Quinzaharu

Zafran POV

Sesuai janji, habis pulang sekolah, gue ajak Zayyan keluar. Sekadar temenin dia beli buku di Gramedia sama beli camilan di kafe. Awalnya mau langsung dimakan di sana. Namun banyaknya asap rokok yang berbahaya buat Zayyan membuat kami memutuskan untuk makan di rumah.

Sebelum dapet chat dari Zayyan, gue udah feeling di kafe ini ada Evan. Dilihat dari motor yang mirip sama punya dia terparkir nggak jauh dari tempat gue nunggu. Cuman karena gue nggak hapal plat nomer dia, gue kira itu bukan punya Evan. Tapi ternyata beneran punya tu anak. Mana datengnya sama mantan gue.

Gue sebenernya nggak masalah sih Allisya jalan sama cowok lain. Dia emang udah nggak ada hubungan lagi sama gue. Tapi please lah bro??? Kita bahkan baru putus sebulan yang lalu tapi dia udah nemu pengganti gue??? Dan he's my fucking besTAIII??? Nggak ada cowo lain apa?

Dan buat Evan, BISA-BISANYA LO DEKETIN MANTAN GUE??? OTAK LO DI MANA?

Dulu sebelum gue jadian sama Allisya, dia yang bantuin gue deket sama primadona sekolah itu. Dia yang jadi partner sambat pas Allisya bener-bener jual mahal ke gue. Dia orang pertama yang gue traktir setelah berhasil dapetin Allisya. Dia yang selalu kasih solusi kalo gue ada masalah sama Allisya.

Dan dia orang yang gue percaya buat jagain Allisya kalo gue nggak bisa melakukan peran itu.

Cih, rupanya semua kepercayaan itu bikin lo jadi ada perasaan buat Allisya ya, Van? Atau selama ini kalian berdua main di belakang?

Sebenernya gue bisa aja ngamuk, ngacak-ngacak ini kafe, atau mukulin Evan sampai remuk. Tapi nggak, gue nggak akan ngelakuin cara murahan itu. Terlalu klasik. Yang ada gue bakal keliatan jelek. Soalnya emang si Allisya kan bukan pacar gue lagi. Gue nggak ada hak buat marah karena dia jalan sama cowok lain.

Gue berjalan menghampiri Zayyan yang langsung nunjuk sepasang remaja yang duduk di pojokan. Bibir gue tersungging sinis. Ada satu pelayan yang kayaknya mau anter makanan ke sana. Gue jadi punya ide.

“Monitor, Tar. Gue mau beraksi,” ujar gue pada Zayyan yang disambut acungan jempol.

Pelayan yang hendak lewat, gue cegat. “Mas, mau anter ke meja itu ya?” tanya gue sambil menunjuk meja Evan dan Allisya.

“Iya, Mas!”

“Boleh saya aja yang nganter nggak? Kebetulan mereka temen saya. Mau ngerjain aja,” pinta gue dengan kekehan kecil yang memicu tawa dari si pelayan.

“Oh, boleh, Mas,” jawabnya sambil menyerahkan nampan berisi pesanan dua sejoli itu. “Mau pakai apronnya sekalian, Mas?” tawar si pelayan.

“Wah, ide bagus, Mas! Boleh-boleh!” sambut gue kelewat excited. Bakalan seru nih.

Zayyan lalu menawarkan diri buat memasangkan apron ke pinggang gue. Sip, gue udah kaya pelayan kafe beneran. Setelahnya gue langsung berjalan menghampiri mereka yang masih sibuk dengan buku sambil bersenda gurau.

Ritme jantung gue sedikit meningkat. Entah karena menahan emosi atau terlalu penasaran sama reaksi mereka nantinya. Yang jelas, gue pengen banget nyiram muka Evan pake kopi yang dia pesan.

“Pesanan atas nama Evan dan Allisya?” seru gue tiba-tiba membuat mereka terlonjak.

“Zafran?!” Allisya memanggil dengan raut kaget dan tidak percaya. Dia langsung beringsut menjauh dari Evan. Sedangkan cowok itu sendiri menatap gue salah tingkah habis tertangkap basah.

“Kopi latte, fresh orange, toast, dan roti bakar. Sudah semua ya? Atau ada tambahan lagi?” ujar gue sambil menaruh satu persatu makanan mereka dengan keras.

“Ran, lo ngapain di sini?” tanya Evan.

“Kerja lah, cari receh. Soalnya gue ada rencana nggak nge-band lagi sih,” jawab gue santai dengan senyuman yang dipaksakan. Nampan yang ada di tangan udah gue genggam erat buat pelampiasan emosi.

“Hah?” Evan tampak super terkejut. Hah! Gue suka ekspresi dia saat ini. Lebih memuaskan daripada saling adu tonjok. Tapi tetep aja gue pengen nonjok dia.

“Ya, udah, have fun ya! Gue balik kerja dulu,” pamit gue sambil melayangkan hormat lantas melenggang pergi.

“Ran!” Itu suara Allisya. Dia menahan tangan gue. “Ini nggak seperti yang kamu pikirin, Ran,” lirihnya.

“Emang apa yang gue pikirin? Kalian berdua nge-date gitu?”

“Kita cuman lagi belajar kelompok, Ran.”

“Sekarang satu kelompok isinya dua orang ya?”

Mulutnya terkatup rapat. Tak ada kalimat yang dapat terucap. Gue lirik Evan yang keliatan nggak ada usaha buat menjelaskan.

“Harus banget temen aku yang jadi penggantinya, Ca?”

Gue nggak bisa menahan pertanyaan itu. Bola mata Allisya perlahan memerah. Pandangan gue bergulir ke Evan.

“Lo juga. Kalo ini bukan tempat umum, udah gue tonjok lo.”

Gue lantas menghempas genggaman Allisya dan pergi.

“Kasus ini selesai!” ujar Zayyan ala ending acara katakan putus. Gue terkekeh lantas mengembalikan nampan dan apron ke pelayan tadi.

“Makasih ya, Mas! Ternyata seru juga jadi pelayan kafe. Kalo ada lowongan kerja, hubungin saya ya,” ledek gue membuatnya tertawa.

“Ayo balik!” ajak gue pada Zayyan.

Saat gue tengah berjalan keluar, tiba-tiba ada yang merengkuh pinggang gue dari belakang. Gue tersentak, namun tidak kaget. Itu Allisya.

“Jangan gini, Ran. Aku masih sayang sama kamu,” rintih Allisya yang tampaknya udah nangis di punggung gue.

“Kita baru putus sebulan, Sya. Wajar kamu masih sayang aku. Tunggu bentar lagi. Pasti rasa sayangmu hilang.” Gue lantas mengurai pelukan dia dan berbalik. “Udahlah, nggak usah nangis. Kan kamu yang minta putus.”

Pandangan Allisya beralih ke sebelah gue, ke Zayyan. Sorot matanya menajam. “Ini semua gara-gara lo!” gentaknya sambil menunjuk Zayyan.

“Hah? Gue?” jawab Zayyan bingung sambil menunjuk dirinya.

“Kalo lo nggak nyusahin Zafran, gue sama Zafran nggak mungkin putus! Lo tuh beban buat dia!”

“ALLISYA!”

Kesabaran gue udah habis. Bahkan tangan gue udah terangkat hendak menampar dia. Namun segera terhenti saat Allisya menunduk ketakutan.

Evan datang dengan jiwa sok pahlawannya menarik Allisya untuk berdiri di belakangnya.

“Kalo mau ribut sama gue aja, Ran. Gausah macem-macem sama cewek!” ujarnya kemudian.

“Bacot lo!” Gue kembali menaruh perhatian sama Allisya. “Lo udah bukan siapa-siapa gue. Jadi gue harap lo sadar diri. Putusnya kita nggak ada hubungannya sama Zayyan. Melainkan karena keegoisan lo sendiri. Pikirin itu baik-baik.”

Gue lantas menepuk bahu Zayyan mengajaknya pergi dari sana. Dia tampak menatap Allisya sejenak sebelum menyusul gue. Entah kenapa sakit banget denger Allisya maki Zayyan kaya tadi.

Gue nggak pernah anggap Zayyan beban. Gue dengan senang hati melakukan semuanya buat dia. Gue hanya ingin menebus dosa di masa lalu yang sering mengabaikan Zayyan. Gue butuh dia, begitupun sebaliknya. Gue nggak mau siapapun merebut Zayyan dari gue,

termasuk Tuhan.

“Zafran sama Allisya belum keliatan ya?” tanya Zayyan ketika ia dan Zanna baru saja keluar dari studio bioskop.

“Kayaknya belum deh, Yan,” jawab Zanna sembari mengedarkan pandangan.

“Haus nggak? Beli minum dulu yuk!” ajak Zayyan yang diangguki oleh Zanna.

Mereka berdua lalu berjalan menuju kedai yang menjual makanan dan minuman ringan. Suasana bioskop begitu ramai. Zanna yang berjalan di belakang Zayyan kesulitan untuk mengimbangi langkah lelaki itu. Menyadari Zanna yang tertinggal, Zayyan lalu mempersilakan Zanna untuk bertukar tempat dengannya.

Tidak perlu ditanya lagi, sejak Zayyan yang ternyata satu mobil dengan Zafran dan Allisya itu menjemputnya, degup jantung Zanna sudah tidak karuan.

