Quinzaharu

“Gue nggak apa-apa kok, Kak. Ini udah jadi tugas gue dan gue nggak keberatan. Jadi kayaknya lo nggak perlu ngobrol sama mereka.”

Rissa panik melihat Jarvis mengemasi barangnya dengan kasar. Cowok itu mengatakan ingin bertemu dengan panitia lain yang membiarkan Risaa bekerja sendirian. Entah apa yang akan dikatakan cowok itu. Namun Rissa menebak ini bukanlah hal yang baik.

Jarvis melipat kedua tangannya di dada. “Lo sadar nggak sih? Lo lagi dimanfaatin sama mereka.”

Dahi cewek itu mengerut. “Dimanfaatin?”

“Dari awal lo disuruh nempel poster hasil seleksi aja udah keliatan, Ris. Apalagi habis itu lo disuruh mereka buat yakinin gue kan? Terus sekarang masalah kaya gini lagi-lagi cuman lo yang handle. Dan lo masih nggak ngerasa dimanfaatin?”

“Tapi ini emang tugas gue kan, Kak?”

“Tugas apa? Tugas jinakin Jarvis gitu?”

Tawa Risaa hampir menyembur kalau aja nggak ditahan. Ternyata cowok ini sadar kalau dirinya perlu dijinakkin.

“Mampir rumah gue dulu ya. Gue mau ambil hape,” ujar Jarvis sembari menggendong tasnya.

“Hah?! Rumah lo?!” pekik Rissa membuat Jarvis berjengit.

“Gue cuman mau ambil hp, bukan ngenalin lo ke orang tua. Ngapain kaget banget dah,” ujar Jarvis sambil berlalu meninggalkan Rissa. Cewek itu berusaha mati-matian menahan belah pipinya yang merebus malu.

Rissa lantas menyusul Jarvis yang sudah menaiki motor NMAX hitam miliknya. Cowok itu tampak gagah menaiki motor dengan body besar dan lebar, sesuai dengan postur tubuh Jarvis. Sepasang kaki Rissa berusaha maksimal menopang tubuhnya yang lemas lunglai melihat pemandangan menyegarkan itu.

“Lo ke sini naik apaan?” tanya Jarvis menyadari tak ada kendaraan lain di sana selain motornya.

“Jalan, Kak.”

“Jalan?! Lo dari sekolah ke sini jalan?”

“Habisnya gue panik jadi nggak sempet minta dianter.” Rissa mengerucutkan bibirnya gemas.

Terdengar helaan napas kasar dari Jarvis. “Ya udah naik.”

INI SERIUS GUE BONCENG KAK JARVIS?

Cowok itu memutar arah motornya terlebih dahulu. Risaa menanti saat yang tepat untuk naik. Jarvis sedikit menoleh memastikan Rissa sudah naik. Yang dilirik bergegas naik sebelum Jarvi mengomel.

“Gue cuman bawa helm satu. Nanti lo sembunyi aja di punggung gue.”

Tenggorokan Rissa mendadak kering. Wangi tubuh Jarvis menyeruak bercampur dengan keringat yang sama wanginya. Rambut bagian belakang Jarvis tampak basah. Bahu dan punggungnya membentang seluas samudra. Ada cetakan kaos yang dijadikan dalaman. Rissa menahan napas, takut menghirup aroma tubuh Jarvis yang memabukkan.

Motor melaju. Rissa hampir terjungkal karena kaget. Tangannya meraba-raba ke bagian belakang, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Nihil, Rissa hanya mengandalkan pahanya untuk berpegangan.

Semoga rumah kak Jarvis jauh. Gue nggak mau cepet-cepet turun dari motornya.


“Udah dichat?” tanya Jarvis pada Rissa yang lagi mondar-mandir gelisah sambil menatap ponselnya.

“Udah, Kak. Kayaknya lagi otw ke sini.”

Jarvis mengangguk. “Ya udah duduk sini. Tenang aja, gue nggak macem-macem sama mereka,” ujar Jarvis sambil menepuk bangku sebelahnya. Rissa menurut dan duduk di sana.

Derap langkah terdengar mendekat. Keduanya menoleh ke pintu dan menemukan Tama dan Arjuna. Mereka tampak habis berlari. Terlihat dari napasnya yang terengah.

“Jar?! Ngapain masih di sini? Buruan ke lapangan!” pinta Arjuna.

“Gampang. Lo berdua duduk di situ dulu,” jawab Jarvis seraya menunjuk deretan bangku yang tersusun di hadapannya. Mau tidak mau, dua cowok itu menurut. Jarvis tidak suka dan tidak akan bisa dibantah.

Tak lama kemudian, Prayoga yang menjabat sebagai ketua panitia menyusul bersama Nana. Melihat dua temannya sudah datang, Yoga tanpa banyak bicara langsung bergabung dengan mereka.

“Gimana, Jar?” tanya Yoga tenang.

“Di antara banyaknya anak acara dan panitia lain, yang kerja cuman Rissa doang apa?” ucap Jarvis langsung menembak ke poin pembicaraan.

Arjuna hendak menanggapi tapi langsung ditahan oleh Yoga. “Atas dasar apa lo bilang kaya gitu?”

“Lo pada numbalin Rissa buat handle gue kan?”

“Bukan numbalin, tapi emang itu tugas dia.”

Rissa meremas ujung kausnya. Tatapan mereka sangat tajam, menusuk ulu hatinya. Ia ingin Jarvis berhenti. Semua ini tidak perlu dipermasalahkan. Namun Rissa tak punya cukup nyali untuk menghentikan cowok itu.

“Ya masa dari awal Rissa doang yang maju? Lo pada ngapain?”

“Lo pikir kerjaan kita cuman ngurusin lo, Vis?” Arjuna yang sudah tidak tahan ikut nimbrung.

“Ya, nggak usah nyuruh anak baru bisa kan? Dia nggak tau apa-apa tapi udah disuruh ngadepin gue. Lo pada tau gue orangnya gimana. Nggak kasian apa nyerahin semuanya ke dia?”

Suasana menegang. Mulut mereka sama terkunci. Rissa tak berani mengangkat kepalanya.

“Dari awal pas gue nggak mau gabung basket, lo pada nyuruh dia buat bujukin gue. Sampe bilang keberhasilan proker bergantung sama berhasil nggaknya dia bujuk gue. Keliatan sederhana emang, tapi berat beban pikirnya, Bro. Dan lo pada ngelimpahin itu semua ke Rissa yang masih baru di OSIS.”

Jarvis mengubah posisi duduknya. Sedikit melirik Rissa yang tampak tertekan. Sadar akan suasana tidak mengenakkan antara Rissa dan anak-anak acara itu, ia mencoba meluruskan pandangan.

“Ini gue ngomong kaya gini nggak ada suruhan dari Rissa. Murni keinginan gue.”

Rissa sedikit mendongak melirik Jarvis.

“Sekarang pas gue nggak ada kabar, lagi-lagi cuman Rissa yang nyari gue. Lo pada tau? Dia jalan kaki dari sekolah sampe minimarket jalan raya sono. Sendirian. Tega lo pada bayanginnya?”

“Tadi gue emang udah bagi-bagi tugas ke yang lain, Vis. Rissa kebagian nyari lo. Gue kira dia bakal ikut nyari sama anak basket lain. Nggak tau bakal sendirian,” jelas Yoga.

“Ya pokoknya gini lah,” potong Jarvis sambil menumpu kedua sikunya di lutut. Tangannya menunjukkan gestur menjelaskan. “Gue tau Rissa adik kelas kita. Pasti ada sedikit rasa senioritas yang bikin kita seenaknya nyuruh dia. Tapi ya nggak gini lah.”

Rissa tampak mengusap pipinya. Ia tidak bisa menahan air mata yang mendesak keluar.

“Jujur aja, ini kalo gue nggak ketemu Rissa, gue nggak akan balik ke sekolah. Nggak bakal gue ikut pertandingan jadi kapten putra harapan. Gue tadi sengaja kabur, beneran. Tapi karena dia nyari, gue akhirnya balik. Karena apa? Gue ngehargain usaha dia buat bikin acara ini berhasil.”

Jarvis menghempaskan punggungnya ke sandaran. Kembali melirik Rissa yang menatapnya tak percaya. Pandangannya lantas beralih menatap satu persatu panitia di hadapannya yang termenung.

“Gue harap ini bisa jadi bahan evaluasi lo pada. Ya udah lah, sekarang balik aja ke acara. Kalo diterusin makin banyak yang gue omongin.”

Cowok itu beranjak lalu mengambil tas dan menyampirkan jaketnya ke bahu. “Ayo, Ris!” ajaknya menyuruh Rissa ikut keluar bersamanya.

Rissa berdiri dengan ragu-ragu. Ia mengangguk bermaksud berpamitan dengan kakak kelasnya. Lalu ia melangkah cepat menyusul Jarvis.

