Quinzaharu

Justin dan Freya berdiri di emperan kelas. Menatap langit mendung yang tengah menangis deras. Bahu mereka merosot bersamaan. Mereka terjebak hujan.

Bel penanda pulang sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Namun sepasang anak adam yang terikat dalam hubungan pacaran itu belum bisa kembali ke rumah karena Justin hanya membawa satu pasang jas hujan.

“Kalau hujannya sampe sore banget gimana, Tin?” eluh Freya yang tampak khawatir dengan debit hujan yang terus bertambah. Justin menatap Freya sejenak lalu beralih ke halaman sekolah yang penuh genangan air.

“Duduk di dalem kelas dulu, yuk? Di sini dingin.” Alih-alih menjawab pertanyaan Freya, Justin merangkul bahu gadis itu dan membawanya ke dalam kelas. Mereka mengambil kursi yang paling depan.

Justin menyadari Freya yang tampak gelisah sembari menatap jam yang melingkar di tangannya. Gadis itu harus berangkat les kurang lebih setengah jam lagi. Otaknya bekerja keras mencari solusi agar Freya dapat datang tepat waktu.

DUAARR!!

“ANJENG!” pekik Justin terkejut oleh suara petir yang tiba-tiba menyambar. Freya berjengit kaget. Bukan karena suara petir, tapi karena teriakan Justin tepat di telinganya.

Satu pukulan keras mendarat di punggung Justin. “Justin ih! Kuping gue sakit!”

“Kaget, Fre,” lirih Justin tampak malu dan merasa bersalah. Namun keduanya terkekeh setelahnya.

Kilatan putih kembali datang. “Anjir, Fre! Cepet tutupin kupingnya!” teriak Justin heboh seraya meringkuk ketakutan ke bahu Freya.

“Jangan ditutup! Nanti petirnya tambah gede!” balas Freya lantas menarik kedua tangan Justin dari telinganya.

“Mana ada rumus gitu—WAAAAA!!!” Ucapan Justin terpotong oleh suara petir yang begitu keras. Ia berlindung di balik bahu Freya.

Tawa Freya menggema di ruang yang hanya berisi mereka berdua. “Lo takut petir?”

“Suaranya serem,” jawab Justin diiringi helaan napas panjang. Melihat Freya terbahak, ia jadi ikut terkekeh. Padahal pikirannya sedang berkelana ke bunyi benturan keras pada kejadian setahun yang lalu.

“Kayaknya hujannya awet deh,” gumam Freya sambil memandang rintik-rintik yang masih deras. Merasa tidak mendapat jawaban, Freya melirik ke lelaki di sebelahnya yang sibuk mengatur napas sambil memegangi dadanya. “Tin? Lo nggak apa-apa?”

Yang ditanya tampak terkejut. Ia segera menghapus raut wajah tegangnya. “Oh, nggak kok,” ujarnya dengan kekehan canggung.

Dahi Freya mengernyit. Ia lantas memegang punggung tangan Justin. “Tangan lo dingin banget!” Sekarang giliran Freya yang memandang Justin khawatir. Ia lantas membuka telapak tangannya. “Hold my hand,” pintanya kemudian.

Pandangan Justin tampak melebar. Namun ia tidak menolak tawaran Freya. Telapak kekarnya lantas mencari kehangatan di telapak lembut milik Freya. Gadis itu menggenggam tangannya erat.

“Takut banget sama petir?” tanya Freya namun tak menuai jawaban dari Justin. “It's okay! Petir nggak akan nyambar lo kalo lo berlindung di tempat yang tepat. Sebentar lagi hujannya berhenti kok. Nggak akan ada petir lagi.”

Hati lelaki itu menghangat. Sehangat genggaman Freya yang begitu erat. Bahkan ibu jari gadis itu tampak mengelus punggung tangannya seakan meyakinkan Justin kalau semuanya akan baik-baik saja.

“Makasih sayang,” sahut Justin sukses membuat wajah Freya memanas. Semburat merah menyembul di kedua belah pipinya. Freya yang tadinya tak melepas pandang dari Justin kini tanpa pikir panjang langsung memalingkan wajah dari lelaki itu.

“Sama-sama,” lirih Freya yang masih tak berani menatap Justin.

“Sama-samanya buat siapa?” tanya lelaki itu sembari menarik tangan Freya agar Freya menghadapnya.

“Minggir ah! Nggak mau!” Freya lantas menarik tangannya sendiri dan menghentakkan kaki ke luar kelas. Justin tertawa kecil melihat Freya yang jelas sekali salah tingkah. Ia lalu menyambar tasnya dan melangkah ke luar kelas menyusul Freya.

“Kok nggak berhenti-henti sih?! Mana kurang dua puluh menit lagi,” gerutu Freya terlihat sangat gelisah. Ia menengok ke Justin yang mendekat. “Apa gue minta jemput aja ya, Tin?”

“Katanya sopir lo lagi pergi sama bokap. Apa mau minta dijemput sama nyokap lo?”

Freya menepuk dahi baru teringat dengan hal itu. “Mana mau mamah jemput gue. Apalagi jam segini mamah pasti masih di kantor.”

“Naik Go-car mau?” tawar Justin.

“Nggak mau, takut diculik!”

Justin tertawa renyah. “Ya udah ayo, sama gue aja.”

“Katanya cuman bawa jas hujan satu.”

“Pakai lo aja. Gue pake jaket.”

“Nanti lo sakit gimana?”

“Sakit ya tinggal minum obat.”

“Justin ih serius!” rengek Freya seraya menggenggam lengan Justin yang sedang tertawa.

“Tempat lesnya nggak jauh dari sini kan? Nggak papa kalo nggak pake jas hujan.”

“Tetep aja basah!”

“Basah ya tinggal dikeringin,” ledek Justin lagi.

“Justin!”

“Dalem sayang.”

“Nggak suka ih!” Freya merajuk namun tampak menggemaskan untuk Justin hingga lelaki itu tak bisa menahan tangannya untuk mengelus ubun-ubun Freya.

“Ya udah gue kasih pilihan. Pertama, kita nunggu di sini sampe ujan reda dengan resiko lo terlambat berangkat les. Kedua, kita jalan sekarang, tapi lo yang pake jas hujan gue. Yang ketiga, naik Go-car.”

“Gue takut naik kendaraan online gitu, serius.”

“Oke, berarti tinggal dua pilihan.”

Freya mendengus. “Jas hujannya pake lo aja please,” ujar Freya seraya melengkungkan bibirnya ke bawah.

Justin menggeleng tegas. “Nggak ada pilihan itu. Nggak usah khawatir, Fre. Gue udah biasa ujan-ujanan kok.”

Freya menilik jam tangannya. “Ya, udah, pilihan kedua. Tapi janji nanti sampe rumah langsung mandi ya!”

Justin tersenyum puas. “Iyaa. Tunggu di sini. Gue ambil motor dulu.”


Dah abis. Scene ujan-ujanannya besok lagi😘

©haruquinza

Seperti biasa, setelah latihan selesai, Yudha pamit untuk pulang lebih awal. Sebenarnya di akhir latihan selalu ada evaluasi. Namun Yudha selalu melewatkan hal tersebut dengan alasan harus menjemput adiknya ke sekolah.

Raja sebagai kapten tidak dapat mencegah. Apalagi Yudha pun sudah mendapat ijin dari coach. Namun lama kelamaan pemain lain mulai menaruh curiga pada Yudha.

“Emang ada ya SD pulang jam segini?” ujat Juna membuka sesi perjulidan. Dilihatnya Yudha yang sudah meninggalkan sekolah dengan motor scooter-nya.

“SD paling jam satuan udah balik kan? Ya, nggak tau sih. Sekarang kan kurikulumnya udah beda,” sahut Deon di sebelahnya.

“Kurikulum beda pun nggak mungkin tega biarin anak kecil balik sekolah jam lima lah,” timpal Manggala.

Barra menghentikan kegiatan minumnya saat mendengar percakapan tiga orang temannya itu. Sebenarnya ia juga menaruh curiga pada Yudha. Lelaki itu memang kelihatan sibuk sekali akhir-akhir ini. Dari raut wajahnya tergurat sebuah rasa lelah yang menumpuk. Tak jarang Yudha pun sering ketiduran di kelas.

Yudha cenderung tertutup soal kehidupan keluarganya. Lebih dari setahun berteman, Barra bahkan tidak tahu di mana letak rumah Yudha. Dia hanya pernah bertemu dengan adik Yudha yang dulu sering dibawa latihan. Dan kini, adiknya tidak pernah terlihat lagi. Yudha pun semakin tertutup soal keluarganya.

Pikiran Barra melayang pada sosok Yudha yang ia lihat kemarin di kafe. Bukan sebagai seorang pengunjung, melainkan pelayan. Apa benar selama ini Yudha kerja part time di belakang mereka? Kalau iya, mengapa Yudha harus menyembunyikan semuanya?

“Jangan-jangan Yudha latihan di tempat lain,” ujar Sultan tiba-tiba membuat semua orang di sana menoleh ke arahnya.

“Maksud lo?! Yudha mau berkhianat ke kita?” balas Juna cepat.

“Ya, gue nggak mau suudzon. Tapi kalian tau sendiri lah. Dia di sini jarang latihan tapi mainnya makin bagus aja. Selesai latihan dari sini langsung cabut nggak mau dievaluasi. Gue cuman ngerasa ada yang disembuyiin Yudha dari kita.”

Suasana mendadak riuh oleh penuturan Sultan. Mereka semua jadi berpikiran yang sama.

“Gue baru inget, kapan hari gue liat di tas Yudha ada kaos oren,” timpal Deon memperpanas suasana.

“Oren? Maksud lo seragam Galasena?” Tebakan Sultan makin menghebohkan Dewandaru.

Selain Baruna, Dewandaru punya musuh bebuyutan bernama Galasena. Klub tersebut berada di urutan terakhir di antara tiga klub itu. Mereka selalu jadi lawan Dewandaru untuk masuk final. Memang Dewandaru belum pernah kalah dari mereka. Namun kualitas permainan mereka terus meningkat tiap tahunnya.

“Pada ngomongin apa sih?” Raja yang baru saja selesai bertemu pelatih heran dengan anggotanya yang mendadak riuh.

“Ja, lo kayaknya perlu curigain Yudha. Dia kayaknya berkhianat sama Dewandaru.”

“Berkhianat? Maksud lo?” tanya Raja lantas duduk di lantai lapangan. Mereka langsung menceritakan satu persatu kecurigaan itu pada Raja.

Barra tidak tertarik dengan omongan yang belum tentu terbukti benar. Ia masih penasaran dengan laki-laki yang dilihatnya kemarin. Barra lantas mengemasi tasnya dan beranjak berdiri. “Eh, gue balik duluan ya!” pamit Barra yang diangguki oleh semuanya.

Gue mau mampir ke kafe kemarin.


