Quinzaharu

Kelopak mata gue membuka cepat. Oksigen mendadak tak mampu memasuki pernapasan. Berkali-kali gue berusaha menarik napas namun tak ada udara yang masuk. Ratusan ujung jarum terasa menusuk dada dari dalam. Degup jantung gue meningkat drastis.

Gue berusaha tenang. Ini sudah biasa. Gue pasti bisa melewatinya. Sekarang yang perlu gue lakukan adalah mencari alat bantu pernapasan yang biasanya tersimpan di nakas dekat tempat tidur. Tangan kanan gue meraba-raba asal hingga beberapa barang berjatuhan.

Tidak ada. Alat itu tidak ada di sana.

Masih berusaha mengais oksigen, gue bangkit dari kasur. Berjalan terbungkuk sambil memegangi dada gue yang makin menghimpit. Kedua kelopak mata gue bahkan belum terbuka sempurna. Namun keringat dingin sudah mengucur deras di seluruh tubuh gue.

Ternyata alat itu ada di meja satunya. Dengan sisa tenaga yang ada, tangan gue menyambar alat itu dan langsung gue hirup oksigen yang ada di sana seraya tersungkur di lantai. Sakit, rasanya sakit sekali. Air mata mulai berjatuhan. Ini benar-benar melelahkan.

Perlahan oksigen sudah bisa kembali terhirup. Napas gue begitu terengah. Perlu beberapa menit untuk bisa bangkit dari posisi meringkuk yang kalau dilihat-lihat seperti orang sedang bersujud. Bedanya kedua tangan gue bukan di lantai, tapi memegangi dada dan sungkup yang ditempel di wajah.

Kepala gue bersandar di dinding. Membiarkan puluhan tetes keringat mengalir di dahi dengan mata terpejam. Gue baru saja melarikan diri dari gerbang kematian. Hebat, good job, Zayyan.

Berat rasanya hanya untuk membuka mata. Gue lihat jam dinding menunjukkan waktu pukul empat dini hari. Sayup-sayup adzan berkumandang. Rupanya Tuhan tengah berupaya memanggil gue untuk beribadah. Cara yang bagus, Tuhan. Sekarang hamba-Mu tidak akan bisa tertidur lagi.

Sambil menyeka keringat yang membasahi dahi, gue bangkit menuju kotak obat dan menenggak beberapa pil yang ada di sana. Jantung gue masih berdegup kencang. Mungkin duduk sejenak bisa mengembalikan ritme normalnya.

Panggilan beribadah telah berakhir. Gue lantas melangkah gontai ke kamar mandi untuk menyucikan diri. Sepertinya gue habis melakukan kesalahan besar sampai Tuhan menegur gue dengan cara yang seperti tadi.

Selesai beribadah, gue melangkah keluar kamar. Denting perabot rumah tangga terdengar dari arah dapur. Itu suara bunda yang sedang menyiapkan sarapan.

“Yan,” sapa Bunda melihat gue masuk ke area dapur. “Sudah solat subuh?”

Gue mengangguk lantas duduk di meja makan. Tubuh gue menyandar lemas. Bunda yang mungkin sadar gue tidak bersemangat seperti biasa lantas menghampiri.

“Ada apa? Masih pagi kok sudah murung?”

“Zayyan cape, Bun.”

Bunda menarik kursi untuk duduk di samping gue. “Cerita sama Bunda. Ada apa?”

“Kapan semua ini akan berakhir, Bun? Aku cape setiap kali harus bangun pagi cuman buat cari oksigen.”

Raut wajah bunda tampak menegang. “Kamu habis sesak napas ya? Sudah minum obatnya?”

“Setiap hari aku sesak napas. Setiap hari aku minum obat. Bunda nggak perlu tanya lagi karena jawabannya pasti iya.”

Bunda meraih tangan kanan gue. “Bunda yakin semua ini akan segera berakhir. Tetap di sini ya? Bunda akan selalu temani Zayyan.”

“Aku pengen semuanya berakhir hari ini aja, Bun.”

“Sshh, nggak boleh bicara seperti itu, sayang,” ujar Bunda sambil mengelus punggung gue. “Bunda ambilkan air minum hangat dulu ya biar kamu lega.”

Merepotkan sekali. Pagi-pagi udah bikin Bunda panik. Siapa lagi kalo bukan gue. Sekarang yang bisa gue lakuin cuman duduk dengan air mata yang tertahan melihat bunda membawakan segelas air dengan uap ringan. Bunda membantu gue minum dan benar, rasanya memang lebih tenang. Rongga dada gue jadi menghangat.

“Aku mau balik ke kamar, Bun.”

“Mau Bunda antar?”

Gue menggeleng. “Aku bisa sendiri kok, Bun.”

“Ya, sudah. Nanti Bunda bangunkan kalo sarapan sudah siap ya.”

Gue lantas berdiri dan menjauh dari sana. Gue rasa bunda tak melepas pandang dari punggung gue. Bagus, Zayyan. Sekarang lo udah nambah satu beban pikiran buat Bunda di waktu yang sepagi ini. Beban, lo benar-benar beban keluarga, Yan.

Zafran berjalan cepat sembari sesekali melirik ponselnya yang menampilkan letak ruangan ayahnya dirawat. Tadi pagi sang ayah masih baik-baik saja. Memang sempat mengeluh tidak enak badan karena perjalanan luar kota. Namun Zafran tidak menyangka ayahnya sampai dirawat di rumah sakit.

Sang ayah memang tengah rutin minum obat. Rokok yang ia hisap sejak masih muda membuatnya sering batuk, sesak napas, bahkan asam lambung naik. Namun keberuntungan masih sedikit berpihak padanya karena kanker tidak turut menggerogoti tubuhnya.

Sesampainya di ruangan yang dicari, Zafran tidak langsung masuk. Ia mengintip dari balik kaca pintu dan menemukan keluarganya ada di sana. Zafran tidak mau terlihat khawatir. Sebisa mungkin ia mengatur ekspresi menjadi datar seakan tak terjadi apa-apa.

“Sudah pulang, Ran?” sambut sang Bunda melihat anaknya masuk.

“Udah, Bun,” jawab Zafran sembari melempar tasnya ke sofa yang tengah diduduki Zayyan lantas ikut duduk di sana.

“Ayah cuman kelelahan saja. Sepertinya besok juga sudah boleh pulang,” jelas sang bunda yang tahu Zafran gengsi menanyakan kondisi ayahnya.

Sang anak hanya mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya. Diam-diam sang ayah memperhatikan. Ada sedikit rasa penyesalan atas tembok penyekat yang terbangun di antara mereka. Zafran memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Mereka lebih sering berdebat. Banyaknya tuntutan sang ayah membuat Zafran enggan banyak berinteraksi dengan si kepala keluarga itu.

Masih teringat di pikiran Ayah perihal pesan dari Zafran yang begitu menampar. Ia sadar sudah keliru dalam hal mendidik anaknya. Ia tidak menyadari banyaknya tekanan yang telah diberikan pada Zafran. Anak itu sudah banyak bekerja keras. Namun yang dia lakukan hanya memberikan tuntutan yang lebih besar alih-alih mengapresiasi apa yang sudah dicapai Zafran.

“Zafran,” panggil sang ayah yang sukses mengentakkan jantung Zafran begitu keras. Ini pertama kalinya sang ayah memanggil dengan lembut. Hm, bukan pertama kali, namun sudah lama ia tidak mendengar suara lembut ayahnya.

“Iya?” sahut Zafran.

“Duduk di sini. Ayah mau bicara,” pinta sang Ayah sambil menunjuk kursi yang ada di dekat ranjangnya.

Zafran menurut. Sebelum beranjak, ia melemparkan tatapan tanya pada Zayyan namun hanya dibalas gelengan.

Anak lelaki itu sudah duduk di sana. Mereka berdua saling bertatapan.

“Ayah minta maaf sudah banyak menuntut kamu selama ini.”

Jantung Zafran berdegup tak karuan. Sial, dia benci perasaan ini!

“Ayah sadar, seharusnya ayah tidak terlalu menekan kamu untuk bisa selalu jaga Zayyan. Ayah minta maaf ya, Ran.”

Zafran hanya bisa menunduk. Menghalau air matanya yang memberontak keluar.

“Kamu sudah berhasil jadi sosok kakak yang baik, Ran. Sudah bisa jaga Zayyan dan Bunda saat ayah tidak di rumah. Terima kasih ya.”

Ia sudah tidak dapat menahan air matanya. Terlalu sakit. Beban-beban itu terasa kembali menghantam Zafran. Menyadari betapa lelahnya saat ia dituntut sebagai seorang kakak yang bisa menggantikan figur seorang ayah.

“Ayah sudah banyak merepotkan kamu. Seharusnya Ayah yang menjaga Zayyan dan Bunda, bukan kamu. Tapi Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan. Ayah minta maaf.

