Quinzaharu

Sayang, aku tunggu di kantin kampus yaa.

Itu adalah isi pesan singkat yang baru saja Zafran kirim ke kekasihnya. Ia menoleh ke sana kemari. Menatap ramainya mahasiswa yang saling berdesakan untuk mendapat makanan. Berbagai percakapan dan tawa saling bersahutan. Mereka tampak bahagia, Zafran berharap bisa merasakan kebahagiaan itu juga.

Gadis yang ditunggu tak kunjung datang. Ah, seharusnya ia jemput saja tadi. Jadi tidak banyak waktu yang terbuang.

Aroma familier yang lama Zafran hindari tiba-tiba tercium. Kepalanya menengok mencari sumber aroma tersebut. Tepat di sebelahnya, ada sekumpulan mahasiswa tengah terbahak dengan kepulan asap pekat di sekitar mereka dari vape yang digenggam. Zafran mendecak keras. Ia lantas mencari tempat duduk lain yang jauh dari mereka.

Aku duduk di sini.

Zafran kembali mengirim pesan dan sebuah foto ke kekasihnya.

Bentar sayanggg, macet banget 😭 udah deket kok iniiii. Tunggu bentar yaaa huhuuu.

Zafran tersenyum kecil membaca balasan dari sang pacar yang diimbuhi foto ekspresi kesal gadisnya itu.

Ibu jarinya bergulir ke galeri. Niatnya hendak melihat koleksi foto gadisnya di sana. Namun sebuah folder yang terselip dalam kolom arsip menarik perhatiannya. Ia lantas membuka folder tersebut lalu tersenyum tipis.

Sebuah foto yang menarik perhatiannya dibuka. Zafran menatapnya cukup lama dengan sesekali tersenyum. Matanya tak berkedip sehingga mulai berair.

“Narsis banget senyum-senyum sambil liatin foto sendiri.”

Zafran seketika menoleh dan menemukan gadis yang sedari tadi ia tunggu telah datang. Senyumnya merekah. “Hei, udah lama?”

“Baru aja sampe. Aduh haus banget. Minta minum!”

Zafran segera menggeser minumannya untuk sang pacar.

“Kenapa sih liatin foto sendiri mulu? Ngeri banget lagi senyumannya,” ledek sang pacar membuat Zafran terkekeh.

“Ini bukan fotoku. Tapi adik kembarku.”

“Hah? Kamu punya kembaran?” sergah sang pacar tampak sangat terkejut setelah mendengar pernyataan dari Zafran.

“Punya. Emang aku nggak pernah cerita?”

“Nggak pernah tau! Kok bisa sih?”

Zafran termenung sejenak. Sekeras itu ya usahanya untuk ikhlas? Sudah berapa lama Zafran menganggapnya tidak ada? Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menyebut nama kembarannya.

Ia bangga pada dirinya yang kini bisa melawan ketakutan yang sudah bertahun lamanya mengendap dalam kenangan. Zafran sadar, tidak seharusnya ia terpuruk pada titik yang sama selama bertahun-tahun. Ia harus bangkit. Tak ada yang perlu disesali. Semua sudah jadi takdir Tuhan yang harus ia terima.

Perlahan, ia kembali membawa sosok itu sebagai salah satu orang yang pernah mengisi hari-harinya. Menganggapnya ada sebagai adik kembar yang paling ia sayang. Meskipun raganya tak bisa lagi dipeluk, namun jiwanya akan tetap abadi dalam kenang.

“Aku juga nggak pernah liat deh. Dia kuliah di mana sekarang? Eh, udah kuliah kan? Ya, udah lah ya, kan seumuran sama kamu,” ucap pacar Zafran yang malah jadi sibuk sendiri mengoreksi ucapannya.

Hari ini akan jadi hari pertama Zafran untuk menyebut kembali nama kembarannya itu. Bibirnya bergetar. Kedua bola matanya perlahan berair. Ia menatap gadisnya dengan senyum raput.

“Namanya Zayyan Gibson Alfath. Panggilannya Zayyan.

I'm 20 now. But he's still 18.

—Finish.

Sorak sorai penonton semakin bergemuruh saat Niskala menginjakkan kaki di panggung. Ini penampilan pertama Niskala setelah sekian lama hiatus. Ya, selama ini merek tidak pernah tampil tanpa Zafran. Niskala itu empat, dan akan selalu empat sampai akhir. Jika satu gugur, maka semuanya pun gugur.

Butuh waktu lama untuk Zafran bisa berdiri tegak di sini. Menggelar konser seperti apa yang diinginkan kembarannya. Dia memang tak tampak, namun Zafran yakin kembarannya akan selalu mendukung di manapun ia berada.

Dua lagu milik Niskala telah selesai ditampilkan. Namun ada satu penampilan khusus dari Zafran untuk seseorang, Zayyan, kembaran tersayangnya.

Since the love that you left is all that I get I want you to know that if I can't be close to you I settle for the ghost of you I miss you more than life (more than life)

And if you can't be next to me Your memory is ecstasy I miss you more than life I miss you more than life

Pelupuk mata Zafran terlihat mengkilat basah. Rasanya begitu sesak. Berbagai kenangan mulai bermunculan di kepalanya. Ia tidak bisa membayangkan jika yang ia takuti selama ini benar-benar menjadi nyata. Mungkin Zafran tidak akan pernah sanggup lagi untuk berdiri di sini.

Walaupun Zayyan tidak ada di sini, ia bisa merasakan keberadaannya. Adik kembarnya itu biasanya duduk di pojok kanan. Bertepuk tangan heboh dengan sorakan keras yang dulunya begitu annoying untuk Zafran. Kini Zafran bahkan berharap hanya sorakan Zayyan yang ia dengar, bukan dari penonton lain.

Zafran selesai menyanyikan lagunya. Ia turun dari panggung dan langsung disambut oleh pelukan dari teman-temannya.

“Kuat, bro. Lo harus kuat,” ujar Devon sambil menepuk-nepuk punggung Zafran.

“Nggak ada yang ngerokok kan?” tanya Zafran.

“Aman. Semuanya udah terkendali. Emang Zayyan masih di sini?” tanya Farrel.

“Semoga masih. Dia udah janji selalu ada buat gue.”

Ucapan Zafran menuai senyum haru dari teman-temannya. Mereka lalu menggiring Zafran ke backstage. Di sana ia berpapasan dengan Allisya yang sedang mengobrol dengan Evan. Mereka bertatapan sejenak sebelum akhirnya Zafran memalingkan wajah dan bergegas pergi.


Zafran dan yang lain melangkah menuju ruang transit. Mereka disambut meja panjang penuh hidangan makanan yang disiapkan khusus oleh keluarga Zafran untuk Niskala dan para staff.

Dari sekian banyak orang di sana, Zafran hanya menatap satu orang yang mulutnya penuh dengan makanan. Senyum kecil terbit di bibir. Ia mendekat lalu menjitak kepala orang itu.

“Makan teros!”

“Sakit anjir!”