“Totalnya jadi 58.900!” ucap Yudha membacakan angka yang tertera pada komputer. Si pembeli lantas memberikan selembar uang seratus ribu. Yudha menerimanya dengan ramah.

“Seratus rupiahnya boleh didonasikan?” tanya Yudha yang diangguki cepat oleh pengunjung itu.

Secarik kertas keluar dari alat pembuat nota. Yudha merobek kertas tersebut lantas menyerahkan pada pengunjung tadi dengan uang kembaliannya. “Kembalinya 41.000. Terima kasih!”

Pengunjung itu pergi. Ada seseorang yang mengantri di belakangnya. Yudha lantas menyatukan kedua telapaknya untuk menyambut. “Selamat dat—” Ucapan Yudha terputus melihat seseorang di hadapannya, Barra.


“Udah berapa lama lo kerja di sini?” tanya Barra memecah keheningan. Kebetulan sedang tidak ada pelanggan yang perlu dilayani. Barra meminta waktu itu untuk mengobrol dengan Yudha.

“Tiga bulan lebih kayaknya,” jawab Yudha sambil menunduk. Dia malu sudah ketahuan berbohong.

“Dari awal kita masuk kelas sebelas berarti?” tanya Barra lagi, kemudian diangguki Yudha. “Lama juga.”

“Iya, lama.”

“Lama bohongin gue nya,” timpal Barra lagi membuat Yudha mendongak cepat.

“Sorry.”

“Perlu lo tau, anak-anak udah mulai curiga kenapa lo sering mangkir latihan. Mereka bahkan nuduh lo berkhianat dari Dewandaru.”

Kedua manik Yudha membulat. “Berkhianat? Maksud lo?”

“Mereka pikir lo diem-diem latihan sama Galasena.”

“Galasena?! Yang bener aja! Nggak mungkin lah!” balas Yudha terdengar sewot.

“Deon katanya liat seragam yang mirip Galasena di tas lo.”

Yudha berusaha mengingat seragam yang dimaksud Deon. “Seragam oren? Itu gue beli sendiri di Mbak Sekar anjir! Kalo lo nggak percaya, besok gue pake.”

“Trus lo di sini ngapain? Lo nggak mau jelasin ke gue?”

Yudha menghela napas halus. “Gue kerja part time. Abis latihan, gue langsung ke sini sampe malem.”

“Bukan jemput adik lo?” Barra menghempaskan punggung di sandaran saat Yudha menggeleng. “Kenapa harus bohong?”

Yudha termenung sejenak. “Gue nggak mau anak-anak tau gue kerja selama ini.”

“Kenapa? Malu?”

Yang ditanya tidak menjawab. Barra menganggap itu sebagai jawaban iya. Dia lantas menggendong tasnya dan berdiri. “Gue nggak akan bilang ini ke anak-anak. Tapi gue pengen lo sendiri yang jujur. Jangan terlalu lama memendam sesuatu yang seharusnya nggak perlu lo pendam, Yud.”

Yudha ikut berdiri. “Iya, thanks ya. Dan ... Maaf.”

“Bilang aja kalo lo perlu sesuatu. Gue pulang dulu.” Ucapan Barra diangguki Yudha. Mereka berdua lantas beriringan menuju pintu keluar. Namun langkah Yudha terhenti oleh ponsel yang bergetar. Lelaki itu segera menjauh dari Barra.

“Iya bu? ... Iya nanti malem uangnya aku transfer ... Gajiannya baru keluar hari ini bu ... Iya tunggu ya bu ...”

Walaupun berjarak jauh dan Yudha berbisik, Barra masih bisa mendengar percakapan tersebut. Ia mendapat sedikit pencerahan mengapa Yudha begitu tertutup soal keluarganya. Dan itu cukup membuat pikirannya tergerak untuk mencari solusi masalah sahabatnya.

“Kevin! Nanti di halte depan berhenti bentar!”

“Hah?! Apa, La?! Nggak kedengeran!”

Stella mendecak kesal. Ia tahu hal ini akan terjadi. Kini, keduanya tengah dalam perjalanan pulang. Stella yang tengah membonceng Kevin mendapat pesan dari Bella kalau sang ibu sudah di rumah. Itu artinya ia harus segera menghapus make up yang menghiasi wajahnya serta merapikan rambutnya.

Bisingnya lalu lalang kendaraan membuat suara Stella terendam. Apalagi ia mengenakan helm full-face milik Kevin. Sedangkan Kevin sendiri menggunakan helm milik Justin. Nggak modal banget emang. Ngajak pulang bareng tapi cuman bawa helm satu. Mau nggak mau, Justin yang jadi korban.

“Halte depan berhenti!” ulang Stella lebih keras.

“Bensin?! Masih banyak kok sante!”

Stella membuka kaca helmnya. “Berhenti bentarrr!!!”

“Pasar?! Ngapain ke pasar?!”

Stella sontak menggeplak helm Kevin. Yang digeplak lantas mengaduh. Ia mengetuk kaca helm Kevin bermaksud memberitahu agar Kevin membukanya.

“Apa?!”

“Dengerin! Ber!”

“Ber!”

“Hen!”

“Hen!”

“Ti!”

“Ti! Oh berhenti?! Kenapa?!”

Stella menjawab dengan menunjuk halte yang kurang lebih berjarak 100 meter dari mereka. Kevin lalu menepikan motornya ke kiri dan berhenti tepat di depan halte.

“Kenapa berhenti, La? Gue bawa motornya bikin nggak nyaman ya?” tanya Kevin saat Stella bergegas turun dari motornya dan duduk di kursi halte.

“Gue mau hapus make up dulu,” jawab Stella yang sibuk merogoh isi tasnya untuk mengeluarkan micellar water dan kapas yang selalu dibawanya.

Alis Kevin terangkat bingung. Ia lalu duduk di sebelah Stella. “Kenapa harus dihapus?”

“Ada nyokap di rumah.” Stella menuangkan cairan pembersih itu ke kapas lalu menghadapkan wajahnya ke cermin kecil yang dibawanya. “Kalo ada orang, bilang ya,” peringatnya pada Kevin lantas mulai mengusap wajanya dengan kapas tersebut.

Kevin tengok kanan-kiri memastikan tidak ada orang yang melihat lalu kembali menatap Stella. “Nyokap lo nggak ijinin lo pake make up?”

Stella meringis sambil menggeleng. Hal itu memicu senyuman di bibir Kevin.

“Anak nakal,” lirih Kevin seraya mengambil alih cermin yang dipegang Stella agar gadis itu tidak kesulitan.

Jantung Stella berdentum keras. Bukan karena ucapan Kevin, melainkan sikap lelaki itu yang begitu perhatian membantunya memegang cermin. Mata bulatnya melirik Kevin yang tengah menggulirkan pandangan ke arahnya juga.

“Gue bantuin pegang ya biar lo nggak kesusahan,” ujar lelaki itu disertai senyuman kecil. Stella mengulum bibir untuk menyembunyikan senyumnya.

“Makasih,” ujar Stella lirih. Ia berusaha kembali fokus ke wajahnya. Walaupun harus menahan semburat di pipi sebab Kevin tak melewatkan satu pun gerakan tangannya.

“Nanti lo anterin guenya sampe gang aja ya.”

“Sampe gang? Nggak mau ah. Nanti gue diledekin.”

“Diledekin gimana?”

“Ganteng doang, anter cewe sampe depan gang,” ujar Kevin dengan logat bicaranya yang membuat Stella tergelak.

“Nggak lah, kan gue doang yang tau.”

“Kenapa nggak langsung sampe rumah aja?”

Stella berpikir sejenak. “Nanti ya, kalo nyokap lagi nggak di rumah.”

“Oh, yang ini juga nggak boleh?”

Stella tersenyum miris. “Banyak aturan ya nyokap gue?”

“Gapapa, pasti nyokap lo kaya gitu buat kebaikan lo juga.”

Mereka berdua saling melempar senyum. Sisa satu usapan lagi, wajah Stella telah bebas dari make up. “Yeay! This is the real me!”

Stella dengan bangga menunjukkan bare face nya pada Kevin membuat tawa lelaki itu menyembur.

“Beda banget, kan?” tanya Stella melihat reaksi Kevin yang tampak kaget.

“Engga kok, lebih cantik,” jawab Kevin membuat Stella merotasikan bola matanya.

“Gue pake make up tuh buat tambah cantik. Masa pas gue nggak pake make up lebih cantik sih?”

Kevin terkekeh. “Ya lo mah mau digimanain bakal cantik, La.” Kevin mendapat tatapan membara dari Stella. Ia lantas mengoreksi kalimatnya. “Kan cewek, pasti cantik. Masa ganteng?”

Stella menepuk bahu Kevin sembari membereskan barang bawaannya. “Udah yuk pulang!”

“Beneran sampe gang doang nih?”

Stella mengangguk mantap. Kevin menghela napas lalu berjalan ke motornya, diikuti Stella yang tertawa geli melihat kekecewaan yang tergurat di wajah Kevin.

Gue udah ngerasa aneh waktu coach Yoga nyuruh Dewandaru buat latihan di GOR. Nggak mungkin kalau cuman latihan biasa kita semua sampe dibawa ke tempat yang cukup jauh dari sekolah. Dan kecurigaan gue terbukti. Pak Tegar bawa tim lain buat tanding sama Dewandaru.

Anak Dewandaru riuh di belakang punggung coach dan pembina Dewandaru yang emang suka bikin kejutan yang menguji mental. Apalagi Sultan yang nggak ada habisnya ngata-ngatain dua orang lelaki dewasa itu. Gue cuma bisa pasrah. Nggak ada yang bisa disalahkan sama respon mereka. Lawan yang dibawa Pak Tegar nggak main-main.

Baruna, tim voli dari SMA Permata yang namanya udah besar dari dulu. Udah jadi rahasia umum lulusan Baruna banyak yang jadi atlet nasional. Bahkan tahun ini, salah satu alumninya berhasil tembus PON buat mewakili Jawa Tengah.

Sialnya, Baruna turut serta di Popda tahun ini. Dulu, waktu gue masih kelas sepuluh, Dewandaru juga dapet kesempatan berhadapan sama Baruna. Dan yah, kita kalah. Gue akui, buat tim yang berhasil menelurkan atlet-atlet nasional, Baruna emang nggak bisa diremehkan.

Tahun ini, gue kaptennya. Ada beban tersendiri dengan adanya jabatan yang melekat di pundak gue. Kalau tahun ini Dewandaru dikalahin lagi sama Baruna, sama artinya gue melanggar janji saat pelantikan kapten Dewandaru empat bulan yang lalu.

“Saya akan membawa Dewandaru menjadi tim yang lebih baik dari tahun sebelumnya.”

Ah, apa gue bisa merealisasikan janji itu?

Ngomong-ngomong soal pelantikan, sebenernya gue nggak minat buat jadi kapten. Mungkin banyak pemain yang mengincar jabatan ini. Bukan karena mereka punya jiwa kepemimpinan atau punya keinginan buat memajukan Dewandaru. Hm, kalian tau sendiri gimana keadaan loker gue setiap hari. Itu salah satu alasannya.

