Quinzaharu

Mobil Arsa terparkir mulus di halaman kontrakan sahabatnya, Aji. Ia keluar dari mobilnya dan mendapati sebuah motor matic berwarna merah yang ia kenal milik Maura, pacar Aji. Dua sejoli itu masih menunggunya.

“Mikom!” teriak Arsa sambil membuka pintu bermaksud mengagetkan keduanya. Berhasil. Aji dan Maura yang lagi makan bareng terkejut. Mana si Aji keselek.

“Pelan dong, Sa!” tegur Maura yang langsung menyodorkan air pada Aji.

“Gue kira lagi di kamar,” balas Arsa cengengesan lalu duduk di hadapan mereka.

“Anjing lu, Sa,” umpat Aji.

“Lo mau ngomong apa sama gue, Ra?” tanya Arsa pada Maura.

“Lo beneran lagi deket sama Alana? Udah nggak sama Shofi lagi?”

“Alana kan temen sekelas gue.”

“Lo tau jelas apa maksud gue, Sa.”

Arsa menghempaskan punggungnya di sandaran sofa. Melihat temannya tampak frustasi, Aji melemparkan sekotak rokok ke hadapan Arsa.

“Sebat dulu biar seger.”

“Gue nggak nyebat di depan cewek.”

Jawaban Arsa membuat Aji yang sedang memantik rokoknya jadi terhenti. Ia melirik Maura lantas mendengus. Rokok yang sudah terapit kembali diletakkan di meja.

“Aji tadi udah ceritain semuanya ke gue. Kayaknya lo salah paham, Sa. Alana nggak seburuk itu. Dia bener-bener terpaksa jual barang dari lo,” tambah Maura.

“Tetep aja dia harus izin ke gue, kan? Gimanapun itu barang dari gue,” sanggah Arsa.

“Ya, tapi lo udah kasih ke Alana kan? Berarti barang itu udah jadi hak miliknya Alana. Dia bebas mau ngapain aja sama barangnya. Kalo dia pinjem ke lo, baru lo ada hak buat marah.”

Arsa mulai tersadar. Benar juga apa yang dibilang Maura. Namun yang Arsa permasalahkan di sini adalah sikap Alana yang ia anggap tidak menghargai pemberiannya. Apalagi Arsa sama sekali belum pernah melihat barangnya dipakai oleh cewek itu. Arsa membeli semuanya untuk Alana pakai, bukan untuk dijual.

“Ya lo coba pikir, Ra. Misal lo ngasih barang ke Aji, tapi si Aji malah jual barangnya. Lo terima nggak? Kecewa kan lo?”

Maura langsung melirik Aji. Yang dilirik jadi salah tingkah dan memukul Arsa. “Lo yang bener aja ngasih contohnya. Mau gue ribut sama Maura?”

“Ya, tapi sa … Alana tuh terpaksa jual barang dari lo. Dia butuh uang. Bokapnya harus dioperasi dan butuh duit secepatnya. Dia nggak punya pilihan lain selain jual barang dari lo.”

Kepala Arsa mendongak cepat. “Bokapnya Alana dioperasi?”

Maura mengangguk. “Kemarin pas gue cod sama dia, kita sempet ngobrol. Karena dia butuh persetujuan dari gue kalo suatu saat barang pembelian gue bakal diambil lagi sama dia. Dia bilang kalo ada uang pun, dia nggak akan pernah jual barangnya. Dia bener-bener keliatan terpaksa.”

Arsa hanya diam mendengar penjelasan Maura. Sedangkan Aji sibuk dengan ponselnya sambil memainkan rambut panjang Maura.

“Trus gue tanya, kenapa harus ditarik balik barangnya? Nggak sekalian dijual aja? Lagipula sama dia kan nggak pernah dipake. Di sisi lain, gue juga naksir banget sama barangnya. Tapi dia langsung nolak. Lo tau alasannya apa, Sa?”

Arsa tidak menjawab. Dia terlalu takut mendengar apa yang dijawab Alana. Bahkan detak jantungnya sudah meningkat. Akan ada sebuah penyesalan yang menghampiri Arsa sebentar lagi.

“Karena barang yang dia jual itu dari cowoknya, cowok yang dia suka. Dia seneng banget bisa dapet barang-barang itu. Bahkan dia sempet nangis pas harus ngerelain barang-barang itu jatuh ke tangan orang lain. Lewat matanya, gue bisa liat sebenernya dia nggak ikhlas jualin barangnya.”

Selamat datang di ruang penyesalan, Arsa Gautama.

“Pas gue balikin barangnya, dia keliatan lega banget. Dia bilang kalo dia nyesel udah jualin semua pemberian cowoknya sampe cowoknya marah. Katanya dia mau buru-buru ngabarin cowoknya, berharap cowoknya mau maafin dia. Alana udah bilang ke lo kan, Sa? Lo maafin dia, kan?”

Tidak, Arsa tidak memaafkan Alana. Bahkan dia menyuruh Alana untuk membakar semua pemberian darinya.

“Diliat dari ekspresi lo, kayaknya lo nggak maafin dia.”

Arsa meraup wajahnya dengan helaan napas kasar. “Alana nggak cerita apapun sama gue! Gue mana tau alasan dia ternyata kaya gitu!”

“Ya, elo nggak kasih dia kesempatan kali.”

Lelaki itu memijit pelipisnya. Benar, semua yang dibilang Maura benar. Arsa tidak memberikan kesempatan pada Alana untuk menjelaskan semuanya. Semua ini salah Arsa.

“Sekarang lo samperin dah orangnya, minta maaf.” Akhirnya Aji bersuara.

Tanpa pikir panjang, Arsa langsung menyambar kunci mobilnya dan pergi meninggalkan Aji dan Maura.

“Makasih, Ra,” ujar Arsa sambil berlalu.

Makasih udah nyadarin kalo gue bener-bener bego soal Alana.


Sudah berulang kali Arsa memanggil Alana, namun tidak ada jawaban dari cewek itu. Pesannya juga tidak dibalas satupun. Arsa jadi khawatir.

Salah seorang penghuni kos keluar. Arsa langsung mencegatnya.

“Misi mba, Alana ada di dalem nggak?” tanya Arsa.

“Nggak ada, Mas. Anaknya sejam yang lalu baru aja pergi. Mau pulang katanya.”

“Pulang? Pulang ke mana?”

“Kalo nggak salah Surabaya deh.”

“Surabaya?!”

Arsa cukup terkejut. Jarak Jakarta dan Surabaya cukup jauh. Butuh waktu sekitar 10 jam menggunakan mobil atau kereta. Mengapa Alana mendadak pergi sejauh itu?

“Coba aja disusul, Mas. Siapa tau anaknya masih di stasiun.”

“Oke, oke. Makasih banyak ya, Mbak!”

Arsa bergegas kembali ke mobilnya dan melesat menuju stasiun. Berharap masih dapat menemui Alana untuk meminta pengampunan. Namun harapannya tak direstui semesta.

Alana telah pergi. Meninggalkan Arsa dengan segudang penyesalan di hati.

Alana nggak bisa nolak permintaan Arsa. Gimanapun cowok itu udah banyak bantu dia. Mulai dari masalahnya sama Dean, sama Shofi, ngasih dia barang-barang mahal, dan yang terakhir comfort words yang Arsa kasih pas mood Alana lagi nggak baik.

Lagipula nggak ada salahnya nyoba kenalan sama keluarga Gautama. Siapa tahu bisa kecipratan tajirnya kan hehe

Sebenernya desas-desus kekayaan keluarga Gautama udah sering jadi bahan pembicaraan. Namun orang-orang masih sering ragu karena ya gaya hidup mereka terbilang biasa aja, nggak terlalu menunjukkan berapa rupiah yang mereka miliki. Makanya pada nganggep Arsa definisi orang kaya, tapi bukan kaya yang WOW gitu.

Alana juga sempet berpikiran kaya gitu. Tapi pas dia dateng ke acara keluarga Arsa, semuanya terpatahkan. Ini orang bukan sekedar tajir, tapi SUPER TAJIR. Nggak ada tuh yang namanya mobil Avanza atau Daihatsu Ayla yang nangkring di parkiran. Yang ada Fortuner, Ferrari, Tesla, atau BMW. Sumpah, Alana insecure banget.