“Menurut lo gimana tadi filmnya?” tanya Zayyan sembari menunggu pesanan mereka selesai dibuat.

“Bagus banget! Sesuai sama ekspetasi gue. Tapi agak kaget sih pas ada adegan itunya ...,” balas Zanna dengan suara makin mengecil ketika menyebut topik sensitif dari film yang baru mereka tonton.

Zayyan terkekeh. “Gue juga kaget. Pantes sih ratingnya dewasa.”

“Iya, ya, nggak kepikiran. Sorry banget malah jadi nonton film kaya gitu.”

“Tenang aja, kan gue juga pengen nonton itu.”

Pesanan mereka sudah dalam genggaman. Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menunggu Zafran dan Allisya yang baru saja memberi kabar kalau mereka baru keluar dari studio.

“Suara lo beda banget ya, Yan,” ucap Zanna kembali membuka obrolan.

“Emang iya?”

“Iya, lebih berat sama serak aja gitu. Apa cuman perasaan gue?” timpal Zanna kembali disertai kekehan.

“Iya juga sih. Mungkin efek pubertas,” bohong Zayyan sambil tersenyum miring. Ia jelas tahu perubahan suaranya ini ulah dari penyakit yang sedang tertanam di paru-parunya.

Mereka yang masih mondar-mandir mencari tempat duduk mendadak berhenti saat Zanna tiba-tiba mematung. Pandangannya melebar dan lurus pada sebuah titik. Dahi Zayyan mengernyit.

“Kenapa, Zan?” tanya lelaki itu lantas mengikuti arah pandang Zanna yang berakhir pada seorang lelaki yang sedang menatao mereka juga.

Lelaki itu mendekat. Zanna lantas beringsut mundur bersembunyi di balik punggung Zayyan yang makin kebingungan. Namun untungnya otak Zayyan mampu merespons dengan cepat apa yang sedang terjadi sekarang. Yang jelas, lelaki ini tidak baik untuk Zanna.

“Zanna ya? Lama nggak ketemu,” ujar lelaki itu berusaha menatap Zanna yang masih bersembunyi di punggung Zayyan.

“Kenapa sembunyi deh? Nggak mau nyapa gue gitu?” lanjut lelaki itu.

“Ada perlu apa ya?” tanya Zayyan. Perhatian lelaki itu lantas beralih padanya.

“Cuman mau ketemu Zanna aja. Lo siapa? Pacarnya dia?”

“Bukan urusan lo.”

Zayyan lantas menggenggam tangan Zanna dan menariknya pergi. Namun lelaki itu malah meraih tangan Zanna yang lain. Zanna refleks meronta dan menghempas genggaman itu. Namun cengkramannya sangat kuat.

Mendengar rintihan Zanna, Zayyan menarik tangan Zanna dengan kuat hingga genggaman tersebut terlepas.

“Sakit nggak?” tanya Zayyan memastikan saat kelepasan menarik terlalu keras.

“Enggak, enggak,” balas Zanna dengan bibir bergetar menahan takut.

“Nggak usah kasar,” gertak Zayyan pada lelaki itu.

“Gue nggak ada urusan sama lo! Sekarang bawa Zanna ke hadapan gue. Ada yang mau gue bicarain sama dia.”

“Zanna nggak ada urusan sama lo. Nggak ada hal yang perlu dibicarain.”

“Nantangin,” gumam lelaki itu yang mendadak melayangkan pukulan pada Zayyan. Ia tersenyum puas melihat Zayyan terjatuh akibat pukulannya.

Semua pengunjung di sana memekik keras. Zanna yang melihat Zayyan tersungkur segera membantu lelaki itu berdiri. Rasa takut dan khawatir diaduk jadi satu. Zanna hanya ingin segera pergi dari sini dan menghindar dari lelaki itu.

Namun permintaannya tak diindahkan Zayyan. Buktinya, Zayyan kembali berdiri dan melayangkan pukulan. Oh, dia cukup hebat bela diri juga. Lelaki itu berhasil dibalas tersungkur. Zayyan tersenyum puas.

“Selain kasar sama cewek, lo jago mukul juga ya. Sakit neh bekas pukulan lo!”

Mohon maaf Zayyan, ngapain lo jadi ngadu ya? Itu urusan nanti oy. Lo ngadunya sama Zafran aja. Nanti ada yang gemes sama lo kan berabe kalo diculik.

“Bajingan brengsek!”

Mereka berdua saling memukul. Satpam bioskop langsung berdatangan melerai. Namun perkelahian mereka tak kunjung usai.

Zayyan mulai merasakan sesak di dadanya. Ini pasti karena kelelahan. Ia ingin semua ini segera berakhir. Namun ia tidak mau menyerah. Ah, tapi kalau seperti ini bisa-bisa hidupnya yang berakhir.

“ANJIR ZAYYAN!”

Terdengar pekikan dari kejauhan. Itu Zafran yang baru selesai menonton dengan Allisya. Ia langsung berlari menghampiri kerumunan itu. Allisya yang melihat Zanna menangis di ujung lalu berlari ke sana dan memeluk Zanna untuk menenangkan.

Zayyan berhasil ditarik mundur. Wajahnya sudah babak belur. Sambil memegangi dadanya, Zayyan berusaha mengambil banyak oksigen.

“UDAH GILA YA LO!” gentak Zafran tak menyangka bisa menyaksikan Zayyan berkelahi seganas itu di hadapannya.

“Pulang, Ran. Dada gue sakit banget. Gue nggak bisa napas,” ucap Zayyan dalam keadaan yang sudah sangat lemas.

“Hah! Bentar dulu, Yan! Ca! Ica! Cepet ke sini!”

Zafran tentu saja panik. Apalagi melihat keadaan Zayyan yang sudah sempoyongan. Satpam yang membantu melerai lantas ikut memapah Zayyan menuju mobil.

Zayyan ditaruh di kursi tengah bersama Zanna. Mereka bertiga begitu tergesa memasuki mobil akibat desakan Zafran yang menyuruh mereka untuk gerak cepat. Lelaki itu tampak begitu panik melihat Zayyan yang sudah kesulitan untuk membuka matanya.

“Zan! Tolong bantu Zayyan pakai ini!” pinta Zafran sambil memberikan alat bantu pernapasan pada Zanna.

Zanna sebenarnya kebingungan mengapa Zayyan sampai harus pakai alat seperti ini. Namun rasa penasaran itu ia telan kembali. Dengan cekatan, ia memasangkan alat tersebut ke hidung Zayyan lalu menekan tombol di sana agar oksigen masuk ke pernapasan Zayyan.

“Bisa kan, Zan?” tanya Zafran masih terlihat panik sambil membawa mobilnya cepat.

“Bisa, Ran!”

“Duh, rumah sakit mana sih yang deket dari sini?”

“Itu nanti perempatan depan belok kanan trus lurus terus. Ada rumah sakit kok,” timpal Allisya.

“Oh iya bener!”

Zafran kembali menekan pedal gasnya dalam dan melesat menembus senja.

©haruquinza

“Zafran sama Allisya belum keliatan ya?” tanya Zayyan ketika ia dan Zanna baru saja keluar dari studio bioskop.

“Kayaknya belum deh, Yan,” jawab Zanna sembari mengedarkan pandangan.

“Haus nggak? Beli minum dulu yuk!” ajak Zayyan yang diangguki oleh Zanna.

Mereka berdua lalu berjalan menuju kedai yang menjual makanan dan minuman ringan. Suasana bioskop begitu ramai. Zanna yang berjalan di belakang Zayyan kesulitan untuk mengimbangi langkah lelaki itu. Menyadari Zanna yang tertinggal, Zayyan lalu mempersilakan Zanna untuk bertukar tempat dengannya.

Tidak perlu ditanya lagi, sejak Zayyan yang ternyata satu mobil dengan Zafran dan Allisya itu menjemputnya, degup jantung Zanna sudah tidak karuan.

“Menurut lo gimana tadi filmnya?” tanya Zayyan sembari menunggu pesanan mereka selesai dibuat.

“Bagus banget! Sesuai sama ekspetasi gue. Tapi agak kaget sih pas ada adegan itunya ...,” balas Zanna dengan suara makin mengecil ketika menyebut topik sensitif dari film yang baru mereka tonton.

Zayyan terkekeh. “Gue juga kaget. Pantes sih ratingnya dewasa.”

“Iya, ya, nggak kepikiran. Sorry banget malah jadi nonton film kaya gitu.”

“Tenang aja, kan gue juga pengen nonton itu.”

Pesanan mereka sudah dalam genggaman. Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menunggu Zafran dan Allisya yang baru saja memberi kabar kalau mereka baru keluar dari studio.

“Suara lo beda banget ya, Yan,” ucap Zanna kembali membuka obrolan.

“Emang iya?”

“Iya, lebih berat sama serak aja gitu. Apa cuman perasaan gue?” timpal Zanna kembali disertai kekehan.

“Iya juga sih. Mungkin efek pubertas,” bohong Zayyan sambil tersenyum miring. Ia jelas tahu perubahan suaranya ini ulah dari penyakit yang sedang tertanam di paru-parunya.

Mereka yang masih mondar-mandir mencari tempat duduk mendadak berhenti saat Zanna tiba-tiba mematung. Pandangannya melebar dan lurus pada sebuah titik. Dahi Zayyan mengernyit.