Ya, jadi populer.

Nggak munafik, gue suka sama kepopuleran yang gue dapatkan hasil dari jabatan gue sebagai kapten. Tapi kalo tim gue lagi menang. Kalo lagi kalah? 70% hujatan datengnya ke gue. Tapi untungnya gue belum pernah dihujat sih. Lah, tim gue nggak pernah kalah HAHAHAHA.

Sebenernya jadi kapten nggak buruk juga. Tapi rasanya gue pengen jadi pemain biasa aja. Ngeliat bang Leon—kapten Dewandaru tahun lalu—ngurus tim bikin gue mikir Wah, nggak bakal dah gue jadi penerusnya bang Leon. Tapi kenyataannya, bang Leon sendiri yang nunjuk gue jadi kapten.

Padahal gue sempet mikir yang bakal jadi kapten itu si Barra. Gue yakin dia lebih jago ngurus tim daripada gue. Dia selalu punya solusi yang kadang bikin gue lah iya ya, kok gue nggak kepikiran? Trus apa ya, dia tuh orangnya pekaan banget. Selalu tau siapa siapa yang lagi butuh semangat dari dia. Ya, finansial dia juga dukung sih.

Dengan segala kesempurnaan itu, si Barra malah ikutan dukung gue jadi kapten. Kadang gue mikir, INI BENERAN PADA DUKUNG GUE APA MERENDAH DOANG DAH? Atau jangan-jangan niat ngerendahin gue ...?

Tiba-tiba kerah kaos gue ditarik. Mata gue membulat pas tau pelakunya adalah Sultan.

“Lo pasti udah tau hari ini Baruna bakal dateng. Kenapa lo nggak kasih tau gue?!” ucap Sultan dengan memeras habis kerah kaos gue. Gue cuman diem karena kaget.

Barra sigap narik tangan Sultan dari kerah gue. Yang lain turut memisahkan. Gue refleks ngelirik coach Yoga sama Pak Tegar yang untungnya nggak liat kejadian tadi. Kalo iya, gue bakal dikritik abis-abisan.

Tatapan Sultan ke gue belum melunak. Gue menghela napas kasar lantas melenggang. “Ikut gue ke belakang.”


“Apa? Mau alesan apa lo? Mikir lo, Ja! Lo pikir Dewandaru bakal menang tanpa persiapan kaya gini hah?!” gertak Sultan setibanya Kami di luar GOR.

“Gue nggak pernah tau hari ini kita bakal lawan Baruna. Coach Yoga nggak ngomong apa-apa sama gue.”

“Lo yang pertama kali dapet kabar kita bakal latihan di GOR. Harusnya lo tau alesan coach ngajak latihan di sini. Dan alesannya pasti, kita bakal tanding. Tapi apa? Lawan Baruna? Gila ya lo?!”

“Gue bener-bener nggak tau, Tan! Lo boleh cek chat gue sama coach Yoga kalo lo nggak percaya,” jawab gue lantas mengeluarkan ponsel dari saku. Namun Sultan dengan segera menepisnya.

“Kalo lo nggak tau, sikap lo nggak mungkin kaya gini.”

“Kaya gini gimana maksud lo?”

“Tenang, seakan nggak ada hal besar yang terjadi. Seakan lo tau kalo semua ini bakal terjadi. Lo cuman diem di saat semua anak-anak ri—”

“KARENA GUE KAPTEN!”

Atmosfer menghening. Sultan keliatan kaget pas gue nggak sengaja ngomong nada tinggi ke dia. Jujur, gue paling nggak suka dituduh hal-hal yang nggak gue lakukan. Apalagi dalam hal negatif.

“Sorry,” ucap gue setelah beberapa saat hening. Gue sadar, sebagai kapten sebisa mungkin gue harus menahan emosi biar tim gue nggak berantakan. Apalagi saat gue harus menghadapi Sultan yang emang mengedepankan emosi buat nyelesain masalah.

“Gue kapten, Tan. Kalo gue ikut panik kaya yang lain, siapa yang nenangin lo semua? Gue nggak mungkin tega nggak ngomong ke kalian hari ini ada tanding bareng Baruna. Gue diem karna gue lagi mikir solusi. Jadi tolong lah, tahan emosi lo. Jangan memperkeruh suasana.”

Terdengar decakan dari mulut Sultan. “Trus sekarang gimana? Kita lawan Baruna? Mana bisa, Ja! Dewandaru nggak ada persiapan apa-apa!”

Gue menepuk bahu Sultan. “Lakuin kaya yang biasa lo lakukan aja, Tan. Jangan merasa terintimidasi sama mereka. Mungkin maksud pak Tegar bawa Baruna ke sini biar mental kita udah siap ngadepin mereka pas popda.”

Tangan gue ditepis Sultan. Dia balik masuk ke GOR meninggalkan gue sendirian. Sultan sebenarnya nggak seburuk itu. Kemampuan dia nggak bisa diraguin. Bahkan sejak setahun yang lalu saat kita sama-sama masih kelas sepuluh. Julukan tosser terbaik yang melekat di diri Sultan nggak ditempel gitu aja. Makanya sampai sekarang belum ada yang bisa menggantikan Sultan.

Cuman kekurangan dia itu nggak bisa mengontrol emosi dan kurang percaya diri sama kemampuannya. Bisa dibilang Sultan itu pemain yang paling sulit diatur. Gue mengakuinya. Dia emang yang paling sering menguras tenaga gue.

Kaki gue melangkah kembali masuk ke GOR. Di balik pintu, Barra berdiri sambil melipat kedua tangannya di dada. Melihat gue masuk, dia menarik punggung dari sandaran lalu menghampiri gue.

“Gimana?” tanya Barra.

“Biasa, dia nggak pede Dewandaru bakal menang. Nggak ada masalah yang serius. Tenang aja, Bar.”

“Gue cuman kaget dia berani narik baju lo pas ada pelatih. Untung nggak ketauan.”

“Kayaknya emosi dia lagi tinggi. Nggak biasanya Sultan sensi kaya gini.”

Barra mendecak. “Ya, udah balik ke lapangan yok! Coach Yoga udah nyariin lo tadi.”

“Baruna udah dateng?” tanya gue selagi melangkah.

“Tuh,” jawab Barra dengan dagunya yang menunjuk ke pintu masuk.

Pandangan gue lantas mengikuti arah tunjuknya. Terlihat beberapa pemain berseragam biru dongker tengah menaruh barang-barang mereka di pinggir lapangan. Refleks gue menegakkan tubuh. Melihat Barra yang agak bungkuk, tangan gue bergerak memukul punggungnya.

“Jangan bungkuk!”

“Brengsek! Gue lagi bales chat!”

“Oh!” Gue terkekeh. “Gue kira lo nunduk gara-gara takut.”

“Halah, takut apa? Serangan mereka nggak pernah lolos dari block-an gue.”

Senyum tipis terulas di bibir gue. “Good job!”

Di atas kursi beroda, Justin melambungkan lamunan. Ia amati satu persatu bagian tubuhnya yang penuh bekas luka. Masih berusaha mencerna apa yang sudah terjadi padanya. Justin ingat betul, kemarin dia masih sanggup mengendarai mobil. Namun sekarang? Untuk berdiri saja dia memerlukan bantuan orang lain.

Pemuda itu memerlukan waktu untuk menerima kenyataan bahwa ia baru saja bangun setelah koma selama enam bulan lebih. Justin tentu menyangkal pernyataan itu. Memorinya masih merekam jelas bagaimana ia hidup selama ini.

Memang ada beberapa hal yang Justin lupakan. Hanya saja ia yakin, Justin sudah tumbuh dewasa, dia bahkan hampir berkeluarga. Namun mengapa orang-orang mengatakan umurnya baru saja menginjak tujuh belas tahun? Lalu, di mana ia selama ini hidup?

“Jakarta, Bogor, puncak, Sunnyside, Panti Asuhan Permata Hati, gue bahkan pernah kuliah di luar negeri, gue kuliah di … di … argh, kok gue lupa? Padahal tadi pagi gue masih inget. Astaga, gue kuliah di mana ya?” gumam Justin sambil memijit pelipisnya yang nyeri akibat dipaksa mengingat hal yang mendadak lenyap dalam memori.

Angin sore menerbangkan rambutnya yang gondrong. Justin kembali mendongak. Menatap genangan air berbentuk danau di hadapan. Airnya tampak jernih mengilat silau akibat pantulan matahari yang hampir tengelam. Lamunan kembali melayang. Apakah benar selama ini ia hidup dalam dunia mimpi?

Tawa riang seorang anak kecil mendistraksi imajinasinya. Justin menoleh, memperhatikan seorang anak perempuan yang tampak riang berkejaran dengan orang yang Justin tebak adalah kakaknya. Setelah ditelisik, Justin merasa tidak asing dengan anak perempuan itu.

“Wony?” gumamnya tanpa melepas pandang dari anak yang ia sebut sebagai Wony itu. Justin kembali memejam karena nyeri. Namun matanya kembali terbuka cepat saat seseorang menepuk kedua pahanya.

Kedua manik Justin membulat sempurna. Gadis kecil bernama Wony itu tengah berdiri di tengah kedua kakinya dengan senyum polos dan manis. “Ini cakit?” tanya anak itu sambil menunjuk kaki Justin yang diperban. Telunjuknya tak lupa menekan-nekan paha Justin.

Justin mengulas senyum. “Iya, sakit. Nama kamu siapa?” tanya Justin seraya menepuk pucuk kepala anak itu.

“Ony,” jawab anak itu dengan pelafalan khas anak kecil.

Jantung Justin mengentak keras. Ingatannya tidak salah. Potongan-potongan peristiwa tentang gadis kecil yang menyebut dirinya Ony itu lantas berputar dalam pikiran Justin. Apa yang bercokol dalam memorinya memang pernah terjadi. Justin benar-benar hidup selama enam bulan ke belakang.

“Wony, ngapain kamu di sana? Sini, jangan gangguin kakaknya!” teriak sang kakak dari kejauhan. Gadis kecil itu lantas berlari menghampiri. Namun Justin dibuat membeku oleh kalimat yang diucap Wony sebelum pergi.

“Jangan cakit, kak Tin! Ony mau main pelosotan lagi sama ka Tin!”


Hari semakin gelap. Justin beranjak meninggalkan taman untuk kembali ke ruang perawatannya. Dua tangan yang lemas itu sekuat tenaga mendorong beban tubuh. Namun sepertinya ada sesuatu yang menghambat laju rodanya. Justin mendecak tak bisa meraih batu yang menghalangi jalannya.

“Boleh saya bantu, Mas?”

Justin melihat sepasang kaki bersandal jepit berdiri di hadapan. Pandangannya naik hingga menemukan wajah pemilik kaki itu. Justin melotot. Bahkan bulu kuduknya berdiri serentak. Jantungnya memompa aliran darah panas langsung ke otaknya.