Kadang dia mikir, kok bisa orang setajir Arsa jadi teman sekelasnya? Maksudnya kenapa dia nggak milih kampus yang lebih bergengsi dari kampus mereka saat ini? Alana yakin Arsa mampu daftar kuliah di kampus ternama. Dia juga nggak bego-bego amat kok. Kalo emang bego, ada duit yang bisa bantu dia masuk ke sana.

Ya, namanya juga orang kaya. Kadang pola pikirnya sulit buat dimengerti. Apalagi sama kalangan menengah kaya Alana.

Tadi pagi, Arsa kirim baju buat dresscode acara sore ini. Alana udah nebak bajunya bakal lain dari biasanya, DAN BENER. Dia dikasih gaun. Alana mau nangis aja rasanya.

Gaun yang dikasih oma Arsa bukan gaun pesta yang heboh, glamour, atau lebar kaya kurungan ayam. Gaun berwarna merah maroon itu jatuh, mengikuti lekuk tubuh Alana sampai batas lutut. Bagian atasnya terlihat anggun dengan menunjukkan tulang selangka Alana yang cantik. Lengannya tidak terlalu panjang maupun pendek. Alana sangat bersyukur gaun ini nggak nunjukkin keteknya.

“Udah siap?”

Alana tersentak dari lamunan. Dia langsung noleh ke Arsa yang lagi nyengir ngeliatin dia. Wajah Alana sontak memerah. Bukan karena malu diliatin, tapi karena Arsa yang gantengnya nggak sopan banget.

Senada dengan Alana, Arsa pake kemeja merah maroon dengan bawahan jeans yang nggak terlalu ketat. Lengan kemeja yang pendek membuat otot bisep Arsa terpampang jelas. Rambutnya ditata ke atas, menunjukkan jidatnya yang bersinar seperti masa depan.

Dan yang paling menarik perhatian Alana adalah wangi parfum cowok itu. Alana sangat menyukai cowok yang wangi. Bahkan dia sempet berpikir nggak peduli cowok itu mau nggak ganteng atau nggak kaya kalo dia wangi, Alana bakal suka.

“Malah ngalamun.”

Alana tersentak lagi. “Eh iya apa, Sa?”

Arsa menggeleng tanpa melepas pandang dari Alana. Sebenernya dia lagi terpesona sama cewek di depannya ini. Cih, dua orang yang saling terpesona tapi nggak mau saling muji.

“Turun, yok!” ajak Arsa lantas melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Alana menyusul setelahnya.

Memasuki pelataran rumah, Alana dibuat takjub sama dekorasi yang elegan ala wedding party outdoor. Nggak terlalu ramai emang, tapi ini udah kelewat bagus cuman buat ngerayain tumbuhnya sebiji buah stroberi. Orang yang nggak tau pasti ngeliatnya kaya ada acara lamaran atau bahkan nikahan.

Tamu yang datang juga nggak sedikit. Alana liatnya lucu aja karena semua orang pakai dresscode yang sama. Dia baru sadar warna maroon sama kaya warna buah yang jadi perayaan makan besar sore ini.

Arsa membawanya masuk ke rumah. Sepanjang jalan mereka udah disapa banyak orang. Keliatannya Arsa cukup terkenal di keluarganya. Meskipun sibuk menyapa sanak saudara, Arsa tidak pernah lupa untuk mengenalkan Alana juga. Hal itu cukup membuat Alana merasa dihargai.

“Kita ketemu oma sama nyokap gue dulu ya? Baru gue kenalin ke saudara yang lain.”

Mendengarnya, ritme degup jantung Alana meningkat drastis. “Serius, Sa? Gue takut sumpah!”

“Sante aja. Anggep mereka nyokap sama oma lo sendiri.”

Arsa dan Alana masuk semakin dalam. Terlihat sekumpulan orang di meja makan yang sibuk bersenda gurau. Alana yakin di antara mereka ada ibu dan nenek Arsa.

“Eh, Arsa!”

Baru saja Arsa mau menyapa, Oma nya sudah menyapa duluan. Melihat cucu kesayangannya datang, membuat perempuan lanjut usia itu beranjak menghampiri dan memberikan pelukan hangat.

“Oma sudah tunggu kamu dari tadi, lho!”

Arsa meringis. “Maaf, Oma. Tadi harus jemput Alana dulu jadi lebih jauh jaraknya.”

Yang disebut namanya diam-diam terkejut. Sang Oma lantas melirik ke sebelah Arsa.

“Ini pacar kamu?!” tanya Oma terlihat antusias.

Arsa menggaruk tengkuknya sambil mengangguk.

“Ya Gusti, cantiknya!”

Wajah Alana merebus seketika. Ia berusaha keras tidak salah tingkah. Alana cepat-cepat membungkuk untuk meminta salam. Sang Oma menjulurkan tangan yang langsung dicium Alana.

“Selama sore, Oma. Maaf karena saya, Arsa jadi datang terlambat.”

Demi apa, Alana bingung banget mau ngomong apa.

“Nggak apa-apa. Duh, gaunnya pas sekali buat kamu ya. Padahal Oma kasihnya cuman mengandalkan naluri. Alhamdulillah ukurannya pas!”

Alana terkekeh. “Iya, Oma, makasih. Gaunnya bagus banget.”

“Sama-sama, Cantik. Ayo duduk! Kita makan bareng!”

Sang Oma dengan akrabnya langsung merangkul lengan Alana. Cewek itu agak panik hingga beberapa kali menoleh ke Arsa mencari bantuan. Namun cowok itu hanya tersenyum dan menyuruh Alana menuruti kemauan Oma.

“Arsa, kamu makannya di tempat laki-laki dong! Ini meja khusus perempuan!” tegur salah seorang tante Arsa yang duduk di sana.

“Mentang-mentang bawa pacar jadi mau nempel terus ya!” timpal Tante Arsa yang lain.

Arsa yang lagi menyalami ibunya jadi tertawa. “Iya, ini mau salim aja sama mamih kok, Tan.”

“Sa!” bisik Alana yang udah duduk di ujung sebelah Oma. Arsa yang hendak melenggang langsung balik arah menghampiri Alana.

“Kenapa?”

“Gue ditinggalin di sini sendiri?”

“Iya, gapapa. Liat sendiri kan Oma suka sama lo.”

“Eh, tapi gue takut! Lo di sini aja dong!”

“Nggak usah takut. Nggak bakal ditanya macem-macem. Cuman basic information aja paling. Gue duduk deket sini kok. Masih keliatan.”

Alana cemberut. Arsa gemas lantas menepuk pucuk kepala Alana.

“Nanti kalo udah nggak nyaman atau cape, chat gue aja,” ujarnya sembari mengusap rambut Alana lantas melenggang pergi.

Alana nggak bisa nolak permintaan Arsa. Gimanapun cowok itu udah banyak bantu dia. Mulai dari masalahnya sama Dean, sama Shofi, ngasih dia barang-barang mahal, dan yang terakhir comfort words yang Arsa kasih pas mood Alana lagi nggak baik.

Lagipula nggak ada salahnya nyoba kenalan sama keluarga Gautama. Siapa tahu bisa kecipratan tajirnya kan hehe

Sebenernya desas-desus kekayaan keluarga Gautama udah sering jadi bahan pembicaraan. Namun orang-orang masih sering ragu karena ya gaya hidup mereka terbilang biasa aja, nggak terlalu menunjukkan berapa rupiah yang mereka miliki. Makanya pada nganggep Arsa definisi orang kaya, tapi bukan kaya yang WOW gitu.

Alana juga sempet berpikiran kaya gitu. Tapi pas dia dateng ke acara keluarga Arsa, semuanya terpatahkan. Ini orang bukan sekedar tajir, tapi SUPER TAJIR. Nggak ada tuh yang namanya mobil Avanza atau Daihatsu Ayla yang nangkring di parkiran. Yang ada Fortuner, Ferrari, Tesla, atau BMW. Sumpah, Alana insecure banget.

