Quinzaharu

image

”Freya, gue di Jakarta.”

Freya bergegas pulang ke kosnya yang berjarak tak jauh dari kampus. Ia hampir menangis merutuki tungkainya yang tak mau bergerak secepat yang ia inginkan. Ia menyumpahi kebodohannya yang lebih memilih berlari daripada memesan ojek online. Ia menyesali keegoisannya yang tak mau membuka pesan Justin hampir dua jam yang lalu.

Napasnya hampir habis. Namun itu lebih baik daripada harapan bertemu Justin yang habis. Semalam, ia sudah bercerita banyak dengan Stella. Ia terlalu egois, kata sahabatnya. Daripada berkabung dengan luka, seharusnya Freya membiarkan mereka menyelesaikan semuanya malam itu. Seharusnya ia lebih mempercayai Justin. Seharusnya ia melakukan hal yang membuat Justin bahagia.

Derap langkah Freya semakin lemah seiring jarak yang menipis. Di depan gerbang kosnya, seorang lelaki berpakaian merah dengan dalaman abu-abu bergaris tengah berdiri. Ia menjatuhkan beban tubuhnya di sebuah mobil hitam yang jadi sandaran. Ponsel dalam genggaman tak berhenti ia lirik.

Freya menutup mulutnya rapat. Bibirnya bergetar menahan tangis yang hampir pecah. Pandangannya mulai memanas. Lelaki itu tak menyadari presensinya. Masih memandangi gerbang hijau kos dengan helaan napas berat.

Perlahan, gadis itu mengikis jarak mereka. Mata cantik itu tak mengedip. Memandang lelaki yang hampir menyita seluruh ruang waktu dalam hidupnya. Rambut coklat gelap, garis rahang tegas, bahu kokoh yang berpadu dengan kaki jenjangnya, setiap detail yang menghantui pikirannya sepanjang hari.

“Justin,” lirih Freya ketika mereka berjarak dua langkah.

Yang dipanggil lantas berjengit. Ia menoleh dengan pandangan melebar. Dua jam yang membuahkan hasil, pikirnya refleks. Dua sudut bibirnya ditarik ke atas seraya menghela napas lega. Justin memgambil satu langkah lebih dekat.

“Boleh peluk?” ucap Justin yang hampir meloloskan kristal bening dari netranya.

Alih-alih menjawab, Freya lantas menubruk dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang nan luas milik Justin. Lelaki itu hampir dibuat terjungkal. Namun hanya kekehan ringan yang terdengar disertai air mata kelegaan lolos. Justin lantas merengkuh pinggang dan mengusap lembut rambut legam gadisnya sambil ia kecup ringan. Wangi.

Senang bisa menemuimu kembali, Freya.


image

“Kenapa lo mendadak ke sini?”

“Apa itu hal yang perlu ditanyakan? Lo tau jelas alasannya.”

Justin mengulum senyum melihat gadisnya menunduk lemas. Kini mereka tengah berada di sebuah kafe yang tak jauh dari kos Freya. Ia meletakkan kedua tangan di meja. Menatap Freya dengan menyangga dagunya menimbulkan semburat merah di dua belah pipi gadis itu.

“Jangan nunduk terus, Fre. Perlu waktu berjam-jam buat bisa liat wajah lo. Lo nggak mau hargain usaha gue dengan natap gue balik?”

Freya lantas menaikkan pandangan. Bertemu dengan mata serigala Justin yang teduh. Senyum lelaki itu memudar seiring dengan debaran jantung yang meningkat. Hanya butuh waktu sehari untuk terciptanya rindu yang menggebu. Justin tak bisa membayangkan bagaimana ia hidup bertahun tanpa bersua dengan Freya.

Sempat terlintas di pikirannya untuk turut membawa gadis itu pergi. Namun bukankah itu terlalu egois? Mereka jelas memiliki jalan hidup yang berbeda. Justin ingin Freya menapaki jalannya sendiri sebelum tiba waktu ketika mereka membangun jalan bersama.

Banyak impian, cita-cita, kebahagiaan yang mesti ia dan Freya capai. Mereka sama-sama perlu memperbaiki diri sebelum akhirnya bersama. Justin pun masih perlu waktu untuk membersihkan sisa-sisa masa lalu yang kadang menghampirinya.

“Masih lama natapnya?”

Lamunannya buyar. Freya terkekeh melihat Justin mengerjap-erjap sambil menggeleng cepat. Senyum itu, apakah Justin masih bisa melihat senyum itu ketika Freya tahu kalau kedatangannya hanyalah untuk pamit?

Seorang pelayan datang membawa pesanan mereka. Freya sigap menyingkirkan barang-barang di atas meja. Hanya itu yang dilakukan Freya, namun Justin sudah tersenyum bangga seperti Freya habis menyelamatkan dunia.

Selepas pelayan itu pergi, Justin kembali memergoki Freya mengintip jam tangan yang melingkar di tangan kurus gadis itu. Ia tampak gelisah namun tak mau menunjukkannya di depan Justin.

“Lo masih ada kelas hari ini?” Gadis itu mengangguk ragu. “Kurang berapa menit lagi?”

“Lima belas. Tapi nggak apa-apa kok gue bisa skip. Kebetulan gue belum pernah pake jatah absen gue.”

“Lo nggak boleh sia-siain waktu kuliah cuman buat gue, orang yang belum punya hak sepenuhnya buat lo prioritaskan. Habisin dulu makanannya. Nanti gue anter.” Raut wajah Freya tampak lesu mendengar jawaban Justin. Lagi-lagi bibir Justin mengulas senyum. “Gue di sini sampe besok kok. Gue udah nyewa penginapan.”

Benar dugaannya, wajah gadis itu tampak kembali bersinar. Freya tidak pernah salah saat menyebut Justin sebagai lelaki yang selalu tahu apapun yang ada di pikirannya.


“Gue cuman absen fingerprint kok, Tin! Tadi temen gue ngabarin dosennya nggak hadir. Lo mau tunggu di sini atau ikut gue ke kelas?”

“Gue di sini aja, ya? Nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa! Ya udah tunggu bentar ya. Nggak lama kok!” pamit Freya lantas bergegas meninggalkan Justin yang menunggunya di area parkir.

Pandangan Justin mengedar. Suasana tampak tak begitu ramai. Mungkin karena hari yang sudah menjelang sore. Ia lalu menghampiri sebuah bangku yang dipayungi oleh pepohonan rindang dan duduk di sana.

Justin memantik rokok yang terselip di jari. Menyesap asapnya sembari membalas pesan dari teman-teman yang menanyakan kabarnya.

“Permisi.” Pandangan Justin naik cepat. Terlihat dua orang perempuan dengan totebag di bahu dan buku yang dipeluk berdiri di hadapannya. Kedua perempuan itu tampak menahan semburat merah di pipi mereka. Justin mengantongi ponselnya sambil menatap bingung.

“Nama kakak Justin Mahendra bukan?” ujar perempuan satunya membuat Justin menaikkan satu alisnya.

“Iya, kenapa ya?” jawabnya masih dengan tatapan bingung.

”Anjir beneran dong!” ucap mereka tertahan agar tak terdengar Justin walaupun Justin masih bisa mendengarnya dengan jelas. Situasi macam apa ini?

“Kak, aku nge-fans banget sama kakak! Aku sering liat video kakak di Instagram!” ujar mereka tampak makin bersemangat.

“Instagram?” sahut Justin bingung. Ia rasa, ia tidak pernah mengupload video apapun di instagram-nya.

“Iya! Kakak sering nyanyi di kafe Sweet Night kan?”

Justin sontak memejam. Ah, ulah uncle Lim ternyata. Padahal dia sudah menolak ketika pemilik kafe itu hendak menyebarkan video ketika ia tengah bernyanyi.

“Boleh minta fotonya nggak kak? Boleh ya! Boleh ya!” Lelaki itu tak sempat menolak karena dua gadis itu langsung duduk di sisi kanan kirinya.

“Awas kena rokok!” ujar Justin sontak menjauhkan rokok yang terapit di jarinya dari dua gadis itu. Sikap gentle itu membuat keduanya hampir memekik. “Sebentar.” Justin lantas berdiri untuk membuang puntung rokoknya setelah menghisapnya sekali. Ia lantas kembali duduk di antara dua gadis itu dan tersenyum canggung ke kamera.