“Mata lo udah berat banget buat melek masih aja dipaksain makan ya.”

“Kapan lagi gue bisa makan bareng-bareng gini. Lo udah selesai nyanyi?”

“Udah lah! Lo gimana sih? Katanya mau nonton gue?”

Dia meringis. “Masakan bunda lebih menggoda buat di eksekusi, Ran.”

Zafran menggosok rambut lelaki yang lebih muda sepuluh menit darinya itu sampai berantakan lantas duduk di sebelahnya. Ia menyerobot suapan yang hendak dilahap dan langsung memasukkannya ke mulut. Baru beberapa kali kunyahan, tiba-tiba kedua matanya melotot.

“KOK PEDES?!”

“YA EMANG ADA CABENYA!”

“LO GAK NGOMONG NJIR! GUE GAK SUKA PEDES!”

“SALAH SIAPA NYEROBOT MAKANAN ORANG!”

“AMBILIN MINUM CEPET!”

“NGGAK ADA!”

“ZAYYAN!!!”

Kematian adalah hal yang pasti akan menghampiri setiap makhluk. Namun tiada yang tahu kapan ia datang kecuali Sang Pencipta. Kemarin, Zayyan sudah pasrah jika memang ia harus kembali. Namun melihat Zafran yang begitu takut kehilangannya membuat Zayyan ingin hidup lebih lama lagi.

Sudah banyak usaha yang dilakukan keluarga Alfath demi kesembuhan Zayyan. Mereka hanya ingin pepatah usaha tidak mengkhianati hasil menunjukkan kebenarannya. Tidak ada yang mereka inginnkan selain kembali berkumpul bersama Zayyan selepas operasi. Hanya itu. Just it.

Seperti apa yang sudah dibilang Zafran, hanya Zayyan yang tahu apa yang baik untuk tubuhnya. Hanya Zayyan yang bisa merasakan apa yang terjadi dalam tubuhnya. Zayyan merasa operasi ini tidak akan bekerja dengan baik. Namun melihat keluarganya begitu optimis dengan cara ini, maka sebisa mungkin Zayyan enyahkan pikiran buruk tersebut.

Beberapa hari setelah semua pihak menyetujui tindak operasi untuk Zayyan, tibalah saat remaja lelaki itu siap masuk meja operasi. Ia sudah tergeletak lemas di ranjang rumah sakit. Menatap satu persatu keluarganya yang berkumpul untuk memberi semangat. Zayyan tersenyum tipis. Kesetiaan keluarga mendampinginya hingga titik ini membuatnya bahagia.

Tidak hanya keluarganya, di luar ruangan tampak siluet teman-teman Zayyan, teman-teman Zafran, dan juga Zanna. Ingin rasanya menyapa mereka setelah operasi. Semoga Tuhan mengabulkan.

Satu persatu keluarga menghampiri, diawali dengan sang ayah. Dia mendekati sang anak dengan mata yang sudah sangat merah. Tangannya mengelus lembut rambut Zayyan. “Ayah akan selalu di sini, menunggu Zayyan bernapas kembali. Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja. Ayah janji,” ujar ayah dengan bibir bergetar lantas mengecup dahi Zayyan.

Giliran sang bunda yang tak pernah menghentikan tangisnya sejak tadi. Ia meraih tangan kurus Zayyan dan digenggam sangat erat. Seolah tidak ingin anaknya pergi dari hadapannya. Bibir Zayyan menggurat senyuman dan menukarkannya pada sang bunda. Berhasil, namun dengan air mata yang makin menderas.

“Bunda tidak pernah berhenti untuk mendoakan Zayyan. Tuhan pasti mengabulkannya. Jangan pergi ya, nak. Bunda ingin bertemu Zayyan lagi.”

Zayyan hanya bisa mengangguk dengan air mata yang jatuh. Sang bunda langsung mengusap pipi basah Zayyan lantas memberikan kecupan dalam di sana. Terakhir, bunda memeluk Zayyan erat dengan isakan yang mengudara. Ia melangkah mundur, merangsek ke rangkulan sang suami.

“Zafran, ayo giliran kamu,” pinta sang ayah melihat Zafran tak bergeming.

“Semangat, bro,” ujar Zafran lirih hendak melenggang keluar namun dicegat oleh ayahnya. Ia memberi isyarat agar Zafran mendekat pada Zayyan. Zafran menghela napas berat lantas melangkah pelan menuju Zayyan.

“Hayo, mau ngomong apa?” ledek Zayyan saat Zafran sudah ada di hadapannya.

“Lo nggak berencana buat menyerah kan, Yan?” tanya Zafran yang langsung mengatupkan mulutnya rapat, menahan suaranya yang bergetar. “Lo akan berusaha buat bertahan kan?” ujar Zafran lagi. Kali ini dengan setetes air mata yang luruh.

Zayyan mengangguk. Dia akan bertahan, itu yang Zayyan katakan.

Zafran kembali mengikis jarak dengan Zayyan untuk memberikannya pelukan. Zayyan agak terkejut, namun tangannya perlahan melingkar di punggung Zafran. Tidak ada pembicaraan di sana. Zafran menumpahkan segala ketakutannya di sana. Pelukannya terus mengerat, tidak ingin Zayyan bergeser sedikitpun dari kehidupannya.

Mendengar tangisan sang kakak membuat air mata yang sedari tadi Zayyan tahan ikut tumpah. Wajahnya tenggelam di ceruk leher Zafran. Menumpahkan segala beban yang tak pernah berani ia suarakan pada Zafran.

“Jangan tinggalin gue. Nanti gue sama siapa kalo lo pergi, Yan,” ujar Zafran dengan suara pecah. Zayyan menggeleng. Dia juga tidak mau meninggalkan Zafran.

“Kita masih punya rencana yang menunggu buat direalisasikan. Gue bakal pikirin apa yang mau kita lakuin di poin ke delapan selama lo berjuang di sini. Gue tunggu kabar baik dari lo,” ujar Zafran seraya melepas pelukan setelah mendapat anggukan dari Zayyan.

Sulit dipercaya, kali ini Zafran beranjak mencium dahi Zayyan cukup lama. “Abang sayang Zayyan,” ujar Zafran kemudian.

Tangis Zayyan kembali merembes keluar. “Zayyan juga sayang abang.”

Zafran melangkah mundur lalu melenggang keluar, diikuti oleh ayah dan terakhir bunda yang berat melepas pandang dengan Zayyan. Ia berikan kecupan udara dengan gumaman “bunda sayang kamu” yang dibalas “aku juga sayang bunda” oleh Zayyan.

Setelahnya, Zayyan diminta untuk menghirup bius. Membuatnya lemas lantas tertidur pulas, entah sampai kapan.

Zafran POV

Gue berjalan keluar ruangan Zayyan membiarkannya berduaan dengan Zanna sejenak. Zayyan keliatan lebih cerah setelah Zanna datang. Gue tau, dia sebenarnya punya perasaan sama Zanna. Cuman nggak mau mengakui aja. Ya, gue ikut seneng kalo Zayyan bahagia.