“Sekarang Ayah sakit seperti ini. Kemungkinan kamu juga yang akan menjaga Ayah. Beban kamu jadi lebih banyak ya Ran? Ayah janji nggak akan sakit lagi biar bisa bantu kamu jaga keluarga kita.”

Zafran sudah menangis tersedu. Bunda dan Zayyan yang turut menyimak percakapan itu pun ikut berderai air mata.

“Kamu masih merokok?”

Zafran menggeleng. Walaupun belum berhenti sepenuhnya, Zafran sudah sedikit mengurangi banyaknya batang rokok yang ia hisap.

“Pertahankan. Jangan menunggu sakit dulu seperti Ayah. Ayah tidak mau hal yang terjadi di keluarga kita sekarang terulang lagi di keluarga kamu nantinya. Nggak mau kan kamu terbaring sakit seperti ayah sekarang dan anak kamu kena kanker seperti Zayyan?”

Ucapan sang Ayah membuat Zafran teringat chat yang ia kirim tempo hari. Saat itu, Zafran menyalahkan ayahnya sebagai penyebab Zayyan terkena kanker. Dan entah kenapa dia jadi menyesal sekarang.

“Zayyan, sini duduk di sebelah Zafran,” ajak sang ayah membuat Zayyan beranjak duduk di tepi ranjang ayahnya.

“Maafkan ayah yang sudah bikin kamu seperti ini.”

Zayyan menggeleng. “Ini bukan salah ayah.”

“Salah Ayah. Dari dulu Ayah sering merokok di sekitar kalian. Ayah membuat kalian tinggal di lingkungan yang tidak sehat.”

“Jangan bilang kaya gitu, Yah. Aku nggak apa-apa kok,” sahut Zayyan tegar, walaupun matanya sudah sangat merah.

“Kamu pasti sembuh, Yan. Ayah akan mengusahakan segala cara untuk membuat kamu sembuh. Kamu jangan pernah berpikir untuk menyerah ya?”

Zayyan mengangguk dengan satu bulir air mata yang terjatuh.

“Kita berjuang bersama-sama ya. Bunda yakin keluarga kita bisa utuh terus sampai akhir,” timpal sang bunda seraya merangkul kedua anaknya.

“Pasti, Bun. Aku yakin Zayyan bakal sembuh. Baru stadium awal kan? Berarti satu? Paling juga bentar lagi sembuh,” ujar Zafran membuat ketiga orang di sana menegang.

Lagi-lagi, Zafran yang paling terakhir tahu soal keluarganya. Lagi-lagi dia yang terasingkan. Tertinggal sendirian dengan fakta yang dipalsukan.

Ayah, Bunda, dan Zayyan saling melempar pandangan. Mereka lalu tersenyum canggung guna menyembunyikan hal yang belum diketahui Zafran.

Bahwa penyakit kanker yang diderita Zayyan sudah memasuki stadium ketiga dan besok dia sudah harus menjalani kemoterapi.

Zafran POV

Sesuai janji, habis pulang sekolah, gue ajak Zayyan keluar. Sekadar temenin dia beli buku di Gramedia sama beli camilan di kafe. Awalnya mau langsung dimakan di sana. Namun banyaknya asap rokok yang berbahaya buat Zayyan membuat kami memutuskan untuk makan di rumah.

Sebelum dapet chat dari Zayyan, gue udah feeling di kafe ini ada Evan. Dilihat dari motor yang mirip sama punya dia terparkir nggak jauh dari tempat gue nunggu. Cuman karena gue nggak hapal plat nomer dia, gue kira itu bukan punya Evan. Tapi ternyata beneran punya tu anak. Mana datengnya sama mantan gue.

Gue sebenernya nggak masalah sih Allisya jalan sama cowok lain. Dia emang udah nggak ada hubungan lagi sama gue. Tapi please lah bro??? Kita bahkan baru putus sebulan yang lalu tapi dia udah nemu pengganti gue??? Dan he's my fucking besTAIII??? Nggak ada cowo lain apa?

Dan buat Evan, BISA-BISANYA LO DEKETIN MANTAN GUE??? OTAK LO DI MANA?

Dulu sebelum gue jadian sama Allisya, dia yang bantuin gue deket sama primadona sekolah itu. Dia yang jadi partner sambat pas Allisya bener-bener jual mahal ke gue. Dia orang pertama yang gue traktir setelah berhasil dapetin Allisya. Dia yang selalu kasih solusi kalo gue ada masalah sama Allisya.

Dan dia orang yang gue percaya buat jagain Allisya kalo gue nggak bisa melakukan peran itu.

Cih, rupanya semua kepercayaan itu bikin lo jadi ada perasaan buat Allisya ya, Van? Atau selama ini kalian berdua main di belakang?

Sebenernya gue bisa aja ngamuk, ngacak-ngacak ini kafe, atau mukulin Evan sampai remuk. Tapi nggak, gue nggak akan ngelakuin cara murahan itu. Terlalu klasik. Yang ada gue bakal keliatan jelek. Soalnya emang si Allisya kan bukan pacar gue lagi. Gue nggak ada hak buat marah karena dia jalan sama cowok lain.

Gue berjalan menghampiri Zayyan yang langsung nunjuk sepasang remaja yang duduk di pojokan. Bibir gue tersungging sinis. Ada satu pelayan yang kayaknya mau anter makanan ke sana. Gue jadi punya ide.

“Monitor, Tar. Gue mau beraksi,” ujar gue pada Zayyan yang disambut acungan jempol.

Pelayan yang hendak lewat, gue cegat. “Mas, mau anter ke meja itu ya?” tanya gue sambil menunjuk meja Evan dan Allisya.

“Iya, Mas!”

“Boleh saya aja yang nganter nggak? Kebetulan mereka temen saya. Mau ngerjain aja,” pinta gue dengan kekehan kecil yang memicu tawa dari si pelayan.

“Oh, boleh, Mas,” jawabnya sambil menyerahkan nampan berisi pesanan dua sejoli itu. “Mau pakai apronnya sekalian, Mas?” tawar si pelayan.

“Wah, ide bagus, Mas! Boleh-boleh!” sambut gue kelewat excited. Bakalan seru nih.

Zayyan lalu menawarkan diri buat memasangkan apron ke pinggang gue. Sip, gue udah kaya pelayan kafe beneran. Setelahnya gue langsung berjalan menghampiri mereka yang masih sibuk dengan buku sambil bersenda gurau.

Ritme jantung gue sedikit meningkat. Entah karena menahan emosi atau terlalu penasaran sama reaksi mereka nantinya. Yang jelas, gue pengen banget nyiram muka Evan pake kopi yang dia pesan.

“Pesanan atas nama Evan dan Allisya?” seru gue tiba-tiba membuat mereka terlonjak.

“Zafran?!” Allisya memanggil dengan raut kaget dan tidak percaya. Dia langsung beringsut menjauh dari Evan. Sedangkan cowok itu sendiri menatap gue salah tingkah habis tertangkap basah.

“Kopi latte, fresh orange, toast, dan roti bakar. Sudah semua ya? Atau ada tambahan lagi?” ujar gue sambil menaruh satu persatu makanan mereka dengan keras.

“Ran, lo ngapain di sini?” tanya Evan.

“Kerja lah, cari receh. Soalnya gue ada rencana nggak nge-band lagi sih,” jawab gue santai dengan senyuman yang dipaksakan. Nampan yang ada di tangan udah gue genggam erat buat pelampiasan emosi.

“Hah?” Evan tampak super terkejut. Hah! Gue suka ekspresi dia saat ini. Lebih memuaskan daripada saling adu tonjok. Tapi tetep aja gue pengen nonjok dia.

“Ya, udah, have fun ya! Gue balik kerja dulu,” pamit gue sambil melayangkan hormat lantas melenggang pergi.

“Ran!” Itu suara Allisya. Dia menahan tangan gue. “Ini nggak seperti yang kamu pikirin, Ran,” lirihnya.

“Emang apa yang gue pikirin? Kalian berdua nge-date gitu?”

“Kita cuman lagi belajar kelompok, Ran.”

“Sekarang satu kelompok isinya dua orang ya?”

Mulutnya terkatup rapat. Tak ada kalimat yang dapat terucap. Gue lirik Evan yang keliatan nggak ada usaha buat menjelaskan.

“Harus banget temen aku yang jadi penggantinya, Ca?”

Gue nggak bisa menahan pertanyaan itu. Bola mata Allisya perlahan memerah. Pandangan gue bergulir ke Evan.

“Lo juga. Kalo ini bukan tempat umum, udah gue tonjok lo.”

Gue lantas menghempas genggaman Allisya dan pergi.

“Kasus ini selesai!” ujar Zayyan ala ending acara katakan putus. Gue terkekeh lantas mengembalikan nampan dan apron ke pelayan tadi.

“Makasih ya, Mas! Ternyata seru juga jadi pelayan kafe. Kalo ada lowongan kerja, hubungin saya ya,” ledek gue membuatnya tertawa.

“Ayo balik!” ajak gue pada Zayyan.