“Kyaa! Ganteng banget!” pekik mereka tampak girang. Justin yang risi akan jarak yang terlalu dekat lantas berdiri. “Makasih ya kak! Kalo aku … minta … nomer hpnya boleh nggak kak?”

Justin melotot seketika. Ngelunjak ni cewek. Ia hanya tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Sorry banget, kalo itu kayaknya nggak bisa,” jawabnya ragu.

“Yah, kenapa kak?”

“Anu soalnya ….” Justin diam-diam merutuki otaknya yang tidak bisa diajak berpikir. Dari kejauhan, ia menangkap Freya berjalan ke arahnya. Sebuah ide cemerlang muncul. “Aku udah punya pacar! Ya, aku punya pacar. Itu tuh orangnya hehehe. Bentar ya aku samperin dulu. Hai sayang, baru selesai ya kelasnya?” ujar Justin sembari melenggang menghampiri Freya.

Freya tampak bingung saat Justin merangkulnya erat. Namun ia segera menyadari situasi ketika berhadapan dengan dua gadis yang menatap mereka kecewa. “Oh, iya sayang. Maaf ya bikin kamu nunggu lama,” balas Freya seraya menepuk pipi Justin dengan mengerucutkan bibirnya. Yang ditepuk lantas mematung.

Brengsek! Si Freya ngapa lebih ngegas dari gue.

“Ya, udah sayang, yuk pulang!” ujar Justin lalu membawa Freya ke mobil setelah melambai ke dua gadis yang tampak patah hati itu.


“Hahahaa, apaan tuh tadi? Justin punya fans?” Freya terbahak saat mobil Justin meninggalkan area kampusnya.

“Gue baru sehari di Jakarta udah kaya gini, gimana kalo gue tinggal di sini ya? Bisa-bisa nyaingin Park Jeongwoo.”

“Hei, nggak usah kepedean ya!”

Justin terbahak. “Untung lo dateng tepat waktu, Fre. Oh, maksud gue, sayang?” ledek Justin yang dihadiahi tepukan keras di bahunya.

“Sekarang kita mau ke mana?” tanya Freya.

“Ada saran tempat yang enak buat ngobrol?” jeda Justin sejenak. “Banyak hal yang perlu kita obrolin.”


image

Keduanya duduk dalam hening. Ditemani semilir angin yang membuat Justin menggosok lengannya. Freya memilih sebuah kafe yang memiliki ruang outdoor di lantai atas agar mereka dapat memperoleh suasana tenang sembari menyaksikan Jakarta yang tak pernah tidur walaupun matahari sudah kabur.

Freya berdiri menghampiri pagar dan menyandarkan tubuhnya di sana. Menatap indahnya kota malam dari ketinggian. Justin lantas mengambil tempat di sebelahnya.

Malam ini tampak elok. Langitnya cerah bertabur bintang yang berkilauan. Benar kata Justin, langit Jakarta akan selalu cerah karena ada Freya di dalamnya. Ia pandang gadisnya yang memejam menikmati angin sepoi yang menerbangkan helai rambutnya.

Justin tersenyum. “Cantik,” ujarnya membuat Freya menoleh.

“Oh, thanks,” balas Freya dengan jiwa yang menghangat.

“Gue sedikit kecewa saat lo lebih percaya sama omongan Anggie ketimbang omongan gue. Lo bahkan nggak kasih kesempatan gue buat cari tahu semuanya. Lo lebih memilih pergi ketika kita udah berjanji untuk nggak meninggalkan masalah berlarut. Dan gue kecewa saat lo nggak mengabulkan keinginan gue yang ingin lo tetap bales setiap chat gue,” ujar Justin tak berjeda membuat Freya menahan napas.

“Maaf, gue akui gue salah. Harusnya gue dengerin lo. Harusnya gue nggak kebawa emosi. Harusnya gue bales setiap chat lo. Maaf bikin lo kecewa.”

Justin melepaskan napas halus. “Ada dua hal yang menjadi penyangga kokoh dalam suatu hubungan jarak jauh, komunikasi dan kepercayaan. Keduanya pun nggak ada artinya kalo nggak ada keterbukaan. Dan semuanya nggak ada artinya lagi kalo hanya dilakukan oleh satu pihak.

Gue selalu mengusahakan semuanya. Tapi kalo lo nggak kooperatif, usaha gue akan sia-sia. Apa lo mau terus memilih buat percaya omongan orang lain daripada gue?”

Freya bergegas menggeleng. “Gue mau percaya sama lo aja mulai malem ini.”

“Apapun yang lo tunggu dari gue, bisa tunggu sebentar lagi? Hubungan itu nggak segampang diucap aja. Ada tanggung jawab yang harus gue jamin. Boleh minta waktu sedikit lagi?”

Yang ditanya mengangguk ringan. Lelaki itu tersenyum lantas menyelipkan rambut Freya ke belakang telinga. “Gue nggak bohong saat gue bilang nggak suka lo nggak ada kabar. Entah sejak kapan gue kaya gini. Gue mungkin bisa gila karena lo, Fre. Jangan lakuin itu lagi.”

Freya membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan lelaki itu. Meresapi kehangatan yang diberikan Justin di tengah dinginnya angin malam. Justin memejam dengan kening yang berkerut tegang. Dia tidak bisa pamit malam ini, dia belum siap. Tidak siap dengan segala reaksi yang akan terjadi, baik dari Freya maupun dirinya sendiri.

Maka biarlah malam ini mereka melepas rindu yang mengikat walau hanya tak berjumpa sesaat. Biarkanlah mereka melepas pelik dalam peluk yang hangat. Apapun yang akan terjadi esok, biarlah terjadi esok. Peluk ini mungkin akan jadi kenangan abadi dalam memori.

Travis sampai di arena sebelum Justin datang. Padahal seharusnya cowok itu yang datang duluan. Dia jadi sedikit mengkhawatirkan mobilnya. Apa cowok itu bisa membawanya dengan selamat sampai arena? Bagaimanapun, mobil yang dipakai Justin ia beli dari gajinya selama menjadi pembalap di Jepang. Berbeda dengan mobil lain yang dibeli dengan uang ayahnya.

Sebuah mobil hitam melesat kencang ke arena. Travis menyeringai tipis. Dateng juga. Mobil itu berhenti mendadak di depan Travis yang tengah berkumpul dengan anak gengnya. Asap jalanan langsung mengepul di sana.

Pintu mobil terbuka. Seorang lelaki berkaos hitam keluar dari sana seraya menghela napas panjang. Ia menghampiri Travis sambil tertawa disertai tepukan tangan. “Gokil!” seru Justin tampak kagum dengan mobil pinjaman Travis.

Travis tertawa ringan. “Baru pernah naik mobil mahal?”

Justin menaruh kedua tangannya di pinggang. “Gila sih, mesinnya alus banget, bro!”

“Lo kalo mau cek lintasan dulu silakan. Gue udah barusan.”

Justin menerima tawaran Travis. Ia kembali masuk ke mobil dan masuk ke lintasan balap. Travis menatap cowok itu dengan melipat tangannya di dada. Seseorang datang mendekat dan berdiri di sampingnya. Oh, itu Kevin. Lelaki itu mengangkat dagu untuk menyapa.

“Itu Justin?” tanya Kevin yang sedang menatap arena. Travis mengangguk sebagai jawaban. “Gue kira dia cuman jago keluar masukin mobil dari garasi doang. Lumayan juga skill dia buat pemula.”

Travis terkekeh singkat. “Biasa aja,” ujarnya lalu meninggalkan Kevin untuk masuk ke mobilnya.

Kevin sedikit terkejut dengan respons Travis. Ah, tentunya Kevin harus selalu mengingat fakta siapa Travis yang sebenarnya. Pandangannya mengedar dan menemukan Jayden yang duduk sebuah bar terbuka sambil menatapnya. Lelaki itu langsung memalingkan wajah saat bertemu pandang dengannya. Apa gue harus nyamperin Jayden?


Dua buah mobil hitam berjejer lurus di garis start. Travis tak hentinya meraungkan mesin mobilnya untuk menjatuhkan mental Justin. Namun ia salah. Raungan mobilnya malah dibalas geraman keras dari mobil Justin. Gesekan aspal dan ban membuat lintasan dikepung asap. Suasana mendadak memanas.