Seorang gadis dengan selang infus yang menempel di tangan membuatnya terkejut. Botol berisi cairan infus terlihat diangkatnya tinggi-tinggi. Rambut panjangnya diikat tak terlalu kencang. Presensi sebuah gadis yang sangat tidak asing untuk Justin.

Tatapan gadis itu tak kalah terkejut. Ia sontak mundur selangkah dengan tatapan tak percaya. Niat baiknya menolong seorang pemuda yang tampak kesusahan dengan kursi rodanya malah membuatnya seperti ditarik ke masa lalu. Masa di mana orang-orang bilang ia tengah terbaring koma.

Bibirnya bergetar, berusaha mengeluarkan apa yang ingin diucap. Namun mendadak kata itu hilang. Kata yang merupakan nama si pemuda. Kini yang tertinggal di ingatan Freya hanya satu kata. “… Mas?”

Kedua manik Justin memanas. Indra pengucapnya bergerak ragu. “C-cantik?”

Keduanya lantas saling memandang tak berkedip. Menggali segala memori yang terasa sedang terhapus satu persatu. Pandangan Justin bergulir ke jari manis gadis itu. Alisnya terangkat saat sebuah bayangan cincin perak samar-sama memudar dari sana.

Freya menatap pergelangan tangan Justin. Awalnya ada sebuah gelang hitam di sana. Namun perlahan gelang itu memudar dan tergantikan oleh tanda pengenal pasien yang melingkar di tangan pemuda itu.

Mereka kembali saling memandang. Pandangan yang awalnya familier seketika berubah asing. Mereka mendadak kehilangan memori yang baru saja terlintas. Semuanya lenyap. Justin dan Freya mendadak tidak saling mengenal.


Freya membantu Justin sampai ke ruangannya yang ternyata bersebelahan dengan miliknya. Justin meminta Freya berhenti tepat di ambang pintu. Freya lantas berpamitan masuk ke ruangannya sendiri. Namun pemuda bernama Justin itu mendadak memanggil.

“Apa kita pernah ketemu sebelumnya?”

Freya lantas berbalik menghadap Justin. Pemuda itu tampak masih kebingungan, tidak beda jauh dengannya. Freya menelan ludah lantas menjawab, “Saya juga mau tanya hal yang sama.”

Keduanya kembali saling terdiam. Saling menyelami pandangan. Menggebukan perasaan yang hampir memudar. Mengais memori yang berterbangan. Dan kembali mengenali satu sama lain.

Justin mendorong kursinya mendekati Freya. Tangan kanannya terulur. “Justin,” ujarnya yang membuat Freya tersentak. Satu memori Freya telah kembali. Ya, benar, nama pemuda itu adalah Justin. “Justin Mahendra,” tambah pemuda itu membuat Freya semakin yakin ingatannya benar.

Freya meraih uluran tangan Justin. “Freya,” jawab Freya membuat aliran darah Justin mendesir panas. “Freya Grizelle.”

Justin termenung. Sebuah perasaan asing meletup di hatinya. Perasaan yang membuat Justin tak mampu menyembunyikan senyum manisnya. Senyum itu pun lantas menular pada Freya.

image

Freya menyetujui usulan Danny yang ingin Stella dan Bella menginap di kosannya malam ini. Ia tahu, teman-temannya pasti mengkhawatirkan keadaannya. Semenjak ia tahu Justin takkan membalas pesan-pesannya lagi, jam tidurnya jadi berantakan. Matanya hanya akan memejam pada dini hari dan terbuka tiga jam kemudian.

Bayangan lelaki itu begitu melekat. Jejaknya hampir menguasai seluruh dunia Freya. Apapun yang ia lakukan selalu terhubung pada sosok berkulit coklat manis itu. Entah Justin yang memang sudah menguasai dunianya atau Freya yang menjadikan Justin sebagai dunianya. Rindu ini perlahan mulai menggerogoti kewarasannya.

Sebuah karpet bulu berwarna coklat dengan motif abstrak dijadikan alas untuk duduk Freya, Stella, dan Bella yang sedang menonton sitkom, ditemani beberapa bungkus snack ringan yang mereka beli di minimarket terdekat. Sesekali mereka tergelak oleh tingkah lucu para aktor di balik layar laptop Freya.

Stella mengamati kamar Freya yang penuh oleh hadiah dari mereka. Semua kado-kado itu ditata rapi di lantai. Namun ada satu kado yang Freya letakkan di nakas, kado dari Justin. Masih utuh tak tersentuh.

Ingin hati meminta Freya untuk membuka kado berwarna biru langit itu. Jayden menitip pesan untuk tidak membiarkan Freya membuka kado itu sendirian. Mungkin Justin hanya tidak ingin Freya menangis sendirian, meratapi dirinya yang hanya diberi kesempatan sekali dalam setahun untuk berkabar dengan Justin.

“Ada minum nggak, Fre? Gue haus,” celetuk Bella yang memeluk satu bungkus keripik kentang berukuran sedang.

“Air galon tapi, nggak apa-apa? Atau mau beli minuman di minimarket?”

“Iya, air galon aja nggak apa-apa.”

Freya lantas beranjak ke galon yang terletak di samping nakas. Ekor matanya menangkap kado dengan warna yang begitu mencolok. Entah kapan ia sanggup membuka kado itu. Namun sebenarnya ia penasaran apa yang disiapkan Justin untuknya.

“Mau buka kadonya bareng kita, Fre?” celetuk Stella membuat Freya terbangun dari lamunan. Ia lantas menoleh mendapati kedua temannya tengah menatap penuh harap.

Helaan napas halus berseloroh dari mulutnya. Freya melewati kotak biru itu untuk mengambil gelas. Ia mengisinya dengan air galon sampai penuh lalu diberikan pada Bella.

Stella dan Bella tampak sedikit memajukan bibir bawahnya sebagai bentuk kekecewaan. Freya benar-benar tidak berniat membuka kadonya malam ini. Padahal mereka berdua hanya ingin memberi Freya kekuatan jika nantinya kado itu membuatnya tumbang.

Dugaan mereka salah. Nyatanya Freya kembali ke nakas dan mengambil kado tersebut. Senyum Stella dan Bella merekah seketika. Mereka lalu memberi ruang untuk Freya duduk di tengah.

“Berat nggak, Fre?” tanya Bella.

“Lumayan,” jawab Freya lantas melepas pita yang mengikat kado itu.

Ritme detak jantung Freya meningkat. Berkali-kali ia menghembuskan napas yang mendadak terasa berat. Pita itu berhasil dilepas. Kini ia hanya perlu membuka penutup kotak kado itu.

Freya menatap kedua temannya bergantian. Mengais kekuatan untuk bisa membuka kado dari Justin. Anggukan mereka berdua membuat hatinya teguh. Ia lantas membuka kotak itu.

Kening Freya mengernyit. Sebuah pakaian berwarna biru muda dengan motif bintik putih mencuri perhatiannya. Tangannya beranjak mengelus kain itu. Halus dan terasa nyaman dipakai. Ia melirik Stella dan Bella yang tampak terpukau dengan pakaian itu, sama sepertinya.

Freya mengeluarkan pakaian itu dari dalam kotak. Ah ternyata dibaliknya masih ada beberapa barang lagi. Ia lantas membuka lipatan pakaian itu. Sebuah dress yang kira-kira bisa menutup sampai batas lututnya.

“Cantik banget, Fre!” puji Stella mengulas senyum manis di bibir Freya.

“Ukurannya pas buat lo deh. Pinter Justin belinya,” timpal Bella membuat hati Freya menghangat.

Hadiah lainnya ada jam tangan kecil berwarna hitam, dua buah lip cream yang, astaga, warnanya sangat cantik dan memang Freya sukai. Dari mana lelaki itu tau semua ini?

Sebentar, ada satu barang yang disembunyikan di balik sobekan kertas pengisi kotak kado itu. Freya menyingkirkan helaian kertas itu. Sebuah kaos hitam yang tak asing. Dadanya mendadak sesak. Jangan bilang … ini kaos Justin?

Tangannya bergerak ragu mengangkat kaos itu. Ia dekatkan ke hidung untuk menghirup aromanya. Seketika bola matanya memanas. Wangi Justin, kaos ini benar milik Justin.

Tangis Freya pecah seraya memeluk kaos hitam itu. Semua kenangan bersama Justin seketika berputar di otaknya. Hangatnya pelukan Justin, irama detak jantungnya, dan wangi maskulin lelaki itu kini menyiksanya bersamaan.

Mengapa? Mengapa Justin melakukan ini? Mengapa ia harus membawa kaos ini turut serta dalam kadonya? Apa lelaki itu sengaja agar Freya semakin tersiksa akan kerinduan? Atau apakah lelaki itu berpikir caranya bisa menghapus rasa rindu?

Jika iya, maka Justin salah besar. Nyatanya ia bagai menusukkan gelati ke ulu hati Freya. Luka yang tengah disembuhkan seakan dikorek habis. Meneteskan bercak merah penuh perih yang lama ditahan Freya. Rindunya sama sekali tak terobati.

Freya tidak butuh kaos Justin. Freya tidak butuh harum tubuh lelaki itu. Freya hanya butuh presensi Justin di sampingnya. Memberinya pelukan dengan debaran jantung nyata, bukan sekadar kaos hitam yang diberi wewangian khas Justin Mahendra.

Stella dan Bella tampak cemas. Mereka tidak bisa menghentikan tangis Freya yang menyembunyikan wajahnya di balik kaos hitam itu.

“Fre, lo kenapa? Gue di sini. Semuanya bakal baik-baik aja, Fre,” bujuk Stella yang merengkuh bahu Freya. Ia melempar tatapan tanya pada Bella yang langsung dibalas gelengan.

“Ini kaosnya Justin. Kenapa dia kasih ini ke gue? Dia mikir kaos ini bisa bikin kangen gue ilang? Engga, sama sekali engga. Yang ada gue makin kangen sama dia.”

“Fre ….” Stella sontak terkejut. Dia pikir itu kaos biasa, kaos yang dihadiahkan Justin untuk Freya. Tapi nyatanya itu milik Justin. Rasa sesak seketika turut menyergap hatinya.

Gadis itu tengah merindu setengah mati pada Justin. Mungkin beberapa orang berpikir cara Justin bisa meringankan kerinduan Freya. Namun melihat Freya sekarang, cara Justin jelas salah besar. Ia hanya makin menyiksa gadisnya.

Mungkin ini alasan Justin menyuruh temannya untuk menemani Freya. Ia takut hal yang ia pikir bisa menyenangkan Freya berbalik menyerang gadis itu. Dan ketakutannya pun terwujud.

“Sini, kasih aja kaosnya ke gue. Biar Danny atau yang lain aja yang nyimpen,” ujar Bella berusaha merebut kaos hitam itu dalam genggaman Freya. Namun Freya menolak. “Kaos ini nggak baik buat lo, Fre. Gue nggak mau lo sakit gara-gara nangis terus,” tambah Bella.