Ayah dan bunda juga ada di sini. Namun mereka mendadak dipanggil oleh dokter. Mereka pergi entah ke mana. Gue jadi penasaran. Dokter yang biasa menangani Zayyan keliatan cukup serius saat meminta kedua orang tua gue untuk berdiskusi.

Gue mencari ke sana kemari. Hingga saat gue melewati sebuah ruangan, gue melihat ayah dan bunda di sana bersama beberapa dokter tengah berdiskusi di ruangan tertutup. Raut wajah mereka tampak serius sekali. Apa yang sedang mereka bicarakan?

“Kanker yang bersarang di paru-paru Zayyan sudah mencapai stadium 3A. Artinya kanker tersebut sudah mencapai bronkus ataupun membran yang mengelilingi paru. Kanker ini sudah menyebar ke kelenjar getah bening yang berada di sekitar membran paru. Namun kanker tersebut belum menyebar ke organ tubuh lainnya.”

Sayup-sayup gue mendengar percakapan itu dari luar. Karena penasaran, gue lalu mendekatkan telinga ke celah pintu.

“Tapi selama ini Zayyan sudah rutin minum obat, Dok. Zayyan juga sudah kemoterapi. Apa itu belum cukup?” tanya bunda dengan suara mendengung. Bunda sampai menangis? Ada apa ini?

“Tidak cukup hanya dengan kemoterapi, Bu. Namun harus dikombinasikan dengan operasi dan radioterapi.”

“Tapi anak saya bisa sembuh, kan, Dok?” Kali ini ayah yang berbicara. Entah mengapa gue ikut deg-degan menunggu jawaban dari dokter.

“Potensi kesembuhan pada penderita kanker paru bisa sangat bervariasi tergantung jenis kankernya, stadiumnya, usia, kondisi kesehatan penderita secara umum, penanganan yang diberikan, juga respons tubuh penderita terhadap penanganan tersebut. Tanpa penanganan yang tepat, angka harapan hidup tentunya bisa sangat menurun.”

Jantung gue merosot tajam. Dada gue terasa sesak. Air mata mulai berjatuhan. Isakan bunda terdengar semakin jelas di dalam sana.

Nggak, gue nggak boleh berpikiran buruk. Zayya pasti bisa sembuh.

“Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan Zayyan, Dok?” Ayah kembali bertanya.

“Tumor yang bersarang di paru Zayyan berukuran cukup besar, kami akan melakukan lobektomi untuk mengangkat sebagian paru-paru zayyan. Sebab kanker telah menyebar hingga ke seluruh paru kanan. Kami akan mengangkat paru kanan Zayyan secara keseluruhan.”

Hah? Maksudnya paru-paru Zayyan bakal diangkat setengahnya? Mana bisa?!

NGGAK! GUE NGGAK TERIMA!

“Diangkat keseluruhan, Dok?! Lalu Zayyan bagaimana nanti?”

“Tenang saja, Bapak, Ibu. Tidak perlu khawatir. Zayyan tetap dapat bernapas secara normal, meskipun hanya dengan satu paru.”

Tidak ada yang berbicara lagi di dalam sana. Ini maksudnya gimana? Paru-paru Zayyan bakal diambil setengahnya? Ngaco banget itu dokter! Trus ayah sama bunda setuju gitu aja sama saran dokter itu?

Nggak, ini nggak bisa dibiarin.

Dengan keberanian bercampur rasa takut yang menghujam, gue mendorong keras pintu ruangan tersebutlah hingga membuat orang di dalam sana terperanjat.

“Kalian nggak boleh ambil setengah paru-paru Zayyan! Ini semua nggak akan terjadi! Gue nggak terima!!!” teriak gue dari ambang pintu diiringi tangis yang semakin menjadi-jadi. Ayah dan bunda bergegas menghampiri gue untuk menenangkan. Namun itu semua nggak ada artinya.

Mereka tidak mendengarkan jeritan gue. Mereka tidak memikirkan Zayyan yang harus bernapas dengan satu paru nantinya. Zayyan tetap akan dioperasi. Dan yang bikin gue makin kecewa,

Ternyata Zayyan udah menyetujui hal ini dari lama.

Zayyan POV

Dini hari, gue kembali terbangun. Menatap langit-langit rumah sakit yang menyala temaram. Berbeda dengan kejadian tempo hari, napas gue masih ada. Semua ini berkat alat bantu pernapasan yang melekat di wajah gue. Seinget gue sebelum tidur, alat ini udah gue lepas. Kok tiba-tiba bisa terpasang lagi?

Kepala gue tertoleh ke samping dan menemukan Zafran tengah terlelap di sofa. Apa mungkin Zafran yang udah masang alat ini?

Pikiran gue melayang. Mengingat semua yang udah gue lewatin selama beberapa bulan ini. Sangat berbeda dengan apa yang terjadi di tahun lalu. Hidup gue benar-benar berubah. Gue jadi takut dengan apa yang akan terjadi di tahun depan. Apakah akan berubah dengan drastis juga? Apakah gue masih ada di sana?

Tanpa sadar, gue menangis tanpa suara. Berkeluh kesah pada Tuhan tentang apa yang Dia berikan di tahun ini. Berbisik kepada-Nya tentang segala rasa sakit yang tak pernah bisa tersuarakan. Hanya di keheningan subuh, gue menyerah atas takdir yang tengah berputar dalam hidup.

Seringkali gue menyalahkan Tuhan atas apa yang menimpa gue. Apa kesalahan yang telah gue perbuat sampai Tuhan memberikan hukuman seberat ini? Sebesar apa dosa yang gue punya sampai Tuhan harus kasih gue penyakit separah ini untuk menghapus dosa itu? Apa kesalahan yang sudah gue perbuat di kehidupan sebelumnya?

Namun sekeras apapun gue berteriak, Tuhan tetap memilih mendengar doa di setiap sujud gue. Maka di setiap sujud, gue selalu berharap,

Ya Tuhan, jika memang aku harus kembali ke pangkuan-Mu, aku hanya ingin penyambutan yang indah. Aku akan protes jika Engkau tidak menyambutku di atas sana setelah segala penderitaan yang telah Kau berikan dalam kehidupan duniaku. Aku selalu ikhlas menerima segala suka duka yang Kau berikan dalam garis kehidupanku. Itu sudah cukup bukan untuk membayar surga-Mu?

Tuhan, jika aku boleh meminta, aku ingin hidup sebentar lagi. Aku belum melakukan apapun untuk ayah dan bunda. Aku belum membayar lunas semua hutangku pada mereka. Biarkan aku membalas segalanya dengan setimpal. Aku sudah banyak memberikan beban pada mereka. Biarkan aku membalas semuanya di sisa hidupku.

Tuhan, aku mohon lapangkanlah hati keluargaku jika nantinya Engkau lebih mengharap kepulanganku. Kuatkanlah jiwa ayah. Ikhlaskanlah hati bunda. Limpahkanlah banyak kebahagiaan untuk Zafran. Aku tidak ingin mereka berkabung dalam kesedihan terlalu lama.