Sorak sorai penonton mendominasi ketika seorang gadis dengan bendera dalam genggaman berjalan ke arena dan berdiri di antara dua mobil itu. Ia mengangkat benderanya tingi-tinggi sebelum akhirnya ia jatuhkan pertanda balapan dimulai.

Justin menekan pedal gasnya dalam. Tangan yang sedikit lembab itu menggenggam stir dengan erat. Awalnya ia bisa mengimbangi kecepatan Travis. Namun mobil lelaki itu mendadak melesat kencang meninggalkannya.

Debaran jantungnya meningkat drastis. Mobil Travis sudah melesat jauh di depannya. Kalau begini terus, bisa-bisa ia kalah.

Walaupun Justin yakin ia takkan bisa menandingi Travis, tapi setidaknya ia mampu mengimbangi kemampuan lelaki itu.

Pedal gas semakin dalam ditekan. Tiba dibelokkan, ia memutar stirnya dengan cepat. Geraman keras berseloroh dari mulutnya setelah ia berhasil lolos dari tikungan tajam itu. Mobil Travis kembali terlihat. Kakinya menekan gas semakin kuat.

Kedua mobil itu melaju sejajar. Travis tertawa sebab ia memang sengaja mengurangi kecepatan untuk menunggu Justin. Cahaya lampu jalanan yang menyinari wajah tegang Justin membuat perutnya makin tergelitik.

Travis memutar stir mobilnya hendak merapat ke mobil Justin. “Bangsat!” teriak Justin dari dalam mobilnya. Ia melepas pedal gas dan sedikit mengerem untuk menghindari gesekan. Namun nyatanya itu hanya tipuan dari Travis. Lelaki itu kembali membanting stir ke arah berlawanan dan melesat jauh.

“Goblok!” seru Travis di tengah tawaannya saat berhasil menipu Justin. Garis finish ada di depan mata. Ya, Travis pun memenangkan lintasan.


“Lo curang anjir!” protes Justin saat keluar dari mobilnya.

“Itu bukan curang, tapi strategi,” balas Travis yang masih geli dengan balapan tadi.

“Udahlah, bro. Terima aja kekalahan lo. Sopir noob kaya lo mana mungkin ngalahin pembalap profesional,” timpal Kevin lantas merangkul Justin dan mengacak rambut lelaki itu. Justin yang risi sontak mendorong Kevin menjauh.

“Jadi gimana taruhannya?” ungkit Travis.

Justin menatap Kevin sejenak. “Ikut gue bentar,” ujarnya pada Travis lalu melenggang pergi. Travis menaikkan kedua alisnya bingung namun tetap mengikuti Justin.


“Gue belum siap Freya tahu soal kepindahan gue. Ada waktunya dia tau soal ini. Tapi bukan sekarang. Jadi gue mohon sama lo, biarin gue aja yang kasih tau ke Freya.”

Mata bulat Travis menyipit. Kedua tangannya dimasukkan ke saku sambil menimbang tawaran Justin. “Apa gantinya?”

“Terserah. Lo mau minta apapun gue berusaha penuhin. Tapi jangan kasih tau Freya soal ini.”

Travis mengangguk kecil tampak memikirkan sesuatu yang bisa menggantikan taruhan. Ia menyuruh Justin untuk mendekat dan membisikkan sesuatu di telinganya.

“Mana bisa?!” sela Justin tiba-tiba.

“Gue nggak akan gunain kesempatan itu sekarang. Tapi nanti kalo emang dia butuh.”

Justin menghela napas kasar. “Iya dah. Semoga aja dia nggak butuh.”

Travis tersenyum puas lalu mengulurkan tangannya. “Deal?”

“Deal,” sahut Justin sambil menjabat tangan Travis.

“Oh, iya, lo nggak mau selesain masalah geng lo?” tanya Travis membuat Justin mengerutkan keningnya. “Kebetulan mereka ada di sini semua.” Travis lalu menunjuk kerumunan. “Itu Jayden.” Telunjuknya beralih ke pojok arena “Itu Danny.”

Justin dibuat terperangah. Bagaimana Travis bisa menemukan keberadaan teman-temannya di antara gelapnya malam dan banyaknya orang?

“Kevin juga ada di sini. Lengkap kan, Sweet Escape?” Travis menepuk bahu Justin. “Selesaikan sebelum geng lo bener-bener bubar. Karena Sun Rose nggak mungkin bisa gantiin Sweet Escape.”


Empat orang lelaki duduk terlarut dalam pikiran mereka masing-masing. Mereka berkumpul di bekas markas yang mungkin akan melepas status bekasnya kalau mereka bisa menyelesaikan masalah malam ini. Namun entahlah, beberapa menit berkumpul tidak ada yang berinisiatif memulai percakapan.

Jayden merasa terpojokkan. Ia tahu dirinya yang menjadi penyebab retaknya hubungan mereka. Justin sudah berbesar hati untuk mengajaknya bertemu. Seharusnya ia yang memulai percakapan.

Danny tampak enggan menatapnya. Lelaki itu bahkan menarik kursi menjauh darinya. Justin tampak menunduk. Sedangkan Kevin sesekali meliriknya dan tersenyum tipis.

“Gue minta maaf.” Ketiga lelaki selain Jayden mendongak bersamaan. Menatap Jayden yang kini tak mampu mengangkat kepalanya. “Gue tau gue salah, salah banget nggak kasih tau lo bertiga soal gue gabung ke Black Rose. Tapi jujur, gue bukan sengaja gabung sama mereka. Tapi gue udah terlanjur terikat perjanjian sama Noir. Makanya gue nggak bisa nolak pas dia minta gue gabung ke gengnya.”

Tak ada sahutan dari yang lain. Jayden menganggap itu sebagai pertanda mereka masih menunggu penjelasannya lagi. “Soal gue minta bantuan ke Noir, itu bener. Gue emang minta bantuan dia pas bokap gue sakit. Gue nggak minta bantuan ke lo bertiga, terutama Danny, karena pas itu lo semua lagi ribet sama masalah Justin.

Gue tau pas itu masalah Justin cukup berat. Makanya gue nggak mau nambah beban kalian dengan masalah keluarga gue. Gue nggak punya cara lain. Akhirnya gue minta bantuan Noir dengan syarat gue harus turutin permintaan dia sewaktu-waktu dia minta sesuatu.”

Alis Justin sedikit terangkat. Oh, Travis memang suka menaruh bibit perjanjian yang bisa ia tuai di kemudian hari. Seperti yang baru saja lelaki itu lakukan padanya.

“Pas tau geng kita udah nggak pernah ke arena, Noir minta gue buat gabung ke gengnya. Gue nggak bisa tolak. Dan waktu Justin balapan sama Noir, sorry, gue jadi bawa-bawa Freya. Gue nggak tau lagi mau ngelakuin apa biar Justin ke arena. Gue nggak bisa mikir jernih. Di lain sisi gue ditekan sama Noir. Sorry banget, gue tau kesalahan gue bener-bener fatal.”

Terdengar helaan napas kasar dari Danny yang membuat Jayden mendongak lalu menunduk kembali. “Tapi gue nggak pernah mata-matain Justin sama Freya buat Noir. Demi Tuhan, gue nggak bohong.”

“Iya, Den, gue tau. Noir udah cerita semuanya ke gue,” sahut Justin yang akhirnya berbicara. “Gue maafin. Sorry ya waktu itu gue nggak sempet dengerin penjelasan lo dulu.”

Jayden tampak terharu. Ia lantas mengangguk dalam. “Gue nggak masalah. Makasih udah maafin gue,” jawab Jayden yang dibalas senyuman oleh Justin.

“Gue juga minta maaf ya, Den. Waktu itu gue nggak nanya apapun sama lo,” ujar Kevin.

“Gapapa, Vin. Thanks selama ini lo masih mau chat gue,” ujar Jayden yang tampak sedikit demi sedikit mendapat energi lagi.

“Sama-sama,” sahut Kevin.

Kini semua tatapan beralih pada Danny yang masih diam. Ketiganya dapat melihat bola mata Danny yang memerah. Entah mengapa suasana berubah jadi tegang dan hening. Danny lalu menegakkan tubuhnya dan menyangga tubuhnya di lutut.

