Quinzaharu

Sesampainya di rumah, sang ayah yang duduk di ruang tamu dengan kaki menyilang seketika melempar pandang ke daun pintu. Raja tampak meneguk ludahnya lantas mendekat tanpa disuruh. Sang ayah menatapnya tajam. Jantung Raja berdegup tak karuan.

“Gimana Yudha?” tanya ayahnya dingin. Raja tahu ini hanya basa-basi sebelum sesi ceramah panjang dimulai.

“Nggak boleh ikut popda, Yah,” jawan Raja dengan kedua tangan yang sudah tertaut erat.

“Apa alasan dia gabung ke Galasena?”

“Karena uang.”

“Uang?” ulang sang ayah terdengar tak percaya dengan ucapan Raja.

“Yudha butuh uang. Haidar nawarin bantuan ke dia dengan syarat dia harus gabung ke Galasena.”

“Kenapa bukan kamu yang nawarin bantuan ke Yudha?”

“Aku nggak tau kalo Yudha butuh bantuan.”

“Kok bisa nggak tau? Kamu itu kaptennya bukan?”

Raja menghela napas ringan. “Kapten nggak harus tahu semua hal tentang anggotanya kan, Yah? Apalagi ini masalah pribadi. Aku nggak mungkin ikut campur.”

“Masalah pribadi Yudha bikin tim kamu kacau. Artinya itu masih jadi tanggung jawab kamu.”

Raja hanya bisa diam. Dia sudah terlalu lelah untuk melawan. Apapun jawabannya, sang ayah punya seribu alasan agar perlawanan tadi berbalik menyerangnya. Sekarang yang perlu ia lakukan hanya diam mendengarkan ceramah sang ayah dan berharap akan segera berakhir karena ia sudah sangat lelah.

“Sebenarnya kamu sudah sadar atau belum kamu ini kapten? Sudah paham atau belum apa yang perlu kamu lakukan sebagai seorang kapten?”

Pertanyaan beruntun itu tak mampu dijawab. Raja hanya menunduk. Meredam semua emosi dan letih yang menyergap tubuhnya. Semakin hari Raja semakin yakin seharusnya ia tidak pernah menerima takdir untuk menjadi kapten Dewandaru.

“Ayah tadi sudah mengobrol dengan pelatihmu. Akhir-akhir ini Dewandaru banyak masalah. Semangat pemain juga menurun. Tau kamu apa yang ayah rasakan setelah dengar itu? Malu, Raja. Ayah malu.”

Raja mendongak cepat. Dua pasang mata ayah dan anak itu beradu. Dapat Raja lihat raut ketegangan di wajah sang ayah.

“Kenapa malu? Selain pelatih, orang yang akan dapat banyak kritikan itu kamu. Anak ayah, kaptennya. Apa kamu tidak malu dianggap kapten yan gagal?”

Sesak, Raja sudah sangat sesak dengan segala kesempurnaan yang harus dimiliki seorang kapten.

“Yah, nggak ada manusia yang sempurna. Kapten nggak harus selalu sempurna, Yah. Aku ataupun kapten-kapten di luar sana cuman manusia yang pastinya pernah melakukan kesalahan. Kenapa aku harus selalu sempurna, Yah?”

“Karna kamu anak ayah,” jeda sang ayah sejenak. “Karena kamu anak ayah maka kamu harus sempurna. Ayah melakukan ini untuk masa depan kamu, Ja. Kalau kamu sukses, bukan ayah yang menikmati tapi kamu sendiri yang menikmati. Seharusnya kamu bersyukur masih bisa diperhatikan ayah sendiri.”

Kalau saja Raja tidak ahli menahan air matanya, pasti sekarang wajahnya sudah sangat basah.

“Tapi aku capek, Yah,” balas Raja dengan suara bergetar.

“Capek apa? Kamu hanya perlu mengikuti perintah ayah. Itu aja.”

“Ada sesuatu yang lama pengin aku bicarain sama ayah,” ujar Raja yang mendadak menyela ayahnya.

“Jujur, aku malu setiap ayah dateng pas aku latihan. Aku bukan anak kecil, Yah. Nggak perlu diikutin ke mana-mana terus. Aku nggak suka saat ayah ikut ngatur sana-sini padahal ayah bukan siapa-siapa di Dewandaru. Aku malu sama temen-temen, Yah. Mereka ngomongin aku di belakang. Dibilang anak ayah, caper, licik, semuanya bikin aku capek, Yah.”

Sang ayah menurunkan satu kakinya bersiap untuk berdiri. Raut wajahya tampak sangat syok. Perkataan Raja begitu menyayat hatinya.

“Ayah itu bukan siapa-siapa di Dewandaru. Jadi jangan sok ikut campur, Yah. Ayah juga nggak perlu ikut ngatur aku karena ayah nggak tau apa-apa soal Voli. Biarin aku tumbuh sendiri, Yah. Aku capek harus menuhin ekspetasi ayah terus.”

PLAAKKK!!!

Mendaratlah sebuah tamparan keras di pipi Raja. Terasa anyir di lidah. Sudut bibirnya ternyata robek. Raja melotot tak percaya. Sakit, jiwa dan raganya benar-benar sakit.

“Kamu pikir kamu siapa bisa ngomong seperti itu di depan ayah? Jangan sok pinter! Kamu itu nggak ada apa-apanya buat ayah. Jangan berlagak bisa menjamin masa depanmu sendiri kalau makan masih numpang di rumah ayah!”

Satu persatu air mata mulai menderas di pipi Raja. Rasa sakit di pipi tak ada apa-apanya dibanding luka batin yang ia rasakan selama ini. Raja hanya ingin bebas. Raja hanya ingin melakukan semuanya sesuai dengan apa yang dia inginkan. Apakah itu salah?

“Kalau tidak bisa jadi anak yang berguna jangan sok menyalahkan ayah! Coba introspeksi sama diri kamu sendiri. Sudah sempurna atau belum sampai berani mengkritik ayah sendiri.”

Tidak bisa jadi anak yang berguna.

Kalimat itu terus berdengung di telinga Raja. Cukup, Raja sudah tidak kuat lagi. Dia memang tidak ditakdirkan berjalan di jalan yang ia ciptakan sendiri.

Mata yang sudah sangat sembab itu menatap sang ayah yang menatap nyalang. Raja berbalik dengan masih memegangi pipi hasil tamparan sang ayah. Ia melenggang keluar rumah, berpapasan dengan sang kakak yang tampak kaget melihatnya menangis.

“Yah, ada apa?!”

Itu adalah kalimat terakhir yang didengar Raja sebelum melesat begitu cepat pergi dari rumah. Dia sudah tak bisa memikirkan apapun. Raja hanya ingin terbebas dari penjara yang membelenggu dirinya.

Seluruh nafas ini sebenernya udah lama digarap sama Niskala, lebih tepatnya sama Devon yang dengan sepenuh jiwa mau nulis liriknya. Lagu itu dia tulis pas lagi ada masalah sama crush-nya yang ngambek gara-gara dia salah pesen seblak yang harusnya nggak pedes tapi malah dikasih level 5.

Sebenernya itu faktor kelalaian manusia sih. Ketuker sama punya Devon. Alhasil, ceweknya mencret tiga hari dan Devon galau setengah mati. Ya gimana enggak? Gara-gara seblak level lima, masa pedekate mereka diambang kehancuran. Tapi gue agak seneng sih. Galaunya Devon bikin dia jadi produktif. Lirik lagu yang udah molor hampir sebulan itu bisa jadi dalam waktu semalam.

The power of sadboy.

Gue nggak tau kenapa jadi ngomongin masalah Devon sama ceweknya tapi menurut gue ini penting buat kalian ketahui karena dari kegalauan itulah, lagu “Seluruh Nafas Ini” tercipta.

Lagu ini bener-bener bakal debut di acara pensi hari ini. Belum ada yang pernah denger kecuali anak-anak Niskala dan senior yang emang membantu kami dalam proses pembuatan lagu tersebut. Perlu kalian tau, lagu ini juga bakal dirilis di platform online sekitar satu mingguan lagi. Ah, nggak nyangka Niskala bisa mencapai fase memproduksi lagu sendiri. Padahal dulu ini band cuman hasil gabut doang.

Jujur aja, gue masih nggak yakin bakal bawain lagu itu. Gue takut lagunya aneh, gue takut mereka nggak suka dan gue takut mereka bakal ninggalin Niskala setelah denger lagu itu. Niskala nggak pernah bawain lagu se-galau ini. Apalagi gue yang anti galau-galau club. Tapi gimana lagi, si Zayyan emang nyusahin.

Ah, gue kayaknya mau kasih tau satu hal paling rahasia dalam hidup gue ke kalian. Eksklusif, cuman kalian aja yang tahu dan gue memohon dengan sangat jangan sebar ke mana-mana, terutama ke Zayyan.

Sampai kapanpun, gue nggak akan pernah benci sama Zayyan. Semua sikap ketus gue ke dia adalah bentuk pelampiasan gue ke orang tua yang nggak bisa memilah kemampuan anaknya yang tentu saja nggak bisa disamakan. Gue kesel aja sama Zayyan. Kami punya kemampuan masing-masing, tapi kenapa cuman punya Zayyan yang mendapat pengakuan? Kenapa gue harus bisa sepintar dia tapi dia nggak harus sepintar gue? Apa itu adil?

Tapi gimanapun, Zayyan saudara gue. Kita udah bareng dari jaman embrio. Mau sebesar apapun rasa iri dengki gue ke Zayyan, tetep aja ada rasa simpati yang akan terus mengikat sampai mati. Mungkin itu yang dinamakan hubungan batin.

Gue nggak pernah ijinin Zayyan dateng ke studio karena di sana banyak asap rokok yang pastinya nggak baik buat kesehatannya. Gue pun tahu Zayyan nggak suka asap rokok. Namun rasa iri gue ke Zayyan kadang bikin gue melupakan fakta itu. Gue tetap merokok di depan dia. Bahkan saat dia batuk yang keliatannya makin parah setelah gue merokok di depan dia. Jahat banget ya gue.

Ada satu hal lagi yang nunjukkin kalo gue bener-bener peduli sama Zayyan. Pas Zayyan sakit, gue bela-belain nganter dia balik padahal saat itu otak gue masih ngebul abis ngerjain MTK. Jujur, gue khawatir banget. Dia nggak pernah ijin karena sakit. Zayyan itu ambisius banget. Absen adalah hal haram buat Zayyan. Namun hari itu, ini bocah sampe mau balik sendiri. Gimana gue nggak khawatir?

Masih belum yakin kalo gue peduli sama Zayyan? Terakhir nih ya. Gue rela muterin satu kota (hiperbola) cuman buat nyari klinik yang didatengin Zayyan. Lo semua tau? Gue ngebut kaya orang kesetanan. Takut Zayyan ilang atau kemungkinan terburuknya dia pingsan dan dibawa orang buat dijadiin gelandangan. Sumpah ini random banget, tapi gue bener-bener kepikiran itu.

Bohong? Ya udah lah, terserah lo pada mau percaya apa kagak. Gue mungkin terlalu mendalami peran pura-pura benci ke Zayyan. Tapi gue nggak bisa menjamin kata pura-pura itu akan selamanya jadi pura-pura atau malah suatu saat, gue beneran benci sama Zayyan.

Gue kok jadi cerita ke mana-mana dah. Udah ya, itu rahasia gue. Jangan cerita ke siapapun. Apalagi ke Zayyan. Nanti itu anak bakal kepedean dan ngeledekin gue. Males banget nanggepin celotehannya.

Oke, kita beralih ke topik selanjutnya.

Sekarang Niskala lagi siap-siap buat penampilan penutup. Bintang tamu yang kata Zayyan lagi dinego buat tetep dateng ternyata nggak bisa menyanggupi permintaan anak OSIS. Goblok sih gue bilang, kenapa kagak dibayar dulu band-nya anjir! Kan mereka jadi semena-mena sama lo. Gue mau ngomong gitu ke Zayyan. Tapi liat gimana sibuknya dia sekarang, kayaknya nggak perlu. Nanti nambah pikiran lagi.

Untung aja mereka punya Niskala. Rasa-rasanya mereka lebih tertarik sama Niskala daripada band lokal itu deh hahaa. Soalnya nggak ada teriakan protes pas Niskala naik panggung. Yang ada mereka teriak histeris dan yeah, gue suka sensasi itu.

Dari atas panggung gue liat Zayyan mondar-mandir dengan tergesa. Sibuk banget itu anak dari tadi. Nggak bisa diajak ngobrol sedetikpun. Padahal gue yakin dia belum sembuh betul. Mukanya juga udah pucet. Awas aja kalo abis ini dia makin sakit. Nggak sudi gue bawa dia ke dokter lagi.

Beberapa kali dia melewati panggung dan melirik gue. Mulutnya bergumam ngasih penyemangat. Alis gue naik sebagai balasan semangat buat dia. Nggak tau dia nangkep maksudnya apa kagak. Yang penting gue udah ada niatan kasih semangat.

Semuanya sudah siap. Allisya, cewek kesayangan gue, berdiri di sebelah dengan mic yang tergenggam. Evan memetik gitarnya. Gue menggenggam erat stand mic dan memejam untuk meresapi lagu.

Lihatlah luka ini, yang sakitnya abadi. Yang terbalut hangatnya bekas pelukmu. Aku tak akan lupa, tak akan pernah bisa. Entah apa yang harus memisahkan kita.

Di saatku tertatih, tanpa kau di sini. Kau tetap kunanti demi keyakinan ini.

Gue membuka mata pelan dan menghadap Allisya.

Jika memang dirimu lah tulang rusukku. Kau akan kembali pada tubuh ini. Ku akan tua dan mati dalam pelukmu. Untukmu, seluruh nafas ini.

Allisya tersenyum manis lalu mendekatkan mic-nya ke mulut. Gue melirik sejenak ke area penonton. Ada Zayyan di pinggir sedang menonton. Dia nepatin janjinya ternyata.