“Kenapa, Zan?” tanya lelaki itu lantas mengikuti arah pandang Zanna yang berakhir pada seorang lelaki yang sedang menatao mereka juga.

Lelaki itu mendekat. Zanna lantas beringsut mundur bersembunyi di balik punggung Zayyan yang makin kebingungan. Namun untungnya otak Zayyan mampu merespons dengan cepat apa yang sedang terjadi sekarang. Yang jelas, lelaki ini tidak baik untuk Zanna.

“Zanna ya? Lama nggak ketemu,” ujar lelaki itu berusaha menatap Zanna yang masih bersembunyi di punggung Zayyan.

“Kenapa sembunyi deh? Nggak mau nyapa gue gitu?” lanjut lelaki itu.

“Ada perlu apa ya?” tanya Zayyan. Perhatian lelaki itu lantas beralih padanya.

“Cuman mau ketemu Zanna aja. Lo siapa? Pacarnya dia?”

“Bukan urusan lo.”

Zayyan lantas menggenggam tangan Zanna dan menariknya pergi. Namun lelaki itu malah meraih tangan Zanna yang lain. Zanna refleks meronta dan menghempas genggaman itu. Namun cengkramannya sangat kuat.

Mendengar rintihan Zanna, Zayyan menarik tangan Zanna dengan kuat hingga genggaman tersebut terlepas.

“Sakit nggak?” tanya Zayyan memastikan saat kelepasan menarik terlalu keras.

“Enggak, enggak,” balas Zanna dengan bibir bergetar menahan takut.

“Nggak usah kasar,” gertak Zayyan pada lelaki itu.

“Gue nggak ada urusan sama lo! Sekarang bawa Zanna ke hadapan gue. Ada yang mau gue bicarain sama dia.”

“Zanna nggak ada urusan sama lo. Nggak ada hal yang perlu dibicarain.”

“Nantangin,” gumam lelaki itu yang mendadak melayangkan pukulan pada Zayyan. Ia tersenyum puas melihat Zayyan terjatuh akibat pukulannya.

Semua pengunjung di sana memekik keras. Zanna yang melihat Zayyan tersungkur segera membantu lelaki itu berdiri. Rasa takut dan khawatir diaduk jadi satu. Zanna hanya ingin segera pergi dari sini dan menghindar dari lelaki itu.

Namun permintaannya tak diindahkan Zayyan. Buktinya, Zayyan kembali berdiri dan melayangkan pukulan. Oh, dia cukup hebat bela diri juga. Lelaki itu berhasil dibalas tersungkur. Zayyan tersenyum puas.

“Selain kasar sama cewek, lo jago mukul juga ya. Sakit neh bekas pukulan lo!”

Mohon maaf Zayyan, ngapain lo jadi ngadu ya? Itu urusan nanti oy. Lo ngadunya sama Zafran aja. Nanti ada yang gemes sama lo kan berabe kalo diculik.

“Bajingan brengsek!”

Mereka berdua saling memukul. Satpam bioskop langsung berdatangan melerai. Namun perkelahian mereka tak kunjung usai.

Zayyan mulai merasakan sesak di dadanya. Ini pasti karena kelelahan. Ia ingin semua ini segera berakhir. Namun ia tidak mau menyerah. Ah, tapi kalau seperti ini bisa-bisa hidupnya yang berakhir.

“ANJIR ZAYYAN!”

Terdengar pekikan dari kejauhan. Itu Zafran yang baru selesai menonton dengan Allisya. Ia langsung berlari menghampiri kerumunan itu. Allisya yang melihat Zanna menangis di ujung lalu berlari ke sana dan memeluk Zanna untuk menenangkan.

Zayyan berhasil ditarik mundur. Wajahnya sudah babak belur. Sambil memegangi dadanya, Zayyan berusaha mengambil banyak oksigen.

“UDAH GILA YA LO!” gentak Zafran tak menyangka bisa menyaksikan Zayyan berkelahi seganas itu di hadapannya.

“Pulang, Ran. Dada gue sakit banget. Gue nggak bisa napas,” ucap Zayyan dalam keadaan yang sudah sangat lemas.

“Hah! Bentar dulu, Yan! Ca! Ica! Cepet ke sini!”

Zafran tentu saja panik. Apalagi melihat keadaan Zayyan yang sudah sempoyongan. Satpam yang membantu melerai lantas ikut memapah Zayyan menuju mobil.

Zayyan ditaruh di kursi tengah bersama Zanna. Mereka bertiga begitu tergesa memasuki mobil akibat desakan Zafran yang menyuruh mereka untuk gerak cepat. Lelaki itu tampak begitu panik melihat Zayyan yang sudah kesulitan untuk membuka matanya.

“Zan! Tolong bantu Zayyan pakai ini!” pinta Zafran sambil memberikan alat bantu pernapasan pada Zanna.

Zanna sebenarnya kebingungan mengapa Zayyan sampai harus pakai alat seperti ini. Namun rasa penasaran itu ia telan kembali. Dengan cekatan, ia memasangkan alat tersebut ke hidung Zayyan lalu menekan tombol di sana agar oksigen masuk ke pernapasan Zayyan.

“Bisa kan, Zan?” tanya Zafran masih terlihat panik sambil membawa mobilnya cepat.

“Bisa, Ran!”

“Duh, rumah sakit mana sih yang deket dari sini?”

“Itu nanti perempatan depan belok kanan trus lurus terus. Ada rumah sakit kok,” timpal Allisya.

“Oh iya bener!”

Zafran kembali menekan pedal gasnya dalam dan melesat menembus senja.

©haruquinza

Gue sadar. Akhir-akhir ini sikap gue ke Freya udah banyak berubah. Bukan apa-apa. Jujur, gue cuman lagi ngerasa jenuh sama hubungan kita yang stuck di sini aja. Nggak ada kemajuan. Gue bukannya ngebet nikah sama dia. Cuman ya gue butuh kepastian, kapan gue sama Freya bisa melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Sebenarnya salah satu faktor yang bikin pernikahan gue sama Freya ketunda ya karena gue sendiri. Gue masih belum percaya diri untuk meminang Freya jadi istri. Gue masih belum pantas. Namun saat gue mau usaha memantaskan diri buat Freya, cewe itu seakan ngehalangin gue.

Lo pada pasti masih inget rencana gue buat lanjut S2 kan? Ya itu salah satu cara gue buat memantaskan diri biar setara sama Freya. Ini bukan masalah sepele, bro. Hampir semua keluarga Freya berpendidikan tinggi. Ya masa gue yang baru S1 ini tanpa rasa malu minta join ke circle mereka? Gue sebagai lelaki juga punya harga diri.

Akhir-akhir ini gue sadar, sejak gue tunangan sama Freya, kebebasan gue sedikit lebih berkurang. Kalau mau apapun, gue harus mikirin Freya dulu. Ya, Freya nggak nuntut itu sih. Cuman ya gue sadar diri lah, cewek kan maunya cowo yang peka. Cuman lama-lama gue cape aja. Ngerasa dikekang mungkin? Nggak tau lah.

Gue cuman mau Freya ijinin gue ambil S2, itu aja. Gue paham ini jadi hal yang sulit buat dia, bahkan buat gue juga. Empat tahun berpisah itu bukan waktu yang sebentar. Ditambah kita yang cuman bisa berkabar hampir setahun sekali. Tapi kalo gue ke luar negeri sekarang kan nggak bakal kaya gitu lagi. Gue bakal hubungin Freya terus. Tapi Freya masih aja keberatan.

Gue nggak menyalahkan Freya, serius. Mana bisa, Bro. Gue sayang banget sama itu cewek. Lo semua tau sendiri gimana perjuangan gue buat bisa bareng sama Freya. Tapi yang namanya hubungan pasti ada fase bosen kan? Mungkin gue lagi mengalami fase itu. Mungkin. Gue berharap sih ini cuman perasaan gue aja. Gue nggak mau bosen sama Freya. Gue mau sayang dia sampe kapanpun.

Mobil gue udah terparkir mulus di halaman apartemen Freya. Saat dia ngomong males keluar, gue yakin 100% Freya udah nangis. Gue menyesal. Gue udah berjanji nggak bakal bikin dia nangis lagi. Kenapa sih gue nggak bisa pegang omongan sendiri?

Sebenernya gue udah tau password unit apartemen Freya. Tapi kali ini gue biarkan cewek itu yang buka sendiri. Sesuai tebakan, wajah Freya udah sembab. Hati gue sakit banget liatnya.

“Ngobrolnya di sini aja ya? Aku lagi sendirian,” ujar Freya menyuruh gue untuk duduk di ruang tamu. Agak heran. Freya kan emang selalu sendirian di sini. Apa dia lagi ngerasa nggak nyaman sama gue?

Gue nggak mau mempermasalahkan itu. Di sini gue dateng buat menyelesaikan masalah, bukan nambah. Akhirnya gue duduk di sana dengan Freya yang duduk di seberang. Jauh banget anjir. Biasanya aja dia langsung duduk nyender sama gue.

“Sebelumnya aku minta maaf buat sikapku yang mungkin terkesan jutek atau dingin ke kamu. Pas itu aku lagi ngerasa capek sama kerjaan dan nggak sadar udah bersikap nggak baik sama kamu. Aku minta maaf.”

“Itu udah kamu jelasin di chat tadi. Aku mau yang lebih rinci. Dan aku yakin kamu punya alasan yang lebih rinci dari sekedar cape sama kerjaan kantor.”