Saat gue tengah berjalan keluar, tiba-tiba ada yang merengkuh pinggang gue dari belakang. Gue tersentak, namun tidak kaget. Itu Allisya.

“Jangan gini, Ran. Aku masih sayang sama kamu,” rintih Allisya yang tampaknya udah nangis di punggung gue.

“Kita baru putus sebulan, Sya. Wajar kamu masih sayang aku. Tunggu bentar lagi. Pasti rasa sayangmu hilang.” Gue lantas mengurai pelukan dia dan berbalik. “Udahlah, nggak usah nangis. Kan kamu yang minta putus.”

Pandangan Allisya beralih ke sebelah gue, ke Zayyan. Sorot matanya menajam. “Ini semua gara-gara lo!” gentaknya sambil menunjuk Zayyan.

“Hah? Gue?” jawab Zayyan bingung sambil menunjuk dirinya.

“Kalo lo nggak nyusahin, gue sama Zafran nggak mungkin putus! Lo tuh beban buat dia!”

“ALLISYA!”

Kesabaran gue udah habis. Bahkan tangan gue udah terangkat hendak menampar dia. Namun segera terhenti saat Allisya menunduk ketakutan.

Evan datang dengan jiwa sok pahlawannya menarik Allisya untuk berdiri di belakangnya.

“Kalo mau ribut sama gue aja, Ran. Gausah macem-macem sama cewek!” ujarnya kemudian.

“Bacot lo!” Gue kembali menaruh perhatian sama Allisya. “Lo udah bukan siapa-siapa gue. Jadi gue harap lo sadar diri. Putusnya kita nggak ada hubungannya sama Zayyan. Melainkan karena keegoisan lo sendiri. Pikirin itu baik-baik.”

Gue lantas menepuk bahu Zayyan mengajaknya pergi dari sana. Dia tampak menatap Allisya sejenak sebelum menyusul gue. Entah kenapa sakit banget denger Allisya maki Zayyan kaya tadi.

Gue nggak pernah anggap Zayyan beban. Gue dengan senang hati melakukan semuanya buat dia. Gue hanya ingin menebus dosa di masa lalu yang sering mengabaikan Zayyan. Gue butuh dia, begitupun sebaliknya. Gue nggak mau siapapun merebut Zayyan dari gue,

termasuk Tuhan.

Zafran POV

Sesuai janji, habis pulang sekolah, gue ajak Zayyan keluar. Sekadar temenin dia beli buku di Gramedia sama beli camilan di kafe. Awalnya mau langsung dimakan di sana. Namun banyaknya asap rokok yang berbahaya buat Zayyan membuat kami memutuskan untuk makan di rumah.

Sebelum dapet chat dari Zayyan, gue udah feeling di kafe ini ada Evan. Dilihat dari motor yang mirip sama punya dia terparkir nggak jauh dari tempat gue nunggu. Cuman karena gue nggak hapal plat nomer dia, gue kira itu bukan punya Evan. Tapi ternyata beneran punya tu anak. Mana datengnya sama mantan gue.

Gue sebenernya nggak masalah sih Allisya jalan sama cowok lain. Dia emang udah nggak ada hubungan lagi sama gue. Tapi please lah bro??? Kita bahkan baru putus sebulan yang lalu tapi dia udah nemu pengganti gue??? Dan he's my fucking besTAIII??? Nggak ada cowo lain apa?

Dan buat Evan, BISA-BISANYA LO DEKETIN MANTAN GUE??? OTAK LO DI MANA?

Dulu sebelum gue jadian sama Allisya, dia yang bantuin gue deket sama primadona sekolah itu. Dia yang jadi partner sambat pas Allisya bener-bener jual mahal ke gue. Dia orang pertama yang gue traktir setelah berhasil dapetin Allisya. Dia yang selalu kasih solusi kalo gue ada masalah sama Allisya.

Dan dia orang yang gue percaya buat jagain Allisya kalo gue nggak bisa melakukan peran itu.

Cih, rupanya semua kepercayaan itu bikin lo jadi ada perasaan buat Allisya ya, Van? Atau selama ini kalian berdua main di belakang?

Sebenernya gue bisa aja ngamuk, ngacak-ngacak ini kafe, atau mukulin Evan sampai remuk. Tapi nggak, gue nggak akan ngelakuin cara murahan itu. Terlalu klasik. Yang ada gue bakal keliatan jelek. Soalnya emang si Allisya kan bukan pacar gue lagi. Gue nggak ada hak buat marah karena dia jalan sama cowok lain.

Gue berjalan menghampiri Zayyan yang langsung nunjuk sepasang remaja yang duduk di pojokan. Bibir gue tersungging sinis. Ada satu pelayan yang kayaknya mau anter makanan ke sana. Gue jadi punya ide.

“Monitor, Tar. Gue mau beraksi,” ujar gue pada Zayyan yang disambut acungan jempol.

Pelayan yang hendak lewat, gue cegat. “Mas, mau anter ke meja itu ya?” tanya gue sambil menunjuk meja Evan dan Allisya.

“Iya, Mas!”

“Boleh saya aja yang nganter nggak? Kebetulan mereka temen saya. Mau ngerjain aja,” pinta gue dengan kekehan kecil yang memicu tawa dari si pelayan.

“Oh, boleh, Mas,” jawabnya sambil menyerahkan nampan berisi pesanan dua sejoli itu. “Mau pakai apronnya sekalian, Mas?” tawar si pelayan.

“Wah, ide bagus, Mas! Boleh-boleh!” sambut gue kelewat excited. Bakalan seru nih.

Zayyan lalu menawarkan diri buat memasangkan apron ke pinggang gue. Sip, gue udah kaya pelayan kafe beneran. Setelahnya gue langsung berjalan menghampiri mereka yang masih sibuk dengan buku sambil bersenda gurau.

Ritme jantung gue sedikit meningkat. Entah karena menahan emosi atau terlalu penasaran sama reaksi mereka nantinya. Yang jelas, gue pengen banget nyiram muka Evan pake kopi yang dia pesan.

“Pesanan atas nama Evan dan Allisya?” seru gue tiba-tiba membuat mereka terlonjak.

“Zafran?!” Allisya memanggil dengan raut kaget dan tidak percaya. Dia langsung beringsut menjauh dari Evan. Sedangkan cowok itu sendiri menatap gue salah tingkah habis tertangkap basah.

“Kopi latte, fresh orange, toast, dan roti bakar. Sudah semua ya? Atau ada tambahan lagi?” ujar gue sambil menaruh satu persatu makanan mereka dengan keras.

“Ran, lo ngapain di sini?” tanya Evan.

“Kerja lah, cari receh. Soalnya gue ada rencana nggak nge-band lagi sih,” jawab gue santai dengan senyuman yang dipaksakan. Nampan yang ada di tangan udah gue genggam erat buat pelampiasan emosi.

“Hah?” Evan tampak super terkejut. Hah! Gue suka ekspresi dia saat ini. Lebih memuaskan daripada saling adu tonjok. Tapi tetep aja gue pengen nonjok dia.

“Ya, udah, have fun ya! Gue balik kerja dulu,” pamit gue sambil melayangkan hormat lantas melenggang pergi.

“Ran!” Itu suara Allisya. Dia menahan tangan gue. “Ini nggak seperti yang kamu pikirin, Ran,” lirihnya.

“Emang apa yang gue pikirin? Kalian berdua nge-date gitu?”

“Kita cuman lagi belajar kelompok, Ran.”

“Sekarang satu kelompok isinya dua orang ya?”

Mulutnya terkatup rapat. Tak ada kalimat yang dapat terucap. Gue lirik Evan yang keliatan nggak ada usaha buat menjelaskan.

“Harus banget temen aku yang jadi penggantinya, Ca?”

Gue nggak bisa menahan pertanyaan itu. Bola mata Allisya perlahan memerah. Pandangan gue bergulir ke Evan.

“Lo juga. Kalo ini bukan tempat umum, udah gue tonjok lo.”

Gue lantas menghempas genggaman Allisya dan pergi.

“Kasus ini selesai!” ujar Zayyan ala ending acara katakan putus. Gue terkekeh lantas mengembalikan nampan dan apron ke pelayan tadi.

“Makasih ya, Mas! Ternyata seru juga jadi pelayan kafe. Kalo ada lowongan kerja, hubungin saya ya,” ledek gue membuatnya tertawa.

“Ayo balik!” ajak gue pada Zayyan.

Saat gue tengah berjalan keluar, tiba-tiba ada yang merengkuh pinggang gue dari belakang. Gue tersentak, namun tidak kaget. Itu Allisya.

“Jangan gini, Ran. Aku masih sayang sama kamu,” rintih Allisya yang tampaknya udah nangis di punggung gue.

“Kita baru putus sebulan, Sya. Wajar kamu masih sayang aku. Tunggu bentar lagi. Pasti rasa sayangmu hilang.” Gue lantas mengurai pelukan dia dan berbalik. “Udahlah, nggak usah nangis. Kan kamu yang minta putus.”