Kadang dia mikir, kok bisa orang setajir Arsa jadi teman sekelasnya? Maksudnya kenapa dia nggak milih kampus yang lebih bergengsi dari kampus mereka saat ini? Alana yakin Arsa mampu daftar kuliah di kampus ternama. Dia juga nggak bego-bego amat kok. Kalo emang bego, ada duit yang bisa bantu dia masuk ke sana.

Ya, namanya juga orang kaya. Kadang pola pikirnya sulit buat dimengerti. Apalagi sama kalangan menengah kaya Alana.

Tadi pagi, Arsa kirim baju buat dresscode acara sore ini. Alana udah nebak bajunya bakal lain dari biasanya, DAN BENER. Dia dikasih gaun. Alana mau nangis aja rasanya.

Gaun yang dikasih oma Arsa bukan gaun pesta yang heboh, glamour, atau lebar kaya kurungan ayam. Gaun berwarna merah maroon itu jatuh, mengikuti lekuk tubuh Alana sampai batas lutut. Bagian atasnya terlihat anggun dengan menunjukkan tulang selangka Alana yang cantik. Lengannya tidak terlalu panjang maupun pendek. Alana sangat bersyukur gaun ini nggak nunjukkin keteknya.

“Udah siap?”

Alana tersentak dari lamunan. Dia langsung noleh ke Arsa yang lagi nyengir ngeliatin dia. Wajah Alana sontak memerah. Bukan karena malu diliatin, tapi karena Arsa yang gantengnya nggak sopan banget.

Senada dengan Alana, Arsa pake kemeja merah maroon dengan bawahan jeans yang nggak terlalu ketat. Lengan kemeja yang pendek membuat otot bisep Arsa terpampang jelas. Rambutnya ditata ke atas, menunjukkan jidatnya yang bersinar seperti masa depan.

Dan yang paling menarik perhatian Alana adalah wangi parfum cowok itu. Alana sangat menyukai cowok yang wangi. Bahkan dia sempet berpikir nggak peduli cowok itu mau nggak ganteng atau nggak kaya kalo dia wangi, Alana bakal suka.

“Malah ngalamun.”

Alana tersentak lagi. “Eh iya apa, Sa?”

Arsa menggeleng tanpa melepas pandang dari Alana. Sebenernya dia lagi terpesona sama cewek di depannya ini. Cih, dua orang yang saling terpesona tapi nggak mau saling muji.

“Turun, yok!” ajak Arsa lantas melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Alana menyusul setelahnya.

Memasuki pelataran rumah, Alana dibuat takjub sama dekorasi yang elegan ala wedding party outdoor. Nggak terlalu ramai emang, tapi ini udah kelewat bagus cuman buat ngerayain tumbuhnya sebiji buah stroberi. Orang yang nggak tau pasti ngeliatnya kaya ada acara lamaran atau bahkan nikahan.

Tamu yang datang juga nggak sedikit. Alana liatnya lucu aja karena semua orang pakai dresscode yang sama. Dia baru sadar warna maroon sama kaya warna buah yang jadi perayaan makan besar sore ini.

Arsa membawanya masuk ke rumah. Sepanjang jalan mereka udah disapa banyak orang. Keliatannya Arsa cukup terkenal di keluarganya. Meskipun sibuk menyapa sanak saudara, Arsa tidak pernah lupa untuk mengenalkan Alana juga. Hal itu cukup membuat Alana merasa dihargai.

“Kita ketemu oma sama nyokap gue dulu ya? Baru gue kenalin ke saudara yang lain?”

Mendengarnya, ritme degup jantung Alana meningkat drastis. “Serius, Sa? Gue takut sumpah!”

“Sante aja. Anggep mereka nyokap sama oma lo sendiri.”

Arsa dan Alana masuk semakin dalam. Terlihat sekumpulan orang di meja makan yang sibuk bersenda gurau. Alana yakin di antara mereka ada ibu dan nenek Arsa.

“Eh, Arsa!”

Baru saja Arsa mau menyapa, Oma nya sudah menyapa duluan. Melihat cucu kesayangannya datang, membuat perempuan lanjut usia itu beranjak menghampiri dan memberikan pelukan hangat.

“Oma sudah tunggu kamu dari tadi, lho!”

Arsa meringis. “Maaf, Oma. Tadi harus jemput Alana dulu jadi lebih jauh jaraknya.”

Yang disebut namanya diam-diam terkejut. Sang Oma lantas melirik ke sebelah Arsa.

“Ini pacar kamu?!” tanya Oma terlihat antusias.

Arsa menggaruk tengkuknya sambil mengangguk.

“Ya Gusti, cantiknya!”

Wajah Alana merebus seketika. Ia berusaha keras tidak salah tingkah. Alana cepat-cepat membungkuk untuk meminta salam. Sang Oma menjulurkan tangan yang langsung dicium Alana.

“Selama sore, Oma. Maaf karena saya, Arsa jadi datang terlambat.”

Demi apa, Alana bingung banget mau ngomong apa.

“Nggak apa-apa. Duh, gaunnya pas sekali buat kamu ya. Padahal Oma kasihnya cuman mengandalkan naluri. Alhamdulillah ukurannya pas!”

Alana terkekeh. “Iya, Oma, makasih. Gaunnya bagus banget.”

“Sama-sama, Cantik. Ayo duduk! Kita makan bareng!”

Sang Oma dengan akrabnya langsung merangkul lengan Alana. Cewek itu agak panik hingga beberapa kali menoleh ke Arsa mencari bantuan. Namun cowok itu hanya tersenyum dan menyuruh Alana menuruti kemauan Oma.

“Arsa, kamu makannya di tempat laki-laki dong! Ini meja khusus perempuan!” tegur salah seorang tante Arsa yang duduk di sana.

“Mentang-mentang bawa pacar jadi mau nempel terus ya!” timpal Tante Arsa yang lain.

Arsa yang lagi menyalami ibunya jadi tertawa. “Iya, ini mau salim aja sama mamih kok, Tan.”

“Sa!” bisik Alana yang udah duduk di ujung sebelah Oma. Arsa yang hendak melenggang langsung balik arah menghampiri Alana.

“Kenapa?”

“Gue ditinggalin di sini sendiri?”

“Iya, gapapa. Liat sendiri kan Oma suka sama lo.”

“Eh, tapi gue takut! Lo di sini aja dong!”

“Nggak usah takut. Nggak bakal ditanya macem-macem. Cuman basic information aja paling. Gue duduk deket sini kok. Masih keliatan.”

Alana cemberut. Arsa gemas lantas menepuk pucuk kepala Alana.

“Nanti kalo udah nggak nyaman atau cape, chat gue aja,” ujarnya sembari mengusap rambut Alana lantas melenggang pergi.

Dengan kedua tangan yang terselip di saku celana, Justin berjalan menyusuri koridor. Awalnya tidak ada yang menarik. Sampai ekor matanya menangkap seorang gadis di luar jendela tengah mengibaskan tangannya di wajah. Langkahnya terhenti. Mata serigala itu memicing dan menemukan derai air mata di kedua belah pipi sang gadis.

Justin berusaha abai. Namun nggak mungkin bisa karena gadis itu Freya. Dia udah berusaha keras buat tak acuh. Berusaha nggak menunjukkan perasaannya untuk gadis nomer satu di kelasnya itu. Namun kali ini, tungkainya memilih untuk menuruti kata hati daripada perintah otaknya. Justin berjalan ke tepi jendela dan menyenderkan tubuhnya di sana.

“Ngapain di sini sendirian?”

Freya terperanjat. Pandangnya seketika bertubrukan dengan netra redup Justin. Ia buru-buru mengusap pipinya. Menghapus jejak air mata yang sudah dilihat Justin sedari tadi.

“Nggak apa-apa kok,” jawab Freya bohong.

“Nggak apa-apa tapi ingusnya ngalir terus.”

Rasanya ada yang meledak dalam diri Freya. Ia langsung menggosok hidungnya cepat. Menciptakan seringai gemas di bibir Justin. Lucu, batinnya.