Gue menghela napas. Apa gue harus ngaku ke Freya kalo sebenernya gue lagi jenuh sama hubungan kita? Tapi gue nggak mau bikin Freya tambah sakit. Gue harus gimana?

“Aku mau jelasin tapi aku minta tolong jangan potong penjelasanku ya? Jangan berasumsi apapun sebelum aku selesai bicara. Aku nggak bermaksud apapun. Aku hanya pengin berbagi hal yang akhir-akhir ini ganggu pikiranku.”

“Beneran bosen ya sama aku?”

Gue memejam sejenak. “Bukan sama kamu, tapi sama kita,” ujar gue seraya menatap Freya dalam. Mata gadis itu kembali memerah. Gue mulai panik. Aduh plis jangan nangis dulu. Gue belum selesai!

“Kita udah bareng dalam waktu yang lama. Udah banyak hal yang kita lakukan bersama. Bahkan di jari manis kita udah terpasang cincin yang sama. Kita udah melangkah sejauh ini. Tapi akhir-akhir ini, hubungan kita terasa cuman jalan di tempat.

Ada banyak masalah yang dateng ke kita. Semuanya tertahan, nggak dapet solusi. Numpuk jadi beban pikiranku setiap hari. Ditambah kita yang sekarang jarang ngabisin waktu bersama. Aku cuman ngerasa hubungan kita makin lama makin hambar aja, Fre.”

“Aku nggak mau putus, Justin.” Freya bilang dengan tangis yang makin menderas. Aduh kan udah gue bilang tunggu gue ngomong sampe selesai dulu!

“Aku nggak mau mutusin kamu, sayang,” balas gue kelewat panik. Gue pengen meluk dia tapi aduh ini gue belum selesai ngomong. Apa nggak usah gue lanjutin? Sumpah ini gue nggak bisa liat dia nangis gini.

“Tapi kamu bilang hubungan kita udah hambar. Pasti kamu mau mutusin aku, kan?”

“Ya engga dong sayang. Makanya kan udah aku bilang di awal tadi jangan dipotong dulu. Tunggu aku selesai ngomong.”

“Trus gimana biar kamu nggak ngerasa hambar lagi? Aku harus gimana? Apa aku harus keluar dari kerjaan biar bisa sama kamu terus?”

“Sayang.” Ini mah nggak bisa gue lanjut pembicaraan ini lagi. Dah, gue nggak kuat liat Freya nangis. “Sini peluk dulu.”

Tepat saat gue ngomong itu, Freya makin nangis kejer. Lahhh, gue makin panik anjir! Tapi gue liat-liat kok Freya nangisnya gemes ya?

“Nggak mau peluk nih?” ledek gue sambil merentangkan tangan siap menyambut pelukan dia. Freya malah nangis ngambek. Ya itu lah apa namanya pokoknya dia nangis sambil maki-maki gue. Akhirnya gue yang nyamperin dia terus meluk.

“Aku harus gimana, Justin? Aku nggak mau kaya gini,” rengek Freya dalam pelukan gue.

“Kamu harus manggil aku mas lagi. Apaan dari tadi Justin, Justin?! Mas Justin!”

“Kalo kamu lagi jahat, aku nggak mau panggil mas!”

“Emang masih jahat? Udah dipeluk gini masih jahat? Apa harus dicium?”

“Ih!” Satu pukulan keras mendarat di dada bidang gue. Anjir sakit. Gue cuman terkekeh.

“Besok liburan ke luar kota, yuk?” ajak gue. “Kemarin aku dapet saran katanya kalo lagi ngerasa hambar sama hubungan harus ngelakuin sesuatu yang belum pernah kita lakuin. Kita kan belum pernah liburan ke luar kota bareng ya?”

Gelengan Freya terasa di dada gue. “Jadi pas kamu tanya di Twitter itu karena kamu lagi ngerasa bosen sama aku?” tanya Freya yang cuman dijawab kekehan sama gue.

“Jahat banget! Mana reply aku nggak dibales!” protes Freya.

“Emang kamu reply?” tanya gue yang malah dibales cubitan Freya di perut. “Sakit, Fre!”

“Mau aja sih. Tapi pergi yang jauh ya?”

“Mau ke luar negeri?”

“Jepang?”

“Males.”

Freya tergelak keras. Kalian pasti tau alasannya kenapa gue nggak mau ke Jepang.

“Ya udah ke Korea aja. Mau ketemu Park Jeongwoo!”

“Hmm, oke. Daripada ke Jepang.”

Freya mengeratkan pelukan tanda senang gue menyetujui permintaannya.

“Kamu ganti parfum ya?” tanya Freya.

“Kenapa? Nggak enak baunya?”

“Enak.”

“Masih pakai sampo stroberi?” tanya gue.

“Masih. Kenapa? Nggak enak baunya?”

“Enak.”

Habis itu kita cuman diem-dieman. Gue emang belum dapet solusi dari masalah S2 gue yang masih ketunda. Tapi kayaknya itu bisa dibahas nanti-nanti. Gue sadar, Freya bukan beban yang bikin kebebasan gue berkurang. Tapi dunia gue emang udah berpusat ke dia. Semua yang gue lakukan selalu buat Freya. Apapun. Freya adalah semesta yang harus gue jaga sampai kapanpun.

Rambut halus gadis cantik itu gue usap perlahan. Terdengar dengkuran lirih di sana. Hahaha, gue ditinggal tidur. Gapapa, gue nggak tau berapa malam yang dia habiskan buat mikirin cowok brengsek kaya gue. Nggak tau berapa banyak air mata yang udah keluar untuk menangisi keegoisan gue. Freya, aku menyesal.

“Maaf udah bikin kamu nangis, Fre. Aku nggak mau berjanji ini jadi yang terakhir. Tapi aku akan mengusahakan cara apapun untuk buat kamu bahagia,” lirih gue sambil mengecup ringan pipi tirus Freya.

©haruquinza

Tiba di rumah, gue langsung masuk tanpa mikirin motor gue udah terparkir dengan benar apa enggak. Yang ada di pikiran gue cuman Zayyan. Itu anak baru beberapa jam yang lalu dateng ke studio gue. Dan kayaknya tadi pagi pun sempet pergi sama bunda. Walaupun gue nggak tau mereka pergi ke mana. Gue yakin Zayyan masih sehat-sehat aja. Tapi kenapa sekarang jadi gini?

Dari bawah, gue lihat Zayyan yang lagi dipapah mbak Siti dan pak Budi. Dia keliatan lemes dengan napas yang terengah-engah. Semakin lama gue semakin heran sama Zayyan. Sebenernya dia sakit apa sih? Beberapa kali gue liat dia sering sesak. Suara dia pun makin berat dan serak. Apa iya sakit batuk aja bisa segitunya? Kalo engga, trus dia sakit apa?

Gue bergegas menaiki tangga. Raut khawatir gue bertemu dengan wajah Zayyan yang pucat. Saat hendak menggantikan posisi pak Budi, tanpa gue duga Zayyan menghempas genggaman gue. Dia menatap sinis. Gue bener-bener kaget. Nggak pernah gue lihat Zayyan yang kaya gini.

“Lo kenapa anjir?!” gertak gue melihat gelagat Zayyan yang nggak mau gue tolongin.

“Lo tadi nyuruh gue mati kan?” jawabnya dengan suara super serak, bahkan hampir terputus. “Sekarang Tuhan lagi wujudin permintaan lo. Jadi lo nggak usah bantu gue buat selamat dari semua ini.”

Kalimatnya begitu menyambar hati kecil gue. Zayyan, saudara kembar gue yang punya sifat berlawanan dengan gue. Nggak pernah gue dengar dia bicara kasar. Mulutnya selalu tersenyum dan mengeluarkan celoteh yang kadang bikin gue gemes sendiri. Dia selalu menatap gue dengan pandangan beribu energi yang bikin hari gue sedikit lebih baik dari sebelumnya.

Tapi sekarang? Gue seperti melihat diri gue di dalam manik Zayyan. Jadi ini yang dirasakan Zayyan selama ini? Kenapa sakit banget? Kenapa Zayyan bisa tahan dengan sifa gue yang seperti ini?

Mereka lalu meninggalkan gue yang mematung. Kalimat Zayyan masih teriang. Gue kembali teringat dengan pesan yang beberapa menit lalu gue kirimkan ke Zayyan. Go to hell, gue bilang gitu. Ya, maksud gue emang ... Tapi bukan itu yang gue mau!

Rasanya sangat sesak. Kerah kaus gue sampai kusut karena diremas kuat. Gue jahat, gue bener-bener jahat. Lo nggak punya hati, Ran! Lo brengsek!

Di tengah penyesalan itu, terdengar pekikan mbak Siti di luar rumah. Gue langsung berlari menghampiri. Di sana gue lihat Zayyan yang sudah tersungkur ke lantai. Dia pingsan. Jantung gue seperti meledak. Ini kedua kalinya Zayyan jatuh di hadapan gue. Tapi gue nggak pernah berhasil menangkap dia.

Dengan derai air mata yang entah sejak kapan membasahi pipi, gue langsung gendong Zayyan menuju mobil. Nggak, lo nggak boleh mati, Yan. Lo nggak boleh ninggalin gue sendirian.