Pandangan Allisya beralih ke sebelah gue, ke Zayyan. Sorot matanya menajam. “Ini semua gara-gara lo!” gentaknya sambil menunjuk Zayyan.

“Hah? Gue?” jawab Zayyan bingung sambil menunjuk dirinya.

“Kalo lo nggak nyusahin Zafran, gue sama Zafran nggak mungkin putus! Lo tuh beban buat dia!”

“ALLISYA!”

Kesabaran gue udah habis. Bahkan tangan gue udah terangkat hendak menampar dia. Namun segera terhenti saat Allisya menunduk ketakutan.

Evan datang dengan jiwa sok pahlawannya menarik Allisya untuk berdiri di belakangnya.

“Kalo mau ribut sama gue aja, Ran. Gausah macem-macem sama cewek!” ujarnya kemudian.

“Bacot lo!” Gue kembali menaruh perhatian sama Allisya. “Lo udah bukan siapa-siapa gue. Jadi gue harap lo sadar diri. Putusnya kita nggak ada hubungannya sama Zayyan. Melainkan karena keegoisan lo sendiri. Pikirin itu baik-baik.”

Gue lantas menepuk bahu Zayyan mengajaknya pergi dari sana. Dia tampak menatap Allisya sejenak sebelum menyusul gue. Entah kenapa sakit banget denger Allisya maki Zayyan kaya tadi.

Gue nggak pernah anggap Zayyan beban. Gue dengan senang hati melakukan semuanya buat dia. Gue hanya ingin menebus dosa di masa lalu yang sering mengabaikan Zayyan. Gue butuh dia, begitupun sebaliknya. Gue nggak mau siapapun merebut Zayyan dari gue,

termasuk Tuhan.

“Zafran sama Allisya belum keliatan ya?” tanya Zayyan ketika ia dan Zanna baru saja keluar dari studio bioskop.

“Kayaknya belum deh, Yan,” jawab Zanna sembari mengedarkan pandangan.

“Haus nggak? Beli minum dulu yuk!” ajak Zayyan yang diangguki oleh Zanna.

Mereka berdua lalu berjalan menuju kedai yang menjual makanan dan minuman ringan. Suasana bioskop begitu ramai. Zanna yang berjalan di belakang Zayyan kesulitan untuk mengimbangi langkah lelaki itu. Menyadari Zanna yang tertinggal, Zayyan lalu mempersilakan Zanna untuk bertukar tempat dengannya.

Tidak perlu ditanya lagi, sejak Zayyan yang ternyata satu mobil dengan Zafran dan Allisya itu menjemputnya, degup jantung Zanna sudah tidak karuan.

“Menurut lo gimana tadi filmnya?” tanya Zayyan sembari menunggu pesanan mereka selesai dibuat.

“Bagus banget! Sesuai sama ekspetasi gue. Tapi agak kaget sih pas ada adegan itunya ...,” balas Zanna dengan suara makin mengecil ketika menyebut topik sensitif dari film yang baru mereka tonton.

Zayyan terkekeh. “Gue juga kaget. Pantes sih ratingnya dewasa.”

“Iya, ya, nggak kepikiran. Sorry banget malah jadi nonton film kaya gitu.”

“Tenang aja, kan gue juga pengen nonton itu.”

Pesanan mereka sudah dalam genggaman. Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menunggu Zafran dan Allisya yang baru saja memberi kabar kalau mereka baru keluar dari studio.

“Suara lo beda banget ya, Yan,” ucap Zanna kembali membuka obrolan.

“Emang iya?”

“Iya, lebih berat sama serak aja gitu. Apa cuman perasaan gue?” timpal Zanna kembali disertai kekehan.

“Iya juga sih. Mungkin efek pubertas,” bohong Zayyan sambil tersenyum miring. Ia jelas tahu perubahan suaranya ini ulah dari penyakit yang sedang tertanam di paru-parunya.

Mereka yang masih mondar-mandir mencari tempat duduk mendadak berhenti saat Zanna tiba-tiba mematung. Pandangannya melebar dan lurus pada sebuah titik. Dahi Zayyan mengernyit.

“Kenapa, Zan?” tanya lelaki itu lantas mengikuti arah pandang Zanna yang berakhir pada seorang lelaki yang sedang menatao mereka juga.

Lelaki itu mendekat. Zanna lantas beringsut mundur bersembunyi di balik punggung Zayyan yang makin kebingungan. Namun untungnya otak Zayyan mampu merespons dengan cepat apa yang sedang terjadi sekarang. Yang jelas, lelaki ini tidak baik untuk Zanna.

“Zanna ya? Lama nggak ketemu,” ujar lelaki itu berusaha menatap Zanna yang masih bersembunyi di punggung Zayyan.

“Kenapa sembunyi deh? Nggak mau nyapa gue gitu?” lanjut lelaki itu.

“Ada perlu apa ya?” tanya Zayyan. Perhatian lelaki itu lantas beralih padanya.

“Cuman mau ketemu Zanna aja. Lo siapa? Pacarnya dia?”

“Bukan urusan lo.”

Zayyan lantas menggenggam tangan Zanna dan menariknya pergi. Namun lelaki itu malah meraih tangan Zanna yang lain. Zanna refleks meronta dan menghempas genggaman itu. Namun cengkramannya sangat kuat.

Mendengar rintihan Zanna, Zayyan menarik tangan Zanna dengan kuat hingga genggaman tersebut terlepas.

“Sakit nggak?” tanya Zayyan memastikan saat kelepasan menarik terlalu keras.

“Enggak, enggak,” balas Zanna dengan bibir bergetar menahan takut.

“Nggak usah kasar,” gertak Zayyan pada lelaki itu.

“Gue nggak ada urusan sama lo! Sekarang bawa Zanna ke hadapan gue. Ada yang mau gue bicarain sama dia.”

“Zanna nggak ada urusan sama lo. Nggak ada hal yang perlu dibicarain.”

“Nantangin,” gumam lelaki itu yang mendadak melayangkan pukulan pada Zayyan. Ia tersenyum puas melihat Zayyan terjatuh akibat pukulannya.

Semua pengunjung di sana memekik keras. Zanna yang melihat Zayyan tersungkur segera membantu lelaki itu berdiri. Rasa takut dan khawatir diaduk jadi satu. Zanna hanya ingin segera pergi dari sini dan menghindar dari lelaki itu.

Namun permintaannya tak diindahkan Zayyan. Buktinya, Zayyan kembali berdiri dan melayangkan pukulan. Oh, dia cukup hebat bela diri juga. Lelaki itu berhasil dibalas tersungkur. Zayyan tersenyum puas.

“Selain kasar sama cewek, lo jago mukul juga ya. Sakit neh bekas pukulan lo!”

Mohon maaf Zayyan, ngapain lo jadi ngadu ya? Itu urusan nanti oy. Lo ngadunya sama Zafran aja. Nanti ada yang gemes sama lo kan berabe kalo diculik.

“Bajingan brengsek!”

Mereka berdua saling memukul. Satpam bioskop langsung berdatangan melerai. Namun perkelahian mereka tak kunjung usai.

Zayyan mulai merasakan sesak di dadanya. Ini pasti karena kelelahan. Ia ingin semua ini segera berakhir. Namun ia tidak mau menyerah. Ah, tapi kalau seperti ini bisa-bisa hidupnya yang berakhir.

“ANJIR ZAYYAN!”

Terdengar pekikan dari kejauhan. Itu Zafran yang baru selesai menonton dengan Allisya. Ia langsung berlari menghampiri kerumunan itu. Allisya yang melihat Zanna menangis di ujung lalu berlari ke sana dan memeluk Zanna untuk menenangkan.

Zayyan berhasil ditarik mundur. Wajahnya sudah babak belur. Sambil memegangi dadanya, Zayyan berusaha mengambil banyak oksigen.

“UDAH GILA YA LO!” gentak Zafran tak menyangka bisa menyaksikan Zayyan berkelahi seganas itu di hadapannya.

“Pulang, Ran. Dada gue sakit banget. Gue nggak bisa napas,” ucap Zayyan dalam keadaan yang sudah sangat lemas.

“Hah! Bentar dulu, Yan! Ca! Ica! Cepet ke sini!”

Zafran tentu saja panik. Apalagi melihat keadaan Zayyan yang sudah sempoyongan. Satpam yang membantu melerai lantas ikut memapah Zayyan menuju mobil.

Zayyan ditaruh di kursi tengah bersama Zanna. Mereka bertiga begitu tergesa memasuki mobil akibat desakan Zafran yang menyuruh mereka untuk gerak cepat. Lelaki itu tampak begitu panik melihat Zayyan yang sudah kesulitan untuk membuka matanya.

“Zan! Tolong bantu Zayyan pakai ini!” pinta Zafran sambil memberikan alat bantu pernapasan pada Zanna.