“Beneran nggak apa-apa, Justin,” ujar Freya lagi namun kali ini dengan air mata yang mengalir. Kebiasaan cewek kalo ditanyain pas lagi nangis bukannya berhenti malah makin kenceng nangisnya.

Helaan napas halus berseloroh dari mulut Justin. Kepalanya menengok ke segala sudut memastikan tidak ada orang.

“Nggak ada orang lain selain kita di sini. Cerita aja. Gue dengerin,” ujar Justin sembari melipat tangannya bersandar di tepi jendela.

Bibir gadis itu bergetar pertanda menahan tangis. “Tadi ... gue dipanggil ke ruang guru. Katanya nilai gue banyak yang turun. Trus mereka bilang ... kalo nilai gue kaya gini terus, bisa-bisa gue nggak bisa rangking satu lagi,” jelas Freya dengan menahan isak.

“Padahal ... padahal gue harus rangking satu terus menerus, biar gue bisa masuk rangking paralel. Kalo gue nggak rangking satu ... gimana? Nanti gue ... gimana?”

Freya tak sanggup menahan tangisnya lagi. Tak peduli Justin akan mengejeknya cengeng. Perkataan guru tadi begitu menyayat hatinya. Tidak bisa masuk ke deretan siswa berprestasi adalah momok paling menakutkan dalam hidup Freya. Ia tidak bisa membayangkan respons ibunya bila tahu soal ini. Freya takut, sangat takut.

Justin hanya diam. Membiarkan gadis itu untuk menghabiskan rasa sesaknya. Ia memikirkan apa yang harus ia katakan untuk sekedar mengurangi beban Freya. Dunianya dengan dunia Freya sangat berbeda. Apa yang dia anggap sepele tidak berarti sepele juga untuk Freya, contohnya persoalan nilai.

“Lo masih terlalu muda buat nangisin masa depan, Fre. Umur segini harusnya lo lebih banyak nangisin cowok daripada persoalan nilai yang nggak ada abisnya. Meskipun nangisin cowok juga kagak bener. Tapi ya ... menurut gue ... gimana ya,” ujar Justin yang malah bingung sendiri. Bukan bingung, tapi gugup soalnya Freya natap dia terus dari tadi.

“Pokoknya lo nggak usah takut dah nggak bisa rangking satu. Di kelas kita siapa sih yang bisa nyaingin lo? Lo kan udah dapet sebutan cewek nomer satu, pasti lo akan terus jadi nomer satu.” Bahkan di hati gue.

Freya hanya termenung. Memikirkan ucapan Justin yang menciptakan gelenyar aneh di hatinya.

“Tapi kalo beneran gue nggak rangking satu gimana?”

“Belum beruntung.”

Gadis itu merengek membuat Justin terkekeh.

“Pasti Sam yang bakal ranking satu paralel dan gue nomer dua. Harusnya gue selalu nerima ajakan Sam belajar bareng. Kan gue jadi bisa tau kemampuan Sam gimana. Nyesel banget sih,” gerutu Freya dengan kedua tangan yang sibuk menghapus air matanya.

Mendengar Freya menyebut nama cowok itu, Justin menghentikan tawanya. Dia menunduk dengan kepalan tangan yang mengerat. Sial, cowok bernama Sam itu adalah saingan terberatnya. Dan kini secara terang-terangan, Freya menyebut nama cowok itu di depannya.

Freya mendongak, ia menoleh ke kanan dan menemukan seseorang tengah berjalan hendak melewatinya. Besar kemungkinan orang itu akan melihat wajahnya yang berantakan.

“Duh, kenapa ada yang lewat sih!” Freya berusaha menyembunyikan wajahnya sambil berbalik arah. Namun dari arah lain ternyata ada orang yang hendak lewat juga. “Ihhh, kok pada lewat sini!”

Freya kembali berbalik sambil menutupi wajahnya. Justin yang menyadari hal itu lantas mengulurkan tangannya. Ia menarik kepala Freya mendekat. Freya tersentak dengan mata yang membulat. Justin membawa Freya untuk bersembunyi di bahunya.

“Dah, diem,” ujar Justin singkat dengan masih memeluk kepala Freya. Tangan satunya dibuat menopang dagu. Dia berusaha santai, walau hatinya bergetar tak karuan.

Freya masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Matanya bahkan tak bisa berkedip. Aroma parfum cowok itu menyeruak, menembus indra penciumannya. Sebuah elusan lembut terasa di kepala. Apa .. kenapa Justin tiba-tiba memeluknya seperti ini?

Namun tak bisa dipungkiri, ini terasa nyaman. Maka dengan menyampingkan egonya, Freya menelusup semakin dalam di bahu Justin. Tangisnya kembali berderai. Ia bahkan lupa kapan terakhir kalinya mendapat pelukan hangat. Selama ini, Freya tak punya tempat untuk bersandar seperti sekarang.

Justin tahu Freya menangis di sana. Ia bisa merasakan dingin air mata Freya yang membasahi seragamnya. Tak ada kalimat yang terucap. Namun detaknya sangat berisik. Justin takut Freya mendengarnya.

“Lo gemeter banget,” ucap Justin menyadari tubuh Freya bergetar sedari tadi.

“Maaf,” lirih gadis itu hendak menarik kepalanya dari sana namun Justin tahan.

“Nggak apa-apa, gue juga.”

haruquinza

Dengan kedua tangan yang terselip di saku celana, Justin berjalan menyusuri koridor. Awalnya tidak ada yang menarik. Sampai ekor matanya menangkap seorang gadis di luar jendela tengah mengibaskan tangannya di wajah. Langkahnya terhenti. Mata serigala itu memicing dan menemukan derai air mata di kedua belah pipi sang gadis.

Justin berusaha abai. Namun nggak mungkin bisa karena gadis itu Freya. Dia udah berusaha keras buat tak acuh. Berusaha nggak menunjukkan perasaannya untuk gadis nomer satu di kelasnya itu. Namun kali ini, tungkainya memilih untuk menuruti kata hati daripada perintah otaknya. Justin berjalan ke tepi jendela dan menyenderkan tubuhnya di sana.

“Ngapain di sini sendirian?”

Freya terperanjat. Pandangnya seketika bertubrukan dengan netra redup Justin. Ia buru-buru mengusap pipinya. Menghapus jejak air mata yang sudah dilihat Justin sedari tadi.

“Nggak apa-apa kok,” jawab Freya bohong.

“Nggak apa-apa tapi ingusnya ngalir terus.”

Rasanya ada yang meledak dalam diri Freya. Ia langsung menggosok hidungnya cepat. Menciptakan seringai gemas di bibir Justin. Lucu, batinnya.

“Beneran nggak apa-apa, Justin,” ujar Freya lagi namun kali ini dengan air mata yang mengalir. Kebiasaan cewek kalo ditanyain pas lagi nangis bukannya berhenti malah makin kenceng nangisnya.

Helaan napas halus berseloroh dari mulut Justin. Kepalanya menengok ke segala sudut memastikan tidak ada orang.

“Nggak ada orang lain selain kita di sini. Cerita aja. Gue dengerin,” ujar Justin sembari melipat tangannya bersandar di tepi jendela.

Bibir gadis itu bergetar pertanda menahan tangis. “Tadi ... gue dipanggil ke ruang guru. Katanya nilai gue banyak yang turun. Trus mereka bilang ... kalo nilai gue kaya gini terus, bisa-bisa gue nggak bisa rangking satu lagi,” jelas Freya dengan menahan isak.

“Padahal ... padahal gue harus rangking satu terus menerus, biar gue bisa masuk rangking paralel. Kalo gue nggak rangking satu ... gimana? Nanti gue ... gimana?”

Freya tak sanggup menahan tangisnya lagi. Tak peduli Justin akan mengejeknya cengeng. Perkataan guru tadi begitu menyayat hatinya. Tidak bisa masuk ke deretan siswa berprestasi adalah momok paling menakutkan dalam hidup Freya. Ia tidak bisa membayangkan respons ibunya bila tahu soal ini. Freya takut, sangat takut.