Gue kembali menatap Allisya. Mendengarkan suara lembutnya yang dulu bikin gue jatuh cinta. Nggak dulu aja, sekarang dan seterusnya pun masih sama. Gue nggak pernah bisa berhenti untuk mengagumi pesona Allisya, apapun itu.

Baru satu baris lirik yang dinyanyikan Allisya, tiba-tiba terdengar teriakan begitu keras dari arah penonton. Kami serentak berhenti dan menoleh. Sepasang mata gue menatap sudut kerumunan yang tampak panik. Tempat itu, bukannya Zayyan tadi berdiri di sana? Di mana dia?

Degup jantung gue terdengar keras di telinga. Tanpa pikir panjang, gue langsung membuang mic dalam genggaman dan berlari turun dari panggung. Kerumunan itu gue belah paksa. Gue tercekat saat menyadari seseorang terkapar di sana dengan hidung yang berlumuran darah. Sial, gue nggak sudi bawa lo ke dokter lagi, Zayyan!

Seluruh nafas ini sebenernya udah lama digarap sama Niskala, lebih tepatnya sama Devon yang dengan sepenuh jiwa mau nulis liriknya. Lagu itu dia tulis pas lagi ada masalah sama crush-nya yang ngambek gara-gara dia salah pesen seblak yang harusnya nggak pedes tapi malah dikasih level 5.

Sebenernya itu faktor kelalaian manusia sih. Ketuker sama punya Devon. Alhasil, ceweknya mencret tiga hari dan Devon galau setengah mati. Ya gimana enggak? Gara-gara seblak level lima, masa pedekate mereka diambang kehancuran. Tapi gue agak seneng sih. Galaunya Devon bikin dia jadi produktif. Lirik lagu yang udah molor hampir sebulan itu bisa jadi dalam waktu semalam.

The power of sadboy.

Gue nggak tau kenapa jadi ngomongin masalah Devon sama ceweknya tapi menurut gue ini penting buat kalian ketahui karena dari kegalauan itulah, lagu “Seluruh Nafas Ini” tercipta.

Lagu ini bener-bener bakal debut di acara pensi hari ini. Belum ada yang pernah denger kecuali anak-anak Niskala dan senior yang emang membantu kami dalam proses pembuatan lagu tersebut. Perlu kalian tau, lagu ini juga bakal dirilis di platform online sekitar satu mingguan lagi. Ah, nggak nyangka Niskala bisa mencapai fase memproduksi lagu sendiri. Padahal dulu ini band cuman hasil gabut doang.

Jujur aja, gue masih nggak yakin bakal bawain lagu itu. Gue takut lagunya aneh, gue takut mereka nggak suka dan gue takut mereka bakal ninggalin Niskala setelah denger lagu itu. Niskala nggak pernah bawain lagu se-galau ini. Apalagi gue yang anti galau-galau club. Tapi gimana lagi, si Zayyan emang nyusahin.

Ah, gue kayaknya mau kasih tau satu hal paling rahasia dalam hidup gue ke kalian. Eksklusif, cuman kalian aja yang tahu dan gue memohon dengan sangat jangan sebar ke mana-mana, terutama ke Zayyan.

Sampai kapanpun, gue nggak akan pernah benci sama Zayyan. Semua sikap ketus gue ke dia adalah bentuk pelampiasan gue ke orang tua yang nggak bisa memilah kemampuan anaknya yang tentu saja nggak bisa disamakan. Gue kesel aja sama Zayyan. Kami punya kemampuan masing-masing, tapi kenapa cuman punya Zayyan yang mendapat pengakuan? Kenapa gue harus bisa sepintar dia tapi dia nggak harus sepintar gue? Apa itu adil?

Tapi gimanapun, Zayyan saudara gue. Kita udah bareng dari jaman embrio. Mau sebesar apapun rasa iri dengki gue ke Zayyan, tetep aja ada rasa simpati yang akan terus mengikat sampai mati. Mungkin itu yang dinamakan hubungan batin.

Gue nggak pernah ijinin Zayyan dateng ke studio karena di sana banyak asap rokok yang pastinya nggak baik buat kesehatannya. Gue pun tahu Zayyan nggak suka asap rokok. Namun rasa iri gue ke Zayyan kadang bikin gue melupakan fakta itu. Gue tetap merokok di depan dia. Bahkan saat dia batuk yang keliatannya makin parah setelah gue merokok di depan dia. Jahat banget ya gue.

Ada satu hal lagi yang nunjukkin kalo gue bener-bener peduli sama Zayyan. Pas Zayyan sakit, gue bela-belain nganter dia balik padahal saat itu otak gue masih ngebul abis ngerjain MTK. Jujur, gue khawatir banget. Dia nggak pernah ijin karena sakit. Zayyan itu ambisius banget. Absen adalah hal haram buat Zayyan. Namun hari itu, ini bocah sampe mau balik sendiri. Gimana gue nggak khawatir?

Masih belum yakin kalo gue peduli sama Zayyan? Terakhir nih ya. Gue rela muterin satu kota (hiperbola) cuman buat nyari klinik yang didatengin Zayyan. Lo semua tau? Gue ngebut kaya orang kesetanan. Takut Zayyan ilang atau kemungkinan terburuknya dia pingsan dan dibawa orang buat dijadiin gelandangan. Sumpah ini random banget, tapi gue bener-bener kepikiran itu.

Bohong? Ya udah lah, terserah lo pada mau percaya apa kagak. Gue mungkin terlalu mendalami peran pura-pura benci ke Zayyan. Tapi gue nggak bisa menjamin kata pura-pura itu akan selamanya jadi pura-pura atau malah suatu saat, gue beneran benci sama Zayyan.

Gue kok jadi cerita ke mana-mana dah. Udah ya, itu rahasia gue. Jangan cerita ke siapapun. Apalagi ke Zayyan. Nanti itu anak bakal kepedean dan ngeledekin gue. Males banget nanggepin celotehannya.

Oke, kita beralih ke topik selanjutnya.

Sekarang Niskala lagi siap-siap buat penampilan penutup. Bintang tamu yang kata Zayyan lagi dinego buat tetep dateng ternyata nggak bisa menyanggupi permintaan anak OSIS. Goblok sih gue bilang, kenapa kagak dibayar dulu band-nya anjir! Kan mereka jadi semena-mena sama lo. Gue mau ngomong gitu ke Zayyan. Tapi liat gimana sibuknya dia sekarang, kayaknya nggak perlu. Nanti nambah pikiran lagi.

Untung aja mereka punya Niskala. Rasa-rasanya mereka lebih tertarik sama Niskala daripada band lokal itu deh hahaa. Soalnya nggak ada teriakan protes pas Niskala naik panggung. Yang ada mereka teriak histeris dan yeah, gue suka sensasi itu.

Dari atas panggung gue liat Zayyan mondar-mandir dengan tergesa. Sibuk banget itu anak dari tadi. Nggak bisa diajak ngobrol sedetikpun. Padahal gue yakin dia belum sembuh betul. Mukanya juga udah pucet. Awas aja kalo abis ini dia makin sakit. Nggak sudi gue bawa dia ke dokter lagi.

Beberapa kali dia melewati panggung dan melirik gue. Mulutnya bergumam ngasih penyemangat. Alis gue naik sebagai balasan semangat buat dia. Nggak tau dia nangkep maksudnya apa kagak. Yang penting gue udah ada niatan kasih semangat.

Semuanya sudah siap. Allisya, cewek kesayangan gue, berdiri di sebelah dengan mic yang tergenggam. Evan memetik gitarnya. Gue menggenggam erat stand mic dan memejam untuk meresapi lagu.

Lihatlah luka ini, yang sakitnya abadi. Yang terbalut hangatnya bekas pelukmu. Aku tak akan lupa, tak akan pernah bisa. *Entah apa yang harus memisahkan kita.

Di saatku tertatih, tanpa kau di sini. Kau tetap kunanti demi keyakinan ini.

Gue membuka mata pelan dan menghadap Allisya.

Jika memang dirimu lah tulang rusukku. Kau akan kembali pada tubuh ini. Ku akan tua dan mati dalam pelukmu. Untukmu, seluruh nafas ini.

Allisya tersenyum manis lalu mendekatkan mic-nya ke mulut. Gue melirik sejenak ke area penonton. Ada Zayyan di pinggir sedang menonton. Dia nepatin janjinya ternyata.

Gue kembali menatap Allisya. Mendengarkan suara lembutnya yang dulu bikin gue jatuh cinta. Nggak dulu aja, sekarang dan seterusnya pun masih sama. Gue nggak pernah bisa berhenti untuk mengagumi pesona Allisya, apapun itu.

Baru satu baris lirik yang dinyanyikan Allisya, tiba-tiba terdengar teriakan begitu keras dari arah penonton. Kami serentak berhenti dan menoleh. Sepasang mata gue menatap sudut kerumunan yang tampak panik. Tempat itu, bukannya Zayyan tadi berdiri di sana? Di mana dia?

Degup jantung gue terdengar keras di telinga. Tanpa pikir panjang, gue langsung membuang mic dalam genggaman dan berlari turun dari panggung. Kerumunan itu gue belah paksa. Gue tercekat saat menyadari seseorang terkapar di sana dengan hidung yang berlumuran darah. Sial, gue nggak sudi bawa lo ke dokter lagi, Zayyan!

Stella masih bertanya-tanya alasan Agam membawa dia dan Bella ke perayaan ulang tahun ayah lelaki itu. Masalahnya setelah ia sampai di lokasi, orang-orang yang datang di sana sangat asing. Sama sekali tak tampak anak kelas sepuluh yang hadir. Bahkan anak kelas dua belas yang seangkatan dengan Agam jumlahnya dapat dihitung dengan jari.

Seperti apa yang dikatakan lelaki itu, acara ini adalah perayaan ulang tahun sang ayah. Namun mengapa Stella tidak melihat satu pun tamu yang tampak seumuran dengan ayah Agam? Setidaknya ada satu ada beberapa teman sang ayah yang diundang bukan? Pesta ini lebih terlihat seperti perayaan ulang tahun Agam ketimbang ayahnya.

Agam membawa mereka berdua ke sebuah meja di mana ada seorang pria yang Stella yakini adalah ayah Agam tengah duduk. Melihat kedatangan mereka bertiga, pria itu sontak berdiri. Raut wajahnya tampak sangat sumringah. Di ujung matanya, terdapat bercak air yang menggenang.

“Stella dan Bella?” sambut pria itu seraya menatap mereka bergantian. Agam tampak mengangguk pelan. Sedangkan Stella dan Bella tersenyum canggung.

“Astaga, tunggu sebentar.” Pria itu berbalik badan. Entah apa yang dia lakukan di belakang sana. Namun dapat Stella dengar pria itu menghela napas begitu panjang. Seperti tengah melepas beban yang selama ini tertahan di jiwa.

Pria itu berbalik. “Ayo duduk!” ajaknya dengan gestur mempersilakan Stella dan Bella duduk. Dua gadis itu duduk bersebelahan. Sedangkan Agam dan ayahnya duduk di hadapan mereka. Kening Stella berkerut saat menyadari kedua manik ayah Agam sangat merah.

“Mau pesan apa? Stella suka rendang, kan? Kalau Bella sukanya ayam bakar, betul? Mau makan itu?”

Kedua gadis itu menegang bersamaan. Bagaimana bisa pria itu tahu makanan favorit mereka berdua? Mereka bahkan baru pertama kali bertemu malam ini. Namun mengapa … mengapa ia merasa sudah sangat dekat dengan ayah Agam?

Agam menangkap raut kebingungan Stella dan Bella. Ia tahu isi hati kedua gadis itu. Ah, ayahnya terlalu excited sehingga ia melupakan kalau seharusnya ia berakting menjadi orang asing di depan dua gadis itu.

Ditepuk pelan paha ayahnya untuk mengingatkan. Untungnya sang ayah langsung menangkap kode sang anak. Pria itu lalu berdeham. “Ah, om hanya menebak saja. Dua menu itu yang paling sering dipesan di restoran om. Siapa tau kalian juga suka,” kilah ayah Agam dengan raut agak panik.

“Tapi tebakan om bener. Saya emang suka rendang dan Bella suka ayam bakar,” timpal Stella dengan menatap selidik.

Ayah Agam tampak gelagapan. Namun ia tutupi dengan tawaan canggung. “Oh, berarti selera anak muda memang begitu, ya! Pantas saja banyak yang pesan dua menu itu.”

Mau tak mau Stella dan Bella jadi ikut tertawa canggung. Bella yang memang punya rasa ingin tahu tinggi tidak akan melewatkan hal tersebut begitu saja. Tidak mungkin, apa yang ditebak ayah Agam tadi tidak mungkin hanya sebuah kebetulan.

“Ah iya, sampai lupa om belum memperkenalkan diri. Nama om, Danang. Om ini adalah ayah dari Agam yang mengundang kalian ke acara ….” jeda pria bernama Danang itu sambil melirik Agam.

“Ulang tahun,” timpal Agam.

“Ya, ke acara ulang tahun om. Agam ini sudah beberapa kali cerita tentang kalian berdua dan om ingin bertemu dengan kalian secara langsung. Maka dari itu, sekalian saja om undang kalian ke acara ulang tahun malam ini.”

Cerita tentang gue sama Bella? Apa yang diceritain kak Agam ke ayahnya? Dan buat apa dia cerita ke ayahnya? Aneh banget sih!

Kecurigaan kedua gadis itu semakin bertambah ketika tahu Danang sudah tahu banyak tentang mereka dari Agam. Obrolan itu terus mengalir. Saking lancarnya sampai mengikis kecurigaan yang bercokol di benak Stella dan Bella. Dengan makanan yang tersaji, mereka mengobrol akrab. Sangat akrab seperti tiga orang yang sudah bersama dalam kurun waktu yang lama.

“Oh iya, om dengar Bella suka sama desain digital ya?”

“Eh? Kok om Danang bisa tahu?”

“Kelihatan dari kantung mata kamu yang tebel itu. Pasti suka natap layar lama-lama ya?”