Kami sampai di rumah sakit. Zayyan masih tidak sadarkan diri. Jujur, gue nggak bisa berhenti menangis. Zayyan udah lemes banget. Beberapa kali gue memastikan jantung dia masih berdetak dan nggak tau kenapa rasanya makin melemah. Napasnya pendek disertai suara yang begitu menyesakkan. Zayyan, gue nggak mau kehilangan lo.

Dia udah masuk ke UGD. Gue udah nggak ada tenaga buat berdiri. Di samping pintu, gue bersimpuh menyesali apa yang udah gue perbuat pada Zayyan selama ini. Gue takut, gue bener-bener takut kehilangan lo, Yan. Tolong, bertahan buat gue.

“Zafran!”

Suara yang familier. Gue lantas mendongak dan menemukan Bunda yang berjalan tergesa menghampiri gue. Bunda ikut bersimpuh, mengangkat kepala gue dan memeluknya. Tangis gue semakin pecah.

“Zayyan, Bun. Ada darah yang keluar dari mulutnya. Trus dia pingsan. Pas aku pegang dadanya, detak jantung Zayyan lemah banget. Aku takut, Bun.”

Bunda mengusap punggung berkali-kali. “Tenang, ya. Zayyan nggak kenapa-kenapa kok. Pasti dia sembuh. Sudah, jangan menangis ya.”

Gue yakin saat itu bunda menahan tangisnya mati-matian. Suaranya bergetar. Harusnya gue yang menenangkan bunda. Tapi kenapa gue malah jadi kaya gini?

“Aku gagal jagain Zayyan, Bun.”

“Sshh, engga kok enggak. Zafran nggak gagal.”

Bunda semakin mengeratkan pelukan. Dari kejauhan, gue lihat ayah yang berjalan cepat ke arah kami. Gue yakin, gue bakal kena omel. Dan gue siap buat menerimanya.

“Bun,” panggil Ayah membuat Bunda menoleh. Beliau lantas membimbing gue untuk duduk di kursi seraya mengelap air mata gue.

“Zayyan masih di dalam, Yah. Lagi ditangani dokter,” ujar Bunda pada Ayah.

“Kenapa bisa jadi seperti ini? Gimana ceritanya?”

Gue nggak mampu buat sekadar menatap ayah. Namun bisa gue dengar Mbak Siti menjawab pertanyaan Ayah. Melihat gue menunduk, Bunda lantas menarik kepala gue ke bahunya.

“Zayyan nggak kenapa-kenapa kok. Kita doakan saja ya.”

“Zayyan sakit apa sih, Bun? Kenapa dia selalu kaya gini?”

Hingga kini, pertanyaan itu nggak pernah menemukan jawabannya dan gue bertekad untuk menemukannya sendiri.

BRAAAKKK!!!

Ayah membanting pintu kamar Zafran begitu keras. Ia lantas mengobrak-abrik isi kamar anak lelakinya dengan emosi yang memuncak. Beberapa bungkus rokok beserta rokok elektrik yang disembunyikan di sudut tak terjangkau berjatuhan ke lantai. Zafran hanya bisa memejam sembari meredam rasa takutnya.

Apa yang ia khawatirkan semalam benar terjadi. Wali kelas membeberkan semua kasusnya di sekolah, terutama saat ia ketahuan membawa sebungkus rokok dan vape. Si wali kelas juga mengatakan kalau sebenarnya ia hendak memanggil orang tua Zafran ke sekolah. Namun niat tersebut diurungkan sebab Zafran telah berjanji akan mengakui kesalahannya sendiri pada orang tua, tapi sayangnya janji itu tidak ditepati.

Sang ayah memunguti bungkus-bungkus rokok itu lalu melemparnya ke wajah Zafran. Anak lelaki itu memejam dengan tubuh yang gemetar. Raut wajah ayahnya merah padam. Tidak pernah Zafran lihat ayahnya semarah ini.

“Jadi ini kelakuan kamu selama ini? Merokok, hm? Kamu merasa jadi jagoan berani merokok di sekolah? Membohongi guru kamu, membohongi orang tua, hebat ya!” ujar sang ayah sarkas.

Zafran mengambil satu langkah mundur saat sang ayah mendekat. “Kamu bisa nggak, sekali saja bikin ayah bangga? Bisa nggak!” bentak sang ayah membuat Zafran memejam.

“Bisanya bikin malu, malu, dan MALU! Lihat ini, LIHAT! Nilai kamu jelek semua! Cuman nilai tugas kamu yang bagus dan ayah yakin ini bukan hasil pekerjaan kamu sendiri!”

Jari telunjuk sang ayah terangkat menuding. “Kamu menyuruh Zayyan untuk mengerjakan tugas kamu, kan? Ayah tau selama ini kalian berdua sering belajar bersama. Bangga, ayah sangat bangga saat tau kamu mau belajar! Tapi ini hasilnya? Kalo memang kamu serius, seharusnya nilai ulangan kamu juga bagus! Tapi kenapa hanya nilai tugasnya saja yang bagus?!”

“Tapi nilai seni budaya sama prakaryaku bagus kan, Yah? Nilaiku jadi yang paling tinggi, bukan dari sekelas tapi semua kelas sebelas punyaku yang tertinggi!”

“AYAH NGGAK PEDULI!”

Mulut Zafran sedikit terbuka dengan raut tak percaya saat sang ayah mendadak memotong kalimatnya.

“Ayah nggak peduli sama nilai seni budaya dan prakaryamu kalau nilai matematika dan bahasa inggris kamu cuman lima!”

“Trus gimana sama Zayyan?” sahut Zafran membalikkan omongan ayahnya. “Nilai seni budaya Zayyan cuman enam. Ayah nggak marahin dia?”

Sang ayah memberi jeda sejenak sebelum menjawab. “Tapi nilai matematika Zayyan sembilan.”

“AKU NGGAK PEDULI!” Zafran balas berteriak. “Mau dia dapet nilai MTK sembilan tapi nilai seni budaya Zayyan cuman dapet enam! Dan aku dapet sembilan. Apa ayah nggak bisa marahin Zayyan seperti apa yang ayah lalukan ke aku karena alasan itu?”

Sang ayah hanya diam. Baru kali ini Zafran berteriak sekeras ini di hadapannya. Dan itu cukup membuat hati sang ayah begitu tergores.

“Jadi orang tua yang becus dong, Yah. Jangan berat sebelah.”

“ZAFRAN!”

“AYAHH!!!”

Tangan sang ayah yang sudah terangkat tinggi hendak memukul Zafran terhenti oleh teriakan istrinya. Zafran yang sudah memejam siap menerima pukulan lantas membuka matanya. Sang bunda berlari menghampiri mereka dengan Zayyan yang mengekor di belakangnya.

“Ada apa ini ya Allah. Kenapa ribut-ribut seperti ini?” tanya sang bunda penuh raut khawatir. “Zafran, kamu tidak apa-apa, nak?” Sang bunda beralih pada Zafran sembari menangkup pipi anaknya itu.

“Anakmu merokok di sekolah,” ujar ayah membuat bunda sontak terbelalak. Ia menatap anak dan suaminya bergantian. Berusaha menolak kenyataan yang baru ia dengar tadi.

“Bohong kan, nak? Kamu nggak merokok kan? Kemarin kamu bilang belum pernah merokok. Kamu nggak mungkin bohongin bunda kan, sayang?” tanya bunda dengan suara bergetar akan menangis. Yang ditanya hanya bisa diam sambil memalingkan wajah.

“Ya Allah, astaghfirullah, Zafran.” Sang bunda terlihat sangat syok. Zayyan berusaha menenangkan.

“Lihat, nilainya anjlok semua! Udah nggak bener anak kamu, Bun. Sekarang sudah berani bentak-bentak orang tua. Harus dikasih pelajaran anak kamu ini!”

Mendengar itu, mereka serentak menatap ayah. Lengan Zafran ditarik ayahnya dengan kuat. Zafran yang tidak siap hampir terjatuh. Tubuhnya lantas didorong sang ayah ke dalam kamar yang langsung ditutup rapat.

Zafran panik. Ia bergegas menahan pintu kamarnya namun terlambat. Sang ayah sudah terlebih dahulu mengunci pintunya dari luar.

“AYAH! BUKA YAH! APA-APAAN INI BRENGSEK! NGGAK BECUS LO ANJENG! BUKA PINTUNYA!!!”

©haruquinza

BRAAAKKK!!!

Ayah membanting pintu kamar Zafran begitu keras. Ia lantas mengobrak-abrik isi kamar anak lelakinya dengan emosi yang memuncak. Beberapa bungkus rokok beserta rokok elektrik yang disembunyikan di sudut tak terjangkau berjatuhan ke lantai. Zafran hanya bisa memejam sembari meredam rasa takutnya.

Apa yang ia khawatirkan semalam benar terjadi. Wali kelas membeberkan semua kasusnya di sekolah, terutama saat ia ketahuan membawa sebungkus rokok dan vape. Si wali kelas juga mengatakan kalau sebenarnya ia hendak memanggil orang tua Zafran ke sekolah. Namun niat tersebut diurungkan sebab Zafran telah berjanji akan mengakui kesalahannya sendiri pada orang tua, tapi sayangnya janji itu tidak ditepati.

Sang ayah memunguti bungkus-bungkus rokok itu lalu melemparnya ke wajah Zafran. Anak lelaki itu memejam dengan tubuh yang gemetar. Raut wajah ayahnya merah padam. Tidak pernah Zafran lihat ayahnya semarah ini.