Freya hanya menggeleng sembari menghapus air matanya. Ia tatap kaos hitam itu dengan lamat. Menyelami kenangan yang tertinggal dalam untaian benang yang dulu turut memberi kehangatan padanya.

Terakhir kali Freya melihat Justin memakai kaos hitam ini adalah saat lelaki itu datang ke Jakarta, tepatnya di hari ketika Justin pamit untuk pergi ke luar negeri. Ia masih mengingat pelukan terakhir yang Justin berikan sebelum pulang ke Bogor. Dan kaos ini adalah saksinya.

Freya kembali melipat kaos hitam itu. Di bagian paling bawah, ada sebuah amplop bertuliskan:

Untuk Freya, 27 Oktober 2024 JM

Ini pasti surat yang dimaksud Danny. Terdapat tiga lembar kertas dalam amplop tersebut. Freya berusaha keras untuk membuang sesak dalam jiwanya. Membangun kembali pondasi pertahanan yang sempat runtuh. She’s tryin’ to pick herself up piece by piece sebelum membaca untaian kata yang tertulis di sana.

Untuk Freya Grizelle, si cantik yang berusia dua puluh tahun

Baru satu kalimat yang ia baca. Namun bola matanya sudah kembali memerah. Freya menarik napas dalam sebelum beralih ke kalimat selanjutnya. Kata demi kata ia lalui. Kalimat demi kalimat ia resapi hingga melahirkan aliran haru dari kedua netranya. Bayangan Justin yang sedang menulis mendadak menghantui pikirannya.

Sampailah Freya di halaman terakhir. Ia menoleh ke kanan. Menatap Stella yang sedari tadi merangkulnya dan turut membaca surat dari Justin. Freya lantas menghambur dalam pelukan gadis itu dengan tangis yang kembali pecah.

“Gue nggak sanggup, La. Gue nggak sanggup kaya gini. Gue nggak bisa cuman dapet surat kaya gini setiap tahunnya. Gue nggak bisa,” rintih Freya dalam pelukan Stella. Tak ayal Stella turut merasakan perih yang membuatnya ikut menangis.

“Lo pasti bisa, Fre. Lo bisa. Lo hebat, kuat, tangguh, seperti apa yang Justin bilang ke lo. Gue yakin lo bisa melalui semua ini. Gue di sini akan selalu ada buat lo,’ jawab Stella penuh isak.

“Kenapa Justin tega ninggalin gue,” ujar Freya di sela tangisnya.

“Dia nggak ninggalin lo. Dia cuman pergi sebentar. Dia pasti balik. Percaya sama gue.”

Stella menatap kembarannya yang setia mengusap punggung Freya dari belakang. Dua obsidian gadis itu turut menggenang, walau tak menangis seperti dirinya. Mereka sama-sama mengusahakan cara untuk meyakinkan Freya kalau ada mereka di sini. Menemani Freya sampai sang tuan kembali ke puannya.

image

“Justin liat! Kebun tehnya luas banget sampe ke sana!” pekik Freya riang saat mereka berdua akhirnya bisa mencapai puncak.

Justin dengan napas yang tersengal berjalan menghampiri Freya. Senyum mengembang di bibirnya. “Sejuk banget ya, Fre.”

Gadis itu mengangguk setuju. “Nggak kaya di Jakarta.”

“Jakarta mah embunnya dari knalpot. Istirahat dulu, yuk. Cape banget gue.”

“Makanya nggak usah ngeledek gue. Mana ada orang naik gunung pake lari segala.”

“Siapa yang ngide naik ke gunung coba? Kan gue bilang di bawah aja.”

“Gue pengen liat sunset tauu!”

“Ya, udah ayo duduk dulu sayang~”

“Gue jorokin ke lereng ya!”


“Selama ini gue nggak ngajak lo pacaran karena ini, Fre.”

Justin dan Freya tengah duduk di pinggir lereng dengan segelas jahe hangat yang masih mengepul. Semburat oranye sudah terlukis di langit. Dinginnya malam mulai menyergap. Namun ada kehangatan di dalam tubuh Freya mendengar kalimat yang baru saja diucap oleh Justin.

“Karena ini apa maksudnya?”

“Karena kita bakal jauhan. Gue tau gimana susahnya hubungan jarak jauh dan gue nggak mau bebanin lo dengan itu.”

“Gue nggak merasa terbebani kok!”

Justin tersenyum lantas menepuk pucuk kepala Freya. “Kita LDR Jakarta-Bogor aja lo pernah nggak tidur dua hari karena gue.”

“Itu, kan, karena lo nggak ada kabar. Selama lo ngabarin gue, gue juga nggak masalah.”

Justin tersenyum kecut. Menyesap kembali minumannya membuat rasa hangat mengalir di tenggorokannya. Itu masalahnya. Justin tidak bisa memastikan apakah ia bisa terus berkabar dengan Freya. Perbedaan waktu mereka akan terlampau jauh. Membayangkannya saja sudah terasa sulit. Namun ia tidak mau membebani Freya dengan bayangan semu yang belum pasti benar terjadi.

Selain itu, Justin pun belum tahu kapan ia bisa kembali ke Indonesia. Walaupun jika kepulangannya adalah hal yang mustahil, ia akan mengusahakan sekeras mungkin untuk kembali. Jika nantinya ia memang harus menetap di sana, ia akan pulang dan turut membawa Freya bersamanya. Namun untuk menjalin hubungan, ia rasa baik ia maupun Freya belum siap untuk itu.

“Freya, lo pasti punya banyak cita-cita yang mau lo capai kan?”

Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan halus.

“Selama ini kita udah lama terkurung dalam masa lalu yang suram. Udah banyak kebahagiaan, cita-cita, dan impian yang terkubur karena kita terlalu fokus untuk mengobati duka. Udah lama kita nggak nikmatin kebahagiaan hidup, Fre. Dan gue pikir, ini saat yang tepat buat lo maupun gue untuk cari kebahagiaan kita masing-masing.”

Freya masih terdiam. Hanya debaran jantungnya yang semakin lama semakin meningkat. Gelas berisi minuman jahe yang tersisa setengah digenggam erat. Ia masih belum menemukan arah pembicaraan Justin. Kebahagiaan masing-masing? Apakah kalimat itu memiliki arti kalau mereka tidak akan bersama?

“Gue mau lo seneng-seneng sama hidup lo dulu. Capai semua impian lo yang tertunda. Kejar pendidikan lo setinggi-tingginya. Gue di sini pun harus ngejar pendidikan gue dan cari pekerjaan yang bagus biar nantinya gue bisa bahagiain lo.”

Gadis itu menoleh cepat. Pandangannya bertubrukan dengan Justin yang ternyata menatapnya sedari tadi. Pemuda itu tampak merogoh sesuatu dalam sakunya. Sebuah kotak hitam keluar dari sana yang kemudian disodorkan ke Freya.

Freya menerima kotak hitam itu lalu membukanya. Kedua mata gadis itu membulat saat menemukan isi kotak itu adalah sepasang cincin berwarna perak.

image

“Itu cuman cincin biasa, bukan tunangan,” ucap Justin yang menuai tatapan kesal dari Freya. “Cincin itu buat tanda kalo lo punya gue. Gue ingin lo selalu inget kalo suatu saat gue akan kembali buat ikat lo dalam hubungan yang lebih serius. Freya boleh terbang setinggi mungkin seperti sang merpati. Tapi Freya jangan sampai lupa kalo ada Justin sebagai sang pemilik yang akan selalu menanti kepulangan Freya di sini.”

Maka jatuhlah sudah air mata yang Freya tahan mati-matian. Kalimat sederhana itu begitu menusuk relung hatinya. Ia selalu meragukan kepulangan Justin. Pemuda itu pergi untuk mengobati lukanya. Ia tidak bisa menjamin saat luka tersebut pulih, Justin akan kembali lagi bersamanya. Ia hanya takut Justin memperoleh kebahagiaan lain yang lebih indah di luar sana.

Namun dibalik semua rasa takutnya, Justin selalu mengusahakan berbagai cara untuk membuatnya yakin. Justin selalu memiliki cara untuk menutup ruang kosong yang tercipta di lubuk hatinya. Berkali-kali Freya hampir membuat mereka jatuh, tapi Justin selalu punya cara untuk bangkit kembali.

Banyak cara yang sudah dilakukan Justin untuk membangun tembok kokoh tempat mereka bernanung. Tapi yang ia lakukan hanya menggerogoti tiang penyangganya hingga keropos dan hampir roboh. Mungkin sudah saatnya Freya mempercayakan segalanya pada Justin. Karena lelaki itu punya seribu cara untuk membahagiakannya.

Melihat gadisnya berurai air mata lantas membuat Justin mengusap pipi merona gadis itu dengan lembut. “Suatu saat gue akan kembali untuk mengganti cincin itu dengan yang lebih bagus, sekaligus melamar lo. Freya mau, kan, nunggu Justin sebentar lagi?”

Freya mengangguk tanpa keraguan. Air mata yang terus berjatuhan membuat ia lantas mengusapnya berkali-kali. Melihatnya, Justin jadi terkekeh.

“Sekarang lo mau yang mana? Mau yang bulan sabit atau matahari?”

“Yang ini,” jawab Freya sambil menunjuk cincin bersimbol matahari.

“Oke. Pas buat Freya yang akan bersinar seperti matahari.”

“Kalo gue pilihnya yang bulan sabit berarti gue nggak bersinar?”

“Mmm.” Justin menatap langit tampak memikirkan jawaban yang tepat. “Bersinar juga dong. Sinar dari bulan kan menerangi gelapnya langit malam.”

Jawaban Justin membuat Freya tersenyum. Justin lalu menyematkan cincin itu ke jari manis Freya. Tak mau kalah, Freya segera merebut cincin milik Justin dan menyematkannya di jari manis lelaki itu. Kini cincin bulan sabit itu bertemu dengan gelang bulan sabit dari Freya yang masih digunakan Justin sampai sekarang.

“Mulai sekarang nggak ada yang boleh milikin Freya. Karena Freya udah jadi milik Justin Mahendra.”

Pipi Freya bersemu merah. Sebuah pukulan keras mendarat di bahu Justin membuat lelaki itu merintih yang terlalu dilebih-lebihkan.

“Mataharinya udah mau terbenam, Tin! Ayo buat permintaan!” ujar Freya lantas bergegas berdiri sambil menautkan jari-jari tangannya. Justin menatap Freya yang sudah memejam dengan mulut yang menggumam. Angin sore yang menerbangkan helai rambut Freya membuat Justin tak bisa berhenti menggumamkan kata cantik untuk gadis itu. Ia lantas ikut berdiri menautkan kedua tangannya.