Ledekan Danang menuai tawaan dari mereka berdua, termasuk Agam yang sedari tadi turut berbahagia menatap raut wajah sumringah sang ayah.

“Iya om! Aku juga suka coding gitu,” timpal Bella senang ada orang yang menyenggol hobinya.

“Oh, iya? Kemarin om dapat tawaran dari salah satu rekan bisnis om yang kerja di bidang elektronik. Katanya ada laptop keluaran terbaru yang bagus buat orang yang suka desain sama coding seperti kamu. Nanti kalau ada waktu, kita main ke sana. Siapa tahu ada yang cocok buat kamu.”

Kedua alis Bella terangkat. Ia tampak heran tapi tidak menyangkal ia merasa bahagia mendapat tawaran itu. Ah, sepertinya Bella mulai lupa kalau Danang ini adalah pria asing yang baru ia temui malam ini.

“Kalau Stella sukanya apa?” tanya Danang membuat Stella yang sedari tadi hanya menyimak jadi sedikit terperanjat.

“Mmm, nggak ada sih om. Paling suka nyoba make up sendiri. Cuman sekarang udah nggak dibolehin sama mamih.”

Ada satu hentakan keras yang menggema di salah satu rongga dada empat orang itu.

“Kenapa?” tanya Danang.

“Takut ada cowok macem-macem sama aku katanya. Soalnya kalau pakai make up jadi ngundang perhatian orang, terutama cowok. Jadi nggak boleh.”

Danang tampak merenung. Bibirnya lantas dipaksakan tersenyum tipis.

“Kak Agam, kayaknya aku sama Bella harus pulang sekarang deh. Udah mau jam sembilan soalnya,” ujar Stella pada Agam.

“Oh iya, sudah hampir jam sembilan. Ya, sudah, Stella sama Bella diantar pulang sama Agam ya. Kamu pakai mobil ayah aja, Gam,” sahut Danang.

“Iya, yah. Kakak anterin pulang ya.”

“Nggak ngerepotin nih kak?”

“Nggak, kan kakak yang udah undang kalian ke sini. Masa pulangnya nggak dianterin. Nanti kayak jailangkung dong.” Jawaban Agam menuai tawaan ringan dari mereka.

“Eee … Stella, Bella, kalau suatu saat om ajak kalian makan bareng lagi boleh?”

Stella dan Bella refleks bertatapan. Mereka tampak menimbang dan berakhir mengangguk ragu. Senyum penuh kelegaan timbul di bibir Danang.

“Terima kasih, ya, nak.”


“Kayaknya ini bukan jalan pulang ke rumahku deh, Kak,” ucap Stella yang duduk di kursi belakang sopir, menghadap jendela. Bella yang duduk di sebelahnya ikut melongok keluar.

“Ada sesuatu yang mau kakak tunjukin. Sebentar aja kok,” jawab lelaki itu.

Mobil silver itu memasuki jalan penuh pepohonan dengan penerangan minim. Pikiran kedua gadis itu melayang ke mana-mana. Tidak, Agam bukan lelaki yang seperti itu. Dia tidak mungkin punya niat jahat kepada mereka.

Keempat roda itu berhenti saat tiba di atas jembatan. Stella melongok sambil membuka jendela mobil. “Ini tempat apa, Kak?” tanya Stella bingung melihat banyaknya gerombolan orang berpakaian serba hitam di bawah sana.

“Sentul. Tempat orang-orang balapan,” jawab Agam yang turut membuka jendela mobilnya.

“Trus ngapain kita di sini? Kakak mau balapan juga?” timpal Bella membuat Agam tergelak.

“Coba kamu perhatikan lagi orang-orang di sana. Ada yang kamu kenal nggak?”

Bella lalu merapatkan diri pada Stella lalu melongok bersama. Dua pasang mata lentik itu menyipit. Meneliti satu persatu orang yang tampak kecil di bawah sana.

“Hah?! itu Kevin bukan sih, La?” seru Bella membuat Stella tersentak.

“Hah! Kevin? Mana!” tanya Stella panik.

“Itu yang pake motor merah! Kevin kan? Eh, itu Justin bukan sih? Anjir! Kok ada Jayden juga sih?!”

Kedua anak kembar itu jadi heboh sendiri. Sedangkan Agam menarik salah satu sudut bibirnya. Tersenyum puas setelah berhasil menguak sisi gelap lelaki yang sedang dekat dengan dua gadis itu.

“Jayden siapa?” tanya Stella.

“Pacarnya Bella, kan?” timpal Agam disertai kekehan.

“Eh, bukan!” tampik Bella terlihat gelagapan.

“Hah! Serius lo udah punya pacar, Bel?!”

“Enggak ih, kak Agam ngarang tuh!”

“Alah! Ngeles ya lo! Ihhh punya pacar kok nggak bilang-bilang gue?!”

“Siapa yang pacaran sih?!”

“Udah, udah,” lerai Agam. “Sekarang kalian lihat sendiri. Cowok yang deket sama kalian bukan cowok yang baik. Lihat aja tuh kelakuan mereka malem-malem gini. Mau kalian punya hubungan sama cowok berandal kaya mereka?”

Pertanyaan Agam membuat dua gadis itu merenung. Stella tak bisa mengalihkan pandangan dari cowok yang saat ini menjadi salah satu hal yang ia pikirkan sebelum tidur. Beberapa kali ia menampik kenyataan lelaki itu bukan Kevin. Namun mau dilihat beribu kali pun, dia memang Kevin. Entah mengapa, Stella jadi sedikit kecewa.

Tidak pernah terpikirkan oleh Raja mimpi buruk yang selama ini ia tangkis berbalik menyerangnya. Tidak pernah ia duga sesuatu yang selama ini ia anggap mustahil terjadi benar-benar terjadi di hadapannya. Tidak pernah ia sangka orang yang selama ini ia percayai benar-benar mengkhianatinya. Entah pikiran dari mana, kini Raja merasa bodoh.

Yudha termasuk anggota yang jarang membuat masalah selain telat datang latihan. Dia anak yang rajin. Banyak pemain yang mengandalkannya, bahkan Yudha sudah jadi kesayangan pelatih karena kemampuan menangkis serangan lawan yang baik. Kalian memang belum pernah melihat Yudha bermain langsung, tapi apa yang dipikirkan Raja memang benar adanya.

Raja tidak habis pikir. Dari sekian masalah yang bisa hadir di Dewandaru, mengapa Yudha harus memilih pengkhianatan? Mengapa dia tidak ribut dengan tim lain seperti Sultan, mudah sakit seperti Bian, atau mungkin memendam sifat egois seperti Barra? Mengapa harus berkhianat?

Harga dirinya sebagai kapten terasa hancur. Ia bahkan memukul Yudha. Sebagai kapten, tidak sepantasnya dia melakukan itu. Namun ia tetap melakukannya, bahkan di hadapan banyak orang, terutama ayahnya. Raja tidak tahu apa yang akan terjadi saat ia pulang nanti.

Ponselnya beberapa kali berdering oleh pesan singkat dari teman-temannya, terutama Barra. Lelaki itu sudah menelponnya berkali-kali. Benar kata Barra, sebagai kapten dia harus bertanggung jawab. Ya, benar, itulah kapten. Semuanya harus bisa di-handle. Bahkan ketika diri sendiri tengah hancur, ia tetap harus memikirkan orang lain, terutama anggotanya. Urusan pribadi sama sekali tidak penting untuk seorang kapten.

Tungkainya melangkah menuju aula. Di tengah perjalanan, ia bertemu Barra yang sedang tergesa-gesa berlari ke arahnya. Lelaki itu berhenti dengan napas kasar yang mengembus.

“Lo ke mana aja sih?! Gue cape nyariin lo!” tegur Barra dengan napas yang tersengal.

“Abis ke toilet. Udah mulai rapatnya?” bohong Raja lantas kembali melangkah dengan Barra di sampingnya.

“Baru mau. Lo oke kan?”

“Bohong kalo gue jawab iya. Dewandaru makin berantakan sejak gue jadi kaptennya.”

“Ini bukan salah lo. Berhenti buat nyalahin diri lo sendiri, Ja!”

“Udahlah, Bar. Berhenti hibur gue. Ini emang tanggung jawab gue sebagai kapten. Mau salah gue atau bukan, tetep aja gue yang tanggung jawab.”

Barra mendecak. “Trus lo mau apain si Yudha?”

“Gue serahin semua keputusan sama Pak Yoga.” Mereka tiba di depan pintu aula. Sebelum masuk, Raja kembali memandang Barra. “Tapi gue nggak akan setuju kalo Yudha sampe dikeluarin dari Dewandaru.”


Atmosfer menghening kala Raja dan Barra memasuki aula. Semua anggota Dewandaru, termasuk pemain cadangan, duduk di kursi yang disusun berderet. Raja, Yudha, Yoga dan Tegar mengambil tempat duduk menghadap mereka, seperti suasana sidang.

Yudha mengakui semua kesalahannya. Dari mulai dia menerima ajakan Haidar Galasena karena iming-iming uang sampai tentang keluarganya yang kekurangan. Semua jelas kecewa. Mereka sama-sama menyayangkan keputusan Yudha yang memilih menutupi daripada meminta bantuan kepada mereka. Dari semua orang yang kecewa, Barra lah yang paling dibuat sesak.

Barra tahu Yudha kesulitan. Barra tahu semua rahasia yang selama ini Yudha pendam. Namun mengapa dia tidak ada saat Yudha membutuhkan bantuannya? Mengapa dia tidak jadi orang yang Yudha cari untuk bersandar? Barra merasa tidak ada gunanya ia tahu semua permasalahan Yudha namun ia tidak bisa memberikan banyak bantuan.

“Sekarang bapak buka sesi diskusi hukuman apa yang pantas diberikan pada Yudha. Silakan angkat tangan kallian jika ingin berpendapat,” ujar Yoga.

Sultan mengangkat tangannya cepat. “Keluar dari tim,” ujarnya tanpa ragu.

Suasana menjadi bising. Mereka terkejut dengan pendapat Sultan yang cukup berat. Yudha dikeluarkan dari tim? Popda bahkan belum dimulai. Bagaimana mereka bisa mengeluarkan salah satu pemain terbaik mereka?

“Bapak tampung pendapat dari Sultan. Ada yang lain?”

Juna mengangkat tangan. “Tidak diijinkan ikut latihan sampai Popda, Pak.”

Yoga mengangguk. “Ada lagi?”

Azhar mengangkat tangan. “Menggantikan jadwal piket semua anggota, Pak.”

Yoga kembali mengangguk. “Yang lain?” Tidak ada yang mengangkat tangan. Mungkin pendapat mereka sudah diwakili oleh ketiga temannya tadi. “Oke, dari tiga jawaban tadi kita akan melakukan voting. Yang setuju dengan hukuman dari Sultan angkat tangan!”

Voting berjalan lancar. Tak disangka, hukuman dari Sultan yang jadi pemenangnya. Kesalahan Yudha terbukti sangat menyakiti perasaan anggota Dewandaru hingga mereka tega untuk mengusir pemain yang termasuk andalan itu.

“Pak Yoga, saya boleh masuk?” ujar Barra yang tiba-tiba mengangkat tangan.

“Silakan.”

“Menurut saya, hukuman dikeluarkan dari tim terlalu berat untuk Yudha. Dia belum bermain sebagai libero di Galasena. Dia hanya berdiri di sana dan kita tidak tahu tujuan mereka apakah akan memasukan Yudha jadi pemain inti atau hanya jadi cadangan untuk mengadu domba Dewandaru dan Galasena.”

“Belum main apaan?! Dia udah beberapa kali latihan sama Galasena!” potong Sultan.

“Pak!” Yudha tiba-tiba mengangkat tangan. “Saya tidak pernah bermain bersama Galasena. Tadi itu pertama kalinya saya mau main jadi libero di sana.”

“Nggak usah bohong lo! Gue liat lo masuk gor dragon! Ngapain lo di sana kalo nggak latihan?!”

“Gue emang diminta main sama mereka tapi gue nolak!”

“Alah munafik lo!”

“Cukup!” lerai Yoga. “Tidak usah saling menyalahkan. Semua yang hadir di sini salah! Seharusnya kalian sadar! Ada anggota yang jarang latihan, sering mangkir, itu ditanya kenapa! Diajakin untuk rajin latihan atau apa. Tapi kalian semua abai!” gertak Yoga membuat seisi ruangan kembali menghening.

“Kalian sadar tidak?! Secara tidak langsung, Yudha tidak percaya sama kalian semua. Dari sepuluh pemain yang hadir di sini, nggak ada satupun yang tahu masalah Yudha. Nggak ada yang tahu dia kekurangan uang sampai harus cari pinjaman ke orang lain, bukan ke temennya. Bahkan harus mengkhianati timnya sendiri. Kalian mikir sampai situ nggak?!”

Tidak ada yang berani menjawab. Mulut mereka terkatup rapat. Semuanya terasa ditampar oleh Yoga. Dari semua orang di sana, Raja lah yang paling merasakan sakitnya tamparan itu.

“Ijin menyela, Pak. Bukan salah mereka saya cari uang ke orang lain. Tapi saya—” sahut Yudha tiba-tiba namun kembali dipotong oleh Yoga.

“Kamu diam! Saya tidak sedang membela kamu. Saya juga marah karena kamu lebih percaya dengan orang lain daripada teman kamu sendiri. Bahkan sampai mengkhianati tim!”

Atmosfer semakin tegang. Raja sebagai kapten tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Barra yang duduk di hadapannya tak bisa berhenti menatap Raja yang tampak gelisah.

Tegar yang sedari tadi duduk bersandar sambil melipat tangan di dada bereaksi. “Masuk.” Punggungnya ditarik dari sandaran, lalu meletakkan kedua tangannya di meja. “Saya merasa Dewandaru semakin tidak kompak. Saya tahu kalian sering dapat masalah, terutama Sultan.”

