannya, lalu memasukannya di saku celana. Dia kembali merendahkan kepala. Mata mirip serigalanya mengilat tajam menusuk manik gue. Bau rokok beraroma menthol menguar dari wajahnya. Hawa panas seketika menjalar di wajah gue.

“Cemburu itu saat lo menginginkan sesuatu yang bukan milik lo. Gue bukan cemburu, tapi territorial. Lo tau apa artinya territorial?”

Sebenernya gue tau. Kata itu pernah muncul di pelajaran geografi atau sejarah atau PKn, argh gue nggak tau! Otak gue blank sama tatapan dalam Justin yang nggak teralih sedikitpun dari gue. Tatapan yang bikin kepala gue refleks menggeleng padahal gue jelas tau ala arti kata itu.

“Territorial adalah saat lo melindungi apapun yang udah jadi milik lo. Yang seharusnya cemburu itu Samuel. Karena lo bukan milik dia tapi milik gue. Paham?”

Gue hanya menjawab dengan menelan saliva.

“Gue bukan cemburu, tapi gue territorial. Gue cuman melindungi apapun yang udah jadi milik gue dari orang-orang yang menginginkan lo. Terserah lo mau anggep gimana, gue cape.”

Setelahnya, Justin melangkah menjauh. Perasaan gue udah berantakan banget. Nggak nyangka Justin bisa berpikiran sejauh itu.

Omongan Justin bikin gue hilang akal. Segera gue mengejar cowok itu cuman buat nahan dia lagi. Justin tampak hendak melayangkan protes. Namun bibirnya mengatup rapat saat gue menarik tubuhnya merendah untuk mengecup pipinya.

Wajahnya tampak merebus. Pipi yang dikecup itu lantas dipegangi. “Fre???” ujar Justin keliatan syok banget.

“Kenapa? Gue cuman menandai wilayah territorial gue kok,” jawab gue tanpa beban. Emang cuman Justin yang bisa bikin salting.

Namun beberapa detik setelahnya, gue menyesali perbuatan itu. Senyum aneh terbit di bibir Justin. GUE PANIK.

“Giliran gue ya?”

Demi Tuhan, gue langsung lari secepat yang gue bisa. MENDING JUSTIN DIEM AJA INI MAH!

image

Justin POV

Nggak tau berapa kali kata kasar terucap di batin gue. Alasannya nggak jauh-jauh dari cewek yang baru gue pacarin sekitar dua minggu mungkin? Nggak tau persis udah berapa lama. Gue males ngitung, lebih tepatnya nggak mau ngitung.

Sesuatu yang dimulai dengan nggak baik, bakal berakhir dengan nggak baik juga. Niatnya aja udah jelek, masih berani ngarep hal baik dari Tuhan? Mustahil. Cuman dapet karma. Walaupun ada kemungkinan hal baik datang, tapi gue berani bertaruh jalan yang dilalui nggak akan lempeng-lempeng aja.

Iya, itu gue lagi ngomongin diri sendiri. Dapet cewek dari hasil taruhan. Ceweknya nggak mau tapi gue paksa pake ancaman. Kalo modelan cowoknya kaya pangeran William sih nggak rugi. Lah gue apa? Ranking aja masih untung ada si Ilham yang bikin gue nggak jadi siswa dengan peringkat terakhir di kelas. Tapi tetep nekat macarin si peringkat satu.

Timpang banget ya? Nggak masalah kalau gue nggak ada rasa. Tapi apesnya gue udah suka sama ini cewek dari hari pertama dia pindah sekolah. Gue nggak bisa biasa aja ngeliat orang yang gue suka melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sama gue. Rasanya gue pengen nyolong remote AC yang dipegang Mbak Rara buat ngademin perasaan gue.

Cemburu? Kagak lah! Ini bukan cemburu. Gue nggak bakal cemburu sama Freya.

Dari lantai dua, gue melihat pacar gue bersama cowok lain lagi bersenda gurau. Nggak perlu disebutin namanya kalian pasti udah tau. Gue juga nggak sudi nyebutnya. Cowok yang menghabiskan waktunya lebih banyak sama Freya ketimbang gue sendiri yang berpredikat sebagai PACARNYA FREYA.

Inget ya, PACARNYA FREYA.

Bukan tanpa alasan gue menegaskan diri sebagai PACARNYA FREYA. Karena selama ini orang yang dapet predikat itu ya yang sekarang lagi jalan bareng sama Freya. Jelas lah, gue sama Freya aja nggak pernah jalan bareng. Ngobrol berdua aja masih ngumpet-ngumpet.

Anjing, kenapa hubungan gue sama Freya menyedihkan banget dah. Gue emang terlalu goblok karena udah setuju sama syarat Freya yang pengen hubungan kita nggak diketahui banyak orang. Sialan itu cewek, mana cantik lagi.