Semoga saja setelah ini tidak ada resiko yang harus ditanggung Rissa karena membiarkan Jarvis membelanya di hadapan para senior.

“Gue nggak apa-apa kok, Kak. Ini udah jadi tugas gue dan gue nggak keberatan. Jadi kayaknya lo nggak perlu ngobrol sama mereka.”

Rissa panik melihat Jarvis mengemasi barangnya dengan kasar. Cowok itu mengatakan ingin bertemu dengan panitia lain yang membiarkan Risaa bekerja sendirian. Entah apa yang akan dikatakan cowok itu. Namun Rissa menebak ini bukanlah hal yang baik.

Jarvis melipat kedua tangannya di dada. “Lo sadar nggak sih? Lo lagi dimanfaatin sama mereka.”

Dahi cewek itu mengerut. “Dimanfaatin?”

“Dari awal lo disuruh nempel poster hasil seleksi aja udah keliatan, Ris. Apalagi habis itu lo disuruh mereka buat yakinin gue kan? Terus sekarang masalah kaya gini lagi-lagi cuman lo yang handle. Dan lo masih nggak ngerasa dimanfaatin?”

“Tapi ini emang tugas gue kan, Kak?”

“Tugas apa? Tugas jinakin Jarvis gitu?”

Tawa Risaa hampir menyembur kalau aja nggak ditahan. Ternyata cowok ini sadar kalau dirinya perlu dijinakkin.

“Mampir rumah gue dulu ya. Gue mau ambil hape,” ujar Jarvis sembari menggendong tasnya.

“Hah?! Rumah lo?!” pekik Rissa membuat Jarvis berjengit.

“Gue cuman mau ambil hp, bukan ngenalin lo ke orang tua. Ngapain kaget banget dah,” ujar Jarvis sambil berlalu meninggalkan Rissa. Cewek itu berusaha mati-matian menahan belah pipinya yang merebus malu.

Rissa lantas menyusul Jarvis yang sudah menaiki motor NMAX hitam miliknya. Cowok itu tampak gagah menaiki motor dengan body besar dan lebar, sesuai dengan postur tubuh Jarvis. Sepasang kaki Rissa berusaha maksimal menopang tubuhnya yang lemas lunglai melihat pemandangan menyegarkan itu.

“Lo ke sini naik apaan?” tanya Jarvis menyadari tak ada kendaraan lain di sana selain motornya.

“Jalan, Kak.”

“Jalan?! Lo dari sekolah ke sini jalan?”

“Habisnya gue panik jadi nggak sempet minta dianter.” Rissa mengerucutkan bibirnya gemas.

Terdengar helaan napas kasar dari Jarvis. “Ya udah naik.”

INI SERIUS GUE BONCENG KAK JARVIS?

Cowok itu memutar arah motornya terlebih dahulu. Risaa menanti saat yang tepat untuk naik. Jarvis sedikit menoleh memastikan Rissa sudah naik. Yang dilirik bergegas naik sebelum Jarvi mengomel.

“Gue cuman bawa helm satu. Nanti lo sembunyi aja di punggung gue.”

Tenggorokan Rissa mendadak kering. Wangi tubuh Jarvis menyeruak bercampur dengan keringat yang sama wanginya. Rambut bagian belakang Jarvis tampak basah. Bahu dan punggungnya membentang seluas samudra. Ada cetakan kaos yang dijadikan dalaman. Rissa menahan napas, takut menghirup aroma tubuh Jarvis yang memabukkan.

Motor melaju. Rissa hampir terjungkal karena kaget. Tangannya meraba-raba ke bagian belakang, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Nihil, Rissa hanya mengandalkan pahanya untuk berpegangan.

Semoga rumah kak Jarvis jauh. Gue nggak mau cepet-cepet turun dari motornya.


“Udah dichat?” tanya Jarvis pada Rissa yang lagi mondar-mandir gelisah sambil menatap ponselnya.

“Udah, Kak. Kayaknya lagi otw ke sini.”

Jarvis mengangguk. “Ya udah duduk sini. Tenang aja, gue nggak macem-macem sama mereka,” ujar Jarvis sambil menepuk bangku sebelahnya. Rissa menurut dan duduk di sana.

Derap langkah terdengar mendekat. Keduanya menoleh ke pintu dan menemukan Tama dan Arjuna. Mereka tampak habis berlari. Terlihat dari napasnya yang terengah.

“Jar?! Ngapain masih di sini? Buruan ke lapangan!” pinta Arjuna.

“Gampang. Lo berdua duduk di situ dulu,” jawab Jarvis seraya menunjuk deretan bangku yang tersusun di hadapannya. Mau tidak mau, dua cowok itu menurut. Jarvis tidak suka dan tidak akan bisa dibantah.

Tak lama kemudian, Prayoga yang menjabat sebagai ketua panitia menyusul bersama Nana. Melihat dua temannya sudah datang, Yoga tanpa banyak bicara langsung bergabung dengan mereka.

“Gimana, Jar?” tanya Yoga tenang.

“Di antara banyaknya anak acara dan panitia lain, yang kerja cuman Rissa doang apa?” ucap Jarvis langsung menembak ke poin pembicaraan.

Arjuna hendak menanggapi tapi langsung ditahan oleh Yoga. “Atas dasar apa lo bilang kaya gitu?”

“Lo pada numbalin Rissa buat handle gue kan?”

“Bukan numbalin, tapi emang itu tugas dia.”

Rissa meremas ujung kausnya. Tatapan mereka sangat tajam, menusuk ulu hatinya. Ia ingin Jarvis berhenti. Semua ini tidak perlu dipermasalahkan. Namun Rissa tak punya cukup nyali untuk menghentikan cowok itu.

“Ya masa dari awal Rissa doang yang maju? Lo pada ngapain?”

“Lo pikir kerjaan kita cuman ngurusin lo, Vis?” Arjuna yang sudah tidak tahan ikut nimbrung.

“Ya, nggak usah nyuruh anak baru bisa kan? Dia nggak tau apa-apa tapi udah disuruh ngadepin gue. Lo pada tau gue orangnya gimana. Nggak kasian apa nyerahin semuanya ke dia?”

Suasana menegang. Mulut mereka sama terkunci. Rissa tak berani mengangkat kepalanya.

“Dari awal pas gue nggak mau gabung basket, lo pada nyuruh dia buat bujukin gue. Sampe bilang keberhasilan proker bergantung sama berhasil nggaknya dia bujuk gue. Keliatan sederhana emang, tapi berat beban pikirnya, Bro. Dan lo pada ngelimpahin itu semua ke Rissa yang masih baru di OSIS.”

Jarvis mengubah posisi duduknya. Sedikit melirik Rissa yang tampak tertekan. Sadar akan suasana tidak mengenakkan antara Rissa dan anak-anak acara itu, ia mencoba meluruskan pandangan.

“Ini gue ngomong kaya gini nggak ada suruhan dari Rissa. Murni keinginan gue.”

Rissa sedikit mendongak melirik Jarvis.

“Sekarang pas gue nggak ada kabar, lagi-lagi cuman Rissa yang nyari gue. Lo pada tau? Dia jalan kaki dari sekolah sampe minimarket jalan raya sono. Sendirian. Tega lo pada bayanginnya?”

“Tadi gue emang udah bagi-bagi tugas ke yang lain, Vis. Rissa kebagian nyari lo. Gue kira dia bakal ikut nyari sama anak basket lain. Nggak tau bakal sendirian,” jelas Yoga.

“Ya pokoknya gini lah,” potong Jarvis sambil menumpu kedua sikunya di lutut. Tangannya menunjukkan gestur menjelaskan. “Gue tau Rissa adik kelas kita. Pasti ada sedikit rasa senioritas yang bikin kita seenaknya nyuruh dia. Tapi ya nggak gini lah.”

Rissa tampak mengusap pipinya. Ia tidak bisa menahan air mata yang mendesak keluar.

“Jujur aja, ini kalo gue nggak ketemu Rissa, gue nggak akan balik ke sekolah. Nggak bakal gue ikut pertandingan jadi kapten putra harapan. Gue tadi sengaja kabur, beneran. Tapi karena dia nyari, gue akhirnya balik. Karena apa? Gue ngehargain usaha dia buat bikin acara ini berhasil.”

Jarvis menghempaskan punggungnya ke sandaran. Kembali melirik Rissa yang menatapnya tak percaya. Pandangannya lantas beralih menatap satu persatu panitia di hadapannya yang termenung.

“Gue harap ini bisa jadi bahan evaluasi lo pada. Ya udah lah, sekarang balik aja ke acara. Kalo diterusin makin banyak yang gue omongin.”

Cowok itu beranjak lalu mengambil tas dan menyampirkan jaketnya ke bahu. “Ayo, Ris!” ajaknya menyuruh Rissa ikut keluar bersamanya.

Rissa berdiri dengan ragu-ragu. Ia mengangguk bermaksud berpamitan dengan kakak kelasnya. Lalu ia melangkah cepat menyusul Jarvis.