Zanna sebenarnya kebingungan mengapa Zayyan sampai harus pakai alat seperti ini. Namun rasa penasaran itu ia telan kembali. Dengan cekatan, ia memasangkan alat tersebut ke hidung Zayyan lalu menekan tombol di sana agar oksigen masuk ke pernapasan Zayyan.

“Bisa kan, Zan?” tanya Zafran masih terlihat panik sambil membawa mobilnya cepat.

“Bisa, Ran!”

“Duh, rumah sakit mana sih yang deket dari sini?”

“Itu nanti perempatan depan belok kanan trus lurus terus. Ada rumah sakit kok,” timpal Allisya.

“Oh iya bener!”

Zafran kembali menekan pedal gasnya dalam dan melesat menembus senja.

©haruquinza

“Zafran sama Allisya belum keliatan ya?” tanya Zayyan ketika ia dan Zanna baru saja keluar dari studio bioskop.

“Kayaknya belum deh, Yan,” jawab Zanna sembari mengedarkan pandangan.

“Haus nggak? Beli minum dulu yuk!” ajak Zayyan yang diangguki oleh Zanna.

Mereka berdua lalu berjalan menuju kedai yang menjual makanan dan minuman ringan. Suasana bioskop begitu ramai. Zanna yang berjalan di belakang Zayyan kesulitan untuk mengimbangi langkah lelaki itu. Menyadari Zanna yang tertinggal, Zayyan lalu mempersilakan Zanna untuk bertukar tempat dengannya.

Tidak perlu ditanya lagi, sejak Zayyan yang ternyata satu mobil dengan Zafran dan Allisya itu menjemputnya, degup jantung Zanna sudah tidak karuan.

“Menurut lo gimana tadi filmnya?” tanya Zayyan sembari menunggu pesanan mereka selesai dibuat.

“Bagus banget! Sesuai sama ekspetasi gue. Tapi agak kaget sih pas ada adegan itunya ...,” balas Zanna dengan suara makin mengecil ketika menyebut topik sensitif dari film yang baru mereka tonton.

Zayyan terkekeh. “Gue juga kaget. Pantes sih ratingnya dewasa.”

“Iya, ya, nggak kepikiran. Sorry banget malah jadi nonton film kaya gitu.”

“Tenang aja, kan gue juga pengen nonton itu.”

Pesanan mereka sudah dalam genggaman. Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menunggu Zafran dan Allisya yang baru saja memberi kabar kalau mereka baru keluar dari studio.

“Suara lo beda banget ya, Yan,” ucap Zanna kembali membuka obrolan.

“Emang iya?”

“Iya, lebih berat sama serak aja gitu. Apa cuman perasaan gue?” timpal Zanna kembali disertai kekehan.

“Iya juga sih. Mungkin efek pubertas,” bohong Zayyan sambil tersenyum miring. Ia jelas tahu perubahan suaranya ini ulah dari penyakit yang sedang tertanam di paru-parunya.

Mereka yang masih mondar-mandir mencari tempat duduk mendadak berhenti saat Zanna tiba-tiba mematung. Pandangannya melebar dan lurus pada sebuah titik. Dahi Zayyan mengernyit.

“Kenapa, Zan?” tanya lelaki itu lantas mengikuti arah pandang Zanna yang berakhir pada seorang lelaki yang sedang menatao mereka juga.

Lelaki itu mendekat. Zanna lantas beringsut mundur bersembunyi di balik punggung Zayyan yang makin kebingungan. Namun untungnya otak Zayyan mampu merespons dengan cepat apa yang sedang terjadi sekarang. Yang jelas, lelaki ini tidak baik untuk Zanna.

“Zanna ya? Lama nggak ketemu,” ujar lelaki itu berusaha menatap Zanna yang masih bersembunyi di punggung Zayyan.

“Kenapa sembunyi deh? Nggak mau nyapa gue gitu?” lanjut lelaki itu.

“Ada perlu apa ya?” tanya Zayyan. Perhatian lelaki itu lantas beralih padanya.

“Cuman mau ketemu Zanna aja. Lo siapa? Pacarnya dia?”

“Bukan urusan lo.”

Zayyan lantas menggenggam tangan Zanna dan menariknya pergi. Namun lelaki itu malah meraih tangan Zanna yang lain. Zanna refleks meronta dan menghempas genggaman itu. Namun cengkramannya sangat kuat.

Mendengar rintihan Zanna, Zayyan menarik tangan Zanna dengan kuat hingga genggaman tersebut terlepas.

“Sakit nggak?” tanya Zayyan memastikan saat kelepasan menarik terlalu keras.

“Enggak, enggak,” balas Zanna dengan bibir bergetar menahan takut.

“Nggak usah kasar,” gertak Zayyan pada lelaki itu.

“Gue nggak ada urusan sama lo! Sekarang bawa Zanna ke hadapan gue. Ada yang mau gue bicarain sama dia.”

“Zanna nggak ada urusan sama lo. Nggak ada hal yang perlu dibicarain.”

“Nantangin,” gumam lelaki itu yang mendadak melayangkan pukulan pada Zayyan. Ia tersenyum puas melihat Zayyan terjatuh akibat pukulannya.

Semua pengunjung di sana memekik keras. Zanna yang melihat Zayyan tersungkur segera membantu lelaki itu berdiri. Rasa takut dan khawatir diaduk jadi satu. Zanna hanya ingin segera pergi dari sini dan menghindar dari lelaki itu.

Namun permintaannya tak diindahkan Zayyan. Buktinya, Zayyan kembali berdiri dan melayangkan pukulan. Oh, dia cukup hebat bela diri juga. Lelaki itu berhasil dibalas tersungkur. Zayyan tersenyum puas.

“Selain kasar sama cewek, lo jago mukul juga ya. Sakit neh bekas pukulan lo!”

Mohon maaf Zayyan, ngapain lo jadi ngadu ya? Itu urusan nanti oy. Lo ngadunya sama Zafran aja. Nanti ada yang gemes sama lo kan berabe kalo diculik.

“Bajingan brengsek!”

Mereka berdua saling memukul. Satpam bioskop langsung berdatangan melerai. Namun perkelahian mereka tak kunjung usai.

Zayyan mulai merasakan sesak di dadanya. Ini pasti karena kelelahan. Ia ingin semua ini segera berakhir. Namun ia tidak mau menyerah. Ah, tapi kalau seperti ini bisa-bisa hidupnya yang berakhir.

“ANJIR ZAYYAN!”

Terdengar pekikan dari kejauhan. Itu Zafran yang baru selesai menonton dengan Allisya. Ia langsung berlari menghampiri kerumunan itu. Allisya yang melihat Zanna menangis di ujung lalu berlari ke sana dan memeluk Zanna untuk menenangkan.

Zayyan berhasil ditarik mundur. Wajahnya sudah babak belur. Sambil memegangi dadanya, Zayyan berusaha mengambil banyak oksigen.

“UDAH GILA YA LO!” gentak Zafran tak menyangka bisa menyaksikan Zayyan berkelahi seganas itu di hadapannya.

“Pulang, Ran. Dada gue sakit banget. Gue nggak bisa napas,” ucap Zayyan dalam keadaan yang sudah sangat lemas.

“Hah! Bentar dulu, Yan! Ca! Ica! Cepet ke sini!”

Zafran tentu saja panik. Apalagi melihat keadaan Zayyan yang sudah sempoyongan. Satpam yang membantu melerai lantas ikut memapah Zayyan menuju mobil.

Zayyan ditaruh di kursi tengah bersama Zanna. Mereka bertiga begitu tergesa memasuki mobil akibat desakan Zafran yang menyuruh mereka untuk gerak cepat. Lelaki itu tampak begitu panik melihat Zayyan yang sudah kesulitan untuk membuka matanya.

“Zan! Tolong bantu Zayyan pakai ini!” pinta Zafran sambil memberikan alat bantu pernapasan pada Zanna.

Zanna sebenarnya kebingungan mengapa Zayyan sampai harus pakai alat seperti ini. Namun rasa penasaran itu ia telan kembali. Dengan cekatan, ia memasangkan alat tersebut ke hidung Zayyan lalu menekan tombol di sana agar oksigen masuk ke pernapasan Zayyan.

“Bisa kan, Zan?” tanya Zafran masih terlihat panik sambil membawa mobilnya cepat.

“Bisa, Ran!”

“Duh, rumah sakit mana sih yang deket dari sini?”

“Itu nanti perempatan depan belok kanan trus lurus terus. Ada rumah sakit kok,” timpal Allisya.

“Oh iya bener!”

Zafran kembali menekan pedal gasnya dalam dan melesat menembus senja.

©haruquinza

Gue sadar. Akhir-akhir ini sikap gue ke Freya udah banyak berubah. Bukan apa-apa. Jujur, gue cuman lagi ngerasa jenuh sama hubungan kita yang stuck di sini aja. Nggak ada kemajuan. Gue bukannya ngebet nikah sama dia. Cuman ya gue butuh kepastian, kapan gue sama Freya bisa melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Sebenarnya salah satu faktor yang bikin pernikahan gue sama Freya ketunda ya karena gue sendiri. Gue masih belum percaya diri untuk meminang Freya jadi istri. Gue masih belum pantas. Namun saat gue mau usaha memantaskan diri buat Freya, cewe itu seakan ngehalangin gue.

