Justin membuang ponselnya ke samping. Ia hempaskan tubuh lelahnya ke sandaran sofa. Bibir tipis berwarna merah alami itu menggurat senyum dengan mata yang terpejam. Justin melepas kekehan dengan tangan di dahinya.
“Balapan katanya,” gumam lelaki itu mengingat pesan yang baru saja dikirimkan sang kekasih padanya. Ia lantas memijat pelipisnya sembari menggali ingatan di mana ia meletakkan motor hitam yang selama ini ia sembunyikan.
Motor hitam itu dijual? Tidak mungkin. Justin tidak akan melepas sesuatu yang berharga dalam hidupnya begitu saja. Sekalipun telah melukiskan banyak luka, Freya misalnya.
Justin bangun dari sofa lalu melangkah sambil menggulung lengan kemeja. Laci di seluruh penjuru apartemen dibuka. Benda kecil bernama kunci motor itu entah di mana ia menaruhnya.
Ngomong-ngomong soal apartemen, mungkin selama ini kalian bertanya-tanya, Justin sekarang tinggal di apartemen ya? Kok balik ke Bogor lagi? Katanya mau menetap di luar negeri. Kenapa sekarang ambil pekerjaan di kota yang menoreh banyak duka untuknya?
Klasik sebenarnya. Alasannya tidak lain karena Freya. Justin masih bertahan di Bogor sebab ia masih memikirkan bagaimana untuk membawa Freya keluar dari kota ini. Dan karena rumahnya dulu sudah terjual, mau tidak mau Justin harus membeli sebuah unit apartemen untuk tinggal di Bogor, sekaligus memegang cabang usaha ayahnya di kota itu.
Nikahin dong si Freya, kan nanti dia bakal ikut lo pastinya, kalimat tersebut menjadi saran terbanyak yang diterima Justin setelah menceritakan keluh kesah hubungannya dengan Freya. Padahal menikah adalah momok paling menakutkan untuk Justin. Menikah? Menjadi seorang suami? Memimpin sebuah rumah tangga? Rasanya Justin masih belum pantas untuk jabatan itu.
Banyak pertimbangan yang menahan Justin untuk segera menikahi Freya. Apalagi kekasihnya itu berstatus seorang anak tunggal yang tentu saja menjadi harapan satu-satunya di keluarga. Hanya Freya yang bisa meneruskan perusahaan ayahnya. Kalau Justin membawa gadis itu keluar dari Bogor, maka siapa yang akan menggantikan posisi Freya? Apalagi jabatan gadis itu sudah cukup tinggi di perusahaan ayahnya.
Ah, lupakan soal pernikahan yang masih cukup jauh untuk Justin dan Freya. Kunci motor yang sedari tadi dicari akhirnya ketemu. Sekarang Justin tinggal pergi menjemput sang kuda besi yang telah lama ia tinggalkan.
“Gue pikir lo lupa sama ni motor. Udah mau gue rongsokin.”
Justin terbahak mendengar ucapan Hala, sang mekanik yang biasa mengecek motor anak-anak Sweet Escape sebelum balapan. Sudah bertahun lamanya ia menitipkan motor kesayangannya itu pada Hala. Tidak pernah ia tengok, tidak pernah ia tanyakan kabarnya. Justin cukup kaget Hala masih menyimpan motor itu dengan baik di basement rumahnya.
“Yakin mau lo rongsokin? Itu motor pasarannya tinggi, Bro,” sahut Justin.
“Motor pembawa sial kayak gini siapa yang mau beli?”
“Bangsat!”
Keduanya tertawa keras. Hala mendekat pada motor Justin yang ia tutupi dengan terpal abu-abu. Debu beterbangan saat ia menyibakkan terpal tersebut. Justin mengibaskan tangan di wajahnya. “Berdebu banget cok! Nggak pernah lo bersihin apa gimana?” protes Justin.
Hala mendongak menatap langit-langit basement-nya. “Rumah gue abis renov, kayaknya gara-gara ada benturan dari atas jadi serpihan ternit pada jatuh.”
Justin mendekat ke motor. Menepuk joknya sebagai bentuk sapaan pada barang kesayangan yang bertahun ia tinggalkan. Bibirnya mengulas senyum secara alami. “Gue dulu keren juga ya punya motor ginian. Pantes banyak cewek yang naksir.”