Ya Tuhan, bolehkah aku meminta sesuatu? Berikanlah kebahagiaan selalu pada Justin. Kembalikanlah dia sesegera mungkin. Bebaskanlah dia dari segala dosa yang pernah ia perbuat. Izinkanlah kami untuk kembali bersama. Aku hanya ingin bersama Justin. Aku memohon padamu, Tuhan. Kabulkanlah permohonanku.-Freya

Ya Tuhan, jika kau memberiku kesempatan, aku ingin membahagiakan kembali salah satu hambamu. Aku ingin menebus segala dosaku padanya. Namun jika aku tak cukup pantas untuknya, berikanlah dia kebahagiaan yang lebih besar dari luka yang pernah aku berikan. Aku ikhlas jika suatu saat nanti harapanku untuk bisa kembali bersamanya tidak terwujud. Aku hanya ingin dia bahagia, denganku maupun tanpaku. Semoga Engkau mendengar permintaanku.-Justin

image


“Lo ngapain ikut ke sini?”

“Ya, emang kenapa? Masalah buat lo?”

Danny dan Travis saling melempar tatapan sengit. Hari ini adalah hari keberangkatan Justin meninggalkan Indonesia. Semua teman-temannya turut datang untuk mengucapkan salam perpisahan, termasuk Travis dan Asahi yang ternyata masih bertahan di Indonesia.

Freya tak dapat melepaskan genggamannya pada telapak lebar Justin. Kepalanya ia sandarkan di bahu kokoh pemuda itu. Kurang lebih sepuluh menit lagi Justin akan terbang. Pergi jauh darinya.

Pergi untuk kembali, meskipun kalimat itu terus berulang ia ucap, tetap saja tak dapat membendung aliran di belah pipinya.

Ibu jari Justin mengusap punggung tangan Freya. Sesekali ia mengusak rambut Freya dengan kepalanya. Berharap dapat memberikan kekuatan pada gadis itu untuk melepasnya. Walaupun ia sendiri pun memerlukannya.

“Lo perginya nggak lama kan, Tin? Lo bakal cepet pulang kan?”

Entah sudah berapa kali Freya menanyakan hal yang sama. Yang dapat Justin lakukan hanya mengangguk seraya memberikan kecupan ringan pada rambut beraroma strawberry milik Freya.

Barang bawaan sudah berhasil masuk ke kabin. Tibalah waktu Justin dan keluarga untuk boarding. Freya dan yang lain mengantar Justin sampai ke depan gate. Melihat gadisnya yang tak berhenti menangis membuat Justin memeluknya kembali.

“Udah ya, kan gue bakal balik lagi. Jangan nangis terus,” bujuk Justin yang nyatanya membuat ia ikut menangis. “Percaya sama cincin yang ada di jari lo. Suatu saat gue akan datang buat ambil cincin itu. Udah ya, ikhlas.”

Justin mengurai pelukan lalu menunduk untuk menyamakan wajahnya dengan Freya. “Wajah ini yang akan gue lihat terakhir kali di Indonesia. Masa gue harus inget wajah lo yang lagi nangis? Senyum dong buat gue.”

Dua sudut bibir Freya terangkat dengan susah payah. Namun derai air mata itu tak mampu dihentikan. Apalagi melihat kedua mata Justin yang kini ikut menggenang.

“Jangan cengeng. You don’t have to wait me kalo lo nggak kuat,” ujar Justin dengan senyuman rapuh.

I will,” jawab Freya tegas. “I will wait for you. I’ll stay in here until you find your way back to home,” lanjut Freya seraya menghapus jejak air mata di pipi Justin.

Justin mengusap pipi Freya. “I’m gonna be right back. Cause you will always be my home.” balas Justin lirih yang mengundang senyum di bibir Freya meski hatinya tergores perih. “Wait for me, ya?

“Iya, gue akan selalu jadi rumah lo yang nunggu lo pulang setiap saat.”

Justin mengikis jarak. Ia kecup lembut kening Freya bersamaan dengan setetes air mata yang meluruh bebas di pipinya.

Melihat Justin dan Freya yang saling melepaskan tak ayal membuat yang lain turut merasakan haru. Bahkan Kevin dan Stella sudah saling berpelukan dengan derai air mata mereka masing-masing.

Justin beralih dari Freya untuk berpamitan pada teman-temannya. Ia turut menitip pesan pada mereka untuk menjaga Freya selama ia pergi. Mereka saling berpelukan dan Kevin jadi yang paling histeris saat memeluk Justin. Lelaki itu memang selalu berlebihan di setiap tingkah lakunya.

Travis dan Asahi turut memberi salam perpisahan. Justin menghampiri mereka untuk bersalaman. “Masih inget taruhan kita, bro? Gue ambil sekarang ya?” bisik Travis pada Justin.

“Kayaknya dia nggak butuh,” jawab Justin malas.

“Butuh lah! Lo liat sendiri kan dia nggak berhenti nangis? Pasti dia butuh pelukan gue!”

Ya, taruhan Justin dan Travis kala itu adalah Travis diijinkan untuk memeluk Freya di saat Justin pergi.

“Emang anjing ya lo. Ya udah boleh. Tapi nggak usah macem-macem lo sama cewek gue!”

“Tenang aja~ cuman peluk sekali doang kok,” ujar Travis dengan intonasi meledek. Justin meninju bahu Travis sebagai balasan.

Denting waktu semakin menipis. Justin benar-benar harus masuk ke pesawat sekarang. Ibu Justin memberi pelukan pada Freya untuk terakhir kalinya. Turut membisikkan kalimat agar gadis itu tenang. Ia bersyukur, meskipun Freya dan putranya memiliki masa lalu yang kelam, mereka dapat bangkit bersama untuk saling menyembuhkan.

Justin akhirnya pergi dengan perasaan melegakan yang ia usahakan. Ia berjanji akan berjuang keras melawan monster yang hidup dalam jiwanya. Ia akan mengambil kesempatan yang diberikan semesta untuk memperbaiki diri. Sebelum nantinya ia kembali untuk seseorang yang akan selalu menanti kepulangannya.

image

image

“Justin liat! Kebun tehnya luas banget sampe ke sana!” pekik Freya riang saat mereka berdua akhirnya bisa mencapai puncak.

Justin dengan napas yang tersengal berjalan menghampiri Freya. Senyum mengembang di bibirnya. “Sejuk banget ya, Fre.”

Gadis itu mengangguk setuju. “Nggak kaya di Jakarta.”

“Jakarta mah embunnya dari knalpot. Istirahat dulu, yuk. Cape banget gue.”

“Makanya nggak usah ngeledek gue. Mana ada orang naik gunung pake lari segala.”

“Siapa yang ngide naik ke gunung coba? Kan gue bilang di bawah aja.”

“Gue pengen liat sunset tauu!”

“Ya, udah ayo duduk dulu sayang~”

“Gue jorokin ke lereng ya!”


“Selama ini gue nggak ngajak lo pacaran karena ini, Fre.”

Justin dan Freya tengah duduk di pinggir lereng dengan segelas jahe hangat yang masih mengepul. Semburat oranye sudah terlukis di langit. Dinginnya malam mulai menyergap. Namun ada kehangatan di dalam tubuh Freya mendengar kalimat yang baru saja diucap oleh Justin.

“Karena ini apa maksudnya?”

“Karena kita bakal jauhan. Gue tau gimana susahnya hubungan jarak jauh dan gue nggak mau bebanin lo dengan itu.”

“Gue nggak merasa terbebani kok!”

Justin tersenyum lantas menepuk pucuk kepala Freya. “Kita LDR Jakarta-Bogor aja lo pernah nggak tidur dua hari karena gue.”

“Itu, kan, karena lo nggak ada kabar. Selama lo ngabarin gue, gue juga nggak masalah.”

Justin tersenyum kecut. Menyesap kembali minumannya membuat rasa hangat mengalir di tenggorokannya. Itu masalahnya. Justin tidak bisa memastikan apakah ia bisa terus berkabar dengan Freya. Perbedaan waktu mereka akan terlampau jauh. Membayangkannya saja sudah terasa sulit. Namun ia tidak mau membebani Freya dengan bayangan semu yang belum pasti benar terjadi.

Selain itu, Justin pun belum tahu kapan ia bisa kembali ke Indonesia. Walaupun jika kepulangannya adalah hal yang mustahil, ia akan mengusahakan sekeras mungkin untuk kembali. Jika nantinya ia memang harus menetap di sana, ia akan pulang dan turut membawa Freya bersamanya. Namun untuk menjalin hubungan, ia rasa baik ia maupun Freya belum siap untuk itu.

“Freya, lo pasti punya banyak cita-cita yang mau lo capai kan?”

Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan halus.

“Selama ini kita udah lama terkurung dalam masa lalu yang suram. Udah banyak kebahagiaan, cita-cita, dan impian yang terkubur karena kita terlalu fokus untuk mengobati duka. Udah lama kita nggak nikmatin kebahagiaan hidup, Fre. Dan gue pikir, ini saat yang tepat buat lo maupun gue untuk cari kebahagiaan kita masing-masing.”

Freya masih terdiam. Hanya debaran jantungnya yang semakin lama semakin meningkat. Gelas berisi minuman jahe yang tersisa setengah digenggam erat. Ia masih belum menemukan arah pembicaraan Justin. Kebahagiaan masing-masing? Apakah kalimat itu memiliki arti kalau mereka tidak akan bersama?

“Gue mau lo seneng-seneng sama hidup lo dulu. Capai semua impian lo yang tertunda. Kejar pendidikan lo setinggi-tingginya. Gue di sini pun harus ngejar pendidikan gue dan cari pekerjaan yang bagus biar nantinya gue bisa bahagiain lo.”

Gadis itu menoleh cepat. Pandangannya bertubrukan dengan Justin yang ternyata menatapnya sedari tadi. Pemuda itu tampak merogoh sesuatu dalam sakunya. Sebuah kotak hitam keluar dari sana yang kemudian disodorkan ke Freya.

Freya menerima kotak hitam itu lalu membukanya. Kedua mata gadis itu membulat saat menemukan isi kotak itu adalah sepasang cincin berwarna perak.

image

“Itu cuman cincin biasa, bukan tunangan,” ucap Justin yang menuai tatapan kesal dari Freya. “Cincin itu buat tanda kalo lo punya gue. Gue ingin lo selalu inget kalo suatu saat gue akan kembali buat ikat lo dalam hubungan yang lebih serius. Freya boleh terbang setinggi mungkin seperti sang merpati. Tapi Freya jangan sampai lupa kalo ada Justin sebagai sang pemilik yang akan selalu menanti kepulangan Freya di sini.”

Maka jatuhlah sudah air mata yang Freya tahan mati-matian. Kalimat sederhana itu begitu menusuk relung hatinya. Ia selalu meragukan kepulangan Justin. Pemuda itu pergi untuk mengobati lukanya. Ia tidak bisa menjamin saat luka tersebut pulih, Justin akan kembali lagi bersamanya. Ia hanya takut Justin memperoleh kebahagiaan lain yang lebih indah di luar sana.