“Gue … ngerasa nggak berguna jadi temen. Nggak bisa bantu lo pas lo butuh. Sampe-sampe lo harus minta bantuan ke orang lain yang nyatanya musuh kita. Se-nggak berguna itu gue di mata lo, Den?”

“Nggak kaya gitu maksud gue. Lo lagi ribet sama masalah lo sendiri, sama masalah Justin. Gue nggak mungkin nambah pikiran lo.”

“Tapi setidaknya lo kasih tau gue. Sejauh apa sih kita sampe cerita pun lo nggak bisa?”

Jayden tertunduk. “Sorry.”

“Udah, udah, kita di sini buat nyelesain masalah bukan buat nambah masalah. Kalo mau nambah, nambah kopi aja. Justin yang bayar,” timpal Kevin yang sukses menghancurkan suasana tegang dan haru yang tercipta.

“Kok gue sih?! Lo lah!” sahut Justin sewot.

Pertengkaran dua lelaki itu cukup membuat Jayden dan Danny menahan senyumnya. Pandangan Danny lalu beralih ke Jayden. “Sorry ya Den,” ujar Danny membuat Jayden mendongak cepat. “Sorry waktu itu gue nggak bisa bantu lo. Sorry juga karena gue nggak dengerin penjelasan lo dan milih ngeluarin lo langsung dari geng.”

Jayden menggeleng dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Nggak perlu minta maaf, Dan. Makasih udah maafin gue.”

“Ngapa lo yang nangis sih, Vin? Nggak jelas!” ujar Justin menemukan Kevin yang sudah berurai air mata.

Ya, begitulah cara mereka menyelesaikan masalah. Dengan sebuah kejujuran dan keterbukaan, Sweet Escape dapat berkumpul kembali seperti sedia kala.

Travis terbangun dari tidurnya. Yang pertama lihat adalah langit-langit putih bersih dengan pencahayaan minim. Ia memijit pelipisnya saat rasa nyeri tiba-tiba mendera kepalanya. Apa yang terjadi semalam sampai ia bisa berakhir di sini? Travis berusaha mengingat.

Tubuhnya terasa berat untuk bangun. Travis menoleh menatap pantulan wajahnya di kaca yang ada di lemari sampingnya. Pucat dan berantakan. Ia mencium kaos yang dipakai, bau alkohol. Baik, sekarang dia tahu apa yang ia perbuat semalam.

Pandangannya mengedar. Travis baru sadar ini bukan kamarnya. Lalu di mana ia berada sekarang?

Pintu kamar berwarna putih itu terbuka. Travis tersentak saat seorang wanita seumuran ibunya masuk dengan menenteng sebuah nampan. “Eh, sudah bangun, Mas? Gimana? Masih pusing ndak?” ujar wanita itu sambil meletakkan nampan di nakas terdekatnya.

Travis terlihat kebingungan. Ia berusaha mengingat siapa wanita di hadapannya ini. Apa mungkin kerabatnya? Namun sepertinya Travis tidak pernah bertemu dengan wanita ini.

“Semalam Justin yang bawa kamu ke sini. Katanya kamu pingsan di jalan. Jadi dia bawa kamu pulang,” jelas wanita tersebut membuat Travis terbelalak.

“Justin?” balasnya tak percaya.

“Iya, ibu ini ibunya Justin. Kamu sekarang lagi di rumah Justin.”

Ucapan wanita yang baru mengakui dirinya sebagai ibu Justin itu membuat rahang Travis terjatuh. Mana mungkin dia bisa berakhir di rumah Justin? Mustahil.

“Udah bangun orangnya, Bu?”

Terdengar suara seorang lelaki dari balik punggung ibu Justin. Travis tentu mengenal suara itu. Dan tebakannya benar saat pemilik suara itu melongok ke dalam kamar. Travis makin terbelalak. Sedangkan Justin memutar bola matanya malas.

“Sudah. Kamu suruh teman kamu makan dulu trus minum obat ya. Ibu mau ke pasar dulu,” pamit ibu Justin beranjak keluar setelah mengusap rambut Travis yang berantakan. Perlakuan tersebut tak ayal membuat Travis refleks menyentuh jejak usapan sang ibu.

“Heh!” panggil Justin merusak lamunan Travis. “Makan! Masih punya tangan buat makan kan lo? Kuat bangun nggak? Makannya di luar jangan di kamar gue,” ujar Justin ketus lalu melenggang pergi.

Travis melongo tak percaya. “Gue tidur di kamarnya Justin?!”


”Sahi? Kok lo bisa di sini?” ujar Travis terkejut melihat Asahi tengah duduk di meja makan bersama Justin dan Kevin. Kedua tangannya menggenggam nampan berisi makan dan minum yang dibawa ibu Justin tadi.

”Iya bos, gue semalem nginep juga di sini. Nungguin lo,” jawab Asahi sambil menyuap makanannya.

Entah sudah berapa kali Travis terkejut pagi ini. Melihat anak buahnya makan bersama musuhnya? Gila, ini benar-benar gila.

“Ngomong apaan sih, Tin?” tanya Kevin yang duduk di samping Justin.

“Au dah,” balas Justin tak acuh. “Heh, duduk! Mau makan sambil berdiri lo?” ujar Justin seraya menunjuk kursi di sebelah Asahi dengan sendoknya.

Travis menghela napas kasar. Sialan sekali lelaki itu. Kalau saja ini bukan rumahnya, pasti dia sudah habis olehnya. Ia lalu melangkah ke kursi di sebelah Asahi dan duduk di sana.

Mereka berempat makan bersama. Asahi tampak akrab dengan Justin dan Kevin walaupun harus menggunakan google translate untuk berkomunikasi. Sedangkan Travis hanya menyimak mereka dengan tatapan sinis. Padahal ia hanya kesal karena tidak diajak bicara.

“Sudah baikan, Mas?” sapa ibu Justin ketika melewati meja makan. Pertanyaan itu ditujukan pada Travis yang baru saja menyelesaikan makannya.

Travis agak tergagap. “S-sudah, Bu,” jawabnya terlihat gelagapan.

“Namanya siapa sih ya, mas Tin? Kok ibu lupa,” tanya sang ibu pada anak lelakinya.

“No…”

“Travis, Bu,” sela Travis cepat sebelum Justin menyebutkan nama samarannya. Justin langsung memandangkan sinis.

“Ooh, mas Travis, ta. Ya, sudah, nanti kalau kalian sudah selesai makan, bantu ibu di kebun ya?”

Sekarang Travis bukan lagi terkejut, tapi tersedak.


“Anjing! Ini apaan kenyel-kenyel!” pekik Travis heboh lantas berlari menghindar setelah ia menggali tanah untuk mengambil ubi yang tertanam.

“Apa sih berisik banget!” balas Justin tak kalah keras. Ia sudah muak. Mungkin ini sudah lima kalinya Travis berteriak. Padahal mereka baru sepuluh menit turun ke kebun.

“Itu apaan kok kenyel banget?!” sahut Travis sambil menunjuk sesuatu di tanah dengan skop di tangannya.

“Cacing goblok!” jawab Justin penuh emosi.

“Ehh, ehh, nggak boleh ngomong saru!” peringat ibu Justin dari kejauhan. (kotor/kasar)

“Travis, Bu!”

“Apaan kok gue?!”

“Udah, udah! Daripada lo berdua gelut mending bantu Asahi noh! Kasian dia bawa karung yang lebih gede dari badannya,” timpal Kevin membuat Justin dan Travis menoleh ke Asahi bersamaan. Terlihat lelaki kecil itu yang tampak kesusahan mengangkat sebuah karung berisi rerumputan yang baru dicabut. Mereka memekik bersamaan saat Asahi terjungkal sebab beban karung itu.


“Ambil.” Travis mendongak dengan mata menyipit terkena silau matahari. Sebuah botol teh dingin terulur di wajahnya. Ia menyambar botol itu kasar menyadari orang yang menawarkan minuman adalah Justin.

Lelaki yang baru saja memberinya minum itu duduk di sebelahnya. Tak ayal hal itu membuat Travis melirik heran. Namun ia tidak protes atau mengusir Justin.

“Orang nggak bisa mabok sok sokan minum alkohol,” ujar Justin menyindir.