Hala melempar pandangan jijik. “Keren apaan, balapan sama cewek aja kalah.”
“Anjing, lo kok inget banget hal-hal yang bikin gua malu seumur hidup dah!”
“Membekas banget coy! Bisa-bisanya kalah lawan cewek njir bego banget lo! Sok-sokan nantangin Noir. Lawan anak buah ceweknya udah kalah. Dah, masa muda lo dipenuhi oleh sifat songong yang berujung petaka buat diri sendiri.”
Justin mengangkat kepalan tangan tinggi-tinggi seolah akan memukul Hala. “Siapa yang bisa fokus balapan sama cewek secantik dia anjir?! Tapi abis itu gue menang lawan Noir kan,” ujar Justin mencari pembelaan.
“Iya lah! Cewek yang ngalahin lo jadi taruhannya. Kesurupan reog lo waktu itu.”
“Bacot lo lemes banget dah, La,” ucap Justin menuai tawaan keras dari Hala. Ia lantas menaiki motor hitamnya. Ada perasaan aneh merambat dalam hati Justin. Rasa bahagia yang lama terkubur. Justin seperti menemukan jiwa yang dulu ia tinggalkan.
“Ini masih bisa dipake nggak? Nyala mesinnya kan?” tanya Justin sembari merogoh saku untuk mengeluarkan kunci.
“Masih. Kadang gue pake keluar buat manasin mesinnya. Sayang kalo misal lama nggak dipake, takut mesinnya jadi rusak.”
“Nah bener. Pinter juga lo. Ini gue bawa kunci serepnya.”
“Gue balikin kunci aslinya.” Hala lantas melempar kunci di tangannya dan dengan sigap Justin menangkapnya. “Btw, ada apaan tiba-tiba ambil motor? Mau balik ke Sentul?”
Justin menggeleng. “Cewek gue pengen balapan sama gue. Ya, udah, gue turutin.”
“Oh, yang dulu ngalahin lo?”
“Nggak usah dibahas mulu bangsat!”
Hala kembali terbahak. “Awet juga lo sama dia. Kapan serumahnya?”
“Doain aja secepatnya ya,” jawab Justin dengan mengulas senyum tipis.
“Gue berasa balik ke jaman SMA njir!” seru Kevin yang baru saja datang bergabung dengan Justin, Jayden, dan Danny di tempat yang dulu mereka jadikan pelepas penat, Sentul.
Setelah mengambil motornya, Justin mengajak teman-temannya untuk berkumpul di Sentul. Untung saja, ketiga temannya itu sedang ada di Bogor. Biasanya untuk bertemu saja rasanya sangat sulit. Keempat lelaki yang dulunya remaja ingusan pembuat onar kini telah menjelma jadi lelaki dewasa penuh tanggung jawab.
“Lah, ini kan motor lo yang dulu, Tin? Lo beli baru yang mirip apa emang ini motor lo yang dulu?” tanya Kevin seraya menatap keseluruhan motor Justin.
“Motor yang dulu,” jawab Justin sambil menepuk tangki motornya.
“Lah katanya lo ju … wah, jadi lo bohongin gue selama ini?”
“Bukan lo doang, Vin. Gue sama Jayden juga baru tau,” timpal Danny.
Justin tertawa ringan. “Sayang kalo dijual. Ini motor banyak kenangannya.”
“Sebenernya pas si Justin ngomong motornya dah dijual, gue agak gak percaya. Soalnya beberapa kali gue papasan sama ni motor di jalan,” ujar Danny.
“Hala yang pake. Gue titip motornya ke dia.”
Ketiganya mengangguk paham. Justin lantas menyalakan motor. Menggeramkan mesinnya dengan keras memicu asap akibat gesekan ban dengan aspal. Dia tertawa puas. “Makin enteng aja ini motor.”
“Bawa ngebut coba.”
“Ayok sama lo, Den!”
“Gas!”
Keduanya lantas bersiap di garis start dan kembali menaklukan arena.
“Mas, gawat! Kaca helm-ku ternyata pecah ih sebel banget! Gimana dong? Nggak bisa dipakai ini!”