“Jadi ini kelakuan kamu selama ini? Merokok, hm? Kamu merasa jadi jagoan berani merokok di sekolah? Membohongi guru kamu, membohongi orang tua, hebat ya!” ujar sang ayah sarkas.

Zafran mengambil satu langkah mundur saat sang ayah mendekat. “Kamu bisa nggak, sekali saja bikin ayah bangga? Bisa nggak!” bentak sang ayah membuat Zafran memejam.

“Bisanya bikin malu, malu, dan MALU! Lihat ini, LIHAT! Nilai kamu jelek semua! Cuman nilai tugas kamu yang bagus dan ayah yakin ini bukan hasil pekerjaan kamu sendiri!”

Jari telunjuk sang ayah terangkat menuding. “Kamu menyuruh Zayyan untuk mengerjakan tugas kamu, kan? Ayah tau selama ini kalian berdua sering belajar bersama. Bangga, ayah sangat bangga saat tau kamu mau belajar! Tapi ini hasilnya? Kalo memang kamu serius, seharusnya nilai ulangan kamu juga bagus! Tapi kenapa hanya nilai tugasnya saja yang bagus?!”

“Tapi nilai seni budaya sama prakaryaku bagus kan, Yah? Nilaiku jadi yang paling tinggi, bukan dari sekelas tapi semua kelas sebelas punyaku yang tertinggi!”

“AYAH NGGAK PEDULI!”

Mulut Zafran sedikit terbuka dengan raut tak percaya saat sang ayah mendadak memotong kalimatnya.

“Ayah nggak peduli sama nilai seni budaya dan prakaryamu kalau nilai matematika dan bahasa inggris kamu cuman lima!”

“Trus gimana sama Zayyan?” sahut Zafran membalikkan omongan ayahnya. “Nilai seni budaya Zayyan cuman enam. Ayah nggak marahin dia?”

Sang ayah memberi jeda sejenak sebelum menjawab. “Tapi nilai matematika Zayyan sembilan.”

“AKU NGGAK PEDULI!” Zafran balas berteriak. “Mau dia dapet nilai MTK sembilan tapi nilai seni budaya Zayyan cuman dapet enam! Dan aku dapet sembilan. Apa ayah nggak bisa marahin Zayyan seperti apa yang ayah lalukan ke aku karena alasan itu?”

Sang ayah hanya diam. Baru kali ini Zafran berteriak sekeras ini di hadapannya. Dan itu cukup membuat hati sang ayah begitu tergores.

“Jadi orang tua yang becus dong, Yah. Jangan berat sebelah.”

“ZAFRAN!”

“AYAHH!!!”

Tangan sang ayah yang sudah terangkat tinggi hendak memukul Zafran terhenti oleh teriakan istrinya. Zafran yang sudah memejam siap menerima pukulan lantas membuka matanya. Sang bunda berlari menghampiri mereka dengan Zayyan yang mengekor di belakangnya.

“Ada apa ini ya Allah. Kenapa ribut-ribut seperti ini?” tanya sang bunda penuh raut khawatir. “Zafran, kamu tidak apa-apa, nak?” Sang bunda beralih pada Zafran sembari menangkup pipi anaknya itu.

“Anakmu merokok di sekolah,” ujar ayah membuat bunda sontak terbelalak. Ia menatap anak dan suaminya bergantian. Berusaha menolak kenyataan yang baru ia dengar tadi.

“Bohong kan, nak? Kamu nggak merokok kan? Kemarin kamu bilang belum pernah merokok. Kamu nggak mungkin bohongin bunda kan, sayang?” tanya bunda dengan suara bergetar akan menangis. Yang ditanya hanya bisa diam sambil memalingkan wajah.

“Ya Allah, astaghfirullah, Zafran.” Sang bunda terlihat sangat syok. Zayyan berusaha menenangkan.

“Lihat, nilainya anjlok semua! Udah nggak bener anak kamu, Bun. Sekarang sudah berani bentak-bentak orang tua. Harus dikasih pelajaran anak kamu ini!”

Mendengar itu, mereka serentak menatap ayah. Lengan Zafran ditarik ayahnya dengan kuat. Zafran yang tidak siap hampir terjatuh. Tubuhnya lantas didorong sang ayah ke dalam kamar yang langsung ditutup rapat.

Zafran panik. Ia bergegas menahan pintu kamarnya namun terlambat. Sang ayah sudah terlebih dahulu mengunci pintunya dari luar.

“AYAH! BUKA YAH! APA-APAAN INI BRENGSEK! NGGAK BECUS LO ANJENG! BUKA PINTUNYA!!!”

©haruquinza

Sesampainya di rumah, sang ayah yang duduk di ruang tamu dengan kaki menyilang seketika melempar pandang ke daun pintu. Raja tampak meneguk ludahnya lantas mendekat tanpa disuruh. Sang ayah menatapnya tajam. Jantung Raja berdegup tak karuan.

“Gimana Yudha?” tanya ayahnya dingin. Raja tahu ini hanya basa-basi sebelum sesi ceramah panjang dimulai.

“Nggak boleh ikut popda, Yah,” jawan Raja dengan kedua tangan yang sudah tertaut erat.

“Apa alasan dia gabung ke Galasena?”

“Karena uang.”

“Uang?” ulang sang ayah terdengar tak percaya dengan ucapan Raja.

“Yudha butuh uang. Haidar nawarin bantuan ke dia dengan syarat dia harus gabung ke Galasena.”

“Kenapa bukan kamu yang nawarin bantuan ke Yudha?”

“Aku nggak tau kalo Yudha butuh bantuan.”

“Kok bisa nggak tau? Kamu itu kaptennya bukan?”

Raja menghela napas ringan. “Kapten nggak harus tahu semua hal tentang anggotanya kan, Yah? Apalagi ini masalah pribadi. Aku nggak mungkin ikut campur.”

“Masalah pribadi Yudha bikin tim kamu kacau. Artinya itu masih jadi tanggung jawab kamu.”

Raja hanya bisa diam. Dia sudah terlalu lelah untuk melawan. Apapun jawabannya, sang ayah punya seribu alasan agar perlawanan tadi berbalik menyerangnya. Sekarang yang perlu ia lakukan hanya diam mendengarkan ceramah sang ayah dan berharap akan segera berakhir karena ia sudah sangat lelah.

“Sebenarnya kamu sudah sadar atau belum kamu ini kapten? Sudah paham atau belum apa yang perlu kamu lakukan sebagai seorang kapten?”

Pertanyaan beruntun itu tak mampu dijawab. Raja hanya menunduk. Meredam semua emosi dan letih yang menyergap tubuhnya. Semakin hari Raja semakin yakin seharusnya ia tidak pernah menerima takdir untuk menjadi kapten Dewandaru.

“Ayah tadi sudah mengobrol dengan pelatihmu. Akhir-akhir ini Dewandaru banyak masalah. Semangat pemain juga menurun. Tau kamu apa yang ayah rasakan setelah dengar itu? Malu, Raja. Ayah malu.”

Raja mendongak cepat. Dua pasang mata ayah dan anak itu beradu. Dapat Raja lihat raut ketegangan di wajah sang ayah.

“Kenapa malu? Selain pelatih, orang yang akan dapat banyak kritikan itu kamu. Anak ayah, kaptennya. Apa kamu tidak malu dianggap kapten yan gagal?”

Sesak, Raja sudah sangat sesak dengan segala kesempurnaan yang harus dimiliki seorang kapten.

“Yah, nggak ada manusia yang sempurna. Kapten nggak harus selalu sempurna, Yah. Aku ataupun kapten-kapten di luar sana cuman manusia yang pastinya pernah melakukan kesalahan. Kenapa aku harus selalu sempurna, Yah?”

“Karna kamu anak ayah,” jeda sang ayah sejenak. “Karena kamu anak ayah maka kamu harus sempurna. Ayah melakukan ini untuk masa depan kamu, Ja. Kalau kamu sukses, bukan ayah yang menikmati tapi kamu sendiri yang menikmati. Seharusnya kamu bersyukur masih bisa diperhatikan ayah sendiri.”

Kalau saja Raja tidak ahli menahan air matanya, pasti sekarang wajahnya sudah sangat basah.

“Tapi aku capek, Yah,” balas Raja dengan suara bergetar.

“Capek apa? Kamu hanya perlu mengikuti perintah ayah. Itu aja.”

“Ada sesuatu yang lama pengin aku bicarain sama ayah,” ujar Raja yang mendadak menyela ayahnya.

“Jujur, aku malu setiap ayah dateng pas aku latihan. Aku bukan anak kecil, Yah. Nggak perlu diikutin ke mana-mana terus. Aku nggak suka saat ayah ikut ngatur sana-sini padahal ayah bukan siapa-siapa di Dewandaru. Aku malu sama temen-temen, Yah. Mereka ngomongin aku di belakang. Dibilang anak ayah, caper, licik, semuanya bikin aku capek, Yah.”

Sang ayah menurunkan satu kakinya bersiap untuk berdiri. Raut wajahya tampak sangat syok. Perkataan Raja begitu menyayat hatinya.