“Terserah gue lah!” jawab Travis ketus.

“Mabok lo nyusahin gue!”

“Gue nggak permah minta lo bantu gue! Salah siapa bawa gue ke sini?”

Justin hanya mencibir ucapan Travis.

“Ya, makasih udah bantuin gue. Sorry kalo nyusahin lo!” ujar Travis lagi. Justin hanya mendecih.

Keduanya sama-sama terdiam. Botol minuman mereka hampir habis. Keringat yang bercucuran di kening pun sudah mulai mengering. Mereka sama-sama menatap langit biru cerah tanpa awan. Tenggelam dalam pikiran masing-masing walaupun sebenarnya ingin saling berbicara.

“Soal Jayden, sebenernya gue bohong,” ucap Travis tiba-tiba membuat Justin menoleh. “Dia nggak pernah mata-matain lo atau Freya. Gue punya orang sendiri buat ngawasin lo atau Freya. Gue nggak sebodoh itu pake Jayden buat mata-matain gengnya sendiri. Sama aja gue nyari mati.”

“Trus kenapa lo ngomong gitu kemaren?”

“Buat manas-manasin lo biar geng lo bubar.”

Justin memalingkan wajahnya malas. “Emang udah bubar,” ujarnya lalu menenggak minumannya.

“Lo nggak perlu kesel sama Jayden. Dia baik anaknya.”

Justin hanya tersenyum menanggapi. “Lo nggak mau ngikutin Freya lagi? Nyuruh orang buat ngikutin dia?”

Travis terkekeh. “Buat lo aja dah, gue punya sendiri,” jawab Travis seraya tersenyum kecut mengingat Sora yang masih terbaring di rumah sakit.

“Cepet amat lo move on?”

“Mau gue rebut lagi hah?”

“Gue gampar lo.”

Keduanya terkekeh. Suasana kembali menghening.

“Gue denger dari Freya, lo punya trauma.” Justin hanya merespon dengan tawaan singkat. “Heran gue lo bisa hidup sampe sekarang.”

Justin menghela napas. “Keinginan mati sih ada, cuman nggak gue realisasikan aja. Gue kadang mikir, buat apa gue mati karena satu alasan padahal gue punya seribu alasan buat hidup?”

Travis mengernyit. Apa ini? Ia merasa ada gelenyar aneh saat Justin mengatakan kalimat itu. Ah, tidak mungkin! Tidak mungkin Travis kagum dengan Justin.

Travis lantas berdiri. “Gue heran kenapa tanaman di kebun lo dicabut semua. Padahal ada yang belum hasilin apa-apa.”

Justin menunduk. “Gue mau pindah ke luar negeri.”

Lelaki dengan topi hitam melekat di kepalanya menoleh cepat. “Dih? Buat apa?”

Yang diajak berbicara ikut berdiri. “Cari suasana baru,” ujarnya sambil mengedarkan pandangan. “Di sini terlalu banyak kenangan yang nggak enak buat gue. Nama gue udah kotor. Gue cuman pengen menghirup udara bebas kaya dulu, tanpa tekanan, tanpa labelling buruk yang melekat di diri gue.”

“Freya gimana? Dia udah tau?”

Justin menggeleng. “Gue belum ngasih tau apa-apa ke dia. Minggu depan dia udah balik ke Jakarta. Gue bingung gimana ngomongnya ke dia.”

Terdengar decakan keras dari Travis. “Gue udah lepas Freya buat lo malah lo tinggalin.” Travis tampak terlarut dalam pikirannya sejenak seraya memasukan kedua tangannya ke saku celana. “Eh, mau balapan lagi nggak?”

Justin tertawa ejek. “Gue udah nggak pernah nyentuh arena. Lagian gue udah nggak ada motor. Balapan buat apaan dah?”

“Buat Freya.”

“Katanya lo udah nggak ngincer dia lagi?!” sambar Justin cepat.

“Bukan itu anjing! Kalo gue menang, gue bakal ngomong ke Freya kalo lo mau ninggalin dia.”

“Kalo gue menang?”

“Ya, gue nggak ngomong.”

“Males, motor gue udah jadi duit.”

Travis mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya. “Pake mobil.”

Setelah menerima kabar dari Freya, Justin langsung memberitahu orang tuanya. Mereka turut bahagia dan bergegas menentukkan tanggal untuk bertemu. Mereka sepenuhnya menyerahkan keputusan pada keluarga Freya. Dan itu terjadi hari ini, tepat sehari setelah keluarga Freya menyetujui.

Freya begitu gugup. Ia tak berhenti menatap pantulan wajahnya di kaca. Hari ini bukanlah pertemuan biasa, bukan hanya ada dia dan Justin. Namun kedua orang tua mereka juga ikut. Bukankah ini terlihat seperti dua keluarga yang akan mengikat hubungan satu sama lain? Ah, imajinasi Freya terlalu tinggi.

Keluarga Freya siap berangkat menuju sebuah restoran yang sudah dipesan khusus oleh Hendra. Kemungkinan keluarga Justin sudah tiba terlebih dahulu. Tadi lelaki itu memberi kabar pada Freya kalau ia dan keluarga sudah dalam perjalanan.


“Kamu ndak apa-apa, kan, kalau bertemu keluarga Freya?”

Ibu Justin mendadak khawatir melihat raut wajah Justin yang begitu tegang. Sejak tadi, Justin tak berhenti menghela napas dan menggosok-gosokkan tangannya yang mungkin sudah sangat dingin. Anak lelakinya itu akan kembali dihadapkan pada sesuatu yang membuatnya trauma di masa lalu. Ia hanya takut Justin tidak kuat.

“Iya, bu. Ndak apa-apa. Cuman grogi aja,” jawab Justin dengan senyum yang dipaksakan. Sang ibu tersenyum lalu mengusap punggungnya.

“Sepertinya itu keluarga pak Hendra,” ujar ayah Justin hampir membuat jantung Justin keluar dari sarangnya. Ia menoleh ke arah pintu masuk. Seorang gadis berpakaian merah mencuri perhatiannya. Ia tampak berjalan malu-malu di belakang ibunya. Justin tersenyum lantas menegakkan posisi duduknya.


“Gimana kabar kamu, Justin? Sehat?” tanya papa Freya setelah beberapa menit hanya bercakap dengan ayah Justin.

“Sehat, Om,” jawab Justin gugup sebab terkejut tiba-tiba ditanya seperti itu.

“Sehat-sehat, ya. Jangan pikirkan hal yang harusnya nggak perlu kamu pikirkan. Om dan keluarga sudah memaafkan apa yang dulu pernah terjadi. Kamu nggak perlu khawatir lagi.”

“Iya, betul, Justin. Tante juga minta maaf atas sikap Tante dulu yang selalu menyalahkan kamu. Untuk kejadian di rumah sakit tempo hari lalu, tante juga minta maaf. Tante nggak tau ternyata kamu yang menyelamatkan Freya. Tante minta maaf banget ya, Justin,” sambung Alena meneruskan ucapan suaminya.

“Oh, nggak apa-apa, Om, Tante. Nggak perlu minta maaf. Seharusnya saya yang minta maaf.”

“Sudah, sudah, jangan dibahas lagi. Yang terpenting sekarang kamu fokus sama kesehatan kamu saja ya. Masalah ini sudah selesai, nggak perlu kamu ingat lagi,” potong Hendra.

Justin termenung sejenak sebelum akhirnya dia mengangguk ragu. Ada sebuah kelegaan yang ia rasakan. Beban yang menggantung di jiwanya perlahan terlepas. Tidak ada lagi yang perlu ia khawatirkan. Semuanya sudah berlalu, sudah usai. Sudah saatnya ia membuka lembaran kehidupan yang baru.

Maniknya yang runcing seperti serigala melirik ke gadis di depannya. Mereka saling melempar senyum, semyum penuh kelegaan.


“Oh, iya, bu Alena dan pak Hendra, ini kami ada beberapa bingkisan untuk keluarga. Mohon diterima,” ujar ibu Justin sambil menaruh satu persatu bawaanya di atas meja dan menyerahkannya pada ibu Freya.

“Wah, apa ini, Bu? Banyak sekali,” balas ibu Freya lantas menerima satu persatu bingkisan tersebut.