Tuhan, jangan biarkan Zafran berlarut dalam rasa bersalah jika aku pergi nanti. Dia akan menyalahkan diri atas kepergianku. Dia tidak pernah bersalah. Dia peduli denganku meskipun dia tidak pernah mau menunjukkannya. Dia takut kehilanganku meski dia tak mau mengakuinya. Mudahkanlah Zafran untuk mengikhlaskan kepergianku nantinya.

Air mata gue mengalir deras tak terbendung. Betapa sakitnya setiap kalimat yang keluar dari batin gue. Betapa sesaknya hanya untuk bisa meraup satu tarikan napas. Gue tidak ingin pergi. Namun gue yakin itu akan terjadi tak lama lagi.

“Zayyan?”

Gue tersentak. Tanpa gue sadari, Zafran sudah terduduk di sofa sedari tadi sambil menatap gue. Dengan cekatan, gue menghapus setiap jejak air mata di pipi. Namun semuanya sia-sia. Zafran sudah melihatnya. Kini, dia beranjak mendekati gue.

“Lo kenapa nangis? Sakit? Mau gue panggilin dokter?” tanya dia terlihat berusaha meredam panik.

Gue menggeleng. “Gue mau lo di sini aja,” ujar gue lirih di tengah isakan.

Maka dengan cepat, Zafran menarik kursi dekat gue. Dia memegangi lengan gue untuk memberikan pijatan ringan. Tangan yang satu ia gunakan untuk mengambil tisu dan mengelap air mata gue.

“Kenapa? Coba cerita sama gue,” ujarnya begitu lembut.

“Sakit, Ran.”

Untuk pertama kalinya, gue mengakui perasaan gue di depan Zafran. Rasanya begitu sesak, melebihi sesak dari penyakit gue.

Mata Zafran terlihat memerah. Dia menggenggam tangan gue begitu erat. Tangan Zafran terasa sangat dingin.

“Gue yakin lo bisa mengalahkan rasa sakit itu, Yan. Lo harus semangat. Gue selalu dukung lo di sini. Gue akan selalu ada buat lo.”

“Gue pengen bisa bernapas kaya dulu, Ran. Nggak perlu pakai alat kaya gini.”

“Iya, sebentar lagi. Gue yakin sebentar lagi lo bisa bernapas kaya dulu. Sabar ya. Bertahan sedikit lagi. Gue yakin lo bisa sembuh. Pasti sembuh.”

Kini air mata kami berdua sama-sama mengalir deras. Zafran tak melepas genggamannya, malah semakin mengerat. Begitu juga yang gue lakukan. Gue nggak mau berpisah dengan Zafran. Gue mau terus sama dia sampai akhir.

Tuhan, jangan biarkan Zafran terlalu bersedih saat aku pergi nanti.

Zafran POV

Mencoba buat enggak panik itu susah. Walaupun udah berkali-kali dapet kabar Zayyan masuk rumah sakit, paniknya masih sama seperti saat pertama kali Zayyan terbaring di sini. Julukan “rumah sakit biasa” yang disebut sama bunda jadi bukti seberapa seringnya kami datang. Melelahkan emang, tapi mau gimana lagi?

Gue harap semua pengorbanan, keringat, dan air mata yang udah terbuang dibayar lunas oleh Tuhan dengan kesembuhan Zayyan. Walaupun Zayyan tidak pernah mengakui, gue tau dia tersiksa. Napasnya berbunyi. Dahinya kerap kali mengernyit menahan sakit seraya memegangi dada. Gue tahu semuanya, tapi gue berusaha biasa aja.

Tungkai gue melangkah cepat. Terlihat bunda yang sedang menatap sebuah pintu sambil membungkam mulutnya. Bunda menangis. Langkah gue semakin cepat.

“Bun,” panggil gue lembut. Bunda menoleh cepat seraya menghapus air matanya.

“Sudah pulang sekolah, nak?” tanya Bunda sambil menyodorkan tangannya untuk gue cium.

“Udah. Zayyan gimana?”

“Lagi ditangani dokter.”

Pintu berkaca itu membuat Kami bisa menatap Zayyan dari luar. Gue lihat Zayyan tengah terbaring dengan kepala tertoleh bersama seorang suster yang membantunya meredakan mual. Sakit, hati gue sakit banget. Tapi gue nggak boleh nangis.

Bunda kembali terisak. Tangan gue lantas merangkulnya dan memberikan usapan lembut di sana. Gue harus kuat. Gue harus kuat untuk bunda, untuk keluarga gue.

“Ayah di mana, Bun?”

“Lagi di jalan. Mungkin satu jam lagi sampai.”

Gue mengangguk. “Bunda duduk dulu di sini. Aku mau beli minum sama makanan ringan.”

Gue lantas memapahnya ke kursi yang ada di sana. Setelah memastikan bunda bisa ditinggal, gue segera pergi dengan satu lirikan ke ruangan Zayyan.


“Maaf, nggak jadi nemenin lo ke studio.”

Gue dan bunda akhirnya diijinkan untuk menemui Zayyan. Adik kembaran gue itu terbaring lemas dengan alat bantu pernapasan yang membungkus mulut dan hidungnya. Kebahagiaan gue hanya sebatas bisa melihat Zayyan membuka mata dan mendengar suaranya. Sesuatu yang gue harapkan bisa terus terlihat dan terdengar.

“Gue udah bilang, kalo sakit itu ngomong. Susah banget ngakuin semuanya ke gue?”

“Tadi belum sakit,” jawab Zayyan dengan mata berbinar membuat gue jengah.

“Kalo sakit, bilang sakit, Yan. Jangan nutupin apapun dari gue.”

“Gue baik-baik aja, Ran.”

“Baik-baik aja tapi lo buat ngomong aja susah. Baik-baik aja tapi lo bikin gue ke sini, jengukin lo ke rumah sakit. Gue bosen liat lo kaya gini.”

“Gue minta maaf.”

“Bukan permintaan maaf yang gue mau, Yan. Gue mau lo lebih terbuka sama gue.”

“Iya, gue janji akan lebih terbuka lagi sama lo.”

Gue menghela napas sadar udah bicara terlalu keras sama Zayyan. Kursi yang ada di sana gue tarik ke dekat Zayyan dan duduk di sana sambil bermain ponsel. Atas permintaan gue, bunda pulang untuk beristirahat menemani ayah yang baru pulang dari luar kota. Malam ini, gue menginap di sini, berdua dengan Zayyan.

“Lo masih suka ngerokok, Ran?”

Gue mendongak dan terkejut ketika Zayyan melepas alat bantu pernapasannya.

“Ngapain dilepas, njir!”

“Pengap, gue udah nggak sesek, kok.”

Mulai aneh-aneh ini anak. Lantas gue membantu Zayyan merapikan alat tersebut.

“Lo belum jawab pertanyaan gue,” ujar Zayyan kembali.

“Kadang kalo lagi stress.”