“Ayah itu bukan siapa-siapa di Dewandaru. Jadi jangan sok ikut campur, Yah. Ayah juga nggak perlu ikut ngatur aku karena ayah nggak tau apa-apa soal Voli. Biarin aku tumbuh sendiri, Yah. Aku capek harus menuhin ekspetasi ayah terus.”

PLAAKKK!!!

Mendaratlah sebuah tamparan keras di pipi Raja. Terasa anyir di lidah. Sudut bibirnya ternyata robek. Raja melotot tak percaya. Sakit, jiwa dan raganya benar-benar sakit.

“Kamu pikir kamu siapa bisa ngomong seperti itu di depan ayah? Jangan sok pinter! Kamu itu nggak ada apa-apanya buat ayah. Jangan berlagak bisa menjamin masa depanmu sendiri kalau makan masih numpang di rumah ayah!”

Satu persatu air mata mulai menderas di pipi Raja. Rasa sakit di pipi tak ada apa-apanya dibanding luka batin yang ia rasakan selama ini. Raja hanya ingin bebas. Raja hanya ingin melakukan semuanya sesuai dengan apa yang dia inginkan. Apakah itu salah?

“Kalau tidak bisa jadi anak yang berguna jangan sok menyalahkan ayah! Coba introspeksi sama diri kamu sendiri. Sudah sempurna atau belum sampai berani mengkritik ayah sendiri.”

Tidak bisa jadi anak yang berguna.

Kalimat itu terus berdengung di telinga Raja. Cukup, Raja sudah tidak kuat lagi. Dia memang tidak ditakdirkan berjalan di jalan yang ia ciptakan sendiri.

Mata yang sudah sangat sembab itu menatap sang ayah yang menatap nyalang. Raja berbalik dengan masih memegangi pipi hasil tamparan sang ayah. Ia melenggang keluar rumah, berpapasan dengan sang kakak yang tampak kaget melihatnya menangis.

“Yah, ada apa?!”

Itu adalah kalimat terakhir yang didengar Raja sebelum melesat begitu cepat pergi dari rumah. Dia sudah tak bisa memikirkan apapun. Raja hanya ingin terbebas dari penjara yang membelenggu dirinya.

Seluruh nafas ini sebenernya udah lama digarap sama Niskala, lebih tepatnya sama Devon yang dengan sepenuh jiwa mau nulis liriknya. Lagu itu dia tulis pas lagi ada masalah sama crush-nya yang ngambek gara-gara dia salah pesen seblak yang harusnya nggak pedes tapi malah dikasih level 5.

Sebenernya itu faktor kelalaian manusia sih. Ketuker sama punya Devon. Alhasil, ceweknya mencret tiga hari dan Devon galau setengah mati. Ya gimana enggak? Gara-gara seblak level lima, masa pedekate mereka diambang kehancuran. Tapi gue agak seneng sih. Galaunya Devon bikin dia jadi produktif. Lirik lagu yang udah molor hampir sebulan itu bisa jadi dalam waktu semalam.

The power of sadboy.

Gue nggak tau kenapa jadi ngomongin masalah Devon sama ceweknya tapi menurut gue ini penting buat kalian ketahui karena dari kegalauan itulah, lagu “Seluruh Nafas Ini” tercipta.

Lagu ini bener-bener bakal debut di acara pensi hari ini. Belum ada yang pernah denger kecuali anak-anak Niskala dan senior yang emang membantu kami dalam proses pembuatan lagu tersebut. Perlu kalian tau, lagu ini juga bakal dirilis di platform online sekitar satu mingguan lagi. Ah, nggak nyangka Niskala bisa mencapai fase memproduksi lagu sendiri. Padahal dulu ini band cuman hasil gabut doang.

Jujur aja, gue masih nggak yakin bakal bawain lagu itu. Gue takut lagunya aneh, gue takut mereka nggak suka dan gue takut mereka bakal ninggalin Niskala setelah denger lagu itu. Niskala nggak pernah bawain lagu se-galau ini. Apalagi gue yang anti galau-galau club. Tapi gimana lagi, si Zayyan emang nyusahin.

Ah, gue kayaknya mau kasih tau satu hal paling rahasia dalam hidup gue ke kalian. Eksklusif, cuman kalian aja yang tahu dan gue memohon dengan sangat jangan sebar ke mana-mana, terutama ke Zayyan.

Sampai kapanpun, gue nggak akan pernah benci sama Zayyan. Semua sikap ketus gue ke dia adalah bentuk pelampiasan gue ke orang tua yang nggak bisa memilah kemampuan anaknya yang tentu saja nggak bisa disamakan. Gue kesel aja sama Zayyan. Kami punya kemampuan masing-masing, tapi kenapa cuman punya Zayyan yang mendapat pengakuan? Kenapa gue harus bisa sepintar dia tapi dia nggak harus sepintar gue? Apa itu adil?

Tapi gimanapun, Zayyan saudara gue. Kita udah bareng dari jaman embrio. Mau sebesar apapun rasa iri dengki gue ke Zayyan, tetep aja ada rasa simpati yang akan terus mengikat sampai mati. Mungkin itu yang dinamakan hubungan batin.

Gue nggak pernah ijinin Zayyan dateng ke studio karena di sana banyak asap rokok yang pastinya nggak baik buat kesehatannya. Gue pun tahu Zayyan nggak suka asap rokok. Namun rasa iri gue ke Zayyan kadang bikin gue melupakan fakta itu. Gue tetap merokok di depan dia. Bahkan saat dia batuk yang keliatannya makin parah setelah gue merokok di depan dia. Jahat banget ya gue.

Ada satu hal lagi yang nunjukkin kalo gue bener-bener peduli sama Zayyan. Pas Zayyan sakit, gue bela-belain nganter dia balik padahal saat itu otak gue masih ngebul abis ngerjain MTK. Jujur, gue khawatir banget. Dia nggak pernah ijin karena sakit. Zayyan itu ambisius banget. Absen adalah hal haram buat Zayyan. Namun hari itu, ini bocah sampe mau balik sendiri. Gimana gue nggak khawatir?

Masih belum yakin kalo gue peduli sama Zayyan? Terakhir nih ya. Gue rela muterin satu kota (hiperbola) cuman buat nyari klinik yang didatengin Zayyan. Lo semua tau? Gue ngebut kaya orang kesetanan. Takut Zayyan ilang atau kemungkinan terburuknya dia pingsan dan dibawa orang buat dijadiin gelandangan. Sumpah ini random banget, tapi gue bener-bener kepikiran itu.

Bohong? Ya udah lah, terserah lo pada mau percaya apa kagak. Gue mungkin terlalu mendalami peran pura-pura benci ke Zayyan. Tapi gue nggak bisa menjamin kata pura-pura itu akan selamanya jadi pura-pura atau malah suatu saat, gue beneran benci sama Zayyan.

Gue kok jadi cerita ke mana-mana dah. Udah ya, itu rahasia gue. Jangan cerita ke siapapun. Apalagi ke Zayyan. Nanti itu anak bakal kepedean dan ngeledekin gue. Males banget nanggepin celotehannya.

Oke, kita beralih ke topik selanjutnya.

Sekarang Niskala lagi siap-siap buat penampilan penutup. Bintang tamu yang kata Zayyan lagi dinego buat tetep dateng ternyata nggak bisa menyanggupi permintaan anak OSIS. Goblok sih gue bilang, kenapa kagak dibayar dulu band-nya anjir! Kan mereka jadi semena-mena sama lo. Gue mau ngomong gitu ke Zayyan. Tapi liat gimana sibuknya dia sekarang, kayaknya nggak perlu. Nanti nambah pikiran lagi.

Untung aja mereka punya Niskala. Rasa-rasanya mereka lebih tertarik sama Niskala daripada band lokal itu deh hahaa. Soalnya nggak ada teriakan protes pas Niskala naik panggung. Yang ada mereka teriak histeris dan yeah, gue suka sensasi itu.

Dari atas panggung gue liat Zayyan mondar-mandir dengan tergesa. Sibuk banget itu anak dari tadi. Nggak bisa diajak ngobrol sedetikpun. Padahal gue yakin dia belum sembuh betul. Mukanya juga udah pucet. Awas aja kalo abis ini dia makin sakit. Nggak sudi gue bawa dia ke dokter lagi.

Beberapa kali dia melewati panggung dan melirik gue. Mulutnya bergumam ngasih penyemangat. Alis gue naik sebagai balasan semangat buat dia. Nggak tau dia nangkep maksudnya apa kagak. Yang penting gue udah ada niatan kasih semangat.

Semuanya sudah siap. Allisya, cewek kesayangan gue, berdiri di sebelah dengan mic yang tergenggam. Evan memetik gitarnya. Gue menggenggam erat stand mic dan memejam untuk meresapi lagu.

Lihatlah luka ini, yang sakitnya abadi. Yang terbalut hangatnya bekas pelukmu. Aku tak akan lupa, tak akan pernah bisa. Entah apa yang harus memisahkan kita.

Di saatku tertatih, tanpa kau di sini. Kau tetap kunanti demi keyakinan ini.

Gue membuka mata pelan dan menghadap Allisya.

Jika memang dirimu lah tulang rusukku. Kau akan kembali pada tubuh ini. Ku akan tua dan mati dalam pelukmu. Untukmu, seluruh nafas ini.

Allisya tersenyum manis lalu mendekatkan mic-nya ke mulut. Gue melirik sejenak ke area penonton. Ada Zayyan di pinggir sedang menonton. Dia nepatin janjinya ternyata.