“Cuman kue sama beberapa oleh-oleh dari Solo, Bu. Kebetulan kemarin ayahnya Justin baru pulang dari Solo.”

“Waduh, kok jadi kaya lamaran, ya?” ledek ibu Freya yang menuai tawa dari orang tua Justin dan suaminya. “Justin, kamu mau melamar Freya apa gimana? Kok bawa seserahan gini?” tambahnya lagi tak puas meledek pemuda yang wajahnya sudah memerah seluruhnya itu.

“Belum, Tante. Nanti kalo udah waktunya, saya bawa lagi,” jawab Justin membuat kedua pasang orang tua itu makin terbahak. Berbeda dengan Freya yang langsung terbelalak. Tak bisa dipungkiri, ritme jantungnya sudah meningkat drastis. Mudah sekali lelaki itu mengucapkan kalimat yang membuat perasaannya berantakan.

“Freya, kamu pulangnya sama Justin saja, ya? Kalian di sini aja dulu. Jangan langsung pulang. Nanti ibu sama om naik taksi online aja,” tawar ibu Justin. Ayah Justin lantas merogoh sakunya untuk memberikan kunci mobil pada Justin.

“Nggak usah, Yah. Ayah sama ibu bawa mobilnya aja,” ujar Justin lalu menatap Freya. “Aku sama Freya mau pulang naik busway.”


“Panas, ya?” tanya Justin melihat Freya mengibas-ibaskan tangannya di wajah. Ia dan Freya kini tengah berada di halte busway terdekat dari restoran. Saat itu entah mengapa tiba-tiba Justin teringat ucapan Freya yang ingin menaiki busway. Untung saja gadis itu juga mau.

Freya mengangguk. Sebenarnya bukan panas, tapi gerah. Pakaiannya tak cocok untuk suasana seperti ini. Namun semua itu tak menyurutkan semangatnya mencoba menaiki busway untuk pertama kalinya, bersama Justin.

“Nanti di dalem dingin kok, ada AC-nya. Kalo lo nggak nyaman, gue bisa pesen taksi online aja sekarang. Mau gimana, hm?”

Freya menggeleng cepat. “Gue pengen naik busway aja. Gue nggak apa-apa kok,” jawabnya yang menuai senyum tipis dari Justin.

Terdengar bunyi klakson busway yang baru datang. Justin lantas mengajak Freya untuk segera berdiri. Penumpang yang hendak menaiki busway cukup ramai karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Kalau menunggu antrian terakhir, mereka tidak akan kebagian tempat duduk.

Justin lantas menggengam lengan Freya. Mengaitkan jari-jarinya dengan jemari Freya lalu merapatkan genggaman. Bola mata Freya membulat melihat telapaknya bertaut dengan milik Justin. Gadis itu lantas mendongak memandang Justin yang sedikit lebih tinggi darinya.

Lelaki itu tak membalas tatapannya. Ia tampak fokus membelah kerumunan agar mereka bisa dapat tempat duduk. Namun dapat Freya rasakan tangan Justin yang agak dingin. Apa lelaki itu sedang menahan gugupnya?


Play the music!

Freya duduk di tepi jendela, sedangkan Justin di sampingnya. Senyum penuh takjub tak luntur dari bibir gadis itu. Ia tampak sangat senang menatap jalanan senja yang sedikit basah karena sempat hujan. Pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Jalanan tampak berbeda jika dilihat dari dalam busway.

Justin diam-diam terkekeh melihat Freya yang seperti anak kecil baru diajak jalan-jalan. Tak mau mengganggu kesenangan gadis itu, Justin merogoh sakunya untuk mengeluarkan airpods dan mendengarkan lagu dari playlist terbarunya. Bibir tipisnya bergerak ikut bernyanyi namun tanpa mengeluarkan suara.

I swear I’ll never leave again~ lirih Justin mengikuti nyanyian yang mengalun di telinganya. Ia menatap para penumpang yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

Paha Justin ditepuk halus. Ia lantas melepaskan salah satu airpods-nya dan menoleh pada Freya yang ternyata memanggilnya sejak tadi. Lelaki itu tersenyum. “Kenapa?”

Freya menunjuk telinganya. “Lagi dengerin apa?”

I swear I’ll never leave again punya Keshi. Mau ikut denger?” tanya Justin lantas mengulurkan salah satu airpods-nya.

Freya menerima airpods itu lalu memasangnya di telinga kanan. Alunan gitar dan nyanyian halus mengayun di telinganya. Bibirnya refleks mengukir senyum. “Enak lagunya,” komentar Freya.

I don’t deserve this All in your arms All your forgiveness I don’t belong I swear~ I swear I’ll never leave again

Freya termenung saat tiba-tiba Justin menyanyikan lagu tersebut. Tak usah ditanya bagaimana keadaan hatinya sekarang. Darahnya mendesir lebih cepat. Kupu-kupu seakan berterbangan di dalam sana. Kelopak matanya tak berkedip saat Justin tersenyum dan menatapnya teduh.

Bola mata Justin bergulir ke bawah, menatap tangan Freya yang saling bertaut. Ia sempat berpikir sejenak. Iya atau tidak? Ah, dia tidak perlu ragu lagi. Ia lantas mengambil tangan kiri Freya dan menggenggamnya.

So this is love Just hold me close I’ll never leave I won’t let go Oh, I swear I’ll never leave again~

Sepulangnya keluarga Justin dari rumah Freya, Hendra mengajak anak dan istrinya untuk berdiskusi di ruang tengah. Lelaki yang menjabat sebagai kepala keluarga itu tak menyangka keluarga Justin akan mendatangi mereka lagi hanya untuk meminta pengampunan untuk kesalahan anaknya.

Sebenarnya ia pun sudah tak mempermasalahkan hal tersebut. Dulu, ia dan keluarga Justin telah mengikat janji untuk menyelesaikan semuanya secara hukum. Dan Justin sudah menjalaninya dengan penuh tanggung jawab. Ia pikir, ya, sudah? Apa lagi yang perlu diselesaikan? Namun nyatanya, kesalahan masa lalu itu menjelma menjadi trauma yang bercokol pada diri Justin.

Ia bisa saja langsung menerima tawaran tersebut. Apalagi menyangkut kesehatan Justin. Namun Hendra perlu memikirkan perasaan istri dan anaknya juga. Mungkin saja mereka berdua sudah tidak mau berhubungan dengan masalah itu bukan?

“Freya tadi sudah dengar semua, kan?” ujar Hendra memecah keheningan. Anak gadisnya mengangguk ragu. “Jadi bagaimana? Kalau papa mau saja. Tidak ada salahnya, kan, kita berdamai dengan keluarga Justin?” sambung Hendra yang langsung mendapat anggukan mantap dari Freya.

“Udahlah, Pa, kenapa kita harus berurusan sama mereka lagi? Semuanya sudah selesai. Mamah nggak mau buka luka lama keluarga kita lagi,” sahut Alena sambil duduk bersandar dengan kedua tangan yang terlipat di dada.

“Iya, Papa tau. Tapi nggak ada salahnya kita membantu mereka, kan? Apalagi ini menyangkut kesehatan Justin.”

“Ya, lalu apa urusannya dengan kita? Itu, kan, masalah keluarga mereka. Emangnya dulu pas keluarga kita jatuh karena kehilangan Della, mereka bantuin kita?” balas Alena sewot. “Lagi pula, aku masih nggak ikhlas sama perbuatan anak laki-laki itu yang udah bikin anak kita meninggal,” lanjutnya sambil menyesap minuman dari cangkir.

Freya meremas kemeja yang ia kenakan. Sang mamah masih terlihat sangat dendam dengan Justin. Apa dia bisa meyakinkan mamahnya untuk memaafkan Justin? Namun ia harus melakukan semua ini. Demi kesembuhan Justin.

“Mah, pah, aku boleh kasih pendapat?” ucap Freya ragu.

Orang tua Freya lantas menoleh bersamaan. “Boleh, sayang. Kamu mau kasih pendapat apa, hm?” jawab sang papa lembut.

“Menurut aku pribadi, sebaiknya kita terima aja tawaran keluarga Justin. Gimanapun kan nggak cuman keluarga kita yang dirugikan. Keluarga Justin juga dapet imbasnya. Lagipun, Justin udah jalanin hukumannya dan kecelakaan itu nggak sepenuhnya salah dia. Menurut aku, kalo cuman buat maafin Justin itu nggak ada masalah.”