Justin hanya diam. Membiarkan gadis itu untuk menghabiskan rasa sesaknya. Ia memikirkan apa yang harus ia katakan untuk sekedar mengurangi beban Freya. Dunianya dengan dunia Freya sangat berbeda. Apa yang dia anggap sepele tidak berarti sepele juga untuk Freya, contohnya persoalan nilai.

“Lo masih terlalu muda buat nangisin masa depan, Fre. Umur segini harusnya lo lebih banyak nangisin cowok atau daripada persoalan nilai yang nggak ada abisnya. Meskipun nangisin cowok juga kagak bener. Tapi ya ... menurut gue ... gimana ya,” ujar Justin yang malah bingung sendiri. Bukan bingung, tapi gugup soalnya Freya natap dia terus dari tadi.

“Pokoknya lo nggak usah takut dah nggak bisa rangking satu. Di kelas kita siapa sih yang bisa nyaingin lo? Lo kan udah dapet sebutan cewek nomer satu, pasti lo akan terus jadi nomer satu.” Bahkan di hati gue.

Freya hanya termenung. Memikirkan ucapan Justin yang menciptakan gelenyar aneh di hatinya.

“Tapi kalo beneran gue nggak rangking satu gimana?”

“Belum beruntung.”

Gadis itu merengek membuat Justin terkekeh.

“Pasti Sam yang bakal ranking satu paralel dan gue nomer dua. Harusnya gue selalu nerima ajakan Sam belajar bareng. Kan gue jadi bisa tau kemampuan Sam gimana. Nyesel banget sih,” gerutu Freya dengan kedua tangan yang sibuk menghapus air matanya.

Mendengar Freya menyebut nama cowok itu, Justin menghentikan tawanya. Dia menunduk dengan kepalan tangan yang mengerat. Sial, cowok bernama Sam itu adalah saingan terberatnya. Dan kini secara terang-terangan, Freya menyebut nama cowok itu di depannya.

Freya mendongak, ia menoleh ke kanan dan menemukan seseorang tengah berjalan hendak melewatinya. Besar kemungkinan orang itu akan melihat wajahnya yang berantakan.

“Duh, kenapa ada yang lewat sih!” Freya berusaha menyembunyikan wajahnya sambil berbalik arah. Namun dari arah lain ternyata ada orang yang hendak lewat juga. “Ihhh, kok pada lewat sini!”

Freya kembali berbalik sambil menutupi wajahnya. Justin yang menyadari hal itu lantas mengulurkan tangannya. Ia menarik kepala Freya mendekat. Freya tersentak dengan mata yang membulat. Justin membawa Freya untuk bersembunyi di bahunya.

“Dah, diem,” ujar Justin singkat dengan masih memeluk kepala Freya. Tangan satunya dibuat menopang dagu. Dia berusaha santai, walau hatinya bergetar tak karuan.

Freya masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Matanya bahkan tak bisa berkedip. Aroma parfum cowok itu menyeruak, menembus indra penciumannya. Sebuah elusan lembut terasa di kepala. Apa .. kenapa Justin tiba-tiba memeluknya seperti ini?

Namun tak bisa dipungkiri, ini terasa nyaman. Maka dengan menyampingkan egonya, Freya menelusup semakin dalam di bahu Justin. Tangisnya kembali berderai. Ia bahkan lupa kapan terakhir kalinya mendapat pelukan hangat. Selama ini, Freya tak punya tempat untuk bersandar seperti sekarang.

Justin tahu Freya menangis di sana. Ia bisa merasakan dingin air mata Freya yang membasahi seragamnya. Tak ada kalimat yang terucap. Namun detaknya sangat berisik. Justin takut Freya mendengarnya.

“Lo gemeter banget,” ucap Justin menyadari tubuh Freya bergetar sedari tadi.

“Maaf,” lirih gadis itu hendak menarik kepalanya dari sana namun Justin tahan.

“Nggak apa-apa, gue juga.”

haruquinza

Tidak ada hari yang lebih membahagiakan dari hari saat Kevin akhirnya bisa duduk satu meja dengan gadis idamannya, Stella. Pagi tadi, Stella benar-benar menagih janji Justin untuk ke kantin bersama. Justin yang awalnya cuman iseng nggak bisa nolak karena nggak enak sama Stella. Jadinya dia juga ngajak Kevin biar itu anak nggak ngambek.

Kevin emang nggak ngambek, tapi Stella yang ngambek. Semua wajah di sana tampak sumringah kecuali dia. Mungkin dia malah udah kehilangan selera makannya karna dari tadi siomay di hadapannya cuman diaduk-aduk.

“Dimakan, La. Jangan diliatin doang,” tegur Justin yang duduk di hadapannya. Sebenarnya Kevin udah maksa duduk di sana. Tapi Justin ngasih saran buat nggak terlalu agresif sama Stella. Takut anaknya makin nggak nyaman.

“Iyaa,” sahut Stella setengah hati. Sebenernya dia udah nggak betah banget duduk di sini. Apalagi dari tadi Kevin nggak berhenti ngelirik dia walaupun mulutnya sibuk ngobrol sama Wanda. Dan anehnya lagi, Kevin nggak negur dia dari tadi. Cuman nyapa di awal doang.

“Oh iya, Tin. Kayaknya kita belum kenalan deh,” sahut Wanda yang emang nungguin momentum ini dari tadi.

“Oh ya? Tapi gue udah tau nama lo kok. Wanda kan?”

Wajah Wanda memerah seketika seperti kepiting rebus. Stella refleks menendang kaki Wanda dan dibalas cubitan oleh gadis itu. Dia nggak bisa menyembunyikan senyumnya. Stella tau temannya itu udah salting banget.

“Eh iya! Kirain belum kenal,” balas Wanda disertai kekehan canggung campur gugup.

“Dikenalin sama Kevin,” tambah Justin lagi dengan senyum tipis.

“Kevin? Kok bisa? Gimana ceritanya?”

“Ya bisa lah. Kan dia bandar cewe. Pasti sering dimintain temen-temennya buat dikenalin sama cewe,” timpal Stella membuat ketiga orang di sana menoleh ke arahnya bersamaan.

Justin terbahak. “Bener sih, ceweknya banyak,” ledek Justin yang langsung mendapat injakan kaki dari Kevin.

“Mereka cuman temen. Kalo cewek gue pastinya cuman satu,” ujar Kevin sambil menatap penuh arti pada Stella. Yang ditatap hanya memutar bola matanya malas.

Setelah itu, nggak tau gimana ceritanya tiba-tiba Justin sama Wanda satu persatu pamit ke toilet tapi nggak balik sampe sekarang. Alhasil, Stella kejebak berduaan sama Kevin di sini. Nggak ada obrolan di sana. Kevin cuman sibuk mainin ponselnya, kaya nggak nganggap Stella di sana. Stella yang diperlakukan kaya gitu jadi kesel sendiri.

Kevin bukannya nggak anggep Stella. Cuman dia lagi berusaha menetralkan degup jantungnya yang mau meledak. Nggak pernah dia ngerasa se-grogi ini deket sama cewek. Biasanya dia punya banyak topik buat mencairkan suasana. Tapi ini sekedar natap mata Stella aja dia nggak berani.

“Sebenernya tujuan lo apa sih kaya gini sama gue?” ujar Stella membuat Kevin menoleh cepat.

“Maksudnya?”

“Udah berkali-kali gue nolak tapi lo masih aja ngejar gue. Lo merasa tertantang karena gue nolak? Penasaran kok bisa ada cewek yang nggak terpengaruh sama gombalan lo?”

“Nggak gitu maksud gue, La.”

“Trus apa?”

“Gue cuman mau temenan sama lo.”

“Sikap lo nggak mencerminkan ngajak temenan, tapi ....”

“Tapi ...?”

Mulut Stella terkatup. Kenapa rasanya jadi dia yang kepedean?

Kevin tersenyum tipis melihat Stella tak mampu melanjutkan kalimatnya. “Oke, sebelumnya gue minta maaf kalo sikap gue bikin lo nggak nyaman. Gue cuman ... ya ... pengen deket sama lo. Kita kan satu kelas. Aneh aja kalo kita kesannya kaya musuhan.”