“Banyak cara buat ngilangin stress. Kenapa lo pilih rokok?”

Gue terdiam sejenak. “Rokok yang paling ampuh.”

“Lo nggak belajar dari ayah? Ayah sakit karena rokok. Dari dulu bunda udah peringatin buat berhenti tapi ayah abai. Pas udah sakit, baru mau berhenti. Lo mau kaya ayah? Atau nunggu kaya gue dulu?”

“Doa lo buruk amat buat gue.”

“Gue nggak doain?”

“Ucapan adalah doa, Yan.”

“Makanya berhenti ngerokok. Bukan cuman di depan gue, tapi di manapun lo berada. Jangan sentuh rokok lagi.”

Gue cuman diam menyimak omelan Zayyan.

“Lo nggak tau, mungkin beberapa orang udah jadi korban buat abu panas rokok yang lo buang di jalanan. Mungkin ada orang yang jadi batuk karena hirup asep rokok yang lo buang. Mungkin ada orang punya penyakit kaya gue karena jadi perokok pasif dari asap yang lo hirup. Ngerokok itu merugikan, Ran. Bukan cuman buat lo, tapi buat orang lain.”

Gue bersandar sambil menatap Zayyan. Sedikit tersentuh dengan apa yang dia bilang. Ada rasa bersalah yang muncul saat ingat bahwa gue turut andil memperparah penyakit Zayyan, dan mungkin untuk orang lain juga.

“Pelan-pelan gue yakin lo bisa meninggalkan rokok. Gue harap lo mau berusaha buat berhenti.”

Gue cuman mengangguk ringan.

“Nilai lo gimana?”

Gue mendecak. “Ini ceritanya lo lagi nge-roasting gue?”

“Ya.”

“Belum keluar. Masih kaya biasanya mungkin?” jawab gue tak acuh sambil bermain ponsel.

“Belajar, Ran. Gue kan udah nggak bisa ngajarin lo lagi. Lo harus berusaha sendiri.”

Kepala gue menoleh cepat. “Maksud lo apa? Jaga omongan lo, Yan!”

“Maksudnya, gue sekarang kan homeschooling. Materinya bakal beda sama sekolah reguler. Ya gue nggak bisa ngajarin lo kan?”

Diam-diam gue bernapas lega. Sialan, gue memikirkan hal lain yang lebih mengerikan dari apa yang mau diucap Zayyan.

“Ya, bisa. Lo kan pinter.”

“Gue nggak mau.”

“Ya, udah gue nggak usah belajar.”

“Lah?”

“Gue cuman mau belajar kalo lo yang ngajarin.”

Zayyan cuman tersenyum tipis mendengarnya.

Zayyan POV

Kelopak mata gue membuka cepat. Oksigen mendadak tak mampu memasuki pernapasan. Berkali-kali gue berusaha menarik napas namun tak ada udara yang masuk. Ratusan ujung jarum terasa menusuk dada dari dalam. Degup jantung gue meningkat drastis.

Gue berusaha tenang. Ini sudah biasa. Gue pasti bisa melewatinya. Sekarang yang perlu gue lakukan adalah mencari alat bantu pernapasan yang biasanya tersimpan di nakas dekat tempat tidur. Tangan kanan gue meraba-raba asal hingga beberapa barang berjatuhan.

Tidak ada. Alat itu tidak ada di sana.

Masih berusaha mengais oksigen, gue bangkit dari kasur. Berjalan terbungkuk sambil memegangi dada gue yang makin menghimpit. Kedua kelopak mata gue bahkan belum terbuka sempurna. Namun keringat dingin sudah mengucur deras di seluruh tubuh gue.

Ternyata alat itu ada di meja satunya. Dengan sisa tenaga yang ada, tangan gue menyambar alat itu dan langsung gue hirup oksigen yang ada di sana seraya tersungkur di lantai. Sakit, rasanya sakit sekali. Air mata mulai berjatuhan. Ini benar-benar melelahkan.

Perlahan oksigen sudah bisa kembali terhirup. Napas gue begitu terengah. Perlu beberapa menit untuk bisa bangkit dari posisi meringkuk yang kalau dilihat-lihat seperti orang sedang bersujud. Bedanya kedua tangan gue bukan di lantai, tapi memegangi dada dan sungkup yang ditempel di wajah.

Kepala gue bersandar di dinding. Membiarkan puluhan tetes keringat mengalir di dahi dengan mata terpejam. Gue baru saja melarikan diri dari gerbang kematian. Hebat, good job, Zayyan.

Berat rasanya hanya untuk membuka mata. Gue lihat jam dinding menunjukkan waktu pukul empat dini hari. Sayup-sayup adzan berkumandang. Rupanya Tuhan tengah berupaya memanggil gue untuk beribadah. Cara yang bagus, Tuhan. Sekarang hamba-Mu tidak akan bisa tertidur lagi.

Sambil menyeka keringat yang membasahi dahi, gue bangkit menuju kotak obat dan menenggak beberapa pil yang ada di sana. Jantung gue masih berdegup kencang. Mungkin duduk sejenak bisa mengembalikan ritme normalnya.

Panggilan beribadah telah berakhir. Gue lantas melangkah gontai ke kamar mandi untuk menyucikan diri. Sepertinya gue habis melakukan kesalahan besar sampai Tuhan menegur gue dengan cara yang seperti tadi.

Selesai beribadah, gue melangkah keluar kamar. Denting perabot rumah tangga terdengar dari arah dapur. Itu suara bunda yang sedang menyiapkan sarapan.

“Yan,” sapa Bunda melihat gue masuk ke area dapur. “Sudah solat subuh?”

Gue mengangguk lantas duduk di meja makan. Tubuh gue menyandar lemas. Bunda yang mungkin sadar gue tidak bersemangat seperti biasa lantas menghampiri.

“Ada apa? Masih pagi kok sudah murung?”

“Zayyan cape, Bun.”

Bunda menarik kursi untuk duduk di samping gue. “Cerita sama Bunda. Ada apa?”

“Kapan semua ini akan berakhir, Bun? Aku cape setiap kali harus bangun pagi cuman buat cari oksigen.”

Raut wajah bunda tampak menegang. “Kamu habis sesak napas ya? Sudah minum obatnya?”

“Setiap hari aku sesak napas. Setiap hari aku minum obat. Bunda nggak perlu tanya lagi karena jawabannya pasti iya.”

Bunda meraih tangan kanan gue. “Bunda yakin semua ini akan segera berakhir. Tetap di sini ya? Bunda akan selalu temani Zayyan.”

“Aku pengen semuanya berakhir hari ini aja, Bun.”

“Sshh, nggak boleh bicara seperti itu, sayang,” ujar Bunda sambil mengelus punggung gue. “Bunda ambilkan air minum hangat dulu ya biar kamu lega.”

Merepotkan sekali. Pagi-pagi udah bikin Bunda panik. Siapa lagi kalo bukan gue. Sekarang yang bisa gue lakuin cuman duduk dengan air mata yang tertahan melihat bunda membawakan segelas air dengan uap ringan. Bunda membantu gue minum dan benar, rasanya memang lebih tenang. Rongga dada gue jadi menghangat.