Semua tatapan langsung beralih pada Sultan. Lelaki itu lantas meneguk ludahnya.

“Kalau begini terus, bagaimana kalian bisa menang di popda, hm?” tanya Tegar dingin. “Saya dari tadi nggak dengar suara kapten kalian. Mana orangnya?”

Jantung Raja mengentak keras. Ia sontak menegakkan badan dan mengangkat tangan. “Saya, Pak!”

“Gimana ini anggota kamu, hm? Nggak kompak mereka. Yakin bisa bawa pulang piala kalo pemainnya kaya gini?” Pertanyaan Tegar begitu menusuk perasaan Raja hingga lelaki itu tak mampu menjawab.

Selanjutnya, Yoga dan Tegar berdiskusi mengenai hukuman yang pantas diberikan untuk Yudha dari berbagai pertimbangan yang sudah tertampung. Semuanya saling berbisik kecuali Raja dan Yudha yang hanya menunduk diam.

Raja sedikit menoleh. “Yud,” panggil Raja lirih namun masih bisa didengar oleh Yudha. Lelaki itu menoleh. “Maafin gue,” tambah Raja.

Yudha termenung. Ia lantas menunduk tanpa menjawab ucapan Raja. Tak terasa air matanya mulai menggenang.

Yoga dan Tegar kembali ke forum diskusi. “Bapak dengan pak Tegar sudah mendiskusikan hukuman untuk Yudha. Dilihat dari kesalahan Yudha memang cukup fatal namun tidak sampai harus dikeluarkan dari tim.”

Terdengar decakan keras dari Sultan.

“Hukuman untuk Yudha adalah,” jeda Yoga untuk melirik Raja dan Yudha.

“Tidak diperbolehkan mengikuti Popda, baik sebagai pemain inti maupun cadangan.”

©haruquinza

Ada rasa janggal yang bercokol di hati Stella kala melihat sepasang flatshoes di depan pintu rumahnya. Stella paham betul siapa pemilik sepatu tersebut dan itu bukan pertanda yang baik untuknya.

Pandangannya berbalik ke gerbang rumah. Di mana lelaki yang baru saja mengantarnya masih setia menunggu di sana sampai ia masuk. Kevin tampak melambai. Lelaki itu sudah beberapa minggu ini selalu mengantarnya pulang. Diminta ataupun tanpa diminta, seperti sudah menjadi kebiasaan mereka untuk pulang bersama.

Stella bukan gadis yang bodoh. Ia tahu apa yang diinginkan lelaki itu. Bahkan dari hari pertama Kevin mengajaknya berkenalan. Ah, entah dia yang terlalu peka atau Kevin yang terlalu terang-terangan. Namun sejauh ini, Stella tidak merasa terganggu dengan sikap Kevin yang tengah mendekatinya.

Stella juga sama seperti gadis pada umumnya. Yang kadang terbawa perasaan jika terus-terusan diberi perhatian, apalagi oleh seorang Kvin. Lelaki yang kalau dilihat-lihat punya banyak fans juga. Siapa gadis yang tidak akan terpikat oleh lelaki manis dan hangat seperti Kevin? Mungkin dulu Stella akan dengan lantang menjawab kalau gadis itu adalah dirinya. Namun sekarang?

Ia mengakui, ada sepercik kembang api atau segerombol kupu-kupu yang akan beterbangan setiap kali Kevin di dekatnya. Ada hentakan kecil di relung jiwa kala mendengar Kevin memanggil. Ada rona panas yang merambat di wajah saat Kevin memberikan perhatian kecil. Entah sejak kapan perasaan itu muncul. Namun Stella masih enggan untuk mengakuinya.

Tak terasa sudah terlalu lama ia menatap lelaki itu. Stella bergegas menekan knop pintu rumahnya dan masuk. Terdengar suara lelaki itu meninggalkan pelataran rumahnya pelan. Senyum kecil terbit di bibir Stella.

“Anak kamu mana? Belum pulang?”

Senyum itu luntur. Stella mengendap dan mengintip dari balik tirai yang memisahkan ruang tamu dengan ruang keluarga. Dugaannya benar. Si pemilik sepatu hitam di depan rumah tadi adalah Tante Mayang, kakak dari sang ibu yang hobi mencampuri urusan keluarga Stella. Perlu kalian tahu, wanita itu tidak pernah menerima kehadiran Stella dan Bella di keluarganya.

“Mbak barusan dikasih tau sama Fahri. Katanya Stella bikin ulah lagi di sekolah. Lihat nih! Foto anak kamu dipajang di sosmed sekolah. Komentarnya buruk semua. Anak kamu bukannya diem malah ngelawan. Lihat! Kasar banget omongan anak kamu,” ujar Mayang terlihat menunjukkan ponselnya pada Risa, ibu Stella.

Gadis itu meremas tirai sampai kusut. Sial si Fahri, dia pasti disuruh ibunya untuk mencari keburukan Stella. Sudah bagus ia bisa menutupi semuanya dengan apik. Wanita itu memang licik.

“Ini akibatnya kamu nggak nurutin kata Mbak. Dari dulu Mbak bilang, nggak ada untungnya kamu merawat dua anak itu. Bisanya bikin masalah terus. Dari sebelum lahir malah. Kalo kamu nurut sama Mbak buat gugurin kandungan kamu waktu itu, kamu nggak akan punya anak bandel kaya gini!”

Kelopak mata Stella tak dapat berkedip. Genangan panas timbul di pelupuk matanya. Lagi-lagi Mayang membahas perihal itu. Sesuatu yang setiap hari membebani pikiran Stella. Sesuatu yang mati-matian ditutupi oleh keluarga Stella. Perihal terburuk yang pernah terjadi dalam hidup Stella dan sampai sekarang masih terus menghantuinya.

Kenyataan bahwa ia dan Bella lahir tanpa seorang ayah. Itu adalah aib terburuk yang dimiliki keluarganya. Bukan, ayahnya tidak meninggal. Ayahnya tidak juga pergi merantau dan tak pernah pulang. Stella dan Bella memang tidak punya ayah secara hukum. Sebab mereka lahir dari hasil hubungan di luar nikah.

Rongga dadanya menghimpit. Rasanya sangat sesak. Ia tahu, kehadirannya dan Bella bagai bangkai yang lama kelamaan akan tercium busuknya. Suatu saat orang-orang akan menanyakan di mana ayahnya? Di mana suami ibunya? Mengapa tidak pernah terlihat? Apakah dia pergi merantau? Apakah dia sudah tiada?

Mengapa harus ditanyakan? Stella sendiri bahkan tidak tahu bagaimana wujud sang ayah. Bahkan sekadar namanya saja ia tidak tahu. Sang ibu sama sekali tidak pernah mengenalkannya pada sang ayah. Stella pun tak punya keinginan sedikitpun untuk mengenal seorang pria yang tak punya tanggung jawab itu.

Mungkin jika orang lain yang bertanya, keluarga Stella bisa berkilah kalau pria yang seharusnya menyandang sebagai kepala keluarga itu sudah mati. Namun jika dari pihak keluarga yang bertanya? Bagaimana cara Risa, ibu Stella, berkilah? Mereka jelas tahu apa yang terjadi padanya. Pertanyaan itu bertujuan hanya untuk mengolok-olok. Apalagi Mayang terus-terusan mengungkit kesalahan Risa yang memilih untuk mempertahankan hasil dari hubungan haram itu.

Keluarga yang seharusnya berperan sebagai pengobat luka justru berbalik menjadi penoreh luka terbesar di hati keluarga Stella. Apa susahnya menerima kenyataan? Bahkan kejadian itu sudah berlalu hampir enam belas tahun lamanya. Mengapa mereka masih saja tidak mau mengakui kehadiran Stella dan Bella? Haruskan mereka pergi dari keluarga ini?

Stella kadang berpikir, memang seharusnya ia tidak hadir di keluarga ini. Mungkin jika ia tidak ada, kehidupan ibunya tidak akan seburuk ini. Ibunya akan menjadi wanita yang bahagia. Menikah dengan orang yang ia cintai dan menghasilkan anak-anak dari hubungan yang suci. Dia pun tidak perlu menelan pil pahit dari ucapan sanak saudara yang menyayangkan keputusannya di masa lalu.

Haruskah? Haruskah Stella pergi dari sini? Haruskah ia kembali pada Tuhan seperti yang seharusnya sang ibu lakukan sebelum ia lahir?

Tak sengaja Stella terisak begitu keras. Sang ibu dan kakaknya menoleh bersamaan. Menatap Stella yang berdiri di ambang pintu dengan berlinang air mata.

“Stella?” gumam sang ibu tampak terkejut. Ia sontak bangkit dari kursi. Melihat itu, Stella bergegas keluar dari rumah. “Stella!” panggil sang ibu makin keras. Stella mengabaikan panggilan itu. Ia berlari secepat mungkin dengan tangis yang makin deras. Sesak, rasanya sangat sesak.

“KEVIN!” teriak Stella melihat punggung pemuda itu masih tersisa di tepi gang. Kevin tidak menoleh, suara Stella teredam oleh helm yang membungkus kepalanya. “KEVIN!” Teriakan Stella makin keras disertai tangisan di akhir.

Yang dipanggil tampak tersentak. Ia menoleh cepat, melihat gadis yang baru saja ia antar berlari ke arahnya. Alisnya menyatu heran. Mengapa Stella menangis? Itu pertanyaan yang terbesit di benak Kevin.

“La? Hei, kenapa lo nangis? Ada apa?” tanya Kevin panik saat Stella sudah dekat. Ia hendak melepas helmnya namun dicegah oleh Stella.

“Bawa gue pergi, Kev! Please! Bawa gue pergi dari sini!” ujar Stella dengan isakan yang begitu menyayat perasaan Kevin. Maka tanpa ragu, Kevin langsung memasangkan helm pada Stella dan memintanya untuk naik. Motor sport berwarna merah itu lantas melesat ke jalanan. Mengabaikan panggilan ibu Stella yang menggema di belakang.

***

Kevin melirik ke bawah. Pinggangnya tampak dipeluk erat oleh tangan ramping gadis yang kini menyandarkan kepala di punggungnya. Terasa dingin di sana. Air mata Stella yang menciptakan rasa dingin itu. Gadis itu tak berhenti menangis.

Ia bingung. Ke mana ia harus membawa Stella? Semua ini terlalu tiba-tiba. Sebenarnya Kevin masih syok dengan kejadian tadi. Bayangan wajah Stella yang begitu kacau dengan pandangan memohon membuatnya sesak. Apa yang sebenarnya terjadi pada Stella?

Jam tangan yang melingkar di pergelangan ia lirik. Sudah hampir petang, pukul empat sore. Masih ada waktu makan untuk Stella. Namun ia tidak mungkin membawa Stella ke tempat umum dalam keadaan seperti ini. Kevin benar-benar bingung apa yang harus dia lakukan.

Terlihat mini market di persimpangan jalan. Mungkin Stella butuh beberapa teguk air untuk menenangkan diri. Kevin lantas membawa motornya menepi.

Motor sport itu berhenti di parkiran. Kevin bingung sebab Stella tak melepas pelukan di pinggangnya. Ia lantas menepuk pelan tangan gadis itu. “La, beli minum dulu, yuk? Pasti haus kan?” ujar Kevin lembut.

Stella menarik kepalanya dari punggung Kevin. Pelukan di pinggang lelaki itu perlahan terlepas. Kevin lantas turun dari motornya sambil menahan Stella agar tetap duduk di motornya.

“Mau nunggu di sini atau ikut ke dalem?” tanya Kevin dengan sedikit membungkuk agar berhadapan dengan wajah Stella yang menunduk.

“Ikut,” jawan Stella parau. Kevin mengangguk pelan. Lelaki itu lalu melepaskan helm Stella yang sibuk menghapus jejak air matanya. “Baju lo basah,” lirih Stella sambil menunjuk punggung Kevin.

Kevin melongok ke punggungnya lalu terkekeh ringan. “Nggak apa-apa. Nanti juga kering sendiri.”

Lelaki itu mengulurkan tangan. Stella meraihnya dan digenggam erat. Mereka lalu masuk ke mini market.

***

“Maaf.”

Kevin menolehkan kepalanya pelan. Tatapan gadis itu menerawang ke depan. Menatap deburan ombak yang menenangkan. Angin sepoi menerbangkan anak rambutnya. Kedua mata yang sembab itu menyipit mengkhayati sejuknya angin sore.

“Maaf karena tiba-tiba nyuruh lo bawa gue pergi. Maaf lo harus liat gue berantakan kaya gini. Maaf lo jadi harus nenangin gue padahal semua ini bukan salah lo.”

Lelaki itu menunduk. Menatap kakinya yang menapak tanah dan kaki Stella yang menggantung. Botol di genggamannya sedikit diremat. Sekadar informasi, Kevin itu orang yang sensitif. Nggak bisa lihat orang lain susah, apalagi orang terdekatnya. Kedua matanya pun ikut sensitif. Gampang nangis. Makanya dia dari tadi diam karena nggak mau nangis di depan Stella.

“Nggak apa-apa. Gue seneng bisa jadi orang yang lo percaya buat bawa lo pergi. Jadi orang yang ngeliat lo berantakan. Jadi orang yang bisa nenangin lo walaupun ini bukan salah gue.”

Stella menoleh. Lelaki itu tampak menatap ke arah lain. Yang dia dengar tadi benar bukan sih? Suara Kevin terdengar sedikit bergetar.

Hening beberapa saat. Suara napas Stella yang berair terdengar mendominasi. Kevin ingin menanyakan penyebab gadis itu menangis. Namun sepertinya kurang pantas. Bertanya soal permasalahan pada seseorang yang sedang terpuruk hanya akan menambah beban orang itu. Mereka seharusnya sudah lupa. Namun karena pertanyaan kita, mereka jadi harus mengingatnya lagi. Bukankah itu menyakitkan?