Gue nggak masalah. Tapi ya nggak usah jalan sama cowok lain di depan, apalagi di belakang gue lah! Tau diri dong! Lo pacar siapa sebenernya? Pacar gue woy, pacar Justin Mahendra.

Gue ngecek hp hampir setiap detik cuman buat nunggu kabar dari Freya. Dia seharusnya hubungin gue pas urusannya selesai. Tapi gue liat-liat itu cewek cantik betah banget ngobrol sama orang yang nggak sudi gue sebut namanya.

“Njing!” Gue lalu melangkah ke tangga pas liat mereka melangkah naik ke lantai dua. Sengaja biar papasan.

Derap langkah mereka terdengar diiringi obrolan ringan serta tawaan dari Freya. Gue bener-bener harus minta Mbak Rara nurunin hujan ini mah. PANAS.

Kami berpapasan di tengah tangga. Keduanya serentak menatap gue. Freya keliatan kaget. Bibirnya yang mengulas senyum seketika mendatar melihat raut tak senang dari gue. Nggak ada teguran atau kata yang terucap. Gue ngelewatin mereka gitu aja.

Nggak tau apa yang dilakuin Freya di belakang. Yang jelas, dia nggak ngejar gue. Jelas, ada orang yang nggak sudi gue sebut namanya di sana. Nggak mungkin Freya negur gue, apalagi ngejar. Gue kan nggak ada apa-apanya dibanding dia.


Freya POV

Gawat, kayaknya gue udah melakukan kesalahan. Gue baru inget harus ngabarin Justin pas urusan gue sama Samuel selesai. Dia keliatan nggak suka pas kita papasan di tangga. Ya jelas lah, siapa yang bakal suka liat pacar mereka deket sama orang lain? Bodoh banget lo, Fre.

Tadinya gue mau langsung negur Justin. Cuman ada Samuel yang pastinya nggak akan suka. Tapi kenapa Justin nggak bilang apa-apa sih? Biasanya juga dia berani nyolot di depan Samuel. Ah, gue jadi takut kalo Justin udah diemin gue gini.

Sesampainya di kelas, gue langsung cek hape. Gila, banyak banget chat dari Justin. Gue jadi ngerasa bersalah. Tapi, kenapa Justin sampai segitunya?

Cemburu? Ya, Justin emang nggak suka kalo gue deket sama Samuel. Tapi nggak pernah sampe diemin gini deh. Biasanya juga dia langsung ceplas-ceplos yang berakhir berantem sama Samuel.

Dulu gue nggak suka banget sama cara Justin yang apa-apa dibikin ribut. Tapi ngeliat dia diem gini, kok gue ngerasa mending dia berantem aja ya?

Kevin terlihat memasuki kelas tanpa Justin. Ke mana dia? Bentar lagi bel masuk padahal.

“Vin, Justin mana?” tegur gue saat Kevin lewat.

“Nggak tau loh, dia tadi nggak sama gue. Katanya nungguin lo?” jawab Kevin.

“Iya, tapi tadi dia turun nggak tau ke mana. Kirain nyamperin lo.”

“Nggak, Fre. Coba chat aja.”

“Nggak dibales sama Justin.”

Kevin mengangguk kecil. “Tunggu aja, bentar lagi balik palingan,” ujarnya lantas kembali melangkah menuju kursinya.

Gue mengela napas kasar. Nggak ada pilihan lain. Gue harus nyari Justin.


“Dilarang merokok di area sekolah.”

Justin yang lagi duduk di taman belakang sekolah tampak tersentak. Terselip sebatang rokok di tangan kirinya yang bersangga di kaki kirinya. Justin menoleh, beradu pandang dengan gue yang sukses menaikkan tempo degup jantung gue.

Dia tampak tak peduli dengan tetap menghisap rokok yang diapitnya. Gue mendekat dan duduk di sebelah Justin. Cowok itu langsung mengganti posisi duduknya menjaga jarak.

“Minta,” ujar gue sambil mengambil kotak rokok di saku celana Justin.

“Apaan sih!” sahutnya dengan intonasi cukup tinggi sambil merebut kotak rokoknya.

“Gue kan mau juga.”

“Lo pikir lo keren gitu njing?”

Gue kaget. “Kasar banget sumpah.”

“Ya lo ngapa ngide mau ngerokok?”

“Ya emang kenapa? Gue juga udah biasa ngevape.”

“Ini di sekolah.”

“Ya lo sendiri gimana?”

Justin memalingkan wajah sambil mengisap rokoknya. Tanpa gue duga, dia kembali menoleh ke gue untuk mengembuskan asap rokoknya. Gue refleks mengibaskan tangan di depan wajah untuk menghalau asap tersebut.

“Baru dikasih asepnya udah risi. Sok-sokan mau ngerokok,” ucap Justin.

“Beda kalo gue yang ngisep asepnya sendiri.”

“Ngisep bibir gue aja gimana?”

Wtf????