“Aku mau balik ke kamar, Bun.”

“Mau Bunda antar?”

Gue menggeleng. “Aku bisa sendiri kok, Bun.”

“Ya, sudah. Nanti Bunda bangunkan kalo sarapan sudah siap ya.”

Gue lantas berdiri dan menjauh dari sana. Gue rasa bunda tak melepas pandang dari punggung gue. Bagus, Zayyan. Sekarang lo udah nambah satu beban pikiran buat Bunda di waktu yang sepagi ini. Beban, lo benar-benar beban keluarga, Yan.

Kelopak mata gue membuka cepat. Oksigen mendadak tak mampu memasuki pernapasan. Berkali-kali gue berusaha menarik napas namun tak ada udara yang masuk. Ratusan ujung jarum terasa menusuk dada dari dalam. Degup jantung gue meningkat drastis.

Gue berusaha tenang. Ini sudah biasa. Gue pasti bisa melewatinya. Sekarang yang perlu gue lakukan adalah mencari alat bantu pernapasan yang biasanya tersimpan di nakas dekat tempat tidur. Tangan kanan gue meraba-raba asal hingga beberapa barang berjatuhan.

Tidak ada. Alat itu tidak ada di sana.

Masih berusaha mengais oksigen, gue bangkit dari kasur. Berjalan terbungkuk sambil memegangi dada gue yang makin menghimpit. Kedua kelopak mata gue bahkan belum terbuka sempurna. Namun keringat dingin sudah mengucur deras di seluruh tubuh gue.

Ternyata alat itu ada di meja satunya. Dengan sisa tenaga yang ada, tangan gue menyambar alat itu dan langsung gue hirup oksigen yang ada di sana seraya tersungkur di lantai. Sakit, rasanya sakit sekali. Air mata mulai berjatuhan. Ini benar-benar melelahkan.

Perlahan oksigen sudah bisa kembali terhirup. Napas gue begitu terengah. Perlu beberapa menit untuk bisa bangkit dari posisi meringkuk yang kalau dilihat-lihat seperti orang sedang bersujud. Bedanya kedua tangan gue bukan di lantai, tapi memegangi dada dan sungkup yang ditempel di wajah.

Kepala gue bersandar di dinding. Membiarkan puluhan tetes keringat mengalir di dahi dengan mata terpejam. Gue baru saja melarikan diri dari gerbang kematian. Hebat, good job, Zayyan.

Berat rasanya hanya untuk membuka mata. Gue lihat jam dinding menunjukkan waktu pukul empat dini hari. Sayup-sayup adzan berkumandang. Rupanya Tuhan tengah berupaya memanggil gue untuk beribadah. Cara yang bagus, Tuhan. Sekarang hamba-Mu tidak akan bisa tertidur lagi.

Sambil menyeka keringat yang membasahi dahi, gue bangkit menuju kotak obat dan menenggak beberapa pil yang ada di sana. Jantung gue masih berdegup kencang. Mungkin duduk sejenak bisa mengembalikan ritme normalnya.

Panggilan beribadah telah berakhir. Gue lantas melangkah gontai ke kamar mandi untuk menyucikan diri. Sepertinya gue habis melakukan kesalahan besar sampai Tuhan menegur gue dengan cara yang seperti tadi.

Selesai beribadah, gue melangkah keluar kamar. Denting perabot rumah tangga terdengar dari arah dapur. Itu suara bunda yang sedang menyiapkan sarapan.

“Yan,” sapa Bunda melihat gue masuk ke area dapur. “Sudah solat subuh?”

Gue mengangguk lantas duduk di meja makan. Tubuh gue menyandar lemas. Bunda yang mungkin sadar gue tidak bersemangat seperti biasa lantas menghampiri.

“Ada apa? Masih pagi kok sudah murung?”

“Zayyan cape, Bun.”

Bunda menarik kursi untuk duduk di samping gue. “Cerita sama Bunda. Ada apa?”

“Kapan semua ini akan berakhir, Bun? Aku cape setiap kali harus bangun pagi cuman buat cari oksigen.”

Raut wajah bunda tampak menegang. “Kamu habis sesak napas ya? Sudah minum obatnya?”

“Setiap hari aku sesak napas. Setiap hari aku minum obat. Bunda nggak perlu tanya lagi karena jawabannya pasti iya.”

Bunda meraih tangan kanan gue. “Bunda yakin semua ini akan segera berakhir. Tetap di sini ya? Bunda akan selalu temani Zayyan.”

“Aku pengen semuanya berakhir hari ini aja, Bun.”

“Sshh, nggak boleh bicara seperti itu, sayang,” ujar Bunda sambil mengelus punggung gue. “Bunda ambilkan air minum hangat dulu ya biar kamu lega.”

Merepotkan sekali. Pagi-pagi udah bikin Bunda panik. Siapa lagi kalo bukan gue. Sekarang yang bisa gue lakuin cuman duduk dengan air mata yang tertahan melihat bunda membawakan segelas air dengan uap ringan. Bunda membantu gue minum dan benar, rasanya memang lebih tenang. Rongga dada gue jadi menghangat.

“Aku mau balik ke kamar, Bun.”

“Mau Bunda antar?”

Gue menggeleng. “Aku bisa sendiri kok, Bun.”

“Ya, sudah. Nanti Bunda bangunkan kalo sarapan sudah siap ya.”

Gue lantas berdiri dan menjauh dari sana. Gue rasa bunda tak melepas pandang dari punggung gue. Bagus, Zayyan. Sekarang lo udah nambah satu beban pikiran buat Bunda di waktu yang sepagi ini. Beban, lo benar-benar beban keluarga, Yan.

Zafran berjalan cepat sembari sesekali melirik ponselnya yang menampilkan letak ruangan ayahnya dirawat. Tadi pagi sang ayah masih baik-baik saja. Memang sempat mengeluh tidak enak badan karena perjalanan luar kota. Namun Zafran tidak menyangka ayahnya sampai dirawat di rumah sakit.

Sang ayah memang tengah rutin minum obat. Rokok yang ia hisap sejak masih muda membuatnya sering batuk, sesak napas, bahkan asam lambung naik. Namun keberuntungan masih sedikit berpihak padanya karena kanker tidak turut menggerogoti tubuhnya.

Sesampainya di ruangan yang dicari, Zafran tidak langsung masuk. Ia mengintip dari balik kaca pintu dan menemukan keluarganya ada di sana. Zafran tidak mau terlihat khawatir. Sebisa mungkin ia mengatur ekspresi menjadi datar seakan tak terjadi apa-apa.

“Sudah pulang, Ran?” sambut sang Bunda melihat anaknya masuk.

“Udah, Bun,” jawab Zafran sembari melempar tasnya ke sofa yang tengah diduduki Zayyan lantas ikut duduk di sana.