Gue kembali menatap Allisya. Mendengarkan suara lembutnya yang dulu bikin gue jatuh cinta. Nggak dulu aja, sekarang dan seterusnya pun masih sama. Gue nggak pernah bisa berhenti untuk mengagumi pesona Allisya, apapun itu.

Baru satu baris lirik yang dinyanyikan Allisya, tiba-tiba terdengar teriakan begitu keras dari arah penonton. Kami serentak berhenti dan menoleh. Sepasang mata gue menatap sudut kerumunan yang tampak panik. Tempat itu, bukannya Zayyan tadi berdiri di sana? Di mana dia?

Degup jantung gue terdengar keras di telinga. Tanpa pikir panjang, gue langsung membuang mic dalam genggaman dan berlari turun dari panggung. Kerumunan itu gue belah paksa. Gue tercekat saat menyadari seseorang terkapar di sana dengan hidung yang berlumuran darah. Sial, gue nggak sudi bawa lo ke dokter lagi, Zayyan!

Seluruh nafas ini sebenernya udah lama digarap sama Niskala, lebih tepatnya sama Devon yang dengan sepenuh jiwa mau nulis liriknya. Lagu itu dia tulis pas lagi ada masalah sama crush-nya yang ngambek gara-gara dia salah pesen seblak yang harusnya nggak pedes tapi malah dikasih level 5.

Sebenernya itu faktor kelalaian manusia sih. Ketuker sama punya Devon. Alhasil, ceweknya mencret tiga hari dan Devon galau setengah mati. Ya gimana enggak? Gara-gara seblak level lima, masa pedekate mereka diambang kehancuran. Tapi gue agak seneng sih. Galaunya Devon bikin dia jadi produktif. Lirik lagu yang udah molor hampir sebulan itu bisa jadi dalam waktu semalam.

The power of sadboy.

Gue nggak tau kenapa jadi ngomongin masalah Devon sama ceweknya tapi menurut gue ini penting buat kalian ketahui karena dari kegalauan itulah, lagu “Seluruh Nafas Ini” tercipta.

Lagu ini bener-bener bakal debut di acara pensi hari ini. Belum ada yang pernah denger kecuali anak-anak Niskala dan senior yang emang membantu kami dalam proses pembuatan lagu tersebut. Perlu kalian tau, lagu ini juga bakal dirilis di platform online sekitar satu mingguan lagi. Ah, nggak nyangka Niskala bisa mencapai fase memproduksi lagu sendiri. Padahal dulu ini band cuman hasil gabut doang.

Jujur aja, gue masih nggak yakin bakal bawain lagu itu. Gue takut lagunya aneh, gue takut mereka nggak suka dan gue takut mereka bakal ninggalin Niskala setelah denger lagu itu. Niskala nggak pernah bawain lagu se-galau ini. Apalagi gue yang anti galau-galau club. Tapi gimana lagi, si Zayyan emang nyusahin.

Ah, gue kayaknya mau kasih tau satu hal paling rahasia dalam hidup gue ke kalian. Eksklusif, cuman kalian aja yang tahu dan gue memohon dengan sangat jangan sebar ke mana-mana, terutama ke Zayyan.

Sampai kapanpun, gue nggak akan pernah benci sama Zayyan. Semua sikap ketus gue ke dia adalah bentuk pelampiasan gue ke orang tua yang nggak bisa memilah kemampuan anaknya yang tentu saja nggak bisa disamakan. Gue kesel aja sama Zayyan. Kami punya kemampuan masing-masing, tapi kenapa cuman punya Zayyan yang mendapat pengakuan? Kenapa gue harus bisa sepintar dia tapi dia nggak harus sepintar gue? Apa itu adil?

Tapi gimanapun, Zayyan saudara gue. Kita udah bareng dari jaman embrio. Mau sebesar apapun rasa iri dengki gue ke Zayyan, tetep aja ada rasa simpati yang akan terus mengikat sampai mati. Mungkin itu yang dinamakan hubungan batin.

Gue nggak pernah ijinin Zayyan dateng ke studio karena di sana banyak asap rokok yang pastinya nggak baik buat kesehatannya. Gue pun tahu Zayyan nggak suka asap rokok. Namun rasa iri gue ke Zayyan kadang bikin gue melupakan fakta itu. Gue tetap merokok di depan dia. Bahkan saat dia batuk yang keliatannya makin parah setelah gue merokok di depan dia. Jahat banget ya gue.

Ada satu hal lagi yang nunjukkin kalo gue bener-bener peduli sama Zayyan. Pas Zayyan sakit, gue bela-belain nganter dia balik padahal saat itu otak gue masih ngebul abis ngerjain MTK. Jujur, gue khawatir banget. Dia nggak pernah ijin karena sakit. Zayyan itu ambisius banget. Absen adalah hal haram buat Zayyan. Namun hari itu, ini bocah sampe mau balik sendiri. Gimana gue nggak khawatir?

Masih belum yakin kalo gue peduli sama Zayyan? Terakhir nih ya. Gue rela muterin satu kota (hiperbola) cuman buat nyari klinik yang didatengin Zayyan. Lo semua tau? Gue ngebut kaya orang kesetanan. Takut Zayyan ilang atau kemungkinan terburuknya dia pingsan dan dibawa orang buat dijadiin gelandangan. Sumpah ini random banget, tapi gue bener-bener kepikiran itu.

Bohong? Ya udah lah, terserah lo pada mau percaya apa kagak. Gue mungkin terlalu mendalami peran pura-pura benci ke Zayyan. Tapi gue nggak bisa menjamin kata pura-pura itu akan selamanya jadi pura-pura atau malah suatu saat, gue beneran benci sama Zayyan.

Gue kok jadi cerita ke mana-mana dah. Udah ya, itu rahasia gue. Jangan cerita ke siapapun. Apalagi ke Zayyan. Nanti itu anak bakal kepedean dan ngeledekin gue. Males banget nanggepin celotehannya.

Oke, kita beralih ke topik selanjutnya.

Sekarang Niskala lagi siap-siap buat penampilan penutup. Bintang tamu yang kata Zayyan lagi dinego buat tetep dateng ternyata nggak bisa menyanggupi permintaan anak OSIS. Goblok sih gue bilang, kenapa kagak dibayar dulu band-nya anjir! Kan mereka jadi semena-mena sama lo. Gue mau ngomong gitu ke Zayyan. Tapi liat gimana sibuknya dia sekarang, kayaknya nggak perlu. Nanti nambah pikiran lagi.

Untung aja mereka punya Niskala. Rasa-rasanya mereka lebih tertarik sama Niskala daripada band lokal itu deh hahaa. Soalnya nggak ada teriakan protes pas Niskala naik panggung. Yang ada mereka teriak histeris dan yeah, gue suka sensasi itu.

Dari atas panggung gue liat Zayyan mondar-mandir dengan tergesa. Sibuk banget itu anak dari tadi. Nggak bisa diajak ngobrol sedetikpun. Padahal gue yakin dia belum sembuh betul. Mukanya juga udah pucet. Awas aja kalo abis ini dia makin sakit. Nggak sudi gue bawa dia ke dokter lagi.

Beberapa kali dia melewati panggung dan melirik gue. Mulutnya bergumam ngasih penyemangat. Alis gue naik sebagai balasan semangat buat dia. Nggak tau dia nangkep maksudnya apa kagak. Yang penting gue udah ada niatan kasih semangat.

Semuanya sudah siap. Allisya, cewek kesayangan gue, berdiri di sebelah dengan mic yang tergenggam. Evan memetik gitarnya. Gue menggenggam erat stand mic dan memejam untuk meresapi lagu.

Lihatlah luka ini, yang sakitnya abadi. Yang terbalut hangatnya bekas pelukmu. Aku tak akan lupa, tak akan pernah bisa. *Entah apa yang harus memisahkan kita.

Di saatku tertatih, tanpa kau di sini. Kau tetap kunanti demi keyakinan ini.

Gue membuka mata pelan dan menghadap Allisya.

Jika memang dirimu lah tulang rusukku. Kau akan kembali pada tubuh ini. Ku akan tua dan mati dalam pelukmu. Untukmu, seluruh nafas ini.

Allisya tersenyum manis lalu mendekatkan mic-nya ke mulut. Gue melirik sejenak ke area penonton. Ada Zayyan di pinggir sedang menonton. Dia nepatin janjinya ternyata.

Gue kembali menatap Allisya. Mendengarkan suara lembutnya yang dulu bikin gue jatuh cinta. Nggak dulu aja, sekarang dan seterusnya pun masih sama. Gue nggak pernah bisa berhenti untuk mengagumi pesona Allisya, apapun itu.

Baru satu baris lirik yang dinyanyikan Allisya, tiba-tiba terdengar teriakan begitu keras dari arah penonton. Kami serentak berhenti dan menoleh. Sepasang mata gue menatap sudut kerumunan yang tampak panik. Tempat itu, bukannya Zayyan tadi berdiri di sana? Di mana dia?

Degup jantung gue terdengar keras di telinga. Tanpa pikir panjang, gue langsung membuang mic dalam genggaman dan berlari turun dari panggung. Kerumunan itu gue belah paksa. Gue tercekat saat menyadari seseorang terkapar di sana dengan hidung yang berlumuran darah. Sial, gue nggak sudi bawa lo ke dokter lagi, Zayyan!