Berbeda dengan apa yang dirasakan Stella. Sebenarnya ia ingin berbagi masalahnya dengan Kevin. Namun ia merasa, gue siapanya Kevin sampe berani cerita tentang masalah keluarga? Bukannya itu terlalu privasi? Takutnya Kevin jadi tidak nyaman.

“Lo suka dengerin lagu apa, La?” tanya Kevin tiba-tiba membuat Stella sontak menoleh.

“Bebas, sih. Gue seringnya muter lagu di playlist yang disediain Spotify. Kaya lagu yang populer di Indo atau daily mix gitu.”

Kevin mengangguk paham. Ia lantas menyodorkan salah satu airpods-nya pada Stella. Gadis itu menerima dan memasangnya di telinga.

“Ada playlist yang namanya Comfort Zone. Kayaknya menarik. Mau coba dengerin?” tawar Kevin yang diangguki Stella.

“Ini bagus. Judulnya apa, Kev?”

Fallin’ All in You, lagunya Shawn Mendes. Suka?”

Stella mengangguk. “Bagus.”

Ibu jari Kevin bergerak menyentuh ikon berbentuk hati sehingga lagu tersebut tersimpan di daftar lagu yang ia sukai.

“Ini juga bagus.”

Heather, Conan Gray,” sahut Kevin tanpa ditanya. Ia kembali menyentuh ikon hati di lagu itu. Begitu seterusnya sampai matahari tenggelam di tengah lautan.

“Yudha bangsat!”

Sultan tak bisa menahan emosinya. Ia berlari menuju Yudha yang bersembunyi di balik para pemain Galasena. Anak Dewandaru yang terkejut dengan kemunculan Yudha di Galasena terlambat mencegah Sultan. Mereka sontak ikut berlari mengejar.

Galasena yang tahu siapa yang jadi incaran Sultan lantas menghalau lelaki itu. Mereka mendorong Sultan yang terus memberontak. Kericuhan pun terjadi. Makian Sultan, sorakan anak Galasena, serta pekikan penonton berpadu jadi satu.

“KALO LO LAKI MAJU KE HADAPAN GUE SETAN!” teriak Sultan pada Yudha yang menatapnya datar.

“Oy sante bro! Gak usah pake emosi,” sahut salah seorang anggota Galasena.

“Gue nggak ada urusan sama lo bangsat! Bawa tu anak ke depan! Jangan jadi pengecut!”

“Tan, udah sabar!” ujar Barra mencoba menenangkan.

“Sabar kata lo?! Temen lo jadi pengkhianat, Bar! Pake otak lo!”

“Ada ribut-ribut apaan nih?”

Mereka serentak menoleh. Seseorang berjalan di tengah anggota Galasena yang langsung membelah jadi dua menyisakan ruang untuknya. Kedua tangan lelaki itu tersimpan di saku. Raut wajahnya santai, namun bibirnya mengulas senyum tipis.

“Gue pikir kita ke sini buat tanding bukan buat tawuran,” tambah seseorang itu, Haidar, kapten Galasena.

“Kalo mau tawuran, sok! Maju lo semua!” gertak Sultan lagi membuat suasana kembali memanas.

Sultan yang hendak kembali maju didorong mundur oleh Raja yang menarik bahunya. Raja yang sejak tadi memantau dari belakang kini berdiri di hadapan Haidar. Pandangan dinginnya menusuk bola mata Haidar lalu bergulir pada Yudha yang berdiri tak jauh di belakangnya.

“Apa maksud lo?” tanya Raja dingin.

“Maksud apa? Tanya yang jelas dong.”

“Nggak usah belagak bego kalo nggak mau tanding kali ini berubah jadi arena tawuran beneran.”

Atmosfer mendingin seiring tatapan Raja yang makin redup. Lelaki itu sudah lelah. Lelah dengan segala problematika seorang kapten. Setiap harinya selalu ada masalah baru yang terus memberat. Hari ini, Raja merasa kesabarannya sudah berada di ambang batas. Dia paling tidak suka dibohongi, apalagi dikhianati.

Sudut bibir Haidar terangkat. “Kenapa lo nggak tanya langsung sama orangnya?” ujar Haidar sembari menoleh ke belakang memanggil Yudha untuk berdiri di sampingnya.

Kini Raja telah berhadapan dengan Yudha. Ia terus menatap lelaki yang tak berani beradu tatap dengannya itu. Sultan menghempas cekalan Barra dan berdiri di samping Raja. Tangannya mengepal kuat. Tak tahan ingin melayangkan pukulan pada Yudha.

“Lo ngapain di sini, Yud?” tanya Raja setelah beberapa detik meredam emosi. “Kaos apa yang lo pake sekarang?” tanya lelaki itu lagi ketika Yudha tak kunjung menjawab. Suaranya terdengar bergetar.

“Punya mulut dipake goblok!” gertak Sultan tak tahan dengan bungkamnya Yudha.

Mata merah dan bergetar milik Yudha perlahan naik menatap Raja. Bisa ia lihat ada genangan tipis di pelupuk mata lelaki itu. Hatinya begitu tergores. Menatap satu persatu rekan satu timnya yang penuh dengan raut kekecewaan.

“Butuh uang? Butuh uang kata lo, Yud? Emang ini satu-satunya cara buat dapetin uang?”

Makin dalam penyesalan yang bercokol di dada Yudha. Kedua tangannya mengepal kuat. Menahan buncahan emosi yang hendak meledak. Apalagi melihat rahang Raja yang mengeras, sama-sama tengah menahan amarah.

“Lo nggak tau apa-apa soal gue, Ja. Ini udah jadi pilihan hidup gue dan lo nggak berhak buat ikut campur,” jawab Yudha yang langsung membuat jantung Raja menghentak begitu kuat.

“BOCAH SET—”

Baru saja Sultan hendak melayangkan pukulan, Raja sudah terlebih dahulu memukul rahang Yudha hingga hampir tersungkur jika tidak ada yang menahannya. Semuanya terperangah. Apalagi Yudha yang langsung melotot, tak menyangka Raja akan memukulnya begitu kuat.

“Masih kurang hah?! Nih gue tambahin!”

Sultan lantas melayangkan pukulannya yang sempat tertunda. Tidak hanya sekali, satu demi satu pukulan ia daratkan pada Yudha membuat suasana semakin kacau. Barra dan anak dewandaru lain berusaha menghentikan Sultan. Bian bahkan sampai menangis melihat lelaki yang dipanggil abang tan itu begitu membabi buta memukuli Yudha.

Sedangkan Raja? Dia hanya diam. Menatap anggotanya yang kini malah jadi berkelahi dengan lawan. Raja sudah tidak peduli. Dia sudah muak dengan segala hal yang harus ia lakukan sebagai kapten.

“HEH! HEH! HEH! APA APAAN INI!”

Raja tersentak dari lamunan mendengar suara coach Yoga yang berusaha membelah keributan. Di belakangnya ada pak Tegar, pelatih Galasena, beserta sang ayah yang turut panik dengan kericuhan yang terjadi. Raja mendadak gelagapan.

“Raja! Apa yang sudah terjadi?!” gertak Yoga setelah berhasil menarik Sultan mundur.

Raja tak mampu mengatakan sepatah katapun. Hanya gumaman tidak jelas yang keluar dari sana.

“BAPAK LIAT SENDIRI! YUDHA MASUK GALASENA PAK!” Bukan Raja yang menjawab, melainkan Sultan yang masih dikuasai emosi.

Dahi Yoga mengernyit. Dilihatnya sang anak didik yang mengenakan seragam lain. Ia lalu bertatapan dengan pelatih Galasena. Namun sepertinya pelatih itu pun sama terkejutnya.

“Sepertinya ada yang tidak beres, Pak,” ujar Yoga pada Tegar.

“Diundur saja, Pak. Suasananya sudah kacau,” jawab Tegar memberi saran.

Yoga mengangguk. Ia lalu memanggil pelatih Galasena untuk berdiskusi dan sepakat menunda pertandingan. Tarkam hari itu pun dibatalkan.


Yudha POV

Kalian marah sama gue? Retoris, pertanyaan yang nggak memerlukan jawaban karena jawabannya sudah diketahui atau sudah pasti. Gue nggak masalah. Kemarahan kalian gue terima, terutama anak-anak Dewandaru yang udah gue khianatin. Gue pantas dapetin semuanya. Gue nggak dendam meskipun Sultan dan Raja udah bikin muka gue babak belur. Gue udah siap sama segala resikonya.

Malam itu, malam di mana gue mendapat kabar yang tidak mengenakkan dari bos. Malam di mana seharusnya gue pulang dengan satu amplop gaji. Namun ternyata gue membawa satu amplop lagi berisi pesangon.

Pikiran gue mendadak kosong. Semuanya terlalu tiba-tiba. Bayangin aja lo mau berangkat kerja dan di jalan dapet telfon dari atasan kalo lo dipecat dengan alasan kinerja lo yang nggak bagus. Padahal beberapa hari yang lalu, lo bahkan mendedikasikan seluruh hari lo buat kerja!

Gue berasal dari keluarga yang biasa-biasa aja. Beda dari keempat temen gue yang lain. Gue mungkin ada di urutan terakhir dalam hal perekonomian. Sebenernya pekerjaan orang tua gue masih cukup buat gue sama adik. Tapi semenjak ayah sakit-sakitan, gue merasa punya tanggung jawab untuk ikut cari uang buat keluarga.

Hari itu, ibu bilang kalo Kiran, adik perempuan gue, harus buru-buru bayar SPP biar bisa ikut PAS. Di situ gue langsung putar otak. Gue tau arah pembicaraan ibu. Ayah masih sakit. Pemasukan cuman dari ibu dan itu pun udah kepotong buat makan sehari-hari. Kesimpulannya, gue harus bisa nyisihkan gaji buat bayar SPP nya Kiran.

Perhitungan gue udah pas. Gaji di minggu ketiga dan keempat ditambah tabungan gue udah pas buat bayar SPP Kiran. Kalo gue bisa lembur bakal dapet lebih banyak lagi. Seminggu ini gue maksimalin kerja. Dapet bonus sih, bonus pesangon.

Gue bingung, gue frustasi. Di mana gue bisa dapet tempat yang mau memperkerjakan seorang siswa SMA? Apalagi dengan gaji mingguan. Cari kerja part time itu susah. Kebanyakan udah diisi sama mahasiswa. Trus gue harus cari uang ke mana lagi?

Seakan menjawab pertanyaan gue, mendadak ada yang chat nawarin pinjaman uang. Gue nggak tau dia siapa sampai saat dia ngajak gue ketemu di suatu tempat. Ternyata dia Haidar, kapten Galasena, salah satu musuh terbesar Dewandaru.

Ini nggak bener. Gue harus pergi dari sini. Namun Haidar seakan tau kelemahan dan apa yang lagi gue butuhin saat ini. Dengan segala bujuk rayunya, gue terbuai. Gue terima syarat dari dia. Jadi libero Galasena di tarkam mendatang, melawan Dewandaru.

Maaf kawan, gue tahu apa yang gue lakukan sangat fatal. Gue akan terima segala resikonya. Bahkan kalaupun gue harus dikeluarkan dari tim, gue terima. Yang gue pikirkan sekarang adalah keluarga, terutama Kiran. Gue tau, gue terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Gue tau banyak cara lain untuk dapetin uang secara instan. Tapi entahlah, mungkin gue nya aja yang bodoh.

Sekarang gue menyesal. Melihat raut kekecewaan kalian, bahkan Bian sampai menangis, bikin hati gue sakit. Maafin gue yang terlalu egois. Apa yang dibilang Sultan nggak bener. Gue nggak pernah berencana buat khianatin kalian. Gue hanya berusaha bertahan di tengah himpitan keluarga yang memaksa gue untuk terjun ke jurang.

Maaf kalian harus punya teman kaya gue. Yang mau apapun, harus kerja. Yang mau beli sesuatu, harus nabung. Yang kalau nongkrong selalu gelisah karena harus buru-buru pulang buat kerja atau ngurusin adik. Yang nggak pernah bisa terbuka hanya karena malu punya keluarga yang nggak seberuntung kalian. Maaf. Gue minta maaf.

©haruquinza

“Yudha bangsat!”

Sultan tak bisa menahan emosinya. Ia berlari menuju Yudha yang bersembunyi di balik para pemain Galasena. Anak Dewandaru yang terkejut dengan kemunculan Yudha di Galasena terlambat mencegah Sultan. Mereka sontak ikut berlari mengejar.

Galasena yang tahu siapa yang jadi incaran Sultan lantas menghalau lelaki itu. Mereka mendorong Sultan yang terus memberontak. Kericuhan pun terjadi. Makian Sultan, sorakan anak Galasena, serta pekikan penonton berpadu jadi satu.

“KALO LO LAKI MAJU KE HADAPAN GUE SETAN!” teriak Sultan pada Yudha yang menatapnya datar.

“Oy sante bro! Gak usah pake emosi,” sahut salah seorang anggota Galasena.

“Gue nggak ada urusan sama lo bangsat! Bawa tu anak ke depan! Jangan jadi pengecut!”

“Tan, udah sabar!” ujar Barra mencoba menenangkan.

“Sabar kata lo?! Temen lo jadi pengkhianat, Bar! Pake otak lo!”

“Ada ribut-ribut apaan nih?”

Mereka serentak menoleh. Seseorang berjalan di tengah anggota Galasena yang langsung membelah jadi dua menyisakan ruang untuknya. Kedua tangan lelaki itu tersimpan di saku. Raut wajahnya santai, namun bibirnya mengulas senyum tipis.

“Gue pikir kita ke sini buat tanding bukan buat tawuran,” tambah seseorang itu, Haidar, kapten Galasena.

“Kalo mau tawuran, sok! Maju lo semua!” gertak Sultan lagi membuat suasana kembali memanas.

Sultan yang hendak kembali maju didorong mundur oleh Raja yang menarik bahunya. Raja yang sejak tadi memantau dari belakang kini berdiri di hadapan Haidar. Pandangan dinginnya menusuk bola mata Haidar lalu bergulir pada Yudha yang berdiri tak jauh di belakangnya.