Namun dibalik semua rasa takutnya, Justin selalu mengusahakan berbagai cara untuk membuatnya yakin. Justin selalu memiliki cara untuk menutup ruang kosong yang tercipta di lubuk hatinya. Berkali-kali Freya hampir membuat mereka jatuh, tapi Justin selalu punya cara untuk bangkit kembali.

Banyak cara yang sudah dilakukan Justin untuk membangun tembok kokoh tempat mereka bernanung. Tapi yang ia lakukan hanya menggerogoti tiang penyangganya hingga keropos dan hampir roboh. Mungkin sudah saatnya Freya mempercayakan segalanya pada Justin. Karena lelaki itu punya seribu cara untuk membahagiakannya.

Melihat gadisnya berurai air mata lantas membuat Justin mengusap pipi merona gadis itu dengan lembut. “Suatu saat gue akan kembali untuk mengganti cincin itu dengan yang lebih bagus, sekaligus melamar lo. Freya mau, kan, nunggu Justin sebentar lagi?”

Freya mengangguk tanpa keraguan. Air mata yang terus berjatuhan membuat ia lantas mengusapnya berkali-kali. Melihatnya, Justin jadi terkekeh.

“Sekarang lo mau yang mana? Mau yang bulan sabit atau matahari?”

“Yang ini,” jawab Freya sambil menunjuk cincin bersimbol matahari.

“Oke. Pas buat Freya yang akan bersinar seperti matahari.”

“Kalo gue pilihnya yang bulan sabit berarti gue nggak bersinar?”

“Mmm.” Justin menatap langit tampak memikirkan jawaban yang tepat. “Bersinar juga dong. Sinar dari bulan kan menerangi gelapnya langit malam.”

Jawaban Justin membuat Freya tersenyum. Justin lalu menyematkan cincin itu ke jari manis Freya. Tak mau kalah, Freya segera merebut cincin milik Justin dan menyematkannya di jari manis lelaki itu. Kini cincin bulan sabit itu bertemu dengan gelang bulan sabit dari Freya yang masih digunakan Justin sampai sekarang.

“Mulai sekarang nggak ada yang boleh milikin Freya. Karena Freya udah jadi milik Justin Mahendra.”

Pipi Freya bersemu merah. Sebuah pukulan keras mendarat di bahu Justin membuat lelaki itu merintih yang terlalu dilebih-lebihkan.

“Mataharinya udah mau terbenam, Tin! Ayo buat permintaan!” ujar Freya lantas bergegas berdiri sambil menautkan jari-jari tangannya. Justin menatap Freya yang sudah memejam dengan mulut yang menggumam. Angin sore yang menerbangkan helai rambut Freya membuat Justin tak bisa berhenti menggumamkan kata cantik untuk gadis itu. Ia lantas ikut berdiri menautkan kedua tangannya.

Ya Tuhan, bolehkah aku meminta sesuatu? Berikanlah kebahagiaan selalu pada Justin. Kembalikanlah dia sesegera mungkin. Bebaskanlah dia dari segala dosa yang pernah ia perbuat. Izinkanlah kami untuk kembali bersama. Aku hanya ingin bersama Justin. Aku memohon padamu, Tuhan. Kabulkanlah permohonanku.

Ya Tuhan, jika kau memberiku kesempatan, aku ingin membahagiakan kembali salah satu hambamu. Aku ingin menebus segala dosaku padanya. Namun jika aku tak cukup pantas untuknya, berikanlah dia kebahagiaan yang lebih besar dari luka yang pernah aku berikan. Aku ikhlas jika suatu saat nanti harapanku untuk bisa kembali bersamanya tidak terwujud. Aku hanya ingin dia bahagia, denganku maupun tanpaku. Semoga Engkau mendengar permintaanku.

image


“Lo ngapain ikut ke sini?”

“Ya, emang kenapa? Masalah buat lo?”

Danny dan Travis saling melempar tatapan sengit. Hari ini adalah hari keberangkatan Justin meninggalkan Indonesia. Semua teman-temannya turut datang untuk mengucapkan salam perpisahan, termasuk Travis dan Asahi yang ternyata masih bertahan di Indonesia.

Freya tak dapat melepaskan genggamannya pada telapak lebar Justin. Kepalanya ia sandarkan di bahu kokoh pemuda itu. Kurang lebih sepuluh menit lagi Justin akan terbang. Pergi jauh darinya.

Pergi untuk kembali, meskipun kalimat itu terus berulang ia ucap, tetap saja tak dapat membendung aliran di belah pipinya.

Ibu jari Justin mengusap punggung tangan Freya. Sesekali ia mengusak rambut Freya dengan kepalanya. Berharap dapat memberikan kekuatan pada gadis itu untuk melepasnya. Walaupun ia sendiri pun memerlukannya.

“Lo perginya nggak lama kan, Tin? Lo bakal cepet pulang kan?”

Entah sudah berapa kali Freya menanyakan hal yang sama. Yang dapat Justin lakukan hanya mengangguk seraya memberikan kecupan ringan pada rambut beraroma strawberry milik Freya.

Barang bawaan sudah berhasil masuk ke kabin. Tibalah waktu Justin dan keluarga untuk boarding. Freya dan yang lain mengantar Justin sampai ke depan gate. Melihat gadisnya yang tak berhenti menangis membuat Justin memeluknya kembali.

“Udah ya, kan gue bakal balik lagi. Jangan nangis terus,” bujuk Justin yang nyatanya membuat ia ikut menangis. “Percaya sama cincin yang ada di jari lo. Suatu saat gue akan datang buat ambil cincin itu. Udah ya, ikhlas.”

Justin mengurai pelukan lalu menunduk untuk menyamakan wajahnya dengan Freya. “Wajah ini yang akan gue lihat terakhir kali di Indonesia. Masa gue harus inget wajah lo yang lagi nangis? Senyum dong buat gue.”

Dua sudut bibir Freya terangkat dengan susah payah. Namun derai air mata itu tak mampu dihentikan. Apalagi melihat kedua mata Justin yang kini ikut menggenang.

“Jangan cengeng. You don’t have to wait me kalo lo nggak kuat,” ujar Justin dengan senyuman rapuh.

I will,” jawab Freya tegas. “I will wait for you. I’ll stay in here until you find your way back to home,” lanjut Freya seraya menghapus jejak air mata di pipi Justin.

Justin mengusap pipi Freya. “I’m gonna be right back. Cause you will always be my home.” balas Justin lirih yang mengundang senyum di bibir Freya meski hatinya tergores perih. “Wait for me, ya?

“Iya, gue akan selalu jadi rumah lo yang nunggu lo pulang setiap saat.”

Justin mengikis jarak. Ia kecup lembut kening Freya bersamaan dengan setetes air mata yang meluruh bebas di pipinya.

Melihat Justin dan Freya yang saling melepaskan tak ayal membuat yang lain turut merasakan haru. Bahkan Kevin dan Stella sudah saling berpelukan dengan derai air mata mereka masing-masing.

Justin beralih dari Freya untuk berpamitan pada teman-temannya. Ia turut menitip pesan pada mereka untuk menjaga Freya selama ia pergi. Mereka saling berpelukan dan Kevin jadi yang paling histeris saat memeluk Justin. Lelaki itu memang selalu berlebihan di setiap tingkah lakunya.

Travis dan Asahi turut memberi salam perpisahan. Justin menghampiri mereka untuk bersalaman. “Masih inget taruhan kita, bro? Gue ambil sekarang ya?” bisik Travis pada Justin.

“Kayaknya dia nggak butuh,” jawab Justin malas.

“Butuh lah! Lo liat sendiri kan dia nggak berhenti nangis? Pasti dia butuh pelukan gue!”

Ya, taruhan Justin dan Travis kala itu adalah Travis diijinkan untuk memeluk Freya di saat Justin pergi.

“Emang anjing ya lo. Ya udah boleh. Tapi nggak usah macem-macem lo sama cewek gue!”

“Tenang aja~ cuman peluk sekali doang kok,” ujar Travis dengan intonasi meledek. Justin meninju bahu Travis sebagai balasan.

Denting waktu semakin menipis. Justin benar-benar harus masuk ke pesawat sekarang. Ibu Justin memberi pelukan pada Freya untuk terakhir kalinya. Turut membisikkan kalimat agar gadis itu tenang. Ia bersyukur, meskipun Freya dan putranya memiliki masa lalu yang kelam, mereka dapat bangkit bersama untuk saling menyembuhkan.

Justin akhirnya pergi dengan perasaan melegakan yang ia usahakan. Ia berjanji akan berjuang keras melawan monster yang hidup dalam jiwanya. Ia akan mengambil kesempatan yang diberikan semesta untuk memperbaiki diri. Sebelum nantinya ia kembali untuk seseorang yang akan selalu menanti kepulangannya.

image

image

“JUSTIN!”

Freya terbangun dari lelapnya. Yang pertama ia lihat adalah padatnya kendaraan di jalanan. Pandangannya berpendar ke sekitar. Kenapa dia bisa di sini?

“Freya, kenapa?”

Gadis itu terlonjak keras. Kepalanya menoleh secepat kilat. Di sampingnya, seorang lelaki memakai kemeja hitam dan celana jeans menatapnya cemas. Tangan kanannya menggenggam stir, sedangkan yang lain berusaha menggapainya.

“Kenapa tiba-tiba manggil gue? Mimpi buruk, hm?”

Manik Freya menatap pemuda di hadapannya dengan lamat. Memastikan yang dilihatnya ini benar ada. Bukannya dia sudah pergi? Apa dia tengah bermimpi?

Tangan kekar Justin yang memegang tuas transmisi ia sentuh. Terlalu nyata untuk sebuah mimpi. Ia kembali menatap pemuda itu yang terlihat kebingungan. “Kenapa?”

“Ini … Justin beneran?”

Pemuda itu tergelak. “Emang ada Justin palsu?”

“Tapi lo udah pergi. Tadi gue ke rumah lo, lo nggak ada. Lo udah ninggalin gue. Lo pergi tanpa kasih tau gue. Padahal lo udah janji mau kasih tau gue kalo lo pergi. Lo pembohong,” ucap Freya disusul oleh air matanya yang mulai menetes.

Justin mulai panik ketika Freya mendadak menangis. Saat Justin menjemput gadis itu di stasiun, kondisinya memang terlihat tidak sehat. Entah apa yang dimimpikan gadis itu. Padahal Justin jelas-jelas ada di sini. Tidak pergi ke manapun.

Ia lantas menepikan mobil. Menggengam erat tangan ramping Freya dan mengangkat kepala gadis itu untuk menghadapnya. “Freya, gue di sini. Gue nggak ke mana-mana. Hei, lihat. Ini gue, Justin Mahendra.”

Mata lentik Freya mengerjap. Meneliti setiap guratan wajah tegas pemuda yang menatapnya teduh. Air matanya kembali menggenang. Freya lantas menarik Justin dalam pelukan.