“Ayah cuman kelelahan saja. Sepertinya besok juga sudah boleh pulang,” jelas sang bunda yang tahu Zafran gengsi menanyakan kondisi ayahnya.

Sang anak hanya mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya. Diam-diam sang ayah memperhatikan. Ada sedikit rasa penyesalan atas tembok penyekat yang terbangun di antara mereka. Zafran memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Mereka lebih sering berdebat. Banyaknya tuntutan sang ayah membuat Zafran enggan banyak berinteraksi dengan si kepala keluarga itu.

Masih teringat di pikiran Ayah perihal pesan dari Zafran yang begitu menampar. Ia sadar sudah keliru dalam hal mendidik anaknya. Ia tidak menyadari banyaknya tekanan yang telah diberikan pada Zafran. Anak itu sudah banyak bekerja keras. Namun yang dia lakukan hanya memberikan tuntutan yang lebih besar alih-alih mengapresiasi apa yang sudah dicapai Zafran.

“Zafran,” panggil sang ayah yang sukses mengentakkan jantung Zafran begitu keras. Ini pertama kalinya sang ayah memanggil dengan lembut. Hm, bukan pertama kali, namun sudah lama ia tidak mendengar suara lembut ayahnya.

“Iya?” sahut Zafran.

“Duduk di sini. Ayah mau bicara,” pinta sang Ayah sambil menunjuk kursi yang ada di dekat ranjangnya.

Zafran menurut. Sebelum beranjak, ia melemparkan tatapan tanya pada Zayyan namun hanya dibalas gelengan.

Anak lelaki itu sudah duduk di sana. Mereka berdua saling bertatapan.

“Ayah minta maaf sudah banyak menuntut kamu selama ini.”

Jantung Zafran berdegup tak karuan. Sial, dia benci perasaan ini!

“Ayah sadar, seharusnya ayah tidak terlalu menekan kamu untuk bisa selalu jaga Zayyan. Ayah minta maaf ya, Ran.”

Zafran hanya bisa menunduk. Menghalau air matanya yang memberontak keluar.

“Kamu sudah berhasil jadi sosok kakak yang baik, Ran. Sudah bisa jaga Zayyan dan Bunda saat ayah tidak di rumah. Terima kasih ya.”

Ia sudah tidak dapat menahan air matanya. Terlalu sakit. Beban-beban itu terasa kembali menghantam Zafran. Menyadari betapa lelahnya saat ia dituntut sebagai seorang kakak yang bisa menggantikan figur seorang ayah.

“Ayah sudah banyak merepotkan kamu. Seharusnya Ayah yang menjaga Zayyan dan Bunda, bukan kamu. Tapi Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan. Ayah minta maaf.

“Sekarang Ayah sakit seperti ini. Kemungkinan kamu juga yang akan menjaga Ayah. Beban kamu jadi lebih banyak ya Ran? Ayah janji nggak akan sakit lagi biar bisa bantu kamu jaga keluarga kita.”

Zafran sudah menangis tersedu. Bunda dan Zayyan yang turut menyimak percakapan itu pun ikut berderai air mata.

“Kamu masih merokok?”

Zafran menggeleng. Walaupun belum berhenti sepenuhnya, Zafran sudah sedikit mengurangi banyaknya batang rokok yang ia hisap.

“Pertahankan. Jangan menunggu sakit dulu seperti Ayah. Ayah tidak mau hal yang terjadi di keluarga kita sekarang terulang lagi di keluarga kamu nantinya. Nggak mau kan kamu terbaring sakit seperti ayah sekarang dan anak kamu kena kanker seperti Zayyan?”

Ucapan sang Ayah membuat Zafran teringat chat yang ia kirim tempo hari. Saat itu, Zafran menyalahkan ayahnya sebagai penyebab Zayyan terkena kanker. Dan entah kenapa dia jadi menyesal sekarang.

“Zayyan, sini duduk di sebelah Zafran,” ajak sang ayah membuat Zayyan beranjak duduk di tepi ranjang ayahnya.

“Maafkan ayah yang sudah bikin kamu seperti ini.”

Zayyan menggeleng. “Ini bukan salah ayah.”

“Salah Ayah. Dari dulu Ayah sering merokok di sekitar kalian. Ayah membuat kalian tinggal di lingkungan yang tidak sehat.”

“Jangan bilang kaya gitu, Yah. Aku nggak apa-apa kok,” sahut Zayyan tegar, walaupun matanya sudah sangat merah.

“Kamu pasti sembuh, Yan. Ayah akan mengusahakan segala cara untuk membuat kamu sembuh. Kamu jangan pernah berpikir untuk menyerah ya?”

Zayyan mengangguk dengan satu bulir air mata yang terjatuh.

“Kita berjuang bersama-sama ya. Bunda yakin keluarga kita bisa utuh terus sampai akhir,” timpal sang bunda seraya merangkul kedua anaknya.

“Pasti, Bun. Aku yakin Zayyan bakal sembuh. Baru stadium awal kan? Berarti satu? Paling juga bentar lagi sembuh,” ujar Zafran membuat ketiga orang di sana menegang.

Lagi-lagi, Zafran yang paling terakhir tahu soal keluarganya. Lagi-lagi dia yang terasingkan. Tertinggal sendirian dengan fakta yang dipalsukan.

Ayah, Bunda, dan Zayyan saling melempar pandangan. Mereka lalu tersenyum canggung guna menyembunyikan hal yang belum diketahui Zafran.

Bahwa penyakit kanker yang diderita Zayyan sudah memasuki stadium ketiga dan besok dia sudah harus menjalani kemoterapi.

Zafran POV

Sesuai janji, habis pulang sekolah, gue ajak Zayyan keluar. Sekadar temenin dia beli buku di Gramedia sama beli camilan di kafe. Awalnya mau langsung dimakan di sana. Namun banyaknya asap rokok yang berbahaya buat Zayyan membuat kami memutuskan untuk makan di rumah.

Sebelum dapet chat dari Zayyan, gue udah feeling di kafe ini ada Evan. Dilihat dari motor yang mirip sama punya dia terparkir nggak jauh dari tempat gue nunggu. Cuman karena gue nggak hapal plat nomer dia, gue kira itu bukan punya Evan. Tapi ternyata beneran punya tu anak. Mana datengnya sama mantan gue.

Gue sebenernya nggak masalah sih Allisya jalan sama cowok lain. Dia emang udah nggak ada hubungan lagi sama gue. Tapi please lah bro??? Kita bahkan baru putus sebulan yang lalu tapi dia udah nemu pengganti gue??? Dan he's my fucking besTAIII??? Nggak ada cowo lain apa?

Dan buat Evan, BISA-BISANYA LO DEKETIN MANTAN GUE??? OTAK LO DI MANA?

Dulu sebelum gue jadian sama Allisya, dia yang bantuin gue deket sama primadona sekolah itu. Dia yang jadi partner sambat pas Allisya bener-bener jual mahal ke gue. Dia orang pertama yang gue traktir setelah berhasil dapetin Allisya. Dia yang selalu kasih solusi kalo gue ada masalah sama Allisya.