“Trus setelah lo dapetin itu, lo mau apa?”

“Ya temenan sama lo! Ngobrol, ke kantin bareng kaya gini.”

“Gue nggak percaya lo cuman berharap sebatas temen, Kev. Lo pasti penasaran karena gue nggak kaya cewek lain yang dikasih gombalan dikit langsung meleleh. Lo merasa tertantang karena nggak bisa dapetin gue, kaya lo dapet cewek-cewek di luar sana. Iya kan?”

“Nggak gitu maksud gue, La!”

“Dan saat gue akhirnya luluh trus lo dapetin apa yang lo mau dari gue, lo bakal pergi. Ninggalin gue sendirian. Itu mau lo kan?”

“Stella, dengerin gue dulu.”

“Gue tekanin di sini ya, Kev.” Stella tak sedikitpun memberi kesempatan untuk Kevin bicara. “Sampai kapanpun, gue nggak akan terpengaruh sama gombalan lo. Gue nggak akan baper. Jadi daripada lo buang-buang waktu, mending lo cari cewek lain. Lagi pula, gue sama sekali nggak ada niatan buat pacaran. Apalagi sama lo.”

Setelahnya, Stella beranjak meninggalkan Kevin dengan kalimat menggantung di tenggorokan.

Kevin nggak pernah bermaksud mempermainkan Stella. Kevin nggak pernah berpikiran seperti yang Stella duga. Dia benar-benar serius. Bahkan saat dia mendapat berbagai penolakan dari Stella, dia masih terus maju. Padahal Kevin punya banyak cewek yang udah ngantri buat jadi pacarnya. Tapi Kevin cuman mau Stella.

Stella itu misterius. Banyak rahasia yang tersimpan di bola matanya. Dia terlihat kuat. Namun sesekali tatapannya memohon uluran tangan. Menarik Kevin untuk turut mengurai benang kusut kehidupan gadis itu.

Kerap kali Kevin memergoki Stella menangis di sudut sekolah. Entah beban apa yang tengah dipikul gadis itu. Namun anehnya Stella bisa tampak baik-baik saja di hadapan banyak orang. Topengnya terlalu tebal.

Bukan Kevin kalau menyerah begitu saja. Ia akan terus berusaha merebut hati gadis itu. Entah bagaimana caranya, Kevin ingin menjadi bahu untuk Stella bersandar dari segala duka yang ia pendam.

©haruquinza

Hai, gue Kevin Aditya. Panggil aja Kevin atau kalo ribet panggil sayang juga boleh HAHAHA. Beberapa dari kalian mungkin udah nggak asing lagi sama gue, terutama yang udah kenalan sama sohib gue, Justin Mahendra. Kalo di cerita dia gue cuman muncul buat mencairkan suasana aja, di sini kehidupan gue bakal dikupas tuntas! Duh, kok gue takut ya. Takut diapa-apain sama haruquinza :')

Gue bukan cowok baik. Mana ada cowok baik yang tiap malemnya nongkrong di arena sambil nyebat, pernah nyicip berbagai minuman haram walau cuman setetes, dan bolak-balik ruang BK gara-gara pake knalpot berisik. Nggak ada yang bisa dibanggain dari diri gue, kecuali kegantengan. Itu juga warisan dari bokap. Dahlah.

Gue emang nggak punya apa-apa, tapi gue punya satu hal. Cinta buat cewek yang nggak sengaja keserempet motor gue beberapa hari yang lalu. Cewek yang sampai saat ini gue nggak tahu namanya. Cewek yang mau gue tolongin malah kabur. Nggak tau dia siapa, tapi jantung gue selalu berdetak kencang setiap ingat tatapan matanya.

Malam itu, gue dikejar sama geng musuh yang nggak sengaja gue temuin di jalanan. Salah satu dari mereka berhasil gue kalahkan tempo hari. Mungkin mereka masih nggak terima sama kekalahannya. Ini memang udah jadi resiko buat si pemenang. Apalagi kalo kemenangannya membawa kerugian untuk yang kalah.

Bakal berbahaya kalau situasi kejar mengejar ini terjadi di jalan raya yang padat kendaraan. Gue lalu membawa mereka ke jalanan sepi yang didominasi ruko tertutup. Awalnya gue mau melawan. Namun ngeliat pasukan mereka yang cukup banyak sedangkan gue sendiri, niat itu gue batalkan. Kabur, gue harus kabur dari mereka!

Gue pikir karena nggak ada orang makanya gue bawa motor ngebut abis-abisan. Saat gue berbelok ke kanan, ada cewek yang tiba-tiba muncul. Sontak gue banting arah tapi telat karena cewek itu udah keburu kesenggol. Dia jatuh, gue ikut jatuh. Shit! Ngapain sih itu cewek tiba-tiba muncul?!

Cewek itu meringis kesakitan. Gue langsung beranjak bantuin dia. “Sorry, sorry, gue nggak tau lo bakal muncul,” ujar gue sambil bantu dia berdiri.

Dia nggak jawab apa-apa. Cuman ngeliatin siku sama lututnya yang berdarah. Gue tambah panik dan makin panik lagi denger gerombolan motor yang tadi ngejar gue semakin dekat. Tanpa pikir panjang, gue langsung narik cewek itu kabur.

Motor gue ditinggal dan bakal jadi bukti terkuat keberadaan gue di sini. Gue harus cari tempat sembunyi yang jauh dari sana. Bisa aja ngadepin mereka. Tapi masalahnya gue bawa cewek. Nanti kalo dia kenapa-kenapa tambah masalah lagi hidup gue.

Gue juga nggak tau kenapa harus narik ini cewek. Padahal bisa aja gue tinggal di sana. Gatau dah, mukanya minta dikasihani emang. Tapi cantik sih.

Ada sebuah ruko yang masih sedikit terbuka. Gue menuntun cewek itu buat masuk ke sana. Setelahnya, gue ikut masuk dan pintunya ditutup rapat. Napas kami berdua memburu. Tangan cewek itu masih dalam genggaman. Gue menatapnya yang sibuk mengatur napas.

Terdengar derap langkah dari luar. Cewek itu sontak beringsut ketakutan. Gue bekap mulutnya lalu membawanya berjongkok. Tolong, jangan sekarang. Setidaknya ijinkan gue buat bawa cewek ini pulang dulu.

Gue rasa mereka sudah menjauh. Cewek itu terpejam sambil memegangi tangan gue yang membekap mulutnya. Dia jelas ketakutan. Tangannya bergetar dengan air muka yang memerah.

“Hei, kita udah aman. Jangan takut,” lirih gue.

Kelopak matanya perlahan membuka dan langsung bertubruk pandang dengan gue. Ada yang menyengat, tapi bukan lebah ataupun listrik. Yang jelas mata lentik itu membuat jantung gue hampir meledak.

Tubuh gue ditarik mundur, menjauh dari dia. Berusaha menetralkan degup yang ingin melompat. Dia jatuh terduduk lantas meringis sambil mengintip luka di sikunya. Ah, gue hampir lupa sama luka itu.

“Lo kenapa narik gue ke sini? Gue mau pulang!” protes dia namun suaranya sangat lirih. Mungkin takut yang di luar akan mendengar.

“Sorry, sorry, tadi niatnya gue mau ngobatin luka lo. Tapi gue lagi dikejar. Jadinya gue bawa lo dulu. Sorry banget.”

Dia hanya berdecak sembari merapikan rambutnya yang berantakan. Gila, ini cewek cakep banget sumpah!

“Lo tunggu di sini ya?”

“Mau ke mana?” sahut dia panik.

“Beli obat buat luka lo. Bentar doang, serius.”

“Lo pasti mau ninggalin gue kan?”

“Enggak! Gue bakal balik lagi beneran. Sebentar doang. Mereka kayaknya masih di sini. Jadi mending lo jangan ke mana-mana. Di sini dulu, oke?”

Dia tidak menjawab. Gue lantas beranjak namun ada yang menarik jaket gue.

“Jangan lama-lama. Gue takut,” ujar gadis itu membuat tubuh gue merinding seketika.

“Iya, gue pasti balik secepat mungkin.”