Lo pada pasti masih inget rencana gue buat lanjut S2 kan? Ya itu salah satu cara gue buat memantaskan diri biar setara sama Freya. Ini bukan masalah sepele, bro. Hampir semua keluarga Freya berpendidikan tinggi. Ya masa gue yang baru S1 ini tanpa rasa malu minta join ke circle mereka? Gue sebagai lelaki juga punya harga diri.

Akhir-akhir ini gue sadar, sejak gue tunangan sama Freya, kebebasan gue sedikit lebih berkurang. Kalau mau apapun, gue harus mikirin Freya dulu. Ya, Freya nggak nuntut itu sih. Cuman ya gue sadar diri lah, cewek kan maunya cowo yang peka. Cuman lama-lama gue cape aja. Ngerasa dikekang mungkin? Nggak tau lah.

Gue cuman mau Freya ijinin gue ambil S2, itu aja. Gue paham ini jadi hal yang sulit buat dia, bahkan buat gue juga. Empat tahun berpisah itu bukan waktu yang sebentar. Ditambah kita yang cuman bisa berkabar hampir setahun sekali. Tapi kalo gue ke luar negeri sekarang kan nggak bakal kaya gitu lagi. Gue bakal hubungin Freya terus. Tapi Freya masih aja keberatan.

Gue nggak menyalahkan Freya, serius. Mana bisa, Bro. Gue sayang banget sama itu cewek. Lo semua tau sendiri gimana perjuangan gue buat bisa bareng sama Freya. Tapi yang namanya hubungan pasti ada fase bosen kan? Mungkin gue lagi mengalami fase itu. Mungkin. Gue berharap sih ini cuman perasaan gue aja. Gue nggak mau bosen sama Freya. Gue mau sayang dia sampe kapanpun.

Mobil gue udah terparkir mulus di halaman apartemen Freya. Saat dia ngomong males keluar, gue yakin 100% Freya udah nangis. Gue menyesal. Gue udah berjanji nggak bakal bikin dia nangis lagi. Kenapa sih gue nggak bisa pegang omongan sendiri?

Sebenernya gue udah tau password unit apartemen Freya. Tapi kali ini gue biarkan cewek itu yang buka sendiri. Sesuai tebakan, wajah Freya udah sembab. Hati gue sakit banget liatnya.

“Ngobrolnya di sini aja ya? Aku lagi sendirian,” ujar Freya menyuruh gue untuk duduk di ruang tamu. Agak heran. Freya kan emang selalu sendirian di sini. Apa dia lagi ngerasa nggak nyaman sama gue?

Gue nggak mau mempermasalahkan itu. Di sini gue dateng buat menyelesaikan masalah, bukan nambah. Akhirnya gue duduk di sana dengan Freya yang duduk di seberang. Jauh banget anjir. Biasanya aja dia langsung duduk nyender sama gue.

“Sebelumnya aku minta maaf buat sikapku yang mungkin terkesan jutek atau dingin ke kamu. Pas itu aku lagi ngerasa capek sama kerjaan dan nggak sadar udah bersikap nggak baik sama kamu. Aku minta maaf.”

“Itu udah kamu jelasin di chat tadi. Aku mau yang lebih rinci. Dan aku yakin kamu punya alasan yang lebih rinci dari sekedar cape sama kerjaan kantor.”

Gue menghela napas. Apa gue harus ngaku ke Freya kalo sebenernya gue lagi jenuh sama hubungan kita? Tapi gue nggak mau bikin Freya tambah sakit. Gue harus gimana?

“Aku mau jelasin tapi aku minta tolong jangan potong penjelasanku ya? Jangan berasumsi apapun sebelum aku selesai bicara. Aku nggak bermaksud apapun. Aku hanya pengin berbagi hal yang akhir-akhir ini ganggu pikiranku.”

“Beneran bosen ya sama aku?”

Gue memejam sejenak. “Bukan sama kamu, tapi sama kita,” ujar gue seraya menatap Freya dalam. Mata gadis itu kembali memerah. Gue mulai panik. Aduh plis jangan nangis dulu. Gue belum selesai!

“Kita udah bareng dalam waktu yang lama. Udah banyak hal yang kita lakukan bersama. Bahkan di jari manis kita udah terpasang cincin yang sama. Kita udah melangkah sejauh ini. Tapi akhir-akhir ini, hubungan kita terasa cuman jalan di tempat.

Ada banyak masalah yang dateng ke kita. Semuanya tertahan, nggak dapet solusi. Numpuk jadi beban pikiranku setiap hari. Ditambah kita yang sekarang jarang ngabisin waktu bersama. Aku cuman ngerasa hubungan kita makin lama makin hambar aja, Fre.”

“Aku nggak mau putus, Justin.” Freya bilang dengan tangis yang makin menderas. Aduh kan udah gue bilang tunggu gue ngomong sampe selesai dulu!

“Aku nggak mau mutusin kamu, sayang,” balas gue kelewat panik. Gue pengen meluk dia tapi aduh ini gue belum selesai ngomong. Apa nggak usah gue lanjutin? Sumpah ini gue nggak bisa liat dia nangis gini.

“Tapi kamu bilang hubungan kita udah hambar. Pasti kamu mau mutusin aku, kan?”

“Ya engga dong sayang. Makanya kan udah aku bilang di awal tadi jangan dipotong dulu. Tunggu aku selesai ngomong.”

“Trus gimana biar kamu nggak ngerasa hambar lagi? Aku harus gimana? Apa aku harus keluar dari kerjaan biar bisa sama kamu terus?”

“Sayang.” Ini mah nggak bisa gue lanjut pembicaraan ini lagi. Dah, gue nggak kuat liat Freya nangis. “Sini peluk dulu.”

Tepat saat gue ngomong itu, Freya makin nangis kejer. Lahhh, gue makin panik anjir! Tapi gue liat-liat kok Freya nangisnya gemes ya?

“Nggak mau peluk nih?” ledek gue sambil merentangkan tangan siap menyambut pelukan dia. Freya malah nangis ngambek. Ya itu lah apa namanya pokoknya dia nangis sambil maki-maki gue. Akhirnya gue yang nyamperin dia terus meluk.

“Aku harus gimana, Justin? Aku nggak mau kaya gini,” rengek Freya dalam pelukan gue.

“Kamu harus manggil aku mas lagi. Apaan dari tadi Justin, Justin?! Mas Justin!”

“Kalo kamu lagi jahat, aku nggak mau panggil mas!”

“Emang masih jahat? Udah dipeluk gini masih jahat? Apa harus dicium?”

“Ih!” Satu pukulan keras mendarat di dada bidang gue. Anjir sakit. Gue cuman terkekeh.

“Besok liburan ke luar kota, yuk?” ajak gue. “Kemarin aku dapet saran katanya kalo lagi ngerasa hambar sama hubungan harus ngelakuin sesuatu yang belum pernah kita lakuin. Kita kan belum pernah liburan ke luar kota bareng ya?”

Gelengan Freya terasa di dada gue. “Jadi pas kamu tanya di Twitter itu karena kamu lagi ngerasa bosen sama aku?” tanya Freya yang cuman dijawab kekehan sama gue.

“Jahat banget! Mana reply aku nggak dibales!” protes Freya.

“Emang kamu reply?” tanya gue yang malah dibales cubitan Freya di perut. “Sakit, Fre!”

“Mau aja sih. Tapi pergi yang jauh ya?”

“Mau ke luar negeri?”

“Jepang?”

“Males.”

Freya tergelak keras. Kalian pasti tau alasannya kenapa gue nggak mau ke Jepang.

“Ya udah ke Korea aja. Mau ketemu Park Jeongwoo!”

“Hmm, oke. Daripada ke Jepang.”

Freya mengeratkan pelukan tanda senang gue menyetujui permintaannya.

“Kamu ganti parfum ya?” tanya Freya.

“Kenapa? Nggak enak baunya?”

“Enak.”

“Masih pakai sampo stroberi?” tanya gue.

“Masih. Kenapa? Nggak enak baunya?”

“Enak.”

Habis itu kita cuman diem-dieman. Gue emang belum dapet solusi dari masalah S2 gue yang masih ketunda. Tapi kayaknya itu bisa dibahas nanti-nanti. Gue sadar, Freya bukan beban yang bikin kebebasan gue berkurang. Tapi dunia gue emang udah berpusat ke dia. Semua yang gue lakukan selalu buat Freya. Apapun. Freya adalah semesta yang harus gue jaga sampai kapanpun.

Rambut halus gadis cantik itu gue usap perlahan. Terdengar dengkuran lirih di sana. Hahaha, gue ditinggal tidur. Gapapa, gue nggak tau berapa malam yang dia habiskan buat mikirin cowok brengsek kaya gue. Nggak tau berapa banyak air mata yang udah keluar untuk menangisi keegoisan gue. Freya, aku menyesal.