Dan dia orang yang gue percaya buat jagain Allisya kalo gue nggak bisa melakukan peran itu.

Cih, rupanya semua kepercayaan itu bikin lo jadi ada perasaan buat Allisya ya, Van? Atau selama ini kalian berdua main di belakang?

Sebenernya gue bisa aja ngamuk, ngacak-ngacak ini kafe, atau mukulin Evan sampai remuk. Tapi nggak, gue nggak akan ngelakuin cara murahan itu. Terlalu klasik. Yang ada gue bakal keliatan jelek. Soalnya emang si Allisya kan bukan pacar gue lagi. Gue nggak ada hak buat marah karena dia jalan sama cowok lain.

Gue berjalan menghampiri Zayyan yang langsung nunjuk sepasang remaja yang duduk di pojokan. Bibir gue tersungging sinis. Ada satu pelayan yang kayaknya mau anter makanan ke sana. Gue jadi punya ide.

“Monitor, Tar. Gue mau beraksi,” ujar gue pada Zayyan yang disambut acungan jempol.

Pelayan yang hendak lewat, gue cegat. “Mas, mau anter ke meja itu ya?” tanya gue sambil menunjuk meja Evan dan Allisya.

“Iya, Mas!”

“Boleh saya aja yang nganter nggak? Kebetulan mereka temen saya. Mau ngerjain aja,” pinta gue dengan kekehan kecil yang memicu tawa dari si pelayan.

“Oh, boleh, Mas,” jawabnya sambil menyerahkan nampan berisi pesanan dua sejoli itu. “Mau pakai apronnya sekalian, Mas?” tawar si pelayan.

“Wah, ide bagus, Mas! Boleh-boleh!” sambut gue kelewat excited. Bakalan seru nih.

Zayyan lalu menawarkan diri buat memasangkan apron ke pinggang gue. Sip, gue udah kaya pelayan kafe beneran. Setelahnya gue langsung berjalan menghampiri mereka yang masih sibuk dengan buku sambil bersenda gurau.

Ritme jantung gue sedikit meningkat. Entah karena menahan emosi atau terlalu penasaran sama reaksi mereka nantinya. Yang jelas, gue pengen banget nyiram muka Evan pake kopi yang dia pesan.

“Pesanan atas nama Evan dan Allisya?” seru gue tiba-tiba membuat mereka terlonjak.

“Zafran?!” Allisya memanggil dengan raut kaget dan tidak percaya. Dia langsung beringsut menjauh dari Evan. Sedangkan cowok itu sendiri menatap gue salah tingkah habis tertangkap basah.

“Kopi latte, fresh orange, toast, dan roti bakar. Sudah semua ya? Atau ada tambahan lagi?” ujar gue sambil menaruh satu persatu makanan mereka dengan keras.

“Ran, lo ngapain di sini?” tanya Evan.

“Kerja lah, cari receh. Soalnya gue ada rencana nggak nge-band lagi sih,” jawab gue santai dengan senyuman yang dipaksakan. Nampan yang ada di tangan udah gue genggam erat buat pelampiasan emosi.

“Hah?” Evan tampak super terkejut. Hah! Gue suka ekspresi dia saat ini. Lebih memuaskan daripada saling adu tonjok. Tapi tetep aja gue pengen nonjok dia.

“Ya, udah, have fun ya! Gue balik kerja dulu,” pamit gue sambil melayangkan hormat lantas melenggang pergi.

“Ran!” Itu suara Allisya. Dia menahan tangan gue. “Ini nggak seperti yang kamu pikirin, Ran,” lirihnya.

“Emang apa yang gue pikirin? Kalian berdua nge-date gitu?”

“Kita cuman lagi belajar kelompok, Ran.”

“Sekarang satu kelompok isinya dua orang ya?”

Mulutnya terkatup rapat. Tak ada kalimat yang dapat terucap. Gue lirik Evan yang keliatan nggak ada usaha buat menjelaskan.

“Harus banget temen aku yang jadi penggantinya, Ca?”

Gue nggak bisa menahan pertanyaan itu. Bola mata Allisya perlahan memerah. Pandangan gue bergulir ke Evan.

“Lo juga. Kalo ini bukan tempat umum, udah gue tonjok lo.”

Gue lantas menghempas genggaman Allisya dan pergi.

“Kasus ini selesai!” ujar Zayyan ala ending acara katakan putus. Gue terkekeh lantas mengembalikan nampan dan apron ke pelayan tadi.

“Makasih ya, Mas! Ternyata seru juga jadi pelayan kafe. Kalo ada lowongan kerja, hubungin saya ya,” ledek gue membuatnya tertawa.

“Ayo balik!” ajak gue pada Zayyan.

Saat gue tengah berjalan keluar, tiba-tiba ada yang merengkuh pinggang gue dari belakang. Gue tersentak, namun tidak kaget. Itu Allisya.

“Jangan gini, Ran. Aku masih sayang sama kamu,” rintih Allisya yang tampaknya udah nangis di punggung gue.

“Kita baru putus sebulan, Sya. Wajar kamu masih sayang aku. Tunggu bentar lagi. Pasti rasa sayangmu hilang.” Gue lantas mengurai pelukan dia dan berbalik. “Udahlah, nggak usah nangis. Kan kamu yang minta putus.”

Pandangan Allisya beralih ke sebelah gue, ke Zayyan. Sorot matanya menajam. “Ini semua gara-gara lo!” gentaknya sambil menunjuk Zayyan.

“Hah? Gue?” jawab Zayyan bingung sambil menunjuk dirinya.

“Kalo lo nggak nyusahin, gue sama Zafran nggak mungkin putus! Lo tuh beban buat dia!”

“ALLISYA!”

Kesabaran gue udah habis. Bahkan tangan gue udah terangkat hendak menampar dia. Namun segera terhenti saat Allisya menunduk ketakutan.

Evan datang dengan jiwa sok pahlawannya menarik Allisya untuk berdiri di belakangnya.

“Kalo mau ribut sama gue aja, Ran. Gausah macem-macem sama cewek!” ujarnya kemudian.

“Bacot lo!” Gue kembali menaruh perhatian sama Allisya. “Lo udah bukan siapa-siapa gue. Jadi gue harap lo sadar diri. Putusnya kita nggak ada hubungannya sama Zayyan. Melainkan karena keegoisan lo sendiri. Pikirin itu baik-baik.”

Gue lantas menepuk bahu Zayyan mengajaknya pergi dari sana. Dia tampak menatap Allisya sejenak sebelum menyusul gue. Entah kenapa sakit banget denger Allisya maki Zayyan kaya tadi.

Gue nggak pernah anggap Zayyan beban. Gue dengan senang hati melakukan semuanya buat dia. Gue hanya ingin menebus dosa di masa lalu yang sering mengabaikan Zayyan. Gue butuh dia, begitupun sebaliknya. Gue nggak mau siapapun merebut Zayyan dari gue,

termasuk Tuhan.