Semoga saja setelah ini tidak ada resiko yang harus ditanggung Rissa karena membiarkan Jarvis membelanya di hadapan para senior.

Rissa sebenarnya nggak mau nyalahin Jarvis buat semua yang udah terjadi di lika-liku kehidupan kepanitiaan yang dia ikutin. Tapi mau ditahan gimanapun, tetep aja semua ini emang asalnya dari Jarvis. Kalau aja dari awal Jarvis mau jadi kapten, Rissa nggak akan kenal sedekat ini sama cowok itu. Nggak akan juga dimusuhin sama hampir semua panitia karena ulah Jarvis yang nggak ada habisnya.

Di puncak acara, Rissa nggak dikasih kepercayaan apapun buat ngurusin acara. Dia cuman luntang-lantung ke sana kemarin nggak ada tujuan. Setiap tanya sama panitia lain selalu dijawab kalau nggak ada yang perlu dikerjain cewek itu. Nggak, bukan ini yang Rissa mau. Dia pengen dapet kepercayaan banyak orang. Tapi ini? Dia kaya nggak dianggap banget.

Rissa cape. Bukan cape karena banyak kerjaan, tapi karena nggak ada kerjaan. Dan itu lebih banyak ngabisin energi. Apalagi dia nggak dapet apa-apa dari rasa cape itu.

Kalau Rissa nggak tahan setengah mati, pasti dia udah nangis dari tadi. Tapi Rissa nggak mau keliatan lemah di hadapan panitia lain. Dia mau dipercaya. Dia mau diandelin. Dia harus keliatan kuat buat dapet semua itu. Dia berusaha nutupin semuanya. Bertingkah seakan nggak ada hal yang terjadi. Rissa yakin, semua ini pasti akan segera berakhir.

Buat menuju akhir atau ending dalam sebuah cerita, harus ada klimaks atau puncak konflik yang selanjutnya turun pada penyelesaian masalah. Di titik itulah Rissa berada. Sekarang dia dan panitia lain sedang berkumpul di suatu ruangan untuk melaksanakan evaluasi. Perasaan dia udah nggak enak. Kayaknya dia bakal diserang.

Satu persatu divisi dievaluasi bersama. Mulai dari divisi yang nggak terlalu banyak mendapat masalah sampai divisi yang paling banyak bikin masalah. Divisi apalagi kalau bukan divisi acara. Divisi yang emang menduduki puncak piramida tertinggi dari divisi lain dan bisa dibilang yang mempengaruhi keberhasilan suatu acara.

“Gue denger anak acara sama Jarvis sempet ada crash sebelum tanding ya? Sampe pertandingan harus diundur beberapa menit,” ujar salah satu panitia di sana.

“Iya, ada masalah. Tapi nggak terlalu berarti,” jawab Arjuna selaku coordinator divisi acara.

“Masalah apa kalau boleh tau?” sahut panitia lain.

Saat pertanyaan itu terlontar, semua anak acara langsung ngelirik Rissa. Yang dilirik langsung gelagapan.

“Anu ….” Rissa hendak bicara tapi langsung diserobot sama Arjuna.

“Cuman salah paham dikit. Ya kalian udah tau lah si Jarvis gimana. Dari awal seleksi juga udah bikin masalah.”

“Terbuka dong masalahnya apa. Kan tujuan eval kaya gitu.” Semakin ditutupi, panitia lain malah jadi semakin penasaran.

Arjuna mendengus. “Pas hari H, Jarvis tiba-tiba ilang nggak ada kabar. Semua anak basket mencar nyariin dia. Makanya sempet amburadul. Trus pas Jarvis ketemu, ya udah balik ke pertandingan.”

“Seinget gue, semua anak acara sempet ngilang serentak. Katanya dipanggil sama Jarvis buat ngobrol. Kalian ngobrolin apa?”

Pertanyaan yang detail sekali. Rissa benar-benar takut sama suasana kaya gini.

“Jelasin, Ris! Pertanyaan ini baiknya lo aja yang jawab karena lo yang paling tau gimana kronologinya,” pinta Arjuna tiba-tiba membuat Rissa kaget bukan main.

Tangan Rissa mendadak gemetar dan dingin. Suhu tubuhnya meningkat, begitu pula degup jantungnya. Berpuluh pasang mata menatapnya. Rissa seperti akan dikuliti hidup-hidup.

“Cerita yang detail ya, Ris. Biar nggak ada salah paham,” ucap Prayoga tepat saat Rissa baru membuka mulut. Rissa mengangguk dengan menanggung tekanan yang lebih berat.

“Ijin menjelaskan, jadi kemarin pas kak Jarvis nggak ada, aku langsung inisiatif nyari karena ternyata aku PJ atlet basket putra harapan. Mohon maaf sebelumnya kak, dari awal emang nggak ada pembagian PJ jadi aku baru tau. Mungkin udah ada pembagiannya, tapi aku yang kurang memperhatikan. Sekali lagi maaf.”

Rissa tahu betul tidak ada pembagian PJ seperti itu. Dia nggak pernah ngelewatin satu pesan pun yang dikirim grup panitia. Tapi daripada dia makin kena masalah, mending ngaku salah duluan.

“Aku ketemu kak Jarvis di minimarket deket sekolah. Katanya ban motornya bocor jadi telat dating. Dia nggak bisa dihubungin karena hapenya ketinggalan. Akhirnya aku sama kak Jarvis nyari bengkel bareng trus ke rumah kak Jarvis buat ambil hp.

Di situ aku ditanyain sama kak Jarvis, kenapa sendirian? Aku jawab karena ini emang tugasku jadi aku yang harus nyari. Tapi mungkin cara aku menjelaskan yang salah jadi kak Jarvis ngiranya cuman aku yang kerja. Trus kak Jarvis minta ketemu sama panitia yang lain. Udah kak, gitu aja kalo dari aku. Makasih banyak atas perhatiannya.”

“Lo bilang cuman lo yang nyari, Ris? Panitia yang lain juga ikut nyari kan bukan lo doang? Anak basket juga ikut nyari,” timpal Arjuna.

“Iya, kak, maksud aku ….”

“Kemarin kan tugasnya udah dibagi-bagi, Ris. Jadi bukan cuman kamu aja yang harus nyari kok. Semuanya ikut nyari,” potong Prayoga.

“Maksud aku, kemarin pas ketemu kak Jarvis kan posisinya aku sendirian. Jadi kak Jarvis mikirnya cuman aku yang nyari.”

“Kenapa lo nggak bilang kalo panitia lain ikut nyari?”

“Udah, Kak.”

“Kalo udah, nggak mungkin Jarvis sampe manggil semua anak acara buat diroasting. Dia bilangnya kita cuman nyuruh lo aja. Nggak ikut kerja.” Arjuna semakin memojokkan Rissa.

Suasana semakin tegang. Tidak ada yang berani menyela.

“Kamu dikasih tugas kaya gitu aja ngeluh sampe ngadu ke Jarvis. Jangan mentang-mentang deket sama dia, kamu jadi cari aman sendiri,” ujar Nana yang terpancing emosi.

“Aku nggak ngadu, Kak. Aku bahkan nggak tau kak Jarvis bakal kaya gitu,” bela Rissa.

“Ada apa nih? Kok nama gue disebut?” ujar seseorang tiba-tiba dari ambang pintu, Jarvis.

Semua panitia terkejut dengan kedatangan Jarvis, terutama Rissa.

“Ini urusan panitia, Jar. Tolong kesopanannya lah. Lo nggak ada hak buat ikut campur.”

“Lah? Nama gue yang jadi bahan perdebatan masa gue nggak boleh ikut campur?”

Jarvis melangkah ke dalam ruangan. Ia mengambil sebuah kursi lalu duduk. “Ijin masuk forum, gue ngaku salah karena udah menghambat pertandingan tadi. Gue nggak bermaksud mencap anak acara yang kerja cuman Rissa. Tapi ya dipikir lah, ini anak nyariin gue sendirian. Nggak ada kendaraan. Kalau dia pingsan di jalan, sapa yang bakal repot? Lo semua juga kan?”

Seperti biasa, kalau Jarvis ngomong nggak akan ada yang berani menyela.

“Maksud gue, kalo lo pada nyuruh Rissa nyari gue, ya minimal ditemenin lah. Bawa kendaraan. Kalau kaya tadi, kesannya kalian ngelepas Rissa gitu aja. Wajar dong gue ngira lo pada nggak bertanggung jawab sama tugas dan cuman ngandelin Rissa?”

“Kan, udah gue jelasin tadi, Jar! Tugas anak acara itu banyak. Semua anak kebagian tugasnya masing-masing. Nggak mungkin semua anak acara cuman ngurusin lo doang kan?”

“Iya, tapi ….”