“APA SIH?!”

Justin keliatan biasa aja setelahnya. Padahal gue di sini udah deg-degan luar biasa. BISA-BISANYA DIA KEPIKIRAN NGOMONG GITU WOY??? Sumpah! Ini cowok aneh banget kalo lagi cemburu!

Cowok itu lantas menginjak putung rokoknya yang hampir habis. Ia beranjak pergi. Namun segera gue tahan.

“Mau ke mana?” tanya gue. Justin menarik tangannya yang gue genggam. Tanpa menjawab, dia kembali melenggang.

“Justin!” Gue mengejar. Cowok itu nggak ada gelagat nungguin gue. Dia bener-bener diem, seakan gue nggak ada. Nggak, nggak bisa kalau gini. Gue mau Justin yang cerewet. Bukan dingin gini!

“Justin tunggu ih! Lo kenapa sih?”

Sekuat tenaga, gue mengejar cowok itu. Tangannya ditarik kuat. Justin akhirnya berhenti. “Lo kenapa sih, Justin?”

“Emang gue kenapa?”

“Diemin gue gini.”

“Kagak.”

“Jangan gitu ih! Ngomong dong! Gue ada salah ya?”

“Nggak ada apa-apa lah. Udah sana balik kelas.”

“Baliknya sama lo.”

“Gue mau bolos.”

“Gue ikut,” jawab gue setengah merengek.

Justin terlihat memejam dan menghela napas halus. Nggak tau alasannya apa.

“Jangan pegang-pegang. Nanti ada yang liat malah salah paham,” ujar Justin sembari menarik tangannya. Namun gue tahan.

“Nggak mau sebelum lo jawab pertanyaan gue. Lo kenapa?”

“Nggak apa-apa lah, Fre. Jangan gini lah.”

Kayaknya Justin salting deh. Muka dia merah pas gue meluk tangannya. Gemes!

“Cemburu ya?” ledek gue.

“Cemburu apaan?”

“Liat gue sama Samuel tadi.”

“Nggak.”

“Masa?” ujar gue sambil mendekatkan wajah membuat cowok itu langsung menoleh ke arah lain. “Kalo nggak, kenapa cuekin gue kaya gini coba? Ngaku aja deh, lo pasti cemburu!”

Justin menoleh cepat. Dia merendahkan kepala agar sejajar dengan gue. Refleks, gue mengendurkan genggaman di tangan Justin sambil sedikit mundur.

“Cemburu? Buat apa gue cemburu liat lo sama Samuel? Lo udah jadi milik gue. Buat apa gue cemburu?”

Alis gue bertaut bingung. “Maksudnya?”

Justin menarik tangannya, lalu memasukannya di saku celana. Dia kembali merendahkan kepala. Mata mirip serigalanya mengilat tajam menusuk manik gue. Bau rokok beraroma menthol menguar dari wajahnya. Hawa panas seketika menjalar di wajah gue.

“Cemburu itu saat lo menginginkan sesuatu yang bukan milik lo. Gue bukan cemburu, tapi territorial. Lo tau apa artinya territorial?”

Sebenernya gue tau. Kata itu pernah muncul di pelajaran geografi atau sejarah atau PKn, argh gue nggak tau! Otak gue blank sama tatapan dalam Justin yang nggak teralih sedikitpun dari gue. Tatapan yang bikin kepala gue refleks menggeleng padahal gue jelas tau ala arti kata itu.

“Territorial adalah saat lo melindungi apapun yang udah jadi milik lo. Yang seharusnya cemburu itu Samuel. Karena lo bukan milik dia tapi milik gue. Paham?”

Gue hanya menjawab dengan menelan saliva.

“Gue bukan cemburu, tapi gue territorial. Gue cuman melindungi apapun yang udah jadi milik gue dari orang-orang yang menginginkan lo. Terserah lo mau anggep gimana, gue cape.”

Setelahnya, Justin melangkah menjauh. Perasaan gue udah berantakan banget. Nggak nyangka Justin bisa berpikiran sejauh itu.

Omongan Justin bikin gue hilang akal. Segera gue mengejar cowok itu cuman buat nahan dia lagi. Justin tampak hendak melayangkan protes. Namun bibirnya mengatup rapat saat gue menarik tubuhnya merendah untuk mengecup pipinya.

Wajahnya tampak merebus. Pipi yang dikecup itu lantas dipegangi. “Fre???” ujar Justin keliatan syok banget.

“Kenapa? Gue cuman menandai wilayah territorial gue kok,” jawab gue tanpa beban. Emang cuman Justin yang bisa bikin salting.

Namun beberapa detik setelahnya, gue menyesali perbuatan itu. Senyum aneh terbit di bibir Justin. GUE PANIK.

“Giliran gue ya?”

Demi Tuhan, gue langsung lari secepat yang gue bisa. MENDING JUSTIN DIEM AJA INI MAH!