“Maaf udah bikin kamu nangis, Fre. Aku nggak mau berjanji ini jadi yang terakhir. Tapi aku akan mengusahakan cara apapun untuk buat kamu bahagia,” lirih gue sambil mengecup ringan pipi tirus Freya.

©haruquinza

Tiba di rumah, gue langsung masuk tanpa mikirin motor gue udah terparkir dengan benar apa enggak. Yang ada di pikiran gue cuman Zayyan. Itu anak baru beberapa jam yang lalu dateng ke studio gue. Dan kayaknya tadi pagi pun sempet pergi sama bunda. Walaupun gue nggak tau mereka pergi ke mana. Gue yakin Zayyan masih sehat-sehat aja. Tapi kenapa sekarang jadi gini?

Dari bawah, gue lihat Zayyan yang lagi dipapah mbak Siti dan pak Budi. Dia keliatan lemes dengan napas yang terengah-engah. Semakin lama gue semakin heran sama Zayyan. Sebenernya dia sakit apa sih? Beberapa kali gue liat dia sering sesak. Suara dia pun makin berat dan serak. Apa iya sakit batuk aja bisa segitunya? Kalo engga, trus dia sakit apa?

Gue bergegas menaiki tangga. Raut khawatir gue bertemu dengan wajah Zayyan yang pucat. Saat hendak menggantikan posisi pak Budi, tanpa gue duga Zayyan menghempas genggaman gue. Dia menatap sinis. Gue bener-bener kaget. Nggak pernah gue lihat Zayyan yang kaya gini.

“Lo kenapa anjir?!” gertak gue melihat gelagat Zayyan yang nggak mau gue tolongin.

“Lo tadi nyuruh gue mati kan?” jawabnya dengan suara super serak, bahkan hampir terputus. “Sekarang Tuhan lagi wujudin permintaan lo. Jadi lo nggak usah bantu gue buat selamat dari semua ini.”

Kalimatnya begitu menyambar hati kecil gue. Zayyan, saudara kembar gue yang punya sifat berlawanan dengan gue. Nggak pernah gue dengar dia bicara kasar. Mulutnya selalu tersenyum dan mengeluarkan celoteh yang kadang bikin gue gemes sendiri. Dia selalu menatap gue dengan pandangan beribu energi yang bikin hari gue sedikit lebih baik dari sebelumnya.

Tapi sekarang? Gue seperti melihat diri gue di dalam manik Zayyan. Jadi ini yang dirasakan Zayyan selama ini? Kenapa sakit banget? Kenapa Zayyan bisa tahan dengan sifa gue yang seperti ini?

Mereka lalu meninggalkan gue yang mematung. Kalimat Zayyan masih teriang. Gue kembali teringat dengan pesan yang beberapa menit lalu gue kirimkan ke Zayyan. Go to hell, gue bilang gitu. Ya, maksud gue emang ... Tapi bukan itu yang gue mau!

Rasanya sangat sesak. Kerah kaus gue sampai kusut karena diremas kuat. Gue jahat, gue bener-bener jahat. Lo nggak punya hati, Ran! Lo brengsek!

Di tengah penyesalan itu, terdengar pekikan mbak Siti di luar rumah. Gue langsung berlari menghampiri. Di sana gue lihat Zayyan yang sudah tersungkur ke lantai. Dia pingsan. Jantung gue seperti meledak. Ini kedua kalinya Zayyan jatuh di hadapan gue. Tapi gue nggak pernah berhasil menangkap dia.

Dengan derai air mata yang entah sejak kapan membasahi pipi, gue langsung gendong Zayyan menuju mobil. Nggak, lo nggak boleh mati, Yan. Lo nggak boleh ninggalin gue sendirian.


Kami sampai di rumah sakit. Zayyan masih tidak sadarkan diri. Jujur, gue nggak bisa berhenti menangis. Zayyan udah lemes banget. Beberapa kali gue memastikan jantung dia masih berdetak dan nggak tau kenapa rasanya makin melemah. Napasnya pendek disertai suara yang begitu menyesakkan. Zayyan, gue nggak mau kehilangan lo.

Dia udah masuk ke UGD. Gue udah nggak ada tenaga buat berdiri. Di samping pintu, gue bersimpuh menyesali apa yang udah gue perbuat pada Zayyan selama ini. Gue takut, gue bener-bener takut kehilangan lo, Yan. Tolong, bertahan buat gue.

“Zafran!”

Suara yang familier. Gue lantas mendongak dan menemukan Bunda yang berjalan tergesa menghampiri gue. Bunda ikut bersimpuh, mengangkat kepala gue dan memeluknya. Tangis gue semakin pecah.

“Zayyan, Bun. Ada darah yang keluar dari mulutnya. Trus dia pingsan. Pas aku pegang dadanya, detak jantung Zayyan lemah banget. Aku takut, Bun.”

Bunda mengusap punggung berkali-kali. “Tenang, ya. Zayyan nggak kenapa-kenapa kok. Pasti dia sembuh. Sudah, jangan menangis ya.”

Gue yakin saat itu bunda menahan tangisnya mati-matian. Suaranya bergetar. Harusnya gue yang menenangkan bunda. Tapi kenapa gue malah jadi kaya gini?

“Aku gagal jagain Zayyan, Bun.”

“Sshh, engga kok enggak. Zafran nggak gagal.”

Bunda semakin mengeratkan pelukan. Dari kejauhan, gue lihat ayah yang berjalan cepat ke arah kami. Gue yakin, gue bakal kena omel. Dan gue siap buat menerimanya.

“Bun,” panggil Ayah membuat Bunda menoleh. Beliau lantas membimbing gue untuk duduk di kursi seraya mengelap air mata gue.

“Zayyan masih di dalam, Yah. Lagi ditangani dokter,” ujar Bunda pada Ayah.

“Kenapa bisa jadi seperti ini? Gimana ceritanya?”

Gue nggak mampu buat sekadar menatap ayah. Namun bisa gue dengar Mbak Siti menjawab pertanyaan Ayah. Melihat gue menunduk, Bunda lantas menarik kepala gue ke bahunya.

“Zayyan nggak kenapa-kenapa kok. Kita doakan saja ya.”

“Zayyan sakit apa sih, Bun? Kenapa dia selalu kaya gini?”

Hingga kini, pertanyaan itu nggak pernah menemukan jawabannya dan gue bertekad untuk menemukannya sendiri.

BRAAAKKK!!!

Ayah membanting pintu kamar Zafran begitu keras. Ia lantas mengobrak-abrik isi kamar anak lelakinya dengan emosi yang memuncak. Beberapa bungkus rokok beserta rokok elektrik yang disembunyikan di sudut tak terjangkau berjatuhan ke lantai. Zafran hanya bisa memejam sembari meredam rasa takutnya.

Apa yang ia khawatirkan semalam benar terjadi. Wali kelas membeberkan semua kasusnya di sekolah, terutama saat ia ketahuan membawa sebungkus rokok dan vape. Si wali kelas juga mengatakan kalau sebenarnya ia hendak memanggil orang tua Zafran ke sekolah. Namun niat tersebut diurungkan sebab Zafran telah berjanji akan mengakui kesalahannya sendiri pada orang tua, tapi sayangnya janji itu tidak ditepati.

Sang ayah memunguti bungkus-bungkus rokok itu lalu melemparnya ke wajah Zafran. Anak lelaki itu memejam dengan tubuh yang gemetar. Raut wajah ayahnya merah padam. Tidak pernah Zafran lihat ayahnya semarah ini.

“Jadi ini kelakuan kamu selama ini? Merokok, hm? Kamu merasa jadi jagoan berani merokok di sekolah? Membohongi guru kamu, membohongi orang tua, hebat ya!” ujar sang ayah sarkas.

Zafran mengambil satu langkah mundur saat sang ayah mendekat. “Kamu bisa nggak, sekali saja bikin ayah bangga? Bisa nggak!” bentak sang ayah membuat Zafran memejam.

“Bisanya bikin malu, malu, dan MALU! Lihat ini, LIHAT! Nilai kamu jelek semua! Cuman nilai tugas kamu yang bagus dan ayah yakin ini bukan hasil pekerjaan kamu sendiri!”

Jari telunjuk sang ayah terangkat menuding. “Kamu menyuruh Zayyan untuk mengerjakan tugas kamu, kan? Ayah tau selama ini kalian berdua sering belajar bersama. Bangga, ayah sangat bangga saat tau kamu mau belajar! Tapi ini hasilnya? Kalo memang kamu serius, seharusnya nilai ulangan kamu juga bagus! Tapi kenapa hanya nilai tugasnya saja yang bagus?!”

“Tapi nilai seni budaya sama prakaryaku bagus kan, Yah? Nilaiku jadi yang paling tinggi, bukan dari sekelas tapi semua kelas sebelas punyaku yang tertinggi!”