Papa dan mamah Freya tampak memikirkan ucapan Freya. Gadis itu sudah yakin dengan respons positif dari sang papa. Namun raut wajah mamahnya masih belum meyakinkan.

“Nggak ada untungnya kita menyimpan dendam terus, kan, Mah? Aku nggak mau karena masalah ini, Kak Della jadi nggak tenang di sana. Lagi pula ini udah berlalu lama,” bujuk Freya penuh harap. Pandangan sang mamah tampak melunak.

“Kamu masih suka sama Justin, ya?” jawab sang mamah membuat Freya terkejut. “Kamu kelihatan belain dia banget.”

“Suka nggak suka aku tetap ingin kita damai sama keluarga Justin. Aku tahu gimana rasanya punya mental illness kaya Justin. Dan aku nggak mau dia ngalamin hal yang sama. Terlarut pada kesalahan yang sepenuhnya bukan salah dia. Aku nggak mau orang lain ngerasain sakit yang aku rasain.”

Suasana mendadak lengang. Kedua orang tua Freya jelas tahu bagaimana Freya melalui masa-masa ketika semua beban keluarga mendadak beralih padanya. Ketika sang papa tidak bisa terus menemani Freya yang terpuruk kehilangan kakaknya. Ketika sang mamah yang kehilangan anak kebanggaannya dan menyuruh Freya untuk bisa menggantikan. Sudah banyak biaya yang dikeluarkan keluarga Freya hanya untuk membuat gadis itu menjalani hidupnya dengan tenang.

“Dulu, Justin yang udah bikin aku bangkit. Dia selalu temenin aku, selalu yakinin aku kalau aku bisa lewatin semuanya. Di saat papa dan mamah nggak ada di sini, Justin selalu berusaha bikin aku nggak kesepian. Walaupun dulu kami belum lama kenal, tapi dia keliatan peduli banget sama aku.”

Freya hampir meneteskan air matanya. Namun ia tahan karena gengsi di hadapan mamah dan papa. Masa-masa sebulan pacaran dengan Justin kembali berputar di pikiran Freya. Ia bisa menyebut bahwa masa-masa itu adalah kenangan paling bahagia dalam hidupnya.

Tangannya yang terulur di meja terasa digenggam oleh seseorang. Freya mendongak cepat. Itu mamahnya.

“Mamah minta maaf. Selama ini mamah selalu menekan kamu untuk melakukan yang terbaik seperti kak Della. Padahal seharusnya mamah sadar, kamu bisa membanggakan mamah dengan caramu sendiri. Mamah terlalu terpaku pada anak sulung mamah. Padahal mamah punya anak bungsu yang sama hebatnya. Sekarang, mamah cuman punya Freya. Jadi mamah ingin kamu bahagia.”

Lolos sudah air mata yang ditahan Freya. Selama ini ia beranggapan kalau ia tidak pantas mendapat perhatian dari mamahnya. Ia tidak sehebat kakaknya. Freya sangat maklum kalau kakaknya lebih banyak mendapat perhatian dari mamahnya.

Alasan itu yang membuat ia berusaha keras untuk melakukan yang terbaik. Freya hanya ingin mendapat perhatian mamahnya, seperti yang didapat kakaknya. Satu-satunya cara adalah membuat mamahnya bangga. Namun ternyata sulit sekali.

Freya hampir menyerah. Namun hari ini ia menyesali pikiran itu. Perhatian, pengakuan, pujian yang ia harapkan dari sang mamah akhirnya terwujud. Semua kerja kerasnya membuahkan hasil. Kedua bola mata mamahnya yang biasa menatapnya sengit kini meneduh. Kedua belah bibir yang biasa menyayat hatinya kini tersenyum penuh kelembutan. Freya seprti menemukan sosok ibu yang selama ini ia rindukan.

“Kalau Freya mau kita berdamai dengan keluarga Justin, mamah akan melakukannya. Mamah ingin mewujudkan hal-hal yang bisa membuat Freya bahagia,” ujar sang mamah kembali yang terdengar begitu menyejukkan di telinga Freya. Tangis gadis itu akhirnya pecah.

Alena beranjak dari kursinya untuk memeluk Freya. Gadis yang baru beranjak dewasa itu menangis tersedu dalam pelukan hangat sang ibu. Rambut hitam legamnya diusap lembut. Sesekali Alena mengusap pipinya yang basah. Ia melirik sang suami yang menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca.

“Terima kasih,” ujar sang suami tanpa suara. Hanya gerak bibir penuh kebanggaan pada istrinya yang pada akhirnya menang berperang dengan egonya.

Danny mengendarai motornya kencang. Dadanya sesak oleh emosi yang tak tertahankan. Jayden, sahabatnya itu adalah orang yang paling dekat dengannya, paling ia percaya dari Justin dan Kevin. Hampir semua masalah hidupnya Jayden tahu. Bahkan tentang kematian Della yang disebabkan oleh Justin, Jayden adalah orang pertama yang tahu soal itu.

Dan apa yang terjadi sekarang? Jayden menjadi orang pertama yang mengkhianatinya. Dari dulu, Danny selalu denial. Menyangkal prasangka buruknya yang mengatakan ada yang tidak beres dengan Jayden. Dia berpikir, Jayden akan menceritakan semua yang terjadi padanya, seperti yang ia lakukan. Namun ternyata Danny salah.

Namun di lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih berharap kalau orang yang dilihat Kevin itu bukan Jayden. Lelaki itu tidak mungkin benar-benar mengkhianatinya.

Harapannya pupus. Jayden benar-benar ada di sana. Bercengkrama dengan orang-orang berjaket hitam dengan motif bunga mawar terbakar di punggung mereka. Oh, bahkan Jayden menggunakan jaket yang sama. Dalam arena, jaket berfungsi sebagai identitas para pembalap. Jadi, laki-laki itu sudah mendedikasikan dirinya untuk Black Rose ya?

Danny memarkirkan motornya sembarang. Melepas helm serta menyibakkan rambut poni. Danny hendak melangkah mendekat. Namun salah satu orang di sebelah Jayden terlebih dahulu menepuk bahu Jayden sehingga lelaki itu berbalik dan menemukan keberadaannya.

Obsidian Jayden membulat penuh. Tepat beberapa langkah di belakangnya, Danny berdiri dengan dua telapak yang tersimpan di saku jaket. Ia refleks turun dari motornya. Sial, bagaimana Danny bisa di sini? batin Jayden.

Jayden melangkah ragu, mendekati Danny yang tak bergeming di sana. Kini, hanya bersisa jarak satu langkah di antara mereka. Jayden menatap lurus iris Danny yang berkabut amarah.

“Dan … lo ngapain di sini?” tanya Jayden tergagap.

“Jaket siapa yang lo pakai?” sergah Danny membuat dada Jayden menyentak keras.

“Anu ….”

“Lo mau khianatin gue?” potong Danny tanpa menunggu jawaban dari Jayden.

Yang ditanya menelan ludahnya susah payah. Tak ada celah untuk berkilah. Jayden sudah tertangkap basah. Sekarang ia harus siap menanggung resiko dari kebohongan yang sudah ia bungkus rapi. Salah satunya saat Danny tiba-tiba melayangkan pukulan keras ke perutnya.

Rasa sakit yang luar biasa menguar dari sana. Jayden jatuh bersimpuh sambil memegangi perutnya.

“Berdiri!” gertak Danny mengagetkan seluruh pembalap yang tengah berkumpul di Sentul. Semua perhatian langsung tertuju pada mereka.

Susah payah Jayden berdiri sambil menahan pegal tepat di bawah tulang rusuknya. Ia meringis menatap mata Danny yang makin berkilat amarah. “G-gue nggak maksud khianatin lo,” rintih Jayden yang makin menyulut amarah Danny. Kerah jaketnya ditarik lelaki itu.

“Lo … adalah orang yang paling gue percaya. Tapi, KENAPA LO LAKUIN INI?” teriak Danny di wajah Jayden.

“DANNY!” Terdengar teriakan dari belakang Danny. Ia bisa menebak itu adalah Kevin dan Justin yang datang menyusul. Jadi sebelum mereka melerai, Danny kembali melayangkan pukulan ke wajah Jayden.