“Apa maksud lo?” tanya Raja dingin.

“Maksud apa? Tanya yang jelas dong.”

“Nggak usah belagak bego kalo nggak mau tanding kali ini berubah jadi arena tawuran beneran.”

Atmosfer mendingin seiring tatapan Raja yang makin redup. Lelaki itu sudah lelah. Lelah dengan segala problematika seorang kapten. Setiap harinya selalu ada masalah baru yang terus memberat. Hari ini, Raja merasa kesabarannya sudah berada di ambang batas. Dia paling tidak suka dibohongi, apalagi dikhianati.

Sudut bibir Haidar terangkat. “Kenapa lo nggak tanya langsung sama orangnya?” ujar Haidar sembari menoleh ke belakang memanggil Yudha untuk berdiri di sampingnya.

Kini Raja telah berhadapan dengan Yudha. Ia terus menatap lelaki yang tak berani beradu tatap dengannya itu. Sultan menghempas cekalan Barra dan berdiri di samping Raja. Tangannya mengepal kuat. Tak tahan ingin melayangkan pukulan pada Yudha.

“Lo ngapain di sini, Yud?” tanya Raja setelah beberapa detik meredam emosi. “Kaos apa yang lo pake sekarang?” tanya lelaki itu lagi ketika Yudha tak kunjung menjawab. Suaranya terdengar bergetar.

“Punya mulut dipake goblok!” gertak Sultan tak tahan dengan bungkamnya Yudha.

Mata merah dan bergetar milik Yudha perlahan naik menatap Raja. Bisa ia lihat ada genangan tipis di pelupuk mata lelaki itu. Hatinya begitu tergores. Menatap satu persatu rekan satu timnya yang penuh dengan raut kekecewaan.

“Butuh uang? Butuh uang kata lo, Yud? Emang ini satu-satunya cara buat dapetin uang?”

Makin dalam penyesalan yang bercokol di dada Yudha. Kedua tangannya mengepal kuat. Menahan buncahan emosi yang hendak meledak. Apalagi melihat rahang Raja yang mengeras, sama-sama tengah menahan amarah.

“Lo nggak tau apa-apa soal gue, Ja. Ini udah jadi pilihan hidup gue dan lo nggak berhak buat ikut campur,” jawab Yudha yang langsung membuat jantung Raja menghentak begitu kuat.

“BOCAH SET—”

Baru saja Sultan hendak melayangkan pukulan, Raja sudah terlebih dahulu memukul rahang Yudha hingga hampir tersungkur jika tidak ada yang menahannya. Semuanya terperangah. Apalagi Yudha yang langsung melotot, tak menyangka Raja akan memukulnya begitu kuat.

“Masih kurang hah?! Nih gue tambahin!”

Sultan lantas melayangkan pukulannya yang sempat tertunda. Tidak hanya sekali, satu demi satu pukulan ia daratkan pada Yudha membuat suasana semakin kacau. Barra dan anak dewandaru lain berusaha menghentikan Sultan. Bian bahkan sampai menangis melihat lelaki yang dipanggil abang tan itu begitu membabi buta memukuli Yudha.

Sedangkan Raja? Dia hanya diam. Menatap anggotanya yang kini malah jadi berkelahi dengan lawan. Raja sudah tidak peduli. Dia sudah muak dengan segala hal yang harus ia lakukan sebagai kapten.

“HEH! HEH! HEH! APA APAAN INI!”

Raja tersentak dari lamunan mendengar suara coach Yoga yang berusaha membelah keributan. Di belakangnya ada pak Tegar, pelatih Galasena, beserta sang ayah yang turut panik dengan kericuhan yang terjadi. Raja mendadak gelagapan.

“Raja! Apa yang sudah terjadi?!” gertak Yoga setelah berhasil menarik Sultan mundur.

Raja tak mampu mengatakan sepatah katapun. Hanya gumaman tidak jelas yang keluar dari sana.

“BAPAK LIAT SENDIRI! YUDHA MASUK GALASENA PAK!” Bukan Raja yang menjawab, melainkan Sultan yang masih dikuasai emosi.

Dahi Yoga mengernyit. Dilihatnya sang anak didik yang mengenakan seragam lain. Ia lalu bertatapan dengan pelatih Galasena. Namun sepertinya pelatih itu pun sama terkejutnya.

“Sepertinya ada yang tidak beres, Pak,” ujar Yoga pada Tegar.

“Diundur saja, Pak. Suasananya sudah kacau,” jawab Tegar memberi saran.

Yoga mengangguk. Ia lalu memanggil pelatih Galasena untuk berdiskusi dan sepakat menunda pertandingan. Tarkam hari itu pun dibatalkan.


Yudha POV

Kalian marah sama gue? Retoris, pertanyaan yang nggak memerlukan jawaban karena jawabannya sudah diketahui atau sudah pasti. Gue nggak masalah. Kemarahan kalian gue terima, terutama anak-anak Dewandaru yang udah gue khianatin. Gue pantas dapetin semuanya. Gue nggak dendam meskipun Sultan dan Raja udah bikin muka gue babak belur. Gue udah siap sama segala resikonya.

Malam itu, malam di mana gue mendapat kabar yang tidak mengenakkan dari bos. Malam di mana seharusnya gue pulang dengan satu amplop gaji. Namun ternyata gue membawa satu amplop lagi berisi pesangon.

Pikiran gue mendadak kosong. Semuanya terlalu tiba-tiba. Bayangin aja lo mau berangkat kerja dan di jalan dapet telfon dari atasan kalo lo dipecat dengan alasan kinerja lo yang nggak bagus. Padahal beberapa hari yang lalu, lo bahkan mendedikasikan seluruh hari lo buat kerja!

Gue berasal dari keluarga yang biasa-biasa aja. Beda dari keempat temen gue yang lain. Gue mungkin ada di urutan terakhir dalam hal perekonomian. Sebenernya pekerjaan orang tua gue masih cukup buat gue sama adik. Tapi semenjak ayah sakit-sakitan, gue merasa punya tanggung jawab untuk ikut cari uang buat keluarga.

Hari itu, ibu bilang kalo Kiran, adik perempuan gue, harus buru-buru bayar SPP biar bisa ikut PAS. Di situ gue langsung putar otak. Gue tau arah pembicaraan ibu. Ayah masih sakit. Pemasukan cuman dari ibu dan itu pun udah kepotong buat makan sehari-hari. Kesimpulannya, gue harus bisa nyisihkan gaji buat bayar SPP nya Kiran.

Perhitungan gue udah pas. Gaji di minggu ketiga dan keempat ditambah tabungan gue udah pas buat bayar SPP Kiran. Kalo gue bisa lembur bakal dapet lebih banyak lagi. Seminggu ini gue maksimalin kerja. Dapet bonus sih, bonus pesangon.

Gue bingung, gue frustasi. Di mana gue bisa dapet tempat yang mau memperkerjakan seorang siswa SMA? Apalagi dengan gaji mingguan. Cari kerja part time itu susah. Kebanyakan udah diisi sama mahasiswa. Trus gue harus cari uang ke mana lagi?

Seakan menjawab pertanyaan gue, mendadak ada yang chat nawarin pinjaman uang. Gue nggak tau dia siapa sampai saat dia ngajak gue ketemu di suatu tempat. Ternyata dia Haidar, kapten Galasena, salah satu musuh terbesar Dewandaru.

Ini nggak bener. Gue harus pergi dari sini. Namun Haidar seakan tau kelemahan dan apa yang lagi gue butuhin saat ini. Dengan segala bujuk rayunya, gue terbuai. Gue terima syarat dari dia. Jadi libero Galasena di tarkam mendatang, melawan Dewandaru.

Maaf kawan, gue tahu apa yang gue lakukan sangat fatal. Gue akan terima segala resikonya. Bahkan kalaupun gue harus dikeluarkan dari tim, gue terima. Yang gue pikirkan sekarang adalah keluarga, terutama Kiran. Gue tau, gue terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Gue tau banyak cara lain untuk dapetin uang secara instan. Tapi entahlah, mungkin gue nya aja yang bodoh.

Sekarang gue menyesal. Melihat raut kekecewaan kalian, bahkan Bian sampai menangis, bikin hati gue sakit. Maafin gue yang terlalu egois. Apa yang dibilang Sultan nggak bener. Gue nggak pernah berencana buat khianatin kalian. Gue hanya berusaha bertahan di tengah himpitan keluarga yang memaksa gue untuk terjun ke jurang.

Maaf kalian harus punya teman kaya gue. Yang mau apapun, harus kerja. Yang mau beli sesuatu, harus nabung. Yang kalau nongkrong selalu gelisah karena harus buru-buru pulang buat kerja atau ngurusin adik. Yang nggak pernah bisa terbuka hanya karena malu punya keluarga yang nggak seberuntung kalian. Maaf. Gue minta maaf.

©haruquinza

Justin membuang ponselnya ke samping. Ia hempaskan tubuh lelahnya ke sandaran sofa. Bibir tipis berwarna merah alami itu menggurat senyum dengan mata yang terpejam. Justin melepas kekehan dengan tangan di dahinya.

“Balapan katanya,” gumam lelaki itu mengingat pesan yang baru saja dikirimkan sang kekasih padanya. Ia lantas memijat pelipisnya sembari menggali ingatan di mana ia meletakkan motor hitam yang selama ini ia sembunyikan.

Motor hitam itu dijual? Tidak mungkin. Justin tidak akan melepas sesuatu yang berharga dalam hidupnya begitu saja. Sekalipun telah melukiskan banyak luka, Freya misalnya.

Justin bangun dari sofa lalu melangkah sambil menggulung lengan kemeja. Laci di seluruh penjuru apartemen dibuka. Benda kecil bernama kunci motor itu entah di mana ia menaruhnya.

Ngomong-ngomong soal apartemen, mungkin selama ini kalian bertanya-tanya, Justin sekarang tinggal di apartemen ya? Kok balik ke Bogor lagi? Katanya mau menetap di luar negeri. Kenapa sekarang ambil pekerjaan di kota yang menoreh banyak duka untuknya?

Klasik sebenarnya. Alasannya tidak lain karena Freya. Justin masih bertahan di Bogor sebab ia masih memikirkan bagaimana untuk membawa Freya keluar dari kota ini. Dan karena rumahnya dulu sudah terjual, mau tidak mau Justin harus membeli sebuah unit apartemen untuk tinggal di Bogor, sekaligus memegang cabang usaha ayahnya di kota itu.

Nikahin dong si Freya, kan nanti dia bakal ikut lo pastinya, kalimat tersebut menjadi saran terbanyak yang diterima Justin setelah menceritakan keluh kesah hubungannya dengan Freya. Padahal menikah adalah momok paling menakutkan untuk Justin. Menikah? Menjadi seorang suami? Memimpin sebuah rumah tangga? Rasanya Justin masih belum pantas untuk jabatan itu.

Banyak pertimbangan yang menahan Justin untuk segera menikahi Freya. Apalagi kekasihnya itu berstatus seorang anak tunggal yang tentu saja menjadi harapan satu-satunya di keluarga. Hanya Freya yang bisa meneruskan perusahaan ayahnya. Kalau Justin membawa gadis itu keluar dari Bogor, maka siapa yang akan menggantikan posisi Freya? Apalagi jabatan gadis itu sudah cukup tinggi di perusahaan ayahnya.

Ah, lupakan soal pernikahan yang masih cukup jauh untuk Justin dan Freya. Kunci motor yang sedari tadi dicari akhirnya ketemu. Sekarang Justin tinggal pergi menjemput sang kuda besi yang telah lama ia tinggalkan.


“Gue pikir lo lupa sama ni motor. Udah mau gue rongsokin.”

Justin terbahak mendengar ucapan Hala, sang mekanik yang biasa mengecek motor anak-anak Sweet Escape sebelum balapan. Sudah bertahun lamanya ia menitipkan motor kesayangannya itu pada Hala. Tidak pernah ia tengok, tidak pernah ia tanyakan kabarnya. Justin cukup kaget Hala masih menyimpan motor itu dengan baik di basement rumahnya.

“Yakin mau lo rongsokin? Itu motor pasarannya tinggi, Bro,” sahut Justin.

“Motor pembawa sial kayak gini siapa yang mau beli?”

“Bangsat!”

Keduanya tertawa keras. Hala mendekat pada motor Justin yang ia tutupi dengan terpal abu-abu. Debu beterbangan saat ia menyibakkan terpal tersebut. Justin mengibaskan tangan di wajahnya. “Berdebu banget cok! Nggak pernah lo bersihin apa gimana?” protes Justin.

Hala mendongak menatap langit-langit basement-nya. “Rumah gue abis renov, kayaknya gara-gara ada benturan dari atas jadi serpihan ternit pada jatuh.”

Justin mendekat ke motor. Menepuk joknya sebagai bentuk sapaan pada barang kesayangan yang bertahun ia tinggalkan. Bibirnya mengulas senyum secara alami. “Gue dulu keren juga ya punya motor ginian. Pantes banyak cewek yang naksir.”

Hala melempar pandangan jijik. “Keren apaan, balapan sama cewek aja kalah.”

“Anjing, lo kok inget banget hal-hal yang bikin gua malu seumur hidup dah!”

“Membekas banget coy! Bisa-bisanya kalah lawan cewek njir bego banget lo! Sok-sokan nantangin Noir. Lawan anak buah ceweknya udah kalah. Dah, masa muda lo dipenuhi oleh sifat songong yang berujung petaka buat diri sendiri.”

Justin mengangkat kepalan tangan tinggi-tinggi seolah akan memukul Hala. “Siapa yang bisa fokus balapan sama cewek secantik dia anjir?! Tapi abis itu gue menang lawan Noir kan,” ujar Justin mencari pembelaan.

“Iya lah! Cewek yang ngalahin lo jadi taruhannya. Kesurupan reog lo waktu itu.”