“Gue tadi mimpi lo udah pergi,” ujar Freya parau dalam tangisnya.

Hati Justin terasa diremat kuat. Itu baru mimpi, bagaimana saat ia benar-benar pergi nantinya?

Punggung Freya diusap lembut. Justin membisikkan beberapa kalimat penenang sampai tangis Freya mereda. Ia mengurai pelukan lantas mengusap pipi Freya yang sudah memerah. “Itu kan cuman mimpi. Lihat kan, gue masih di sini sama lo.”

Freya mengangguk membuat Justin tersenyum ringan. Rambut Freya yang berantakan ia rapikan dengan telaten. Minuman botol yang sudah dibeli tadi diberikan pada gadis itu. “Minum dulu. Kalo udah tenang, kita jalan lagi.”

Gadis itu menurut. “Kita di mana?”

Justin kembali ke kursinya beranjak melajukan mobil. “Di Bogor,” ujarnya lantas mengendarai mobil dengan satu tangan.

image

“Sebenernya gue mau jemput lo, tapi lo bilang lo udah naik kereta. Jadi gue nunggu lo di stasiun. Lo nggak inget?”

Freya menggeleng seperti orang linglung. Hal itu tak ayal membuat Justin tergelak. “Lo nggak bales chat gue dua hari, kan? Trus gue jadinya ke Bogor dan gue ke rumah lo tapi kata tetangga lo udah pindah.”

Justin tertawa mendengar cerita Freya. “Iya, lo tadi ngomel di stasiun. Hp gue sempet ilang. Gara-gara masalah pasport, gue sama keluarga harus pindah sementara ke hotel. Soalnya rumah gue udah kejual dan mau ditempati. Karena ribet sama pindahan jadi gue lupa naro hp di mana. Tapi sekarang udah ketemu. Maaf ya,” jelas Justin sembari menunjukkan ponselnya.

Freya menghela napas lega. Walaupun sebenarnya ia kesal dengan Justin tapi ia bersyukur kalau kepergian Justin tadi hanyalah mimpi.

“Gue dua hari nggak bisa tidur gara-gara lo tau nggak?!”

Justin terkekeh. “Ya, maaf. Ya, udah sekarang lo tidur lagi. Masih agak lama nyampe ke rumah lo.”

Gadis itu menyamankan punggungnya di sandaran. Setidaknya Justin benar-benar masih di sini. Entah kapan mimpi buruknya tadi akan jadi nyata. Setidaknya dia ada di sini. Setidaknya Justin akan pergi dengan pamit. Setidaknya ia bisa jadi salah satu orang terakhir yang dilihat Justin saat kakinya beranjak dari Indonesia.

image

“Gue mau pergi, Fre.”

Tuhan melukis langit dengan cat biru terang. Beberapa kapas putih ditempel acak membentuk awan yang melindungi dua anak adam yang duduk di pinggir danau dari teriknya sang surya. Kamera yang awalnya sibuk memotret diturunkan. Dua pasang netra itu saling memandang dalam hening.

“Ke Bogor? Katanya sore, ini masih siang.”

Justin menekuk kakinya lalu dipeluk. Memandangi kubangan air bervolume besar di hadapannya dengan pikiran melayang entah ke mana. Di dalam sana, mereka sibuk merangkai kata demi kata yang akan terucap untuk gadis di sampingnya. Menimbang segala reaksi dan resiko yang akan ia dapat setelahnya.

Pemuda itu tampak menggeleng lemah. “Ke luar negeri.”

“Oh, mau liburan? Atau ada urusan lain?”

Hati pemuda itu makin tergores. Ini benar-benar akan menyakiti perasaan gadisnya. Haruskah ia pendam lagi sampai hari di mana ia pergi tiba? Bukankah lebih baik merasakan sakit sehari daripada harus berlarut jauh-jauh hari?

Namun Justin paham itu bukan cara yang terbaik. Ia ingin pamit dengan pantas. Ia ingin meninggalkan Freya dengan berbekal segudang cerita indah yang terkenang abadi dalam jiwa. Ia ingin rasa gelisahnya turut dirasakan gadisnya. Terdengar jahat mungkin, ia ingin Freya turut merasakan luka yang akan segera terjadi.

“Gue mau pindah. Gue tinggal di sana.”

Entah Freya yang memang tidak paham atau menolak paham. Gadis itu hanya menatap Justin yang tak meliriknya sama sekali. Netra pemuda itu tampak semakin merah. Menular ke maniknya yang mendadak perih.

“Kenapa?”

“Gue ingin lepas dari segala hal yang pernah terjadi di sini. Gue ingin melupakan semuanya.”

“Termasuk gue?”

Tak ada kata yang bisa terucap. Hanya helaan napas penghilang sesak yang terdengar dari mulut pemuda itu. Ia ingin sekali menoleh. Namun ia seakan dikelilingi oleh dinding tinggi yang mengurung diri. Kepalanya bahkan terasa sangat berat hanya untuk memandang wajah Freya.

Freya tak dapat mengalihkan pandangan dari Justin. Rasa sesak mulai menyeruak. Menembus paru-paru lantas merayap ke tenggorokan. Napasnya tercekat. Bahkan untuk menelan saja susah. Ia belum tahu pasti arah pembicaraan Justin. Namun ia yakin ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

“Gue nggak mungkin bisa lupain lo.”

“Lo bilang semuanya berarti gue termasuk. Pake bahasa Indonesia lo dengan baik. Jangan buat gue bingung.”

“Semuanya, kecuali Freya.”

Sang gadis membuang wajah ke arah lain. Ia mendongak untuk menghalau air mata yang hampir menetes. Tak ada kalimat yang terucap membuat Justin menoleh. Melihat Freya yang berusaha maksimal untuk menghapus air mata yang menderas membuat hatinya perih.

“Katanya lo udah sembuh. Katanya lo udah nggak mikirin itu lagi. Katanya lo udah lupain semuanya. Kenapa lo masih aja pergi dari gue?” ucap Freya dalam satu tarikan napas supaya tak terpotong oleh isakannya. “Lo bohong sama gue?”

Justin mengambil napas panjang. Rambut poninya ia sigar ke belakang. “Ada banyak hal yang nggak kita ketahui di dunia ini, termasuk bagaimana semesta itu bekerja. Ada banyak rahasia yang disimpan Tuhan pada diri masing-masing individu. Rahasia yang hanya mereka dan Tuhan saja yang tahu. Rahasia yang mungkin sampai kapanpun akan menjadi rahasia. Karena nggak semua yang ada di dunia ini perlu dibicarakan.”

Senyum getir terukir di bibir Freya. Pemuda ini belum sembuh dari lukanya. Hanya itu yang bisa ia simpulkan. Selama ini usahanya belum cukup untuk menghapus segala duka yang pernah terjadi. Harus apa lagi? Adakah cara yang benar-benar ampuh untuk menghilangkan kelamnya malam itu?

Merelakan Justin pergi? Apakah itu cara yang tepat? Lalu untuk apa perjuangannya selama ini jika pada akhirnya mereka tetap berpisah?

“Kapan lo pergi?”

“Kurang lebih sebulan lagi.”

“Lo udah janji nggak akan ninggalin gue lagi.”

“Gue akan kembali saat semuanya udah selesai.”

“Kapan?”

Hanya kicauan burung yang mampu menjawab. Keduanya kembali tenggelam pada lamunan masing-masing. Mengusap air mata yang sesekali datang. Justin pikir Freya akan menangis, seperti malam ketika ia memutuskan hubungan berjangka sebulan itu. Ia sudah siap mengatakan beribu kata penenang itu gadisnya.

Namun yang ia dapat adalah sebuah pelepasan penuh ikhlas yang nyatanya terdengar lebih sakit dari tangisan gadis itu.

“Gue akan tunggu kepulangan lo. Jangan lama-lama. Freya udah kangen.”

Maka ia bawa kepala Freya untuk bersandar di pundaknya. Lengan kirinya melingkar di punggung gadis itu sambil mengusap lembut. Siang hari itu, tak ada lagi kata yang terucap. Kedua insan itu saling bungkam. Membiarkan anak sungai tercipta di wajah mereka dalam kebisuan.


Justin mengantar Freya kembali ke kos. Mereka berdiri saling menatap, enggan untuk berpisah. “Gue masih perlu ngurus beberapa berkas buat pindah. Mungkin makan waktu yang nggak sebentar. Kita masih bisa ketemu beberapa minggu lagi. Lo juga bisa chat gue kapanpun lo mau.”

“Pasti. Gue bakal chat lo tiap menit.”

Pemuda itu mengulas senyum. “Gue juga akan bales tiap menit.”

“Kabarin gue apapun yang terjadi. Kabarin gue kapan lo akan flight. Gue mau nganter lo ke bandara.”

“Iya, lo harus jadi orang terakhir yang gue liat di Indonesia.”

Keduanya saling melempar senyum. “Mau peluk?” tawar Justin yang diangguki Freya.

Pelukan yang erat. Terasa sesak namun takkan bisa menandingi sesaknya perpisahan yang akan terjadi. Justin memejam. Memorinya merekam setiap rasa yang tercipta dalam pelukan itu. Kehangatan, kenyamanan, ketenangan, dan tentu saja, sesak. Rasa ini akan terekam abadi dalam jiwa.

Freya menghirup napas dalam-dalam. Merasakan setiap zat pembentuk aroma dari tubuh Justin yang sebentar lagi tak dapat ia hirup lagi. Merasakan kelembutan kaus yang dipakai Justin. Merasakan detak jantung pemuda itu yang selalu berdetak cepat, sama seperti miliknya. Detak yang selalu berhasil melawan gundah dalam hati. Detak yang akan ia rindukan. Detak milik Justin.

Pelukan itu berakhir. Dengan langkah berat, Justin masuk ke mobilnya. Dua pasang roda mobil itu bergulir meninggalkan pelataran tempat Freya bernaung.

Freya melambai dengan memaksakan senyum di bibirnya. Saat mobil Justin hilang di persimpangan, tubuhnya meluruh ke bumi. Menumpahkan segala sesak yang ia tahan sedari tadi. Alih-alih merasa lega, yang Freya dapat justru rasa sesak yang terus membuncah.

Dari balik stir mobilnya, Justin melepas air matanya. Ia tahu Freya menahan semuanya. Ia tahu gadis itu sekarang tengah bertarung dengan sesaknya. Justin beberapa kali memukul stir mobil untuk melampiaskan rasa sesak di dadanya.

Maaf telah membuatmu jatuh untuk kesekian kalinya. Maaf lagi-lagi harus menghadirkan getirnya sebuah perpisahan. Namun jangan khawatir. Ini adalah yang terakhir. Setelahnya, tak ada lagi luka, duka, dan perpisahan. Aku akan menepati sumpahku untuk tidak lagi meninggalkanmu. Kau bisa, kan, tunggu aku sebentar lagi?

image