“Kak Jarvis.” Mendadak Rissa bersuara. Semua pandang langsung tertuju padanya. “Walaupun nama kakak terlibat dalam forum evaluasi ini, tapi gue pikir lo nggak ada hak buat ikut campur, Kak. Daripada suasana makin rumit, gue minta maaf banget, jangan ikut campur ya, Kak? Gue udah ngaku salah kok, dan emang gue salah. Jadi nggak perlu dibelain, Kak.”

Baru kali ini, Jarvis merasa harga dirinya merosot begitu tajam.

“Gue nggak apa-apa kok, Kak. Ini udah jadi tugas gue dan gue nggak keberatan. Jadi kayaknya lo nggak perlu ngobrol sama mereka.”

Rissa panik melihat Jarvis mengemasi barangnya dengan kasar. Cowok itu mengatakan ingin bertemu dengan panitia lain yang membiarkan Risaa bekerja sendirian. Entah apa yang akan dikatakan cowok itu. Namun Rissa menebak ini bukanlah hal yang baik.

Jarvis melipat kedua tangannya di dada. “Lo sadar nggak sih? Lo lagi dimanfaatin sama mereka.”

Dahi cewek itu mengerut. “Dimanfaatin?”

“Dari awal lo disuruh nempel poster hasil seleksi aja udah keliatan, Ris. Apalagi habis itu lo disuruh mereka buat yakinin gue kan? Terus sekarang masalah kaya gini lagi-lagi cuman lo yang handle. Dan lo masih nggak ngerasa dimanfaatin?”

“Tapi ini emang tugas gue kan, Kak?”

“Tugas apa? Tugas jinakin Jarvis gitu?”

Tawa Risaa hampir menyembur kalau aja nggak ditahan. Ternyata cowok ini sadar kalau dirinya perlu dijinakkin.

“Mampir rumah gue dulu ya. Gue mau ambil hape,” ujar Jarvis sembari menggendong tasnya.

“Hah?! Rumah lo?!” pekik Rissa membuat Jarvis berjengit.

“Gue cuman mau ambil hp, bukan ngenalin lo ke orang tua. Ngapain kaget banget dah,” ujar Jarvis sambil berlalu meninggalkan Rissa. Cewek itu berusaha mati-matian menahan belah pipinya yang merebus malu.

Rissa lantas menyusul Jarvis yang sudah menaiki motor NMAX hitam miliknya. Cowok itu tampak gagah menaiki motor dengan body besar dan lebar, sesuai dengan postur tubuh Jarvis. Sepasang kaki Rissa berusaha maksimal menopang tubuhnya yang lemas lunglai melihat pemandangan menyegarkan itu.

“Lo ke sini naik apaan?” tanya Jarvis menyadari tak ada kendaraan lain di sana selain motornya.

“Jalan, Kak.”

“Jalan?! Lo dari sekolah ke sini jalan?”

“Habisnya gue panik jadi nggak sempet minta dianter.” Rissa mengerucutkan bibirnya gemas.

Terdengar helaan napas kasar dari Jarvis. “Ya udah naik.”

INI SERIUS GUE BONCENG KAK JARVIS?

Cowok itu memutar arah motornya terlebih dahulu. Risaa menanti saat yang tepat untuk naik. Jarvis sedikit menoleh memastikan Rissa sudah naik. Yang dilirik bergegas naik sebelum Jarvi mengomel.

“Gue cuman bawa helm satu. Nanti lo sembunyi aja di punggung gue.”

Tenggorokan Rissa mendadak kering. Wangi tubuh Jarvis menyeruak bercampur dengan keringat yang sama wanginya. Rambut bagian belakang Jarvis tampak basah. Bahu dan punggungnya membentang seluas samudra. Ada cetakan kaos yang dijadikan dalaman. Rissa menahan napas, takut menghirup aroma tubuh Jarvis yang memabukkan.

Motor melaju. Rissa hampir terjungkal karena kaget. Tangannya meraba-raba ke bagian belakang, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Nihil, Rissa hanya mengandalkan pahanya untuk berpegangan.

Semoga rumah kak Jarvis jauh. Gue nggak mau cepet-cepet turun dari motornya.


“Udah dichat?” tanya Jarvis pada Rissa yang lagi mondar-mandir gelisah sambil menatap ponselnya.

“Udah, Kak. Kayaknya lagi otw ke sini.”

Jarvis mengangguk. “Ya udah duduk sini. Tenang aja, gue nggak macem-macem sama mereka,” ujar Jarvis sambil menepuk bangku sebelahnya. Rissa menurut dan duduk di sana.

Derap langkah terdengar mendekat. Keduanya menoleh ke pintu dan menemukan Tama dan Arjuna. Mereka tampak habis berlari. Terlihat dari napasnya yang terengah.

“Jar?! Ngapain masih di sini? Buruan ke lapangan!” pinta Arjuna.

“Gampang. Lo berdua duduk di situ dulu,” jawab Jarvis seraya menunjuk deretan bangku yang tersusun di hadapannya. Mau tidak mau, dua cowok itu menurut. Jarvis tidak suka dan tidak akan bisa dibantah.

Tak lama kemudian, Prayoga yang menjabat sebagai ketua panitia menyusul bersama Nana. Melihat dua temannya sudah datang, Yoga tanpa banyak bicara langsung bergabung dengan mereka.

“Gimana, Jar?” tanya Yoga tenang.

“Di antara banyaknya anak acara dan panitia lain, yang kerja cuman Rissa doang apa?” ucap Jarvis langsung menembak ke poin pembicaraan.

Arjuna hendak menanggapi tapi langsung ditahan oleh Yoga. “Atas dasar apa lo bilang kaya gitu?”

“Lo pada numbalin Rissa buat handle gue kan?”

“Bukan numbalin, tapi emang itu tugas dia.”

Rissa meremas ujung kausnya. Tatapan mereka sangat tajam, menusuk ulu hatinya. Ia ingin Jarvis berhenti. Semua ini tidak perlu dipermasalahkan. Namun Rissa tak punya cukup nyali untuk menghentikan cowok itu.

“Ya masa dari awal Rissa doang yang maju? Lo pada ngapain?”

“Lo pikir kerjaan kita cuman ngurusin lo, Vis?” Arjuna yang sudah tidak tahan ikut nimbrung.

“Ya, nggak usah nyuruh anak baru bisa kan? Dia nggak tau apa-apa tapi udah disuruh ngadepin gue. Lo pada tau gue orangnya gimana. Nggak kasian apa nyerahin semuanya ke dia?”

Suasana menegang. Mulut mereka sama terkunci. Rissa tak berani mengangkat kepalanya.

“Dari awal pas gue nggak mau gabung basket, lo pada nyuruh dia buat bujukin gue. Sampe bilang keberhasilan proker bergantung sama berhasil nggaknya dia bujuk gue. Keliatan sederhana emang, tapi berat beban pikirnya, Bro. Dan lo pada ngelimpahin itu semua ke Rissa yang masih baru di OSIS.”

Jarvis mengubah posisi duduknya. Sedikit melirik Rissa yang tampak tertekan. Sadar akan suasana tidak mengenakkan antara Rissa dan anak-anak acara itu, ia mencoba meluruskan pandangan.

“Ini gue ngomong kaya gini nggak ada suruhan dari Rissa. Murni keinginan gue.”

Rissa sedikit mendongak melirik Jarvis.

“Sekarang pas gue nggak ada kabar, lagi-lagi cuman Rissa yang nyari gue. Lo pada tau? Dia jalan kaki dari sekolah sampe minimarket jalan raya sono. Sendirian. Tega lo pada bayanginnya?”

“Tadi gue emang udah bagi-bagi tugas ke yang lain, Vis. Rissa kebagian nyari lo. Gue kira dia bakal ikut nyari sama anak basket lain. Nggak tau bakal sendirian,” jelas Yoga.

“Ya pokoknya gini lah,” potong Jarvis sambil menumpu kedua sikunya di lutut. Tangannya menunjukkan gestur menjelaskan. “Gue tau Rissa adik kelas kita. Pasti ada sedikit rasa senioritas yang bikin kita seenaknya nyuruh dia. Tapi ya nggak gini lah.”

Rissa tampak mengusap pipinya. Ia tidak bisa menahan air mata yang mendesak keluar.

“Jujur aja, ini kalo gue nggak ketemu Rissa, gue nggak akan balik ke sekolah. Nggak bakal gue ikut pertandingan jadi kapten putra harapan. Gue tadi sengaja kabur, beneran. Tapi karena dia nyari, gue akhirnya balik. Karena apa? Gue ngehargain usaha dia buat bikin acara ini berhasil.”

Jarvis menghempaskan punggungnya ke sandaran. Kembali melirik Rissa yang menatapnya tak percaya. Pandangannya lantas beralih menatap satu persatu panitia di hadapannya yang termenung.

“Gue harap ini bisa jadi bahan evaluasi lo pada. Ya udah lah, sekarang balik aja ke acara. Kalo diterusin makin banyak yang gue omongin.”