“Bacot lo lemes banget dah, La,” ucap Justin menuai tawaan keras dari Hala. Ia lantas menaiki motor hitamnya. Ada perasaan aneh merambat dalam hati Justin. Rasa bahagia yang lama terkubur. Justin seperti menemukan jiwa yang dulu ia tinggalkan.

“Ini masih bisa dipake nggak? Nyala mesinnya kan?” tanya Justin sembari merogoh saku untuk mengeluarkan kunci.

“Masih. Kadang gue pake keluar buat manasin mesinnya. Sayang kalo misal lama nggak dipake, takut mesinnya jadi rusak.”

“Nah bener. Pinter juga lo. Ini gue bawa kunci serepnya.”

“Gue balikin kunci aslinya.” Hala lantas melempar kunci di tangannya dan dengan sigap Justin menangkapnya. “Btw, ada apaan tiba-tiba ambil motor? Mau balik ke Sentul?”

Justin menggeleng. “Cewek gue pengen balapan sama gue. Ya, udah, gue turutin.”

“Oh, yang dulu ngalahin lo?”

“Nggak usah dibahas mulu bangsat!”

Hala kembali terbahak. “Awet juga lo sama dia. Kapan serumahnya?”

“Doain aja secepatnya ya,” jawab Justin dengan mengulas senyum tipis.


“Gue berasa balik ke jaman SMA njir!” seru Kevin yang baru saja datang bergabung dengan Justin, Jayden, dan Danny di tempat yang dulu mereka jadikan pelepas penat, Sentul.

Setelah mengambil motornya, Justin mengajak teman-temannya untuk berkumpul di Sentul. Untung saja, ketiga temannya itu sedang ada di Bogor. Biasanya untuk bertemu saja rasanya sangat sulit. Keempat lelaki yang dulunya remaja ingusan pembuat onar kini telah menjelma jadi lelaki dewasa penuh tanggung jawab.

“Lah, ini kan motor lo yang dulu, Tin? Lo beli baru yang mirip apa emang ini motor lo yang dulu?” tanya Kevin seraya menatap keseluruhan motor Justin.

“Motor yang dulu,” jawab Justin sambil menepuk tangki motornya.

“Lah katanya lo ju … wah, jadi lo bohongin gue selama ini?”

“Bukan lo doang, Vin. Gue sama Jayden juga baru tau,” timpal Danny.

Justin tertawa ringan. “Sayang kalo dijual. Ini motor banyak kenangannya.”

“Sebenernya pas si Justin ngomong motornya dah dijual, gue agak gak percaya. Soalnya beberapa kali gue papasan sama ni motor di jalan,” ujar Danny.

“Hala yang pake. Gue titip motornya ke dia.”

Ketiganya mengangguk paham. Justin lantas menyalakan motor. Menggeramkan mesinnya dengan keras memicu asap akibat gesekan ban dengan aspal. Dia tertawa puas. “Makin enteng aja ini motor.”

“Bawa ngebut coba.”

“Ayok sama lo, Den!”

“Gas!”

Keduanya lantas bersiap di garis start dan kembali menaklukan arena.


“Mas, gawat! Kaca helm-ku ternyata pecah ih sebel banget! Gimana dong? Nggak bisa dipakai ini!”

Justin mendengus gemas. Baru saja ia bangun dari tidurnya sudah disuguhi omelan Freya yang menggelitik. Ia lantas bangkit sambil mengucek matanya.

“Jam berapa ini, Freya? Kamu tidur kan semalem?” Alih-alih meladeni omelan gadisnya, Justin malah menanyakan hal lain.

“Jam setengah enam. Tidur kok. Kan mas liat sendiri. Mas Justin baru bangun tidur tah?”

Semalam sehabis dari Sentul, Justin melakukan panggilan video bersama Freya. Menghitung detik demi detik sebelum gadis itu bertambah usia. Tidak banyak yang mereka lakukan. Hanya mengobrol ringan dengan kekehan geli dari Justin yang gemas dengan Freya atau Freya yang sebal dengan gombalan Justin.

“Iya, ini mas baru bangun. Nanti pulang kerja mas beliin helm baru.”

“Mau ikut!”

“Iya ikut. Sana, siap-siap ke kantor. Mas juga mau mandi. Nanti siang jadi makan di luar sama temen-temen kantor?”

“Jadi, Mas! Dateng ya?”

“Kan nanti mau ada makan malem sama temen-temen SMA. Mas ikut yang itu aja. Nggak enak sama temen kantor kamu.”

“Padahal nggak apa-apa! Tapi ya udah deh. Aku juga nggak mau mas digenitin sama temen kantorku lagi!”

Justin terkekeh. “Ya udah, mas mau siap-siap dulu ya.”

“Okey! Semangat kerjanya mas! I love you.”

“Semangat juga sayang. Love you more.”


“HAHAHAHA MAS IH MASA ADA PITANYA?!” Freya terbahak melihat helm yang baru saja dibelikan Justin untuknya. Lelaki itu sengaja menambahkan aksesoris pita kecil berwarna merah muda ke helm itu. Helm hitam yang tadinya terlihat garang kini jadi lebih manis.

“Biar gemes,” sahut Justin menahan tawa. “Coba kamu pake.” Justin lantas memakaikan helm itu pada Freya. Seketika tawa yang ia tahan menyembur.

“KOK KETAWA!”

“Gemes banget cewe gue ya Tuhan,” gumam Justin sambil membenahi rambut Freya yang mencuat dari helm.

“Malu banget ih! Lepas aja lah mas!” rengek Freya.

“Ndak usah lah. Udah bagus kaya gini!” Jawaban Justin membuat Freya mencebikan bibirnya keluar. “Dipake semalem aja. Habis itu boleh dilepas lagi,” tawar Justin melihat raut kesal di wajah Freya.

“Ya udah ayo ambil motor ke rumahku,” balas Freya dengan berlari kecil masuk ke mobil Justin masih dengan helm di kepalanya. Justin hanya bisa tertawa geli melihat tingkah tunangannya itu.


“Orang gila mana yang ngerayain ulang tahun tunangannya di Sentul? Diajak balapan lagi,” sindir Kevin dengan mode julidnya.

“Dia yang minta, anjeng! Kalo nggak gue turutin nanti ngambek!”

Tidak hanya Justin dan Freya yang datang ke Sentul, mereka turut mengajak yang lain untuk menonton. Setelah acara makan malam di rumah Freya, mereka lalu berpindah ke Sentul untuk merayakan perayaan ulang tahun Freya selanjutnya, balapan.

“Palingan juga lo ngalah.”

“Dia nyuruh gue tanding fair. Kalo gue sengaja ngalah, nanti dia ngambek.”

“Ngambekan amat cewek lo!”

“Ngaca nyet! Mending mana sama Stella?”

“Mending Stella lah! Stella cewek gue.”

“Dah tau lo bakal jawab itu.”

Tiba waktu balapan dimulai. Justin dan Freya sudah bersiap di garis start. Tak henti-hentinya Justin memastikan motor Freya tidak akan membahayakan gadis itu. Mulutnya pun tak berhenti mengomeli Freya agar tidak terlalu cepat saat membawa motor.

“Cerewet banget sih! Padahal Justin harusnya cuek, dingin, nyebelin. Kita kan lagi cosplay pas jaman SMA mas!”

“Mas cuman menyuarakan hal-hal yang dulunya pengen mas omongin ke kamu pas kita lagi di arena. Dulu mas nggak punya hak, sekarang keselamatan kamu jadi tanggung jawab mas.”

Melebur sudah pertahanan hati Freya. Lelakinya itu akhir-akhir ini suka sekali mengatakan hal-hal yang manis. Sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

“Mau balapan apa tatap-tatapan? Kedip woy!” seru Kevin tiba-tiba sambil mengibaskan bendera kotak hitam putih di antara keduanya.

“Ngerusak suasana aja lo!” protes Justin.

Bendera tanda balapan dimulai hampir dikibarkan. Freya sudah menatap tajam jalanan di depannya. Ah, lama sekali ia tidak merasakan adrenalin seperti ini. Jantungnya jadi berdebar keras.

Beda dengan lelaki di sebelah yang tak bisa menahan untuk menoleh ke arahnya. Entah mengapa Justin terlihat begitu khawatir. Padahal membawa motor dengan kecepatan di atas rata-rata sudah jadi hal biasa untuk Freya. Posesif.

Balapan dimulai. Freya sudah menebak Justin akan membiarkan dirinya melesat di depan. Tidak mengasyikkan, padahal Freya ingin Justin memandangnya sebagai musuh yang harus dikalahkan.

“JUSTIN! JANGAN JADI PENGECUT LO! KALO LO KALAH, GUE JADI MILIK TRAVIS!”

Justin dengan jelas mendengar teriakan Freya. Pikirannya melambung pada kejadian masa lalu yang persis seperti omongan Freya. Saat itu ia berhasil memenangkan arena, namun Freya tetap jadi milik Travis.

Lelaki itu berusaha menyejajarkan posisi dengan Freya. “Berani ya kamu sebut nama itu lagi.”

Meskipun suara Justin teredam oleh angin dan helm yang menutupi mulut, Freya dapat mendengar aura suram dalam ucapan Justin. Sial, sepertinya cara yang ia ambil salah. Freya salah sudah membangunkan macan yang tidur dalam diri Justin.

Setelah mengatakan kalimat tersebut, Justin menarik pedal gasnya kencang meninggalkan Freya. Gadis itu merasa tertantang. Meskipun caranya salah, tapi akhirnya ia mendapatkan apa yang diinginkan. Justin yang menggila di jalanan.

Sekuat tenaga, Freya menyusul Justin. Tapi bagaimanapun, ia masih kalah cepat. Lelaki itu melesat begitu kencang. Freya jadi khawatir dengan keselamatan Justin.

Untungnya semua baik-baik saja. Justin mencapai garis finish terlebih dahulu. Disusul oleh Freya yang disambut sorakan dari teman-teman.

Justin melepas helm dan menatapnya tajam. Freya mendadak merinding. Ia lantas melepas helm dengan was-was sebab Justin mulai melangkah ke arahnya.

“Aku udah menang. Mau jadi milik siapa kamu?” tanya Justin dengan intonasi yang begitu mengintimidasi.

“Mas Justin,” jawab Freya takut-takut.

“Ulangi dan tambahin kata cuman.”

Freya tidak mengerti maksud ucapan Justin. Namun daripada lelaki itu tambah marah, ia akan jawab sesuai feeling. Semoga saja benar.

“Freya cuman milik mas Justin ...,” ujar Freya ragu.

“Good job,” sahut Justin dengan mengangguk pelan. “Ingat kalimat itu baik-baik. Jangan bercandain hal ini. Aku nggak suka. Apalagi kamu bawa nama dia. Kamu cuman milik Justin, Justin Mahendra. Inget itu, Freya Grizelle.”

“Maaf, mas ...,” lirih Freya terdengar begitu menyesal.

“It's okay.” Justin mendadak mendekat dan memberikan kecupan singkat di bibir Freya. “Minum dulu abis itu pulang,” ujar Justin setelahnya sambil melenggang dengan wajah yang memanas.

Yang dicium hanya mematung. Demi Tuhan, itu adalah ciuman pertamanya dengan Justin. Biasanya hanya di dahi atau pipi. Namun kali ini ... Bibir? Bisa-bisanya lelaki itu mencuri first kiss-nya di tempat seperti ini, di depan semua orang, dan dalam suasana menegangkan seperti tadi?! APA MAKSUD LELAKI ITU?!

“MAS JUSTINNN!!!!!”

Justin membuang ponselnya ke samping. Ia hempaskan tubuh lelahnya ke sandaran sofa. Bibir tipis berwarna merah alami itu menggurat senyum dengan mata yang terpejam. Justin melepas kekehan dengan tangan di dahinya.

“Balapan katanya,” gumam lelaki itu mengingat pesan yang baru saja dikirimkan sang kekasih padanya. Ia lantas memijat pelipisnya sembari menggali ingatan di mana ia meletakkan motor hitam yang selama ini ia sembunyikan.

Motor hitam itu dijual? Tidak mungkin. Justin tidak akan melepas sesuatu yang berharga dalam hidupnya begitu saja. Sekalipun telah melukiskan banyak luka, Freya misalnya.

Justin bangun dari sofa lalu melangkah sambil menggulung lengan kemeja. Laci di seluruh penjuru apartemen dibuka. Benda kecil bernama kunci motor itu entah di mana ia menaruhnya.

Ngomong-ngomong soal apartemen, mungkin selama ini kalian bertanya-tanya, Justin sekarang tinggal di apartemen ya? Kok balik ke Bogor lagi? Katanya mau menetap di luar negeri. Kenapa sekarang ambil pekerjaan di kota yang menoreh banyak duka untuknya?

Klasik sebenarnya. Alasannya tidak lain karena Freya. Justin masih bertahan di Bogor sebab ia masih memikirkan bagaimana untuk membawa Freya keluar dari kota ini. Dan karena rumahnya dulu sudah terjual, mau tidak mau Justin harus membeli sebuah unit apartemen untuk tinggal di Bogor, sekaligus memegang cabang usaha ayahnya di kota itu.

Nikahin dong si Freya, kan nanti dia bakal ikut lo pastinya, kalimat tersebut menjadi saran terbanyak yang diterima Justin setelah menceritakan keluh kesah hubungannya dengan Freya. Padahal menikah adalah momok paling menakutkan untuk Justin. Menikah? Menjadi seorang suami? Memimpin sebuah rumah tangga? Rasanya Justin masih belum pantas untuk jabatan itu.

Banyak pertimbangan yang menahan Justin untuk segera menikahi Freya. Apalagi kekasihnya itu berstatus seorang anak tunggal yang tentu saja menjadi harapan satu-satunya di keluarga. Hanya Freya yang bisa meneruskan perusahaan ayahnya. Kalau Justin membawa gadis itu keluar dari Bogor, maka siapa yang akan menggantikan posisi Freya? Apalagi jabatan gadis itu sudah cukup tinggi di perusahaan ayahnya.