“WOI DAN UDAH!” Justin berlari makin kencang dan langsung menahan temannya itu. “Udah, sabar dulu,” ujarnya menenangkan.

“Lo bantu dia, gue pukul juga lo, Vin!” Kevin yang hendak menghampiri Jayden langsung terhenti. Ia bingung. Jayden butuh pertolongannnya. Namun ia tidak mau memperkeruh suasana hati Danny. Ia pun melangkah mundur saat Justin menyuruhnya menurut ucapan Danny.

Raungan mesin mobil yang menyalak keras mengagetkan ketiganya. Sebuah mobil lamborghini berwarna hitam mendekat. Cahaya menyilaukan dari dua lampu depannya membuat keempat lelaki di sana menyipit. Pintunya terangkat ke atas. Muncul seorang lelaki berperawakan tinggi menjulang dari sana.

Lelaki itu berdiri di samping Jayden dengan jaket yang menyampir di bahunya. “Ada apa ya?” ujar lelaki itu dari balik maskernya. Ia melirik Jayden yang berusaha berdiri lalu mengulurkan tangannya untuk membantu. “Kenapa lo mukul anak buah gue?”

Danny dan yang lain terkejut mendengar pengakuan lelaki itu. Tak perlu susah payah mengingat, mereka jelas tahu siapa orang ini. Noir, ketua geng Black Rose.

Noir melepas maskernya. Ia melingkarkan tangannya di bahu Jayden. “Dia anak buah gue yang paling setia. Udah lumayan lama. Hmm, mungkin hampir setahun?” Sebuah seringaian tipis terukir di bibir Noir melihat tiga pasang mata di depannya membulat.

Setahun? Kalau diingat lebih jelas, setahun lalu adalah hari di mana Sweet Escape berkomitmen untuk tidak kembali ke arena. Dan nyatanya, Jayden sudah melanggar sejak komitmen itu dibuat. Bahkan masuk ke geng lawan.

Noir belum puas untuk memanas-manasi tiga lelaki di depannya. “Banyak yang udah dia lakuin. Sebenernya nggak terlalu keliatan. Karena tugas dia jadi mata-mata gue.”

Hening. Bahkan balapan yang tengah berlangsung di arena mendadak dihentikan untuk melihat apa yang terjadi di antara Noir dan anak geng yang sudah lama tak terlihat di arena. Mungkin mereka terlihat tenang. Namun sebenarnya mereka tengah bertarung pada gejolak emosi masing-masing.

Noir melangkah mengitari mereka yang masih mematung. Ia berhenti di sebelah Justin. “Freya, gue tahu semua yang dilakuin cewek itu, karena dia,” ujarnya sambil menunjuk Jayden. Justin terbelalak dan langsung menatap temannya.

Ia kembali melangkah menghampiri Danny. “Gue nggak minta dia gabung, dia yang dateng sendiri ke gue karena temen-temennya nggak bisa bantuin dia lagi,” ujar Noir membuat Danny mengeratkan genggaman tangannya.

Tiba di orang terakhir, Noir menepuk bahu Kevin. “Masih ingat malam pas gue balapan sama Justin? Siapa yang bikin Freya jadi taruhan? Lo pasti tau, kan, Vin?”

“Siapa?”

Terdengar sahutan dari arah lain. Justin menatap tak berkedip Noir yang berjalan kembali ke sisi Jayden dengan kekehan ringan. Lelaki itu lantas menepuk bahu Jayden berkali-kali. “Jayden, anak buah gue yang paling handal.”

Justin tak bisa menahan emosinya lagi. Ia menghentakkan langkahnya menghampiri Jayden namun langsung ditarik mundur oleh Kevin dan ditahan oleh Danny yang menepuk dadanya. Rahangnya mengeras dengan gertakan gigi kuat menahan gejolak panas dalam diri.

“Sebenernya malam itu gue nggak mau terima tantangan lo. Tapi Jayden maksa gue buat dateng. Padahal waktu itu gue masih ada urusan di Jepang. Katanya, lo harus dapet balasan dari apa yang udah lo lakuin ke Danny di masa lalu. Tapi untungnya malem itu lo selamat. Kalo engga, mungkin dendam Jayden udah terbalaskan. Oh, mungkin dendamnya Danny juga?” ujar Noir dengan senyum penuh kemenangan.

Justin membasahi bibir bawahnya. Tawanya menghambur singkat dibarengi dengan gelengan kecil menolak percaya pada apa yang dikatakan Noir. Justin tentu paham maksud dendam yang dibicarakan Noir. Ia berusaha maklum, tapi batinnya terasa sangat sakit.

Danny menahan lengan Justin agar menghadapnya. Tidak, semua yang dikatakan Noir tidak benar. Ia tak pernah menyuruh Noir untuk bertaruh dengan Justin untuk membalaskan dendamnya. Semua ini salah paham.

“Tin, dengerin gue. Gue nggak pernah minta dia buat balapan sama lo,” ujar Danny meyakinkan. Namun Justin sepertinya tak mau mendengar. Ia menyuruh Danny untuk mengambil jarak darinya.

Justin menatap Danny dan Jayden bergantian. Pandangannya beralih pada Noir yang tampak puas sudah membongkar semuanya. Bibirnya menyunggingkan senyuman miris. Ia melangkah mundur dan pergi dari sana.

“Woy, Justin!” teriak Danny hendak menyusul namun Kevin menahan.

“Gue aja,” ujar Kevin lantas berlari mengejar Justin.

Danny memberikan pandangan final pada Jayden. “Jangan berani lo dateng ke gue lagi. Lo bukan lagi bagian dari Sweet Escape.” Danny langsung melenggang pergi dari sana.

Noir tertawa puas. Sebuah geng berhasil dia hancurkan. Berbeda dengan Jayden yang harus menelan pil pahit dari semua yang sudah ia lakukan. Ia sudah kehilangan teman-temannya, kehilangan rumah untuk berteduh. Namun ia pun menaruh kekecewaan pada Noir yang sudah menghancurkan kepercayaan teman-temannya.

“Kenapa lo ngomong gitu ke mereka? Gue nggak pernah mata-matain Freya buat lo!”

Tawa Noir mereda. Ia mengikat pandangan dengan Jayden dengan tatapan meredup. “Apa? Itu doang kan yang nggak lo lakuin? Yang lain bener? Jadi apa salah gue?”

“Tapi nggak gini caranya. Lo bikin sahabat gue pergi. Geng gue hancur.”

“Geng gue? Siapa geng lo?” selidik Noir lantas berjalan menghadap Jayden. Lelaki yag ditanya tak berani menjawab. “Lo anak buah gue sekarang. Buat apa lo masih mikirin mereka? Inget, siapa yang nolong lo waktu lo kesusahan. Kalo nggak ada gue, mungkin lo udah nggak punya bokap lagi,” ujar Noir lantas pergi dari hadapan Jayden yang membisu.

“Apa untungnya punya sahabat? Mereka hanya kumpulan orang yang akan meledakkan lo saat lo nggak dibutuhin lagi. Munafik.”

“Haruto?”

Travis merotasikan bola matanya ketika ia bertemu seorang perempuan yang tengah berdiri di depan pintu ruangan ayahnya. Ada setitik rasa rindu yang ia rasakan. Namun titik itu langsung terhapus oleh kebenciannya.

“Kamu sudah sembuh? Aku senang kamu tidak perlu pakai tongkat lagi,” ujar perempuan bernama Miyawaki Sora itu lantas menghampiri Travis. Namun lelaki itu malah berjalan melewatinya. Refleks ia menahan lengan Travis.

“Jangan masuk dulu. Di dalem lagi …,”

“Apa yang sudah kau katakan pada Haruto!”

Ucapan Sora terpotong oleh teriakan dari dalam ruangan Tuan Watanabe. Keduanya menoleh ke arah pintu. Travis mengenali suara itu. Suara Ishida Harumi, ibunya.

“Dia bilang aku meninggalkannya! Kau sudah membohongi anakmu sendiri!”

Tubuh Travis menegang. Teriakan parau itu menandakan emosi ibunya yang begitu memuncak disertai air mata yang mungkin sudah berderai di belah pipinya. Dan lagi, ucapan wanita itu. Bohong? Apa yang bohong?