Justin mendengus gemas. Baru saja ia bangun dari tidurnya sudah disuguhi omelan Freya yang menggelitik. Ia lantas bangkit sambil mengucek matanya.
“Jam berapa ini, Freya? Kamu tidur kan semalem?” Alih-alih meladeni omelan gadisnya, Justin malah menanyakan hal lain.
“Jam setengah enam. Tidur kok. Kan mas liat sendiri. Mas Justin baru bangun tidur tah?”
Semalam sehabis dari Sentul, Justin melakukan panggilan video bersama Freya. Menghitung detik demi detik sebelum gadis itu bertambah usia. Tidak banyak yang mereka lakukan. Hanya mengobrol ringan dengan kekehan geli dari Justin yang gemas dengan Freya atau Freya yang sebal dengan gombalan Justin.
“Iya, ini mas baru bangun. Nanti pulang kerja mas beliin helm baru.”
“Mau ikut!”
“Iya ikut. Sana, siap-siap ke kantor. Mas juga mau mandi. Nanti siang jadi makan di luar sama temen-temen kantor?”
“Jadi, Mas! Dateng ya?”
“Kan nanti mau ada makan malem sama temen-temen SMA. Mas ikut yang itu aja. Nggak enak sama temen kantor kamu.”
“Padahal nggak apa-apa! Tapi ya udah deh. Aku juga nggak mau mas digenitin sama temen kantorku lagi!”
Justin terkekeh. “Ya udah, mas mau siap-siap dulu ya.”
“Okey! Semangat kerjanya mas! I love you.”
“Semangat juga sayang. Love you more.”
“HAHAHAHA MAS IH MASA ADA PITANYA?!” Freya terbahak melihat helm yang baru saja dibelikan Justin untuknya. Lelaki itu sengaja menambahkan aksesoris pita kecil berwarna merah muda ke helm itu. Helm hitam yang tadinya terlihat garang kini jadi lebih manis.
“Biar gemes,” sahut Justin menahan tawa. “Coba kamu pake.” Justin lantas memakaikan helm itu pada Freya. Seketika tawa yang ia tahan menyembur.
“KOK KETAWA!”
“Gemes banget cewe gue ya Tuhan,” gumam Justin sambil membenahi rambut Freya yang mencuat dari helm.
“Malu banget ih! Lepas aja lah mas!” rengek Freya.
“Ndak usah lah. Udah bagus kaya gini!” Jawaban Justin membuat Freya mencebikan bibirnya keluar. “Dipake semalem aja. Habis itu boleh dilepas lagi,” tawar Justin melihat raut kesal di wajah Freya.
“Ya udah ayo ambil motor ke rumahku,” balas Freya dengan berlari kecil masuk ke mobil Justin masih dengan helm di kepalanya. Justin hanya bisa tertawa geli melihat tingkah tunangannya itu.
“Orang gila mana yang ngerayain ulang tahun tunangannya di Sentul? Diajak balapan lagi,” sindir Kevin dengan mode julidnya.
“Dia yang minta, anjeng! Kalo nggak gue turutin nanti ngambek!”
Tidak hanya Justin dan Freya yang datang ke Sentul, mereka turut mengajak yang lain untuk menonton. Setelah acara makan malam di rumah Freya, mereka lalu berpindah ke Sentul untuk merayakan perayaan ulang tahun Freya selanjutnya, balapan.
“Palingan juga lo ngalah.”
“Dia nyuruh gue tanding fair. Kalo gue sengaja ngalah, nanti dia ngambek.”
“Ngambekan amat cewek lo!”
“Ngaca nyet! Mending mana sama Stella?”
“Mending Stella lah! Stella cewek gue.”
“Dah tau lo bakal jawab itu.”
Tiba waktu balapan dimulai. Justin dan Freya sudah bersiap di garis start. Tak henti-hentinya Justin memastikan motor Freya tidak akan membahayakan gadis itu. Mulutnya pun tak berhenti mengomeli Freya agar tidak terlalu cepat saat membawa motor.
“Cerewet banget sih! Padahal Justin harusnya cuek, dingin, nyebelin. Kita kan lagi cosplay pas jaman SMA mas!”
“Mas cuman menyuarakan hal-hal yang dulunya pengen mas omongin ke kamu pas kita lagi di arena. Dulu mas nggak punya hak, sekarang keselamatan kamu jadi tanggung jawab mas.”
Melebur sudah pertahanan hati Freya. Lelakinya itu akhir-akhir ini suka sekali mengatakan hal-hal yang manis. Sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya.
“Mau balapan apa tatap-tatapan? Kedip woy!” seru Kevin tiba-tiba sambil mengibaskan bendera kotak hitam putih di antara keduanya.
“Ngerusak suasana aja lo!” protes Justin.
Bendera tanda balapan dimulai hampir dikibarkan. Freya sudah menatap tajam jalanan di depannya. Ah, lama sekali ia tidak merasakan adrenalin seperti ini. Jantungnya jadi berdebar keras.
Beda dengan lelaki di sebelah yang tak bisa menahan untuk menoleh ke arahnya. Entah mengapa Justin terlihat begitu khawatir. Padahal membawa motor dengan kecepatan di atas rata-rata sudah jadi hal biasa untuk Freya. Posesif.
Balapan dimulai. Freya sudah menebak Justin akan membiarkan dirinya melesat di depan. Tidak mengasyikkan, padahal Freya ingin Justin memandangnya sebagai musuh yang harus dikalahkan.
“JUSTIN! JANGAN JADI PENGECUT LO! KALO LO KALAH, GUE JADI MILIK TRAVIS!”
Justin dengan jelas mendengar teriakan Freya. Pikirannya melambung pada kejadian masa lalu yang persis seperti omongan Freya. Saat itu ia berhasil memenangkan arena, namun Freya tetap jadi milik Travis.
Lelaki itu berusaha menyejajarkan posisi dengan Freya. “Berani ya kamu sebut nama itu lagi.”
Meskipun suara Justin teredam oleh angin dan helm yang menutupi mulut, Freya dapat mendengar aura suram dalam ucapan Justin. Sial, sepertinya cara yang ia ambil salah. Freya salah sudah membangunkan macan yang tidur dalam diri Justin.
Setelah mengatakan kalimat tersebut, Justin menarik pedal gasnya kencang meninggalkan Freya. Gadis itu merasa tertantang. Meskipun caranya salah, tapi akhirnya ia mendapatkan apa yang diinginkan. Justin yang menggila di jalanan.
Sekuat tenaga, Freya menyusul Justin. Tapi bagaimanapun, ia masih kalah cepat. Lelaki itu melesat begitu kencang. Freya jadi khawatir dengan keselamatan Justin.
Untungnya semua baik-baik saja. Justin mencapai garis finish terlebih dahulu. Disusul oleh Freya yang disambut sorakan dari teman-teman.
Justin melepas helm dan menatapnya tajam. Freya mendadak merinding. Ia lantas melepas helm dengan was-was sebab Justin mulai melangkah ke arahnya.
“Aku udah menang. Mau jadi milik siapa kamu?” tanya Justin dengan intonasi yang begitu mengintimidasi.
“Mas Justin,” jawab Freya takut-takut.
“Ulangi dan tambahin kata cuman.”
Freya tidak mengerti maksud ucapan Justin. Namun daripada lelaki itu tambah marah, ia akan jawab sesuai feeling. Semoga saja benar.
“Freya cuman milik mas Justin ...,” ujar Freya ragu.
“Good job,” sahut Justin dengan mengangguk pelan. “Ingat kalimat itu baik-baik. Jangan bercandain hal ini. Aku nggak suka. Apalagi kamu bawa nama dia. Kamu cuman milik Justin, Justin Mahendra. Inget itu, Freya Grizelle.”
“Maaf, mas ...,” lirih Freya terdengar begitu menyesal.
“It's okay.” Justin mendadak mendekat dan memberikan kecupan singkat di bibir Freya. “Minum dulu abis itu pulang,” ujar Justin setelahnya sambil melenggang dengan wajah yang memanas.
Yang dicium hanya mematung. Demi Tuhan, itu adalah ciuman pertamanya dengan Justin. Biasanya hanya di dahi atau pipi. Namun kali ini ... Bibir? Bisa-bisanya lelaki itu mencuri first kiss-nya di tempat seperti ini, di depan semua orang, dan dalam suasana menegangkan seperti tadi?! APA MAKSUD LELAKI ITU?!
“MAS JUSTINNN!!!!!”