
“Justin liat! Kebun tehnya luas banget sampe ke sana!” pekik Freya riang saat mereka berdua akhirnya bisa mencapai puncak.
Justin dengan napas yang tersengal berjalan menghampiri Freya. Senyum mengembang di bibirnya. “Sejuk banget ya, Fre.”
Gadis itu mengangguk setuju. “Nggak kaya di Jakarta.”
“Jakarta mah embunnya dari knalpot. Istirahat dulu, yuk. Cape banget gue.”
“Makanya nggak usah ngeledek gue. Mana ada orang naik gunung pake lari segala.”
“Siapa yang ngide naik ke gunung coba? Kan gue bilang di bawah aja.”
“Gue pengen liat sunset tauu!”
“Ya, udah ayo duduk dulu sayang~”
“Gue jorokin ke lereng ya!”
“Selama ini gue nggak ngajak lo pacaran karena ini, Fre.”
Justin dan Freya tengah duduk di pinggir lereng dengan segelas jahe hangat yang masih mengepul. Semburat oranye sudah terlukis di langit. Dinginnya malam mulai menyergap. Namun ada kehangatan di dalam tubuh Freya mendengar kalimat yang baru saja diucap oleh Justin.
“Karena ini apa maksudnya?”
“Karena kita bakal jauhan. Gue tau gimana susahnya hubungan jarak jauh dan gue nggak mau bebanin lo dengan itu.”
“Gue nggak merasa terbebani kok!”
Justin tersenyum lantas menepuk pucuk kepala Freya. “Kita LDR Jakarta-Bogor aja lo pernah nggak tidur dua hari karena gue.”
“Itu, kan, karena lo nggak ada kabar. Selama lo ngabarin gue, gue juga nggak masalah.”
Justin tersenyum kecut. Menyesap kembali minumannya membuat rasa hangat mengalir di tenggorokannya. Itu masalahnya. Justin tidak bisa memastikan apakah ia bisa terus berkabar dengan Freya. Perbedaan waktu mereka akan terlampau jauh. Membayangkannya saja sudah terasa sulit. Namun ia tidak mau membebani Freya dengan bayangan semu yang belum pasti benar terjadi.
Selain itu, Justin pun belum tahu kapan ia bisa kembali ke Indonesia. Walaupun jika kepulangannya adalah hal yang mustahil, ia akan mengusahakan sekeras mungkin untuk kembali. Jika nantinya ia memang harus menetap di sana, ia akan pulang dan turut membawa Freya bersamanya. Namun untuk menjalin hubungan, ia rasa baik ia maupun Freya belum siap untuk itu.
“Freya, lo pasti punya banyak cita-cita yang mau lo capai kan?”
Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan halus.
“Selama ini kita udah lama terkurung dalam masa lalu yang suram. Udah banyak kebahagiaan, cita-cita, dan impian yang terkubur karena kita terlalu fokus untuk mengobati duka. Udah lama kita nggak nikmatin kebahagiaan hidup, Fre. Dan gue pikir, ini saat yang tepat buat lo maupun gue untuk cari kebahagiaan kita masing-masing.”
Freya masih terdiam. Hanya debaran jantungnya yang semakin lama semakin meningkat. Gelas berisi minuman jahe yang tersisa setengah digenggam erat. Ia masih belum menemukan arah pembicaraan Justin. Kebahagiaan masing-masing? Apakah kalimat itu memiliki arti kalau mereka tidak akan bersama?
“Gue mau lo seneng-seneng sama hidup lo dulu. Capai semua impian lo yang tertunda. Kejar pendidikan lo setinggi-tingginya. Gue di sini pun harus ngejar pendidikan gue dan cari pekerjaan yang bagus biar nantinya gue bisa bahagiain lo.”
Gadis itu menoleh cepat. Pandangannya bertubrukan dengan Justin yang ternyata menatapnya sedari tadi. Pemuda itu tampak merogoh sesuatu dalam sakunya. Sebuah kotak hitam keluar dari sana yang kemudian disodorkan ke Freya.
Freya menerima kotak hitam itu lalu membukanya. Kedua mata gadis itu membulat saat menemukan isi kotak itu adalah sepasang cincin berwarna perak.

“Itu cuman cincin biasa, bukan tunangan,” ucap Justin yang menuai tatapan kesal dari Freya. “Cincin itu buat tanda kalo lo punya gue. Gue ingin lo selalu inget kalo suatu saat gue akan kembali buat ikat lo dalam hubungan yang lebih serius. Freya boleh terbang setinggi mungkin seperti sang merpati. Tapi Freya jangan sampai lupa kalo ada Justin sebagai sang pemilik yang akan selalu menanti kepulangan Freya di sini.”