Cowok itu beranjak lalu mengambil tas dan menyampirkan jaketnya ke bahu. “Ayo, Ris!” ajaknya menyuruh Rissa ikut keluar bersamanya.

Rissa berdiri dengan ragu-ragu. Ia mengangguk bermaksud berpamitan dengan kakak kelasnya. Lalu ia melangkah cepat menyusul Jarvis.

Semoga saja setelah ini tidak ada resiko yang harus ditanggung Rissa karena membiarkan Jarvis membelanya di hadapan para senior.

Lagu In The Name of Love milik Martin Garrix dan Bebe Rexha menggema. Penjaga kasir itu punya selera yang bagus juga. Jarvis sesekali bersenandung. Dengan sebotol kopi kemasan dalam genggaman, ia duduk di pelataran minimarket sembari menatap lalu lalang kendaraan.

Tidak seharusnya dia di sini, Jarvis paham betul. Entahlah, mendadak dia malas mengikuti pertandingan setelah pak Angga menyapanya di parkiran. Pria itu menunggu piala kemenangan dari Jarvis, katanya. Seharusnya dia bersyukur Jarvis sudah mau turun ke lapangan. Tidak usah segala menuntut banyak hal.

Kepalanya mengangguk kecil selaras dengan musik yang didengar. Tidak peduli pertandingan itu akan kacau karenanya. Salahkan saja Angga yang sudah merusak mood Jarvis.

“KAK JARVIS!!!!”

Jarvis tersedak sampai kopinya menyembur membasahi celananya. Kepalanya mendongak dan mendapati seorang gadis tengah berlari tergesa ke arahnya. Suaranya lantang bukan main. Lelaki itu berdecak sambil mengelap celananya.

“Kakak ngapain di sini?” tanya gadis bernama Rissa itu. Dia berdiri di hadapan Jarvis dengan napas yang hampir habis. Rambutnya berantakan. Basah, entah karena keringat atau air mata.

“Duduk,” jawab Jarvis enteng. Dia bahkan masih sempat menenggak kopinya.

“Kakak nggak lupa kan hari ini ada pertandingan?”

“Nggak, bentar ya. Tadi ban motor gue bocor pas mau berangkat.”

Jarvis baru sadar gimana kacaunya Rissa sekarang. Mendadak ada rasa bersalah menjalar di hatinya. Tanpa ditanya pun, sudah jelas alasan di balik kacaunya gadis itu. Ah, kenapa dia sampai lupa ada Rissa di balik pertandingan itu?

Mendengar jawaban Jarvis, Rissa sontak meluruh ke lantai. Segala emosinya membludak. Air mata yang sedari ditahan merembes keluar. Rissa menyembunyikan wajah dalam dekapan tangannya dan meraung.

Rissa sangat takut. Proker yang selangkah lagi menuju keberhasilan akan gagal. Dia sudah mengorbankan segalanya untuk ini. Dia sudah bahagia mendapatkan banyak kepercayaan dari kakak kelasnya. Dia sudah bangga berhasil membujuk Jarvis untuk ikut pertandingan. Namun semuanya hampir saja pupus.

“Loh ris?!” Jarvis panik lantas turun dari kursinya. “Kenapa hei?” bujuknya sambil menepuk bahu Risaa pelan.

“Gue kira kak Jarvis nggak akan dateng. Gue takut banget nggak bisa ketemu lo, Kak. Gue udah cari kemana-mana. Udah telfon dan chat lo, tapi lo nggak bales. Gue takut banget lo nggak dateng kak,” jawab Rissa dengan suara bergetar.

“Gue udah mikir macem-macem. Gue kira lo mau mainin gue, mainin semua panitia. Tapi ternyata lo ada masalah. Maafin gue udah nethink sama lo, Kak.”

Dada Jarvis bergemuruh. Alasannya tadi bahkan hanya alibi, tidak benar-benar terjadi. Apa yang dipikirkan Rissa, apa yang dia bayangkan adalah alasan sebenarnya. Jarvis memang sengaja tidak datang ke pertandingan. Ban motornya baik-baik saja. Namun Rissa malah meminta maaf atas kebohongan Jarvis.

Jarvis merogoh sakunya. “Hape gue ketinggalan di rumah, Ris. Maaf.” Kali ini Jarvis tidak berbohong. Pantas saja ia merasa ada yang tertinggal.

Gadis itu masih saja menangis. Jarvis merasakan sebuah gejolak perasaan yang luar biasa. Dia benar-benar egois.

Ada sebuah kantung plastik yang digenggam Rissa. Jarvis mengintip isinya. Jantungnya mengentak keras. Itu pocari sweat.

“Duduk di atas, Ris. Jangan kaya gini. Nanti seragam lo kotor.”

Rissa sedikit mendongak untuk menghapus air matanya. “Maaf jadi ngerepotin lo, Kak. Gue malah nangis gini.”

Tolong jangan semakin membuat Jarvis merasa bersalah, Ris.

Jarvis membantu Rissa untuk duduk. Dia bingung. Tidak ada tisu, tidak ada air minum. Apa yang harus dia berikan pada gadis itu?

“Ini minuman buat kita, kan?” tanya Jarvis sambil menunjuk kantung plastik milik Rissa.

Rissa mengangguk. “Pesenan lo, Kak.”

Jarvis segera mengambil salah satu botol lalu membukanya. Ia lantas mengulurkannya pada Rissa. “Diminum dulu.”

Sejenak Rissa menatap botol yang telah dibuka Jarvis. Pandangannya naik menatap Jarvis. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar menerima botol dari Jarvis.

“Lo minum juga, Kak,” pinta Rissa. Ia bersorak dalam hati kala Jarvis mengangguk.

Rissa menatap Jarvis yang tengah minum. Pandangannya beralih pada botol dalam genggaman. Gue sama Kak Jarvis minum pocari sweat bareng.

“Btw, kenapa cuman lo yang nyari gue?”

“Temen-temen lo juga nyariin dari tadi, Kak.”

“Bukan, maksud gue nggak ada panitia lain yang nemenin lo?”

Rissa menggeleng ragu.

Tatapan Jarvis meredup.

“Gue mau ketemu mereka sebelum tanding.”

“Oh, jadi itu yang namanya kak Jarvis,” gumam Dara.

Sepulang sekolah, Rissa dan Dara nggak mungkin langsung balik kalau gedung olahraga lagi penuh sama atlet yang latihan buat PORSENI. Biasanya nggak terlalu banyak siswa yang dateng ke sini. Tapi nggak tau kenapa hari ini tribun gedung olahraga PENUH BANGET sama siswa yang kebanyakan cewek. Untung aja Rissa sama Dara masih kebagian tempat.

Ya, gimana nggak penuh? Di sana ada atlet kebanggan putra harapan yang baru aja balik setelah sekian lama vakum. Banyak orang yang nunggu moment ini. Nggak akan ada orang yang rela pulang awal, melewatkan atlet yang lagi latihan itu.

“Kak Jarvis seterkenal itu ya, Dar?”

Sorakan penonton menggelegar ke segala penjuru gedung. Telinga Rissa sampai dibuat pengang. Hanya satu nama yang mereka sorakkan.

“JARVIS! JARVIS! JARVIS! JARVIS!”

Bulu kuduk Rissa merinding. Demi, suasana kali ini bahkan melebihi ramainya pertandingan tanpa Jarvis. Padahal ini baru latihan doang. Gimana nanti pas PORSENI? Rissa nggak bisa bayangin seramai apa suasana hari itu.

“Iya, Ris! Semuanya neriakin kak Jarvis. Pastinya dia seterkenal itu.”

Bola mata Rissa bergulir ke sana kemari mengikuti gerak-gerik Jarvis yang menggiring bola. Dari postur tubuhnya, Jarvis emang udah ideal banget. Badannya tinggi, bahunya lebar, kakinya kekar, ditambah wajahnya yang tegas dan manis. Siapa coba yang nggak kepincut?

“Lo liat noh di bangkunya kak Jarvis. Penuh sama minuman dari cewek-cewek yang dateng hari ini,” ujar Dara sambil menunjuk bangku Jarvis yang persis di bawah mereka.

Beberapa botol minuman terlihat berjejer di sana. Dari air mineral, teh, kopi, bahkan minuman bersoda. Masing-masing botol itu ditempel kertas notes berisi kalimat penyemangat untuk Jarvis.

“Tapi kok nggak ada pocari sweat?”

Rissa jadi teringat permintaan Jarvis yang nyuruh dia bawa pocari sweat. Mungkin nanti pas pertandingan, botol pocari sweat dia bakal jadi salah satu dari deretan botol di sana. Entah mengapa, Rissa jadi merasa ciut.

“Yang kak Jarvis minta dari lo?”

Rissa mengangguk.

“Iya juga ya. Apa kak Jarvis sukanya pocari sweat?”