Setelah mengatakan itu, gue langsung keluar dari sana dan berlari secepat mungkin. Yang ada di pikiran gue cuman dapet obat secepat mungkin dan balik menemui cewek itu. Bahkan gue nggak peduli sama motor yang kayaknya dibawa pergi sama geng itu.

Namun kejadian tak terduga telah terjadi. Saat gue kembali, cewek itu udah nggak ada di sana. Gue cari kemanapun, tetep nggak ketemu. Dia pergi, meninggalkan gue dengan sekotak obat dalam genggaman.

Sampai sekarang, gue nggak pernah ketemu sama dia. Gue hanya berharap dia nggak diculik sama geng yang ngejar gue. Gue berharap dia pulang dengan selamat. Dan gue berharap dia mengobati luka di siku dan lututnya dengan baik, seperti apa yang mau gue lakukan.

Nggak butuh lama buat menyadari debaran aneh yang muncul setiap mengingatnya. Nggak tau kenapa dengan mudahnya gue menaruh perasaan pada sosok cewek yang bahkan gue nggak tau namanya. Sialan itu cewek. Beraninya habis bikin baper langsung kabur. Tunggu aja, gue bakal cari lo ke manapun sampai ketemu.

©haruquinza

Hai, gue Kevin Aditya. Panggil aja Kevin atau kalo ribet panggil sayang juga boleh HAHAHA. Beberapa dari kalian mungkin udah nggak asing lagi sama gue, terutama yang udah kenalan sama sohib gue, Justin Mahendra. Kalo di cerita dia gue cuman muncul buat mencairkan suasana aja, di sini kehidupan gue bakal dikupas tuntas! Duh, kok gue takut ya. Takut diapa-apain sama haruquinza :')

Gue bukan cowok baik. Mana ada cowok baik yang tiap malemnya nongkrong di arena sambil nyebat, pernah nyicip berbagai minuman haram walau cuman setetes, dan bolak-balik ruang BK gara-gara pake knalpot berisik. Nggak ada yang bisa dibanggain dari diri gue, kecuali kegantengan. Itu juga warisan dari bokap. Dahlah.

Gue emang nggak punya apa-apa, tapi gue punya satu hal. Cinta buat cewek yang nggak sengaja keserempet motor gue beberapa hari yang lalu. Cewek yang sampai saat ini gue nggak tahu namanya. Cewek yang mau gue tolongin malah kabur. Nggak tau dia siapa, tapi jantung gue selalu berdetak kencang setiap ingat tatapan matanya.

Malam itu, gue dikejar sama geng musuh yang nggak sengaja gue temuin di jalanan. Salah satu dari mereka berhasil gue kalahkan tempo hari. Mungkin mereka masih nggak terima sama kekalahannya. Ini memang udah jadi resiko buat si pemenang. Apalagi kalo kemenangannya membawa kerugian untuk yang kalah.

Bakal berbahaya kalau situasi kejar mengejar ini terjadi di jalan raya yang padat kendaraan. Gue lalu membawa mereka ke jalanan sepi yang didominasi ruko tertutup. Awalnya gue mau melawan. Namun ngeliat pasukan mereka yang cukup banyak sedangkan gue sendiri, niat itu gue batalkan. Kabur, gue harus kabur dari mereka!

Gue pikir karena nggak ada orang makanya gue bawa motor ngebut abis-abisan. Saat gue berbelok ke kanan, ada cewek yang tiba-tiba muncul. Sontak gue banting arah tapi telat karena cewek itu udah keburu kesenggol. Dia jatuh, gue ikut jatuh. Shit! Ngapain sih itu cewek tiba-tiba muncul?!

Cewek itu meringis kesakitan. Gue langsung beranjak bantuin dia. “Sorry, sorry, gue nggak tau lo bakal muncul,” ujar gue sambil bantu dia berdiri.

Dia nggak jawab apa-apa. Cuman ngeliatin siku sama lututnya yang berdarah. Gue tambah panik dan makin panik lagi denger gerombolan motor yang tadi ngejar gue semakin dekat. Tanpa pikir panjang, gue langsung narik cewek itu kabur.

Motor gue ditinggal dan bakal jadi bukti terkuat keberadaan gue di sini. Gue harus cari tempat sembunyi yang jauh dari sana. Bisa aja ngadepin mereka. Tapi masalahnya gue bawa cewek. Nanti kalo dia kenapa-kenapa tambah masalah lagi hidup gue.

Gue juga nggak tau kenapa harus narik ini cewek. Padahal bisa aja gue tinggal di sana. Gatau dah, mukanya minta dikasihani emang. Tapi cantik sih.

Ada sebuah ruko yang masih sedikit terbuka. Gue menuntun cewek itu buat masuk ke sana. Setelahnya, gue ikut masuk dan pintunya ditutup rapat. Napas kami berdua memburu. Tangan cewek itu masih dalam genggaman. Gue menatapnya yang sibuk mengatur napas.

Terdengar derap langkah dari luar. Cewek itu sontak beringsut ketakutan. Gue bekap mulutnya lalu membawanya berjongkok. Tolong, jangan sekarang. Setidaknya ijinkan gue buat bawa cewek ini pulang dulu.

Gue rasa mereka sudah menjauh. Cewek itu terpejam sambil memegangi tangan gue yang membekap mulutnya. Dia jelas ketakutan. Tangannya bergetar dengan air muka yang memerah.

“Hei, kita udah aman. Jangan takut,” lirih gue.

Kelopak matanya perlahan membuka dan langsung bertubruk pandang dengan gue. Ada yang menyengat, tapi bukan lebah ataupun listrik. Yang jelas mata lentik itu membuat jantung gue hampir meledak.

Tubuh gue ditarik mundur, menjauh dari dia. Berusaha menetralkan degup yang ingin melompat. Dia jatuh terduduk lantas meringis sambil mengintip luka di sikunya. Ah, gue hampir lupa sama luka itu.

“Lo kenapa narik gue ke sini? Gue mau pulang!” protes dia namun suaranya sangat lirih. Mungkin takut yang di luar akan mendengar.

“Sorry, sorry, tadi niatnya gue mau ngobatin luka lo. Tapi gue lagi dikejar. Jadinya gue bawa lo dulu. Sorry banget.”

Dia hanya berdecak sembari merapikan rambutnya yang berantakan. Gila, ini cewek cakep banget sumpah!

“Lo tunggu di sini ya?”

“Mau ke mana?” sahut dia panik.

“Beli obat buat luka lo. Bentar doang, serius.”

“Lo pasti mau ninggalin gue kan?”

“Enggak! Gue bakal balik lagi beneran. Sebentar doang. Mereka kayaknya masih di sini. Jadi mending lo jangan ke mana-mana. Di sini dulu, oke?”

Dia tidak menjawab. Gue lantas beranjak namun ada yang menarik jaket gue.

“Jangan lama-lama. Gue takut,” ujar gadis itu membuat tubuh gue merinding seketika.

“Iya, gue pasti balik secepat mungkin.”

Setelah mengatakan itu, gue langsung keluar dari sana dan berlari secepat mungkin. Yang ada di pikiran gue cuman segera balik menemuinya. Bahkan gue nggak peduli sama motor yang kayaknya dibawa pergi sama mereka. Gue hanya perlu dapet obat secepatnya dan kembali ke sana.

Namun kejadian tak terduga telah terjadi. Saat gue kembali, cewek itu udah nggak ada di sana. Gue cari kemanapun, tetep nggak ketemu. Dia pergi, meninggalkan gue dengan sekotak obat dalam genggaman.

Sampai sekarang, gue nggak pernah ketemu sama cewek itu. Gue hanya berharap dia nggak diculik sama mereka yang ngejar tadi. Gue berharap dia pulang dengan selamat. Dan gue berharap dia mengobati siku dan lututnya dengan baik, seperti apa yang mau gue lakukan.

Nggak butuh lama buat menyadari debaran aneh yang muncul setiap mengingatnya. Nggak tau kenapa dengan mudahnya gue menaruh perasaan pada sosok cewek yang bahkan gue nggak tau namanya. Sialan itu cewek. Beraninya habis bikin baper malah kabur. Tunggu aja, gue bakal cari lo ke manapun sampai ketemu.