Ah, lupakan soal pernikahan yang masih cukup jauh untuk Justin dan Freya. Kunci motor yang sedari tadi dicari akhirnya ketemu. Sekarang Justin tinggal pergi menjemput sang kuda besi yang telah lama ia tinggalkan.


“Gue pikir lo lupa sama ni motor. Udah mau gue rongsokin.”

Justin terbahak mendengar ucapan Hala, sang mekanik yang biasa mengecek motor anak-anak Sweet Escape sebelum balapan. Sudah bertahun lamanya ia menitipkan motor kesayangannya itu pada Hala. Tidak pernah ia tengok, tidak pernah ia tanyakan kabarnya. Justin cukup kaget Hala masih menyimpan motor itu dengan baik di basement rumahnya.

“Yakin mau lo rongsokin? Itu motor pasarannya tinggi, Bro,” sahut Justin.

“Motor pembawa sial kayak gini siapa yang mau beli?”

“Bangsat!”

Keduanya tertawa keras. Hala mendekat pada motor Justin yang ia tutupi dengan terpal abu-abu. Debu beterbangan saat ia menyibakkan terpal tersebut. Justin mengibaskan tangan di wajahnya. “Berdebu banget cok! Nggak pernah lo bersihin apa gimana?” protes Justin.

Hala mendongak menatap langit-langit basement-nya. “Rumah gue abis renov, kayaknya gara-gara ada benturan dari atas jadi serpihan ternit pada jatuh.”

Justin mendekat ke motor. Menepuk joknya sebagai bentuk sapaan pada barang kesayangan yang bertahun ia tinggalkan. Bibirnya mengulas senyum secara alami. “Gue dulu keren juga ya punya motor ginian. Pantes banyak cewek yang naksir.”

Hala melempar pandangan jijik. “Keren apaan, balapan sama cewek aja kalah.”

“Anjing, lo kok inget banget hal-hal yang bikin gua malu seumur hidup dah!”

“Membekas banget coy! Bisa-bisanya kalah lawan cewek njir bego banget lo! Sok-sokan nantangin Noir. Lawan anak buah ceweknya udah kalah. Dah, masa muda lo dipenuhi oleh sifat songong yang berujung petaka buat diri sendiri.”

Justin mengangkat kepalan tangan tinggi-tinggi seolah akan memukul Hala. “Siapa yang bisa fokus balapan sama cewek secantik dia anjir?! Tapi abis itu gue menang lawan Noir kan,” ujar Justin mencari pembelaan.

“Iya lah! Cewek yang ngalahin lo jadi taruhannya. Kesurupan reog lo waktu itu.”

“Bacot lo lemes banget dah, La,” ucap Justin menuai tawaan keras dari Hala. Ia lantas menaiki motor hitamnya. Ada perasaan aneh merambat dalam hati Justin. Rasa bahagia yang lama terkubur. Justin seperti menemukan jiwa yang dulu ia tinggalkan.

“Ini masih bisa dipake nggak? Nyala mesinnya kan?” tanya Justin sembari merogoh saku untuk mengeluarkan kunci.

“Masih. Kadang gue pake keluar buat manasin mesinnya. Sayang kalo misal lama nggak dipake, takut mesinnya jadi rusak.”

“Nah bener. Pinter juga lo. Ini gue bawa kunci serepnya.”

“Gue balikin kunci aslinya.” Hala lantas melempar kunci di tangannya dan dengan sigap Justin menangkapnya. “Btw, ada apaan tiba-tiba ambil motor? Mau balik ke Sentul?”

Justin menggeleng. “Cewek gue pengen balapan sama gue. Ya, udah, gue turutin.”

“Oh, yang dulu ngalahin lo?”

“Nggak usah dibahas mulu bangsat!”

Hala kembali terbahak. “Awet juga lo sama dia. Kapan serumahnya?”

“Doain aja secepatnya ya,” jawab Justin dengan mengulas senyum tipis.


“Gue berasa balik ke jaman SMA njir!” seru Kevin yang baru saja datang bergabung dengan Justin, Jayden, dan Danny di tempat yang dulu mereka jadikan pelepas penat, Sentul.

Setelah mengambil motornya, Justin mengajak teman-temannya untuk berkumpul di Sentul. Untung saja, ketiga temannya itu sedang ada di Bogor. Biasanya untuk bertemu saja rasanya sangat sulit. Keempat lelaki yang dulunya remaja ingusan pembuat onar kini telah menjelma jadi lelaki dewasa penuh tanggung jawab.

“Lah, ini kan motor lo yang dulu, Tin? Lo beli baru yang mirip apa emang ini motor lo yang dulu?” tanya Kevin seraya menatap keseluruhan motor Justin.

“Motor yang dulu,” jawab Justin sambil menepuk tangki motornya.

“Lah katanya lo ju … wah, jadi lo bohongin gue selama ini?”

“Bukan lo doang, Vin. Gue sama Jayden juga baru tau,” timpal Danny.

Justin tertawa ringan. “Sayang kalo dijual. Ini motor banyak kenangannya.”

“Sebenernya pas si Justin ngomong motornya dah dijual, gue agak gak percaya. Soalnya beberapa kali gue papasan sama ni motor di jalan,” ujar Danny.

“Hala yang pake. Gue titip motornya ke dia.”

Ketiganya mengangguk paham. Justin lantas menyalakan motor. Menggeramkan mesinnya dengan keras memicu asap akibat gesekan ban dengan aspal. Dia tertawa puas. “Makin enteng aja ini motor.”

“Bawa ngebut coba.”

“Ayok sama lo, Den!”

“Gas!”

Keduanya lantas bersiap di garis start dan kembali menaklukan arena.


“Mas, gawat! Kaca helm-ku ternyata pecah ih sebel banget! Gimana dong? Nggak bisa dipakai ini!”

Justin mendengus gemas. Baru saja ia bangun dari tidurnya sudah disuguhi omelan Freya yang menggelitik. Ia lantas bangkit sambil mengucek matanya.

“Jam berapa ini, Freya? Kamu tidur kan semalem?” Alih-alih meladeni omelan gadisnya, Justin malah menanyakan hal lain.

“Jam setengah enam. Tidur kok. Kan mas liat sendiri. Mas Justin baru bangun tidur tah?”

Semalam sehabis dari Sentul, Justin melakukan panggilan video bersama Freya. Menghitung detik demi detik sebelum gadis itu bertambah usia. Tidak banyak yang mereka lakukan. Hanya mengobrol ringan dengan kekehan geli dari Justin yang gemas dengan Freya atau Freya yang sebal dengan gombalan Justin.

“Iya, ini mas baru bangun. Nanti pulang kerja mas beliin helm baru.”

“Mau ikut!”

“Iya ikut. Sana, siap-siap ke kantor. Mas juga mau mandi. Nanti siang jadi makan di luar sama temen-temen kantor?”

“Jadi, Mas! Dateng ya?”

“Kan nanti mau ada makan malem sama temen-temen SMA. Mas ikut yang itu aja. Nggak enak sama temen kantor kamu.”

“Padahal nggak apa-apa! Tapi ya udah deh. Aku juga nggak mau mas digenitin sama temen kantorku lagi!”

Justin terkekeh. “Ya udah, mas mau siap-siap dulu ya.”

“Okey! Semangat kerjanya mas! I love you.”

“Semangat juga sayang. Love you more.”


“HAHAHAHA MAS IH MASA ADA PITANYA?!” Freya terbahak melihat helm yang baru saja dibelikan Justin untuknya. Lelaki itu sengaja menambahkan aksesoris pita kecil berwarna merah muda ke helm itu. Helm hitam yang tadinya terlihat garang kini jadi lebih manis.

“Biar gemes,” sahut Justin menahan tawa. “Coba kamu pake.” Justin lantas memakaikan helm itu pada Freya. Seketika tawa yang ia tahan menyembur.

“KOK KETAWA!”

“Gemes banget cewe gue ya Tuhan,” gumam Justin sambil membenahi rambut Freya yang mencuat dari helm.

“Malu banget ih! Lepas aja lah mas!” rengek Freya.

“Ndak usah lah. Udah bagus kaya gini!” Jawaban Justin membuat Freya mencebikan bibirnya keluar. “Dipake semalem aja. Habis itu boleh dilepas lagi,” tawar Justin melihat raut kesal di wajah Freya.

“Ya udah ayo ambil motor ke rumahku,” balas Freya dengan berlari kecil masuk ke mobil Justin masih dengan helm di kepalanya. Justin hanya bisa tertawa geli melihat tingkah tunangannya itu.


“Orang gila mana yang ngerayain ulang tahun tunangannya di Sentul? Diajak balapan lagi,” sindir Kevin dengan mode julidnya.

“Dia yang minta, anjeng! Kalo nggak gue turutin nanti ngambek!”

Tidak hanya Justin dan Freya yang datang ke Sentul, mereka turut mengajak yang lain untuk menonton. Setelah acara makan malam di rumah Freya, mereka lalu berpindah ke Sentul untuk merayakan perayaan ulang tahun Freya selanjutnya, balapan.

“Palingan juga lo ngalah.”

“Dia nyuruh gue tanding fair. Kalo gue sengaja ngalah, nanti dia ngambek.”

“Ngambekan amat cewek lo!”

“Ngaca nyet! Mending mana sama Stella?”

“Mending Stella lah! Stella cewek gue.”

“Dah tau lo bakal jawab itu.”

Tiba waktu balapan dimulai. Justin dan Freya sudah bersiap di garis start. Tak henti-hentinya Justin memastikan motor Freya tidak akan membahayakan gadis itu. Mulutnya pun tak berhenti mengomeli Freya agar tidak terlalu cepat saat membawa motor.

“Cerewet banget sih! Padahal Justin harusnya cuek, dingin, nyebelin. Kita kan lagi cosplay pas jaman SMA mas!”

“Mas cuman menyuarakan hal-hal yang dulunya pengen mas omongin ke kamu pas kita lagi di arena. Dulu mas nggak punya hak, sekarang keselamatan kamu jadi tanggung jawab mas.”

Melebur sudah pertahanan hati Freya. Lelakinya itu akhir-akhir ini suka sekali mengatakan hal-hal yang manis. Sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

“Mau balapan apa tatap-tatapan? Kedip woy!” seru Kevin tiba-tiba sambil mengibaskan bendera kotak hitam putih di antara keduanya.

“Ngerusak suasana aja lo!” protes Justin.

Bendera tanda balapan dimulai hampir dikibarkan. Freya sudah menatap tajam jalanan di depannya. Ah, lama sekali ia tidak merasakan adrenalin seperti ini. Jantungnya jadi berdebar keras.

Beda dengan lelaki di sebelah yang tak bisa menahan untuk menoleh ke arahnya. Entah mengapa Justin terlihat begitu khawatir. Padahal membawa motor dengan kecepatan di atas rata-rata sudah jadi hal biasa untuk Freya. Posesif.

Balapan dimulai. Freya sudah menebak Justin akan membiarkan dirinya melesat di depan. Tidak mengasyikkan, padahal Freya ingin Justin memandangnya sebagai musuh yang harus dikalahkan.

“JUSTIN! JANGAN JADI PENGECUT LO! KALO LO KALAH, GUE JADI MILIK TRAVIS!”

Justin dengan jelas mendengar teriakan Freya. Pikirannya melambung pada kejadian masa lalu yang persis seperti omongan Freya. Saat itu ia berhasil memenangkan arena, namun Freya tetap jadi milik Travis.

Lelaki itu berusaha menyejajarkan posisi dengan Freya. “Berani ya kamu sebut nama itu lagi.”

Meskipun suara Justin teredam oleh angin dan helm yang menutupi mulut, Freya dapat mendengar aura suram dalam ucapan Justin. Sial, sepertinya cara yang ia ambil salah. Freya salah sudah membangunkan macan yang tidur dalam diri Justin.

Setelah mengatak kalimat tersebut, Justin menarik pedal gasnya kencang meninggalkan Freya. Gadis itu merasa tertantang. Meskipun caranya salah, tapi akhirnya ia mendapatkan apa yang diinginkan. Justin yang menggila di jalanan.

Sekuat tenaga, Freya menyusul Justin. Tapi bagaimanapun, ia masih kalah cepat. Lelaki itu melesat begitu kencang. Freya jadi khawatir dengan keselamatan Justin.

Untungnya semua baik-baik saja. Justin mencapai garis finish terlebih dahulu. Disusul oekh Freya yang disambut sorakan dari teman-teman.

Justin melepas helm dan menatapnya tajam. Freya mendadak merinding. Ia lantas melepas helm dengan was-was sebab Justin mulai melangkah ke arahnya.

“Aku udah menang. Mau jadi milik siapa kamu?” tanya Justin dengan intonasi yang begitu mengintimidasi.

“Mas Justin,” jawab Freya takut-takut.

“Ulangi dan tambahin kata cuman.”

Freya tidak mengerti maksud ucapan Justin. Namun daripada lelaki itu tambah marah, ia akan jawab sesuai feeling. Semoga saja benar.

“Freya cuman milik mas Justin ...,” ujar Freya ragu.

“Good job,” sahut Justin dengan mengangguk pelan. “Ingat kalimat itu baik-baik. Jangan bercandain hal ini. Aku nggak suka. Apalagi kamu bawa nama dia. Kamu cuman milik Justin, Justin Mahendra. Inget itu, Freya Grizelle.”

“Maaf, mas ...,” lirih Freya terdengar begitu menyesal.

“It's okay.” Justin mendadak mendekat dan memberikan kecupan singkat di bibir Freya. “Minum dulu abis itu pulang,” ujar Justin setelahnya sambil melenggang dengan wajah yang memanas.

Yang dicium hanya mematung. Demi Tuhan, itu adalah ciuman pertamanya dengan Justin. Biasanya hanya di dahi atau pipi. Namun kali ini ... Bibir? Bisa-bisanya lelaki itu mencuri first kiss-nya di tempat seperti ini, di depan semua orang, dan dalam suasana menegangkan seperti tadi?! APA MAKSUD LELAKI ITU?!

“MAS JUSTINNN!!!!!”