Perhatian mereka kembali tertuju pada lapangan. Sesekali Dara bersorak ketika bola berhasil masuk ke ring, terutama kalau kak Wira yang masukin. Sedangkan Rissa cuman bisa termenung dengan tatapan terkunci pada Jarvis.

Sebenernya kalau Jarvis nggak ikut basket, dia nggak semenonjol itu. Buktinya Rissa dan Dara aja baru kenal dia beberapa hari yang lalu. Selain soal basket, Jarvis nggak terlalu mencolok. Dia nggak banyak tingkah. Paling sebatas bikin rame kantin aja sama gengnya. Apalagi Jarvis orangnya emang agak tertutup.

Tapi meskipun dia nggak mencolok, dia punya aura yang bikin orang selalu natap dia lebih dari tiga detik, kaya Rissa sekarang. Dara sampe harus nepuk Rissa berkali-kali karena ternyata Jarvis mergokin cewek itu ngeliatin dia terus.

“Heh! Ngalamun lo? Noh, kak Jarvis ngelirik ke lo terus dari tadi.”

“H-hah?”

Pandangan Rissa jelalatan mencari Jarvis. Dan benar, cowok itu lagi liatin dia pake ekspresinya yang emang selalu datar. SEREM BANGET!

“Kayaknya dia tau diliatin sama lo terus dari tadi,” ledek Dara sambil mendorong bahu Rissa.

“Malu banget anjrit!”

Dara tertawa melihat muka Rissa yang udah kaya kepiting rebus. Biar nggak keliatan liatin kak Jarvis banget, Rissa ngeluarin hape. Tapi sama aja karena yang dia buka malah kamera buat ngeliatin kak Jarvis dari sana. Sumpah ini cowok sia-sia banget kalo nggak diliatin, bahkan sekedar buat kedip aja rasanya nyesel.

“Foto terus!” protes Dara.

“Ganteng, Dar,” jawab Rissa polos.

“Gapapa, lanjutkan! Gue juga udah motoin kak Wira terus dari tadi.”

Mereka berdua terkekeh.

“Tapi yang di sana jangan lupa diperhatiin juga, Ris!” ujar Dara sambil menunjuk seseorang. Pandangan Rissa mengikuti arah tunjuk Dara yang berakhir ke Sagara. “Mukanya udah bete banget nyadar nggak diliatin sama lo dari tadi.”

Pandangan mereka bertemu. Sagara lantas tersenyum. Rissa ikut tersenyum sambil mengepalkan tangan memberi semangat. Senyum Sagara makin lebar.

Nggak tau kenapa, bola mata Rissa langsung bergulir ke Jarvis. Dia pengen kasih semangat juga buat Jarvis. Tapi keliatan sok akrab banget nggak sih? Apalagi Jarvis juga nggak lagi ngeliat ke arah sini. Kayaknya dia risi abis Rissa liatin tadi.

Rissa pengen jadi seseorang yang bisa nyemangatin Jarvis tanpa ragu. Pengen jadi seseorang yang ngasih minuman ke dia tiap hari. Pengen jadi seseorang yang selalu dilihat Jarvis. Pengen jadi alasan Jarvis tersenyum. Apa Rissa bisa jadi seseorang itu buat Jarvis?

Risaa cuman satu di antara banyaknya cewek yang mau sama Jarvis. Ngeliat deretan botol minuman pemberian mereka aja, Rissa udah insecure. Pasti di luar sana, banyak cewek yang lebih baik dari Rissa. Apalagi pertemuan Rissa sama Jarvis udah jelek banget. Pasti kesan Rissa di mata Jarvis sama jeleknya.

Tapi gimana pun, Rissa seneng bisa kenal, bisa chatting, bisa ngobrol sama Jarvis. Dia ngasih warna baru ke kehidupan cewek itu. Rissa jadi punya alasan baru buat rajin berangkat sekolah, alasan buat dandan cantik meskipun mungkin Jarvis nggak akan tertarik. Dan pastinya, Rissa bakal lebih rajin mangkal di tribun untuk Jarvis!

Insecure, sebuah kata yang udah nggak asing lagi buat kita. Siapa sih yang nggak pernah insecure? Idol seganteng Park Jeongwoo aja kadang masih insecure sama visualnya. PADAHAL DIA UDAH SEGANTENG ITU LOH! Kok bisa ya?

Kata insecure di sini aku artikan sebagai suatu perasaan yang bikin kita nggak percaya diri dengan diri sendiri. Sebuah perasaan yang membuat kita merasa kurang atas apa yang kita punya. Jadi mau sebanyak apapun validasi yang kita dapet dari orang kalau kita sendiri anggap itu masih kurang, tetep aja masih insecure.

Kunci buat terbebas dari perasaan insecure ya kita harus merasa puas, merasa cukup, merasa percaya diri dengan apa yang udah kita punya. Susah, susah banget. Tapi susah bukan berarti nggak bisa kan? Terima semua yang kita punya, nggak usah mengharap lebih apalagi ngarepin punya orang lain. Semua orang udah punya porsinya masing-masing.

No one will think less of you. Nggak akan ada orang yang berpikir tentang kekuranganmu. Nggak ada seseorang yang akan memandang kamu rendah. Tanamkan kalimat itu dalam pikiran kamu. Karena sejatinya, semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Adil bukan? Jadi buat apa kamu merasa tidak percaya diri kalo yang kurang bukan kamu aja?

Carissa Aurora, salah satu cewek yang sering banget ngerasain insecure. Kadang dia ngerasa nggak sehebat orang lain, nggak secantik cewek lain, nggak punya kemampuan apapun yang bisa dibanggain. Padahal dianya aja yang belum kenal sama dirinya sendiri.

Menginjak SMA, Rissa pengen jadi seseorang yang “dianggap”. Seseorang yang bisa diandalkan, seseorang yang bisa melakukan semuanya dengan baik, dan seseorang yang nggak akan dipandang rendah. Rissa ingin diakui, Rissa butuh validasi. Tapi di sisi lain, dia nggak punya apa-apa buat wujudin itu.

Rissa rela melakukan apapun yang disuruh seniornya biar dianggap bisa diandalkan. Dia mati-matian ngelakuin segala cara untuk mencapai keinginannya. Dia nggak akan biarin sekecil masalah menghambat tujuannya. Semuanya bisa aja dia dapetin kalau aja senior galak itu nggak merusak rencananya.

Porseni jadi program kerja pertama Rissa di OSIS. Tapi dia udah dihadapin masalah salah satu atlet yang nggak mau terpilih jadi kapten. Ini masalah besar buat Rissa. Kalau sampai atlet itu nggak dateng, proker pertamanya bakal gagal!

Jarvis Arkatama namanya. Dulu, dia salah satu atlet kebanggan SMA Putra Harapan. Namun karena suatu kejadian, Jarvis jadi membenci segala hal berbau basket, terutama klub basket sekolahnya. Dia udah bersumpah nggak akan turun ke lapangan membawa nama Putra Harapan. Buat apa dia membanggakan sesuatu yang udah membuat tangan kanannya patah?

Bak nggak punya muka, tiba-tiba Putra Harapan kembali memanggilnya menjadi kapten. Jarvis tentu marah besar. Dia nggak sudi balik ke mereka. Dia sampe melakukan segala cara biar namanya terhapus dari daftar atlet basket yang ikut porseni tahun ini, termasuk mengancam seseorang yang sebenernya nggak bersalah, Rissa.

Masalah itu bikin keduanya saling mengejar. Rissa ngejar Jarvis biar mau ikut porseni. Sedangkan Jarvis ngejar Rissa biar namanya dihapus dari daftar pemain basket. RIBET YA BUND! Tapi karena itu, mereka jadi akrab. Ya walaupun sering adu bacot.

Awalnya Rissa mikir Jarvis cuman kakak kelas galak yang bisanya ngomel doang. Seiring berjalannya waktu, Rissa ngerasa banyak hal yang bisa dia pelajari dari Jarvis. Lelaki itu ngajarin dia buat selalu percaya diri, walaupun di sisi lain Jarvis sendiri yang kadang bikin Rissa nggak percaya diri. Siapa yang nggak insecure bersanding sama atlet hebat penuh prestasi kaya Jarvis? Rissa mah cuman butiran debu buat Jarvis.

Jarvis paling nggak suka kalo Rissa mikir gitu. Apa gunanya sih nganggep rendah diri sendiri? Semua orang pasti punya kelebihan dalam porsi mereka masing-masing. Dia paling benci kalo ada hal yang bikin Rissa nggak pede atau dia ngeluhin sesuatu yang dianggap nggak worth it buat dia. Harga diri adalah segalanya buat Jarvis. Nggak ada satu orang pun yang boleh merendahkan diri di hadapannya.

Gimana ya jadinya kalau si cowok dengan tingkat percaya diri selangit bersanding sama cewek yang dikit-dikit insecure? Nggak tau bakal cocok apa enggak. Jalanin aja dulu.