©haruquinza

Sayang, aku tunggu di kantin kampus yaa.

Itu adalah isi pesan singkat yang baru saja Zafran kirim ke kekasihnya. Ia menoleh ke sana kemari. Menatap ramainya mahasiswa yang saling berdesakan untuk mendapat makanan. Berbagai percakapan dan tawa saling bersahutan. Mereka tampak bahagia, Zafran berharap bisa merasakan kebahagiaan itu juga.

Gadis yang ditunggu tak kunjung datang. Ah, seharusnya ia jemput saja tadi. Jadi tidak banyak waktu yang terbuang.

Aroma familier yang lama Zafran hindari tiba-tiba tercium. Kepalanya menengok mencari sumber aroma tersebut. Tepat di sebelahnya, ada sekumpulan mahasiswa tengah terbahak dengan kepulan asap pekat di sekitar mereka dari vape yang digenggam. Zafran mendecak keras. Ia lantas mencari tempat duduk lain yang jauh dari mereka.

Aku duduk di sini.

Zafran kembali mengirim pesan dan sebuah foto ke kekasihnya.

Bentar sayanggg, macet banget 😭 udah deket kok iniiii. Tunggu bentar yaaa huhuuu.

Zafran tersenyum kecil membaca balasan dari sang pacar yang diimbuhi foto ekspresi kesal gadisnya itu.

Ibu jarinya bergulir ke galeri. Niatnya hendak melihat koleksi foto gadisnya di sana. Namun sebuah folder yang terselip dalam kolom arsip menarik perhatiannya. Ia lantas membuka folder tersebut lalu tersenyum tipis.

Sebuah foto yang menarik perhatiannya dibuka. Zafran menatapnya cukup lama dengan sesekali tersenyum. Matanya tak berkedip sehingga mulai berair.

“Narsis banget senyum-senyum sambil liatin foto sendiri.”

Zafran seketika menoleh dan menemukan gadis yang sedari tadi ia tunggu telah datang. Senyumnya merekah. “Hei, udah lama?”

“Baru aja sampe. Aduh haus banget. Minta minum!”

Zafran segera menggeser minumannya untuk sang pacar.

“Kenapa sih liatin foto sendiri mulu? Ngeri banget lagi senyumannya,” ledek sang pacar membuat Zafran terkekeh.

“Ini bukan fotoku. Tapi adik kembarku.”

“Hah? Kamu punya kembaran?” sergah sang pacar tampak sangat terkejut setelah mendengar pernyataan dari Zafran.

“Punya. Emang aku nggak pernah cerita?”

“Nggak pernah tau! Kok bisa sih?”

Zafran termenung sejenak. Sekeras itu ya usahanya untuk ikhlas? Sudah berapa lama Zafran menganggapnya tidak ada? Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menyebut nama kembarannya.

Ia bangga pada dirinya yang kini bisa melawan ketakutan yang sudah bertahun lamanya mengendap dalam kenangan. Zafran sadar, tidak seharusnya ia terpuruk pada titik yang sama selama bertahun-tahun. Ia harus bangkit. Tak ada yang perlu disesali. Semua sudah jadi takdir Tuhan yang harus ia terima.

Perlahan, ia kembali membawa sosok itu sebagai salah satu orang yang pernah mengisi hari-harinya. Menganggapnya ada sebagai adik kembar yang paling ia sayang. Meskipun raganya tak bisa lagi dipeluk, namun jiwanya akan tetap abadi dalam kenang.

“Aku juga nggak pernah liat deh. Dia kuliah di mana sekarang? Eh, udah kuliah kan? Ya, udah lah ya, kan seumuran sama kamu,” ucap pacar Zafran yang malah jadi sibuk sendiri mengoreksi ucapannya.

Hari ini akan jadi hari pertama Zafran untuk menyebut kembali nama kembarannya itu. Bibirnya bergetar. Kedua bola matanya perlahan berair. Ia menatap gadisnya dengan senyum raput.

“Namanya Zayyan Gibson Alfath. Panggilannya Zayyan.

I'm 20 now. But he's still 18.

—Finish.

Sayang, aku tunggu di kantin kampus yaa.

Itu adalah isi pesan singkat yang baru saja Zafran kirim ke kekasihnya. Ia menoleh ke sana kemari. Menatap ramainya mahasiswa yang saling berdesakan untuk mendapat makanan. Berbagai percakapan dan tawa saling bersahutan. Mereka tampak bahagia, Zafran berharap bisa merasakan kebahagiaan itu juga.

Gadis yang ditunggu tak kunjung datang. Ah, seharusnya ia jemput saja tadi. Jadi tidak banyak waktu yang terbuang.

Aroma familier yang lama Zafran hindari tiba-tiba tercium. Kepalanya menengok mencari sumber aroma tersebut. Tepat di sebelahnya, ada sekumpulan mahasiswa tengah terbahak dengan kepulan asap pekat di sekitar mereka dari vape yang digenggam. Zafran mendecak keras. Ia lantas mencari tempat duduk lain yang jauh dari mereka.

Aku duduk di sini.

Zafran kembali mengirim pesan dan sebuah foto ke kekasihnya.

Bentar sayanggg, macet banget 😭 udah deket kok iniiii. Tunggu bentar yaaa huhuuu.

Zafran tersenyum kecil membaca balasan dari sang pacar yang diimbuhi foto ekspresi kesal gadisnya itu.

Ibu jarinya bergulir ke galeri. Niatnya hendak melihat koleksi foto gadisnya di sana. Namun sebuah folder yang terselip dalam kolom arsip menarik perhatiannya. Ia lantas membuka folder tersebut lalu tersenyum tipis.

Sebuah foto yang menarik perhatiannya dibuka. Zafran menatapnya cukup lama dengan sesekali tersenyum. Matanya tak berkedip sehingga mulai berair.

“Narsis banget senyum-senyum sambil liatin foto sendiri.”

Zafran seketika menoleh dan menemukan gadis yang sedari tadi ia tunggu telah datang. Senyumnya merekah. “Hei, udah lama?”

“Baru aja sampe. Aduh haus banget. Minta minum!”

Zafran segera menggeser minumannya untuk sang pacar.

“Kenapa sih liatin foto sendiri mulu? Ngeri banget lagi senyumannya,” ledek sang pacar membuat Zafran terkekeh.

“Ini bukan fotoku. Tapi adik kembarku.”

“Hah? Kamu punya kembaran?” sergah sang pacar tampak sangat terkejut setelah mendengar pernyataan dari Zafran.

“Punya. Emang aku nggak pernah cerita?”

“Nggak pernah tau! Kok bisa sih?”

Zafran termenung sejenak. Sekeras itu ya usahanya untuk ikhlas? Sudah berapa lama Zafran menganggapnya tidak ada? Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menyebut nama kembarannya.

Ia bangga pada dirinya yang kini bisa melawan ketakutan yang sudah bertahun lamanya mengendap dalam kenangan. Zafran sadar, tidak seharusnya ia terpuruk pada titik yang sama selama bertahun-tahun. Ia harus bangkit. Tak ada yang perlu disesali. Semua sudah jadi takdir Tuhan yang harus ia terima.

Perlahan, ia kembali membawa sosok itu sebagai salah satu orang yang pernah mengisi hari-harinya. Menganggapnya ada sebagai adik kembar yang paling ia sayang. Meskipun raganya tak bisa lagi dipeluk, namun jiwanya akan tetap abadi dalam kenang.

“Aku juga nggak pernah liat deh. Dia kuliah di mana sekarang? Eh, udah kuliah kan? Ya, udah lah ya, kan seumuran sama kamu,” ucap pacar Zafran yang malah jadi sibuk sendiri mengoreksi ucapannya.

Hari ini akan jadi hari pertama Zafran untuk menyebut kembali nama kembarannya itu. Bibirnya bergetar. Kedua bola matanya perlahan berair. Ia menatap gadisnya dengan senyum raput.

“Namanya Zayyan Gibson Alfath. Panggilannya Zayyan.

I'm 20 now. But he's still 18.

—Finish.