“AYAH NGGAK PEDULI!”

Mulut Zafran sedikit terbuka dengan raut tak percaya saat sang ayah mendadak memotong kalimatnya.

“Ayah nggak peduli sama nilai seni budaya dan prakaryamu kalau nilai matematika dan bahasa inggris kamu cuman lima!”

“Trus gimana sama Zayyan?” sahut Zafran membalikkan omongan ayahnya. “Nilai seni budaya Zayyan cuman enam. Ayah nggak marahin dia?”

Sang ayah memberi jeda sejenak sebelum menjawab. “Tapi nilai matematika Zayyan sembilan.”

“AKU NGGAK PEDULI!” Zafran balas berteriak. “Mau dia dapet nilai MTK sembilan tapi nilai seni budaya Zayyan cuman dapet enam! Dan aku dapet sembilan. Apa ayah nggak bisa marahin Zayyan seperti apa yang ayah lalukan ke aku karena alasan itu?”

Sang ayah hanya diam. Baru kali ini Zafran berteriak sekeras ini di hadapannya. Dan itu cukup membuat hati sang ayah begitu tergores.

“Jadi orang tua yang becus dong, Yah. Jangan berat sebelah.”

“ZAFRAN!”

“AYAHH!!!”

Tangan sang ayah yang sudah terangkat tinggi hendak memukul Zafran terhenti oleh teriakan istrinya. Zafran yang sudah memejam siap menerima pukulan lantas membuka matanya. Sang bunda berlari menghampiri mereka dengan Zayyan yang mengekor di belakangnya.

“Ada apa ini ya Allah. Kenapa ribut-ribut seperti ini?” tanya sang bunda penuh raut khawatir. “Zafran, kamu tidak apa-apa, nak?” Sang bunda beralih pada Zafran sembari menangkup pipi anaknya itu.

“Anakmu merokok di sekolah,” ujar ayah membuat bunda sontak terbelalak. Ia menatap anak dan suaminya bergantian. Berusaha menolak kenyataan yang baru ia dengar tadi.

“Bohong kan, nak? Kamu nggak merokok kan? Kemarin kamu bilang belum pernah merokok. Kamu nggak mungkin bohongin bunda kan, sayang?” tanya bunda dengan suara bergetar akan menangis. Yang ditanya hanya bisa diam sambil memalingkan wajah.

“Ya Allah, astaghfirullah, Zafran.” Sang bunda terlihat sangat syok. Zayyan berusaha menenangkan.

“Lihat, nilainya anjlok semua! Udah nggak bener anak kamu, Bun. Sekarang sudah berani bentak-bentak orang tua. Harus dikasih pelajaran anak kamu ini!”

Mendengar itu, mereka serentak menatap ayah. Lengan Zafran ditarik ayahnya dengan kuat. Zafran yang tidak siap hampir terjatuh. Tubuhnya lantas didorong sang ayah ke dalam kamar yang langsung ditutup rapat.

Zafran panik. Ia bergegas menahan pintu kamarnya namun terlambat. Sang ayah sudah terlebih dahulu mengunci pintunya dari luar.

“AYAH! BUKA YAH! APA-APAAN INI BRENGSEK! NGGAK BECUS LO ANJENG! BUKA PINTUNYA!!!”

©haruquinza

BRAAAKKK!!!

Ayah membanting pintu kamar Zafran begitu keras. Ia lantas mengobrak-abrik isi kamar anak lelakinya dengan emosi yang memuncak. Beberapa bungkus rokok beserta rokok elektrik yang disembunyikan di sudut tak terjangkau berjatuhan ke lantai. Zafran hanya bisa memejam sembari meredam rasa takutnya.

Apa yang ia khawatirkan semalam benar terjadi. Wali kelas membeberkan semua kasusnya di sekolah, terutama saat ia ketahuan membawa sebungkus rokok dan vape. Si wali kelas juga mengatakan kalau sebenarnya ia hendak memanggil orang tua Zafran ke sekolah. Namun niat tersebut diurungkan sebab Zafran telah berjanji akan mengakui kesalahannya sendiri pada orang tua, tapi sayangnya janji itu tidak ditepati.

Sang ayah memunguti bungkus-bungkus rokok itu lalu melemparnya ke wajah Zafran. Anak lelaki itu memejam dengan tubuh yang gemetar. Raut wajah ayahnya merah padam. Tidak pernah Zafran lihat ayahnya semarah ini.

“Jadi ini kelakuan kamu selama ini? Merokok, hm? Kamu merasa jadi jagoan berani merokok di sekolah? Membohongi guru kamu, membohongi orang tua, hebat ya!” ujar sang ayah sarkas.

Zafran mengambil satu langkah mundur saat sang ayah mendekat. “Kamu bisa nggak, sekali saja bikin ayah bangga? Bisa nggak!” bentak sang ayah membuat Zafran memejam.

“Bisanya bikin malu, malu, dan MALU! Lihat ini, LIHAT! Nilai kamu jelek semua! Cuman nilai tugas kamu yang bagus dan ayah yakin ini bukan hasil pekerjaan kamu sendiri!”

Jari telunjuk sang ayah terangkat menuding. “Kamu menyuruh Zayyan untuk mengerjakan tugas kamu, kan? Ayah tau selama ini kalian berdua sering belajar bersama. Bangga, ayah sangat bangga saat tau kamu mau belajar! Tapi ini hasilnya? Kalo memang kamu serius, seharusnya nilai ulangan kamu juga bagus! Tapi kenapa hanya nilai tugasnya saja yang bagus?!”

“Tapi nilai seni budaya sama prakaryaku bagus kan, Yah? Nilaiku jadi yang paling tinggi, bukan dari sekelas tapi semua kelas sebelas punyaku yang tertinggi!”

“AYAH NGGAK PEDULI!”

Mulut Zafran sedikit terbuka dengan raut tak percaya saat sang ayah mendadak memotong kalimatnya.

“Ayah nggak peduli sama nilai seni budaya dan prakaryamu kalau nilai matematika dan bahasa inggris kamu cuman lima!”

“Trus gimana sama Zayyan?” sahut Zafran membalikkan omongan ayahnya. “Nilai seni budaya Zayyan cuman enam. Ayah nggak marahin dia?”

Sang ayah memberi jeda sejenak sebelum menjawab. “Tapi nilai matematika Zayyan sembilan.”

“AKU NGGAK PEDULI!” Zafran balas berteriak. “Mau dia dapet nilai MTK sembilan tapi nilai seni budaya Zayyan cuman dapet enam! Dan aku dapet sembilan. Apa ayah nggak bisa marahin Zayyan seperti apa yang ayah lalukan ke aku karena alasan itu?”

Sang ayah hanya diam. Baru kali ini Zafran berteriak sekeras ini di hadapannya. Dan itu cukup membuat hati sang ayah begitu tergores.

“Jadi orang tua yang becus dong, Yah. Jangan berat sebelah.”

“ZAFRAN!”

“AYAHH!!!”

Tangan sang ayah yang sudah terangkat tinggi hendak memukul Zafran terhenti oleh teriakan istrinya. Zafran yang sudah memejam siap menerima pukulan lantas membuka matanya. Sang bunda berlari menghampiri mereka dengan Zayyan yang mengekor di belakangnya.

“Ada apa ini ya Allah. Kenapa ribut-ribut seperti ini?” tanya sang bunda penuh raut khawatir. “Zafran, kamu tidak apa-apa, nak?” Sang bunda beralih pada Zafran sembari menangkup pipi anaknya itu.

“Anakmu merokok di sekolah,” ujar ayah membuat bunda sontak terbelalak. Ia menatap anak dan suaminya bergantian. Berusaha menolak kenyataan yang baru ia dengar tadi.

“Bohong kan, nak? Kamu nggak merokok kan? Kemarin kamu bilang belum pernah merokok. Kamu nggak mungkin bohongin bunda kan, sayang?” tanya bunda dengan suara bergetar akan menangis. Yang ditanya hanya bisa diam sambil memalingkan wajah.

“Ya Allah, astaghfirullah, Zafran.” Sang bunda terlihat sangat syok. Zayyan berusaha menenangkan.

“Lihat, nilainya anjlok semua! Udah nggak bener anak kamu, Bun. Sekarang sudah berani bentak-bentak orang tua. Harus dikasih pelajaran anak kamu ini!”

Mendengar itu, mereka serentak menatap ayah. Lengan Zafran ditarik ayahnya dengan kuat. Zafran yang tidak siap hampir terjatuh. Tubuhnya lantas didorong sang ayah ke dalam kamar yang langsung ditutup rapat.

Zafran panik. Ia bergegas menahan pintu kamarnya namun terlambat. Sang ayah sudah terlebih dahulu mengunci pintunya dari luar.

“AYAH! BUKA YAH! APA-APAAN INI BRENGSEK! NGGAK BECUS LO ANJENG! BUKA PINTUNYA!!!”

©haruquinza