Insecure, sebuah kata yang udah nggak asing lagi buat kita. Siapa sih yang nggak pernah insecure? Idol seganteng Park Jeongwoo aja kadang masih insecure sama visualnya. PADAHAL DIA UDAH SEGANTENG ITU LOH! Kok bisa ya?

Kata insecure di sini aku artikan sebagai suatu perasaan yang bikin kita nggak percaya diri dengan apa yang kita punya. Sebuah perasaan yang membuat kita merasa kurang atas apa yang kita punya. Jadi mau sebanyak apapun validasi yang kita dapet dari orang kalau kita sendiri anggap itu masih kurang, tetep aja masih insecure.

Kunci buat terbebas dari perasaan insecure ya kita harus merasa puas, merasa cukup, merasa percaya diri dengan apa yang udah kita punya. Susah, susah banget. Tapi susah bukan berarti nggak bisa kan? Terima semua yang kita punya, nggak usah mengharap lebih apalagi ngarepin punya orang lain. Semua orang udah punya porsinya masing-masing.

No one will think less of you. Nggak akan ada orang yang berpikir tentang kekuranganmu. Nggak ada seseorang yang akan memandang kamu rendah. Tanamkan kalimat itu dalam pikiran kamu. Karena sejatinya, semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Adil bukan? Jadi buat apa kamu merasa tidak percaya diri kalo yang kurang bukan kamu aja?

Carissa Aurora, salah satu cewek yang sering banget ngerasain insecure. Kadang dia ngerasa nggak sehebat orang lain, nggak secantik cewek lain, nggak punya kemampuan apapun yang bisa dibanggain. Padahal dianya aja yang belum kenal sama dirinya sendiri.

Menginjak SMA, Rissa pengen jadi seseorang yang “dianggap”. Seseorang yang bisa diandalkan, seseorang yang bisa melakukan semuanya dengan baik, dan seseorang yang nggak akan dipandang rendah. Rissa ingin diakui, Rissa butuh validasi. Tapi di sisi lain, dia nggak punya apa-apa buat wujudin itu.

Rissa rela melakukan apapun yang disuruh seniornya biar dianggap bisa diandalkan. Dia mati-matian ngelakuin segala cara untuk mencapai keinginannya. Dia nggak akan biarin sekecil masalah menghambat tujuannya. Semuanya bisa aja dia dapetin kalau aja senior galak itu nggak merusak rencananya.

Porseni jadi program kerja pertama Rissa di OSIS. Tapi dia udah dihadapin masalah salah satu atlet yang nggak mau terpilih jadi kapten. Ini masalah besar buat Rissa. Kalau sampai atlet itu nggak dateng, proker pertamanya bakal gagal!

Jarvis Arkatama namanya. Dulu, dia salah satu atlet kebanggan SMA Putra Harapan. Namun karena suatu kejadian, Jarvis jadi membenci segala hal berbau basket, terutama klub basket sekolahnya. Dia udah bersumpah nggak akan turun ke lapangan membawa nama Putra Harapan. Buat apa dia membanggakan sesuatu yang udah membuat tangan kanannya patah?

Bak nggak punya muka, tiba-tiba Putra Harapan kembali memanggilnya menjadi kapten. Jarvis tentu marah besar. Dia nggak sudi balik ke mereka. Dia sampe melakukan segala cara biar namanya terhapus dari daftar atlet basket yang ikut porseni tahun ini, termasuk mengancam seseorang yang sebenernya nggak bersalah, Rissa.

Masalah itu bikin keduanya saling mengejar. Rissa ngejar Jarvis biar mau ikut porseni. Sedangkan Jarvis ngejar Rissa biar namanya dihapus dari daftar pemain basket. RIBET YA BUND! Tapi karena itu, mereka jadi akrab. Ya walaupun sering adu bacot.

Awalnya Rissa mikir Jarvis cuman kakak kelas galak yang bisanya ngomel doang. Seiring berjalannya waktu, Rissa ngerasa banyak hal yang bisa dia pelajari dari Jarvis. Lelaki itu ngajarin dia buat selalu percaya diri, walaupun di sisi lain Jarvis sendiri yang kadang bikin Rissa nggak percaya diri. Siapa yang nggak insecure bersanding sama atlet hebat penuh prestasi kaya Jarvis? Rissa mah cuman butiran debu buat Jarvis.

Jarvis paling nggak suka kalo Rissa mikir gitu. Apa gunanya sih nganggep rendah diri sendiri? Semua orang pasti punya kelebihan dalam porsi mereka masing-masing. Dia paling benci kalo ada hal yang bikin Rissa nggak pede atau dia ngeluhin sesuatu yang dianggap nggak worth it buat dia. Harga diri adalah segalanya buat Jarvis. Nggak ada satu orang pun yang boleh merendahkan diri di hadapannya.

Gimana ya jadinya kalau si cowok dengan tingkat percaya diri selangit bersanding sama cewek yang dikit-dikit insecure? Nggak tau bakal cocok apa enggak. Jalanin aja dulu.

Insecure, sebuah kata yang udah nggak asing lagi buat kita. Siapa sih yang nggak pernah insecure? Idol seganteng Park Jeongwoo aja kadang masih insecure sama visualnya. PADAHAL DIA UDAH SEGANTENG ITU LOH! Kok bisa ya?

Kata insecure di sini aku artikan sebagai suatu perasaan yang bikin kita nggak percaya diri dengan apa yang kita. Sebuah perasaan yang membuat kita merasa kurang atas apa yang kita punya. Jadi mau sebanyak apapun validasi yang kita dapet dari orang kalau kita sendiri anggap itu masih kurang, tetep aja masih insecure.

Kunci buat terbebas dari perasaan insecure ya kita harus merasa puas, merasa cukup, merasa percaya diri dengan apa yang udah kita punya. Susah, susah banget. Tapi susah bukan berarti nggak bisa kan? Terima semua yang kita punya, nggak usah mengharap lebih apalagi ngarepin punya orang lain. Semua orang udah punya porsinya masing-masing.

No one will think less of you. Nggak akan ada orang yang berpikir tentang kekuranganmu. Nggak ada seseorang yang akan memandang kamu rendah. Tanamkan kalimat itu dalam pikiran kamu. Karena sejatinya, semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Adil bukan? Jadi buat apa kamu merasa tidak percaya diri kalo yang kurang bukan kamu aja?

Carissa Aurora, salah satu cewek yang sering banget ngerasain insecure. Kadang dia ngerasa nggak sehebat orang lain, nggak secantik cewek lain, nggak punya kemampuan apapun yang bisa dibanggain. Padahal dianya aja yang belum kenal sama dirinya sendiri.

Menginjak SMA, Rissa pengen jadi seseorang yang “dianggap”. Seseorang yang bisa diandalkan, seseorang yang bisa melakukan semuanya dengan baik, dan seseorang yang nggak akan dipandang rendah. Rissa ingin diakui, Rissa butuh validasi. Tapi di sisi lain, dia nggak punya apa-apa buat wujudin itu.

Rissa rela melakukan apapun yang disuruh seniornya biar dianggap bisa diandalkan. Dia mati-matian ngelakuin segala cara untuk mencapai keinginannya. Dia nggak akan biarin sekecil masalah menghambat tujuannya. Semuanya bisa aja dia dapetin kalau aja senior galak itu nggak merusak rencananya.

Porseni jadi program kerja pertama Rissa di OSIS. Tapi dia udah dihadapin masalah salah satu atlet yang nggak mau terpilih jadi kapten. Ini masalah besar buat Rissa. Kalau sampai atlet itu nggak dateng, proker pertamanya bakal gagal!

Jarvis Arkatama namanya. Dulu, dia salah satu atlet kebanggan SMA Putra Harapan. Namun karena suatu kejadian, Jarvis jadi membenci segala hal berbau basket, terutama klub basket sekolahnya. Dia udah bersumpah nggak akan turun ke lapangan membawa nama Putra Harapan. Buat apa dia membanggakan sesuatu yang udah membuat tangan kanannya patah?

Bak nggak punya muka, tiba-tiba Putra Harapan kembali memanggilnya menjadi kapten. Jarvis tentu marah besar. Dia nggak sudi balik ke mereka. Dia sampe melakukan segala cara biar namanya terhapus dari daftar atlet basket yang ikut porseni tahun ini, termasuk mengancam seseorang yang sebenernya nggak bersalah, Rissa.

Masalah itu bikin keduanya saling mengejar. Rissa ngejar Jarvis biar mau ikut porseni. Sedangkan Jarvis ngejar Rissa biar namanya dihapus dari daftar pemain basket. RIBET YA BUND! Tapi karena itu, mereka jadi akrab. Ya walaupun sering adu bacot.

Awalnya Rissa mikir Jarvis cuman kakak kelas galak yang bisanya ngomel doang. Seiring berjalannya waktu, Rissa ngerasa banyak hal yang bisa dia pelajari dari Jarvis. Lelaki itu ngajarin dia buat selalu percaya diri, walaupun di sisi lain Jarvis sendiri yang kadang bikin Rissa nggak percaya diri. Siapa yang nggak insecure bersanding sama atlet hebat penuh prestasi kaya Jarvis? Rissa mah cuman butiran debu buat Jarvis.

Jarvis paling nggak suka kalo Rissa mikir gitu. Apa gunanya sih nganggep rendah diri sendiri? Semua orang pasti punya kelebihan dalam porsi mereka masing-masing. Dia paling benci kalo ada hal yang bikin Rissa nggak pede atau dia ngeluhin sesuatu yang dianggap nggak worth it buat dia. Harga diri adalah segalanya buat Jarvis. Nggak ada satu orang pun yang boleh merendahkan diri di hadapannya.

Gimana ya jadinya kalau si cowok dengan tingkat percaya diri selangit bersanding sama cewek yang dikit-dikit insecure? Nggak tau bakal cocok apa enggak. Jalanin aja dulu.

image

Kalau inget jaman awal-awal deket sama Stella, Kevin suka bangga sama dirinya sendiri. Dia bangga karena nggak pernah nyerah buat dapetin Stella. Dia bangga selalu optimis bisa deket sama Stella. Karena cewek ini emang layak buat diperjuangin.

Kevin tahu, Stella bukan cewek baik dalam artian kalem, pinter, lembut, atau disukai banyak orang. Dia sama Stella nggak beda jauh sebenernya, dalam konteks anak badung di sekolah. Kevin suka bikin onar sama gengnya. Stella doyan ngelabrak dan dilabrak. Kalau disatuin, mereka patut dapet predikat couple troublemaker.

Beberapa bulan deket sama Stella, ada banyak sifat nggak terduga dari cewek itu yang baru Kevin tahu. Stella yang biasa adu bacot atau jambak-jambakan sama kakak kelas ternyata bisa nangis cuman karena ngeliat anak kucing yang besarnya sama kaya genggaman tangannya jalan sendirian di trotoar.

Katanya, “Gue nggak bisa bayangin kucing sekecil ini tinggal sendirian, nyari makan sendiri, tidur sendiri, tengak-tengok nyari ibunya. Kalau dia pengen minum susu ibunya gimana? Kalau dia jatuh trus nggak bisa bangun gimana?” dan berakhir nangis kejer yang bikin Kevin gemes sekaligus kasihan sama cewek yang bentar lagi bakal jadi pacarnya itu.

Ada satu sifat Stella yang paling Kevin suka. Saat cewek itu cerita tentang apapun yang dia suka. Hewan peliharaannya, review make up yang pernah dia coba, atau tempat-tempat yang dia pengen kunjungi. The way cewek itu cerita unik menurut Kevin. Ngomongnya kayak ngerap, selalu pake kata “gitu” di akhir kalimat, dan kadang pake nabok kalau ceritanya bikin greget.

“Tau nggak sih? Semalem gue scroll tik tok gitu. Ada vt lewat lagi nge-review make up yang emang viral sekarang. Jadi ceritanya make up tuh bentuknya kaya cushion gitu, tapi gue nggak tau sih itu cushion apa bedak apa foundation. Bentuknya kaya bedak padet, tapi creamy gitu. Kayaknya sih cushion deh, tapi bentukan cushion juga nggak kaya gitu. Gue jadi bingung.”

Kevin menyangga kepalanya sembari memperhatikan Stella yang sibuk mengoceh seperti biasanya. Dia nggak tau apa yang diomongin Stella tapi nggak tau kenapa seru aja didengerin. Bibirnya mengulas senyum tipis yang kadang memunculkan gigi taringnya kalau ada hal lucu yang diceritain Stella.

Setiap gadis itu cerita, dia nggak pernah natap Kevin. Cuman sesekali nengok buat mastiin Kevin masih dengerin. Bukan karena salting, tapi emang Stella nggak biasa ngobrol sambil natap mata. Aneh aja rasanya.

Angin sejuk sesekali menerbangkan rambut Stella yang tergerai bebas. Mereka sekarang lagi di pinggir pantai menunggu matahari terbenam. Langit telah berubah menjadi senja. Waktu yang pas untuk nongkrong sambil ngobrol ringan.

“Nah, lo tau nggak sih Kev? Cushion—gue sebut cushion aja deh ya— itu bener-bener coverage gitu! Masa sekali oles aja bekas jerawatnya langsung ilang? Kek— bagus banget sumpah! Mana harganya nggak terlalu mahal. Nggak nyampe 100k! Gue kan jadi pengen beli!”

“Trus udah beli?”

“Belum, soalnya gue belum pernah beli di tiktok. Takut salah nanti duit gue melayang lagi.”

“Coba kirim link-nya. Nanti gue yang check out.”

“Emang lo udah pernah beli di tiktok???”

“Belum. Tapi kalau duit gue ilang nggak apa-apa kok. Nggak nyampe 100k juga kan?”

Stella menggigit bibir dalamnya. Salah satu hal yang bikin dia nyaman sama Kevin ya ini. Cowok terpeka dan ter—act of service yang pernah dia temui. Awalnya Stella ngira Kevin cuman punya omong kosong atau gombalan cringe yang dia pake buat luluhin hatinya. Tapi seiring berjalannya waktu, Stella semakin percaya kalau Kevin emang cowok idaman yang dia cari selama ini.

“Lo penasaran nggak alasan gue nggak suka dideketin lo?”

“Karena gue aneh?”

Stella terbahak. “Iya itu salah satunya, tapi bukan itu yang gue maksud.”

“Trus apa?”

“Karena gue takut sama cowok.”

Senyum yang tergurat di bibir Kevin perlahan mengendur. Tatapannya berubah serius. Apalagi saat Stella menunduk dan memaksakan sebuah senyuman.

“Gue takut jatuh cinta. Gue takut menaruh perasaan sama seseorang. Gue takut ditinggalin lagi.”

Lagi?

“Gue boleh tau alasannya?” tanya Kevin hati-hati.

Pandangan Stella berubah menerawang. Menatap matahari yang sudah setengah tenggelam dengan pikiran yang menyelami masa lalu.

“Orang-orang bilang cinta pertama seorang anak perempuan itu ayahnya. Gue mengakui benar pernyataan itu. Tapi gue nggak nyangka, cinta pertama itu juga yang bikin gue takut jatuh cinta.”

Suara Stella terdengar memberat. Kevin tak mengalihkan sedikitpun pandangan dari Stella.

“Papi meninggal. Saat itu rasanya sakit banget. Ditinggalin sama seseorang yang jadi cinta pertama lo mustahil nggak sakit kan? Saat itu, gue jadi nggak mau cinta sama siapapun, gue nggak mau menaruh perasaan sama siapapun. Gue belum siap buat ngerasain rasanya ditinggalin buat kedua kalinya. Gue belum siap, dan nggak akan siap buat itu.”

Entah mengapa pembicaraan berubah lebih serius dari sebelumnya. Tak ada senyum dari Kevin. Mata Stella sudah memerah. Hening beberapa saat, menunggu respons dari Kevin.

Kevin bisa sedikit membayangkan perasaan Stella saat ditinggalkan sang ayah. Ia pun pernah merasakannya, walau sedikit berbeda. Hanya ditinggalkan seseorang, rasanya seperti ditinggalkan satu dunia. Dunia jadi hampa. Tidak ada pegangan untuk bergantung.

Wajar Stella memiliki perasaan seperti itu. Siapa manusia di dunia ini yang mau ditinggalkan? Dan Kevin siap buat jadi seseorang yang nggak akan ninggalin Stella sampai kapanpun.

“Ayah lo pasti bahagia punya anak yang sayang banget sama orang tuanya. Tapi beliau juga nggak akan suka liat lo bertahan sama ketakutan lo. Beliau pasti pengin liat lo bahagia, sama cowok yang lo sayang. Jangan terlalu memikirkan hal yang belum pasti terjadi apa enggak, La. Pasti akan ada seseorang yang nggak akan pernah ninggalin lo.”

Stella cukup kecewa dengan jawaban Kevin. Bukan ini yang dia mau. Dia ingin Kevin meyakinkan dirinya kalau Kevin tidak akan ke mana-mana, Kevin tidak akan meninggalkannya. Tapi kenapa Kevin malah menjawab seperti itu?

Apa suatu saat nanti Kevin akan meninggalkannya?

Namun di sisi lain, bukan itu maksud Kevin. Dia hanya tidak ingin menyakiti Stella dengan ucapan yang belum pasti bisa ditepati. Daripada hanya memberikan omong kosong, lebih baik ia langsung melompat ke aksi. Bukankah itu yang Stella suka?

Sore itu telah tercipta suatu kesalahpahaman di antara keduanya. Semoga saja tidak mempengaruhi hubungan mereka. Ya, semoga.