Maka jatuhlah sudah air mata yang Freya tahan mati-matian. Kalimat sederhana itu begitu menusuk relung hatinya. Ia selalu meragukan kepulangan Justin. Pemuda itu pergi untuk mengobati lukanya. Ia tidak bisa menjamin saat luka tersebut pulih, Justin akan kembali lagi bersamanya. Ia hanya takut Justin memperoleh kebahagiaan lain yang lebih indah di luar sana.
Namun dibalik semua rasa takutnya, Justin selalu mengusahakan berbagai cara untuk membuatnya yakin. Justin selalu memiliki cara untuk menutup ruang kosong yang tercipta di lubuk hatinya. Berkali-kali Freya hampir membuat mereka jatuh, tapi Justin selalu punya cara untuk bangkit kembali.
Banyak cara yang sudah dilakukan Justin untuk membangun tembok kokoh tempat mereka bernanung. Tapi yang ia lakukan hanya menggerogoti tiang penyangganya hingga keropos dan hampir roboh. Mungkin sudah saatnya Freya mempercayakan segalanya pada Justin. Karena lelaki itu punya seribu cara untuk membahagiakannya.
Melihat gadisnya berurai air mata lantas membuat Justin mengusap pipi merona gadis itu dengan lembut. “Suatu saat gue akan kembali untuk mengganti cincin itu dengan yang lebih bagus, sekaligus melamar lo. Freya mau, kan, nunggu Justin sebentar lagi?”
Freya mengangguk tanpa keraguan. Air mata yang terus berjatuhan membuat ia lantas mengusapnya berkali-kali. Melihatnya, Justin jadi terkekeh.
“Sekarang lo mau yang mana? Mau yang bulan sabit atau matahari?”
“Yang ini,” jawab Freya sambil menunjuk cincin bersimbol matahari.
“Oke. Pas buat Freya yang akan bersinar seperti matahari.”
“Kalo gue pilihnya yang bulan sabit berarti gue nggak bersinar?”
“Mmm.” Justin menatap langit tampak memikirkan jawaban yang tepat. “Bersinar juga dong. Sinar dari bulan kan menerangi gelapnya langit malam.”
Jawaban Justin membuat Freya tersenyum. Justin lalu menyematkan cincin itu ke jari manis Freya. Tak mau kalah, Freya segera merebut cincin milik Justin dan menyematkannya di jari manis lelaki itu. Kini cincin bulan sabit itu bertemu dengan gelang bulan sabit dari Freya yang masih digunakan Justin sampai sekarang.
“Mulai sekarang nggak ada yang boleh milikin Freya. Karena Freya udah jadi milik Justin Mahendra.”
Pipi Freya bersemu merah. Sebuah pukulan keras mendarat di bahu Justin membuat lelaki itu merintih yang terlalu dilebih-lebihkan.
“Mataharinya udah mau terbenam, Tin! Ayo buat permintaan!” ujar Freya lantas bergegas berdiri sambil menautkan jari-jari tangannya. Justin menatap Freya yang sudah memejam dengan mulut yang menggumam. Angin sore yang menerbangkan helai rambut Freya membuat Justin tak bisa berhenti menggumamkan kata cantik untuk gadis itu. Ia lantas ikut berdiri menautkan kedua tangannya.
Ya Tuhan, bolehkah aku meminta sesuatu? Berikanlah kebahagiaan selalu pada Justin. Kembalikanlah dia sesegera mungkin. Bebaskanlah dia dari segala dosa yang pernah ia perbuat. Izinkanlah kami untuk kembali bersama. Aku hanya ingin bersama Justin. Aku memohon padamu, Tuhan. Kabulkanlah permohonanku.-Freya
Ya Tuhan, jika kau memberiku kesempatan, aku ingin membahagiakan kembali salah satu hambamu. Aku ingin menebus segala dosaku padanya. Namun jika aku tak cukup pantas untuknya, berikanlah dia kebahagiaan yang lebih besar dari luka yang pernah aku berikan. Aku ikhlas jika suatu saat nanti harapanku untuk bisa kembali bersamanya tidak terwujud. Aku hanya ingin dia bahagia, denganku maupun tanpaku. Semoga Engkau mendengar permintaanku.-Justin

“Lo ngapain ikut ke sini?”
“Ya, emang kenapa? Masalah buat lo?”
Danny dan Travis saling melempar tatapan sengit. Hari ini adalah hari keberangkatan Justin meninggalkan Indonesia. Semua teman-temannya turut datang untuk mengucapkan salam perpisahan, termasuk Travis dan Asahi yang ternyata masih bertahan di Indonesia.
Freya tak dapat melepaskan genggamannya pada telapak lebar Justin. Kepalanya ia sandarkan di bahu kokoh pemuda itu. Kurang lebih sepuluh menit lagi Justin akan terbang. Pergi jauh darinya.
Pergi untuk kembali, meskipun kalimat itu terus berulang ia ucap, tetap saja tak dapat membendung aliran di belah pipinya.
Ibu jari Justin mengusap punggung tangan Freya. Sesekali ia mengusak rambut Freya dengan kepalanya. Berharap dapat memberikan kekuatan pada gadis itu untuk melepasnya. Walaupun ia sendiri pun memerlukannya.
“Lo perginya nggak lama kan, Tin? Lo bakal cepet pulang kan?”
Entah sudah berapa kali Freya menanyakan hal yang sama. Yang dapat Justin lakukan hanya mengangguk seraya memberikan kecupan ringan pada rambut beraroma strawberry milik Freya.
Barang bawaan sudah berhasil masuk ke kabin. Tibalah waktu Justin dan keluarga untuk boarding. Freya dan yang lain mengantar Justin sampai ke depan gate. Melihat gadisnya yang tak berhenti menangis membuat Justin memeluknya kembali.
“Udah ya, kan gue bakal balik lagi. Jangan nangis terus,” bujuk Justin yang nyatanya membuat ia ikut menangis. “Percaya sama cincin yang ada di jari lo. Suatu saat gue akan datang buat ambil cincin itu. Udah ya, ikhlas.”
Justin mengurai pelukan lalu menunduk untuk menyamakan wajahnya dengan Freya. “Wajah ini yang akan gue lihat terakhir kali di Indonesia. Masa gue harus inget wajah lo yang lagi nangis? Senyum dong buat gue.”
Dua sudut bibir Freya terangkat dengan susah payah. Namun derai air mata itu tak mampu dihentikan. Apalagi melihat kedua mata Justin yang kini ikut menggenang.
“Jangan cengeng. You don’t have to wait me kalo lo nggak kuat,” ujar Justin dengan senyuman rapuh.
“I will,” jawab Freya tegas. “I will wait for you. I’ll stay in here until you find your way back to home,” lanjut Freya seraya menghapus jejak air mata di pipi Justin.
Justin mengusap pipi Freya. “I’m gonna be right back. Cause you will always be my home.” balas Justin lirih yang mengundang senyum di bibir Freya meski hatinya tergores perih. “Wait for me, ya?”
“Iya, gue akan selalu jadi rumah lo yang nunggu lo pulang setiap saat.”
Justin mengikis jarak. Ia kecup lembut kening Freya bersamaan dengan setetes air mata yang meluruh bebas di pipinya.
Melihat Justin dan Freya yang saling melepaskan tak ayal membuat yang lain turut merasakan haru. Bahkan Kevin dan Stella sudah saling berpelukan dengan derai air mata mereka masing-masing.
Justin beralih dari Freya untuk berpamitan pada teman-temannya. Ia turut menitip pesan pada mereka untuk menjaga Freya selama ia pergi. Mereka saling berpelukan dan Kevin jadi yang paling histeris saat memeluk Justin. Lelaki itu memang selalu berlebihan di setiap tingkah lakunya.
Travis dan Asahi turut memberi salam perpisahan. Justin menghampiri mereka untuk bersalaman. “Masih inget taruhan kita, bro? Gue ambil sekarang ya?” bisik Travis pada Justin.
“Kayaknya dia nggak butuh,” jawab Justin malas.
“Butuh lah! Lo liat sendiri kan dia nggak berhenti nangis? Pasti dia butuh pelukan gue!”
Ya, taruhan Justin dan Travis kala itu adalah Travis diijinkan untuk memeluk Freya di saat Justin pergi.
“Emang anjing ya lo. Ya udah boleh. Tapi nggak usah macem-macem lo sama cewek gue!”
“Tenang aja~ cuman peluk sekali doang kok,” ujar Travis dengan intonasi meledek. Justin meninju bahu Travis sebagai balasan.
Denting waktu semakin menipis. Justin benar-benar harus masuk ke pesawat sekarang. Ibu Justin memberi pelukan pada Freya untuk terakhir kalinya. Turut membisikkan kalimat agar gadis itu tenang. Ia bersyukur, meskipun Freya dan putranya memiliki masa lalu yang kelam, mereka dapat bangkit bersama untuk saling menyembuhkan.
Justin akhirnya pergi dengan perasaan melegakan yang ia usahakan. Ia berjanji akan berjuang keras melawan monster yang hidup dalam jiwanya. Ia akan mengambil kesempatan yang diberikan semesta untuk memperbaiki diri. Sebelum nantinya ia kembali untuk seseorang yang akan selalu menanti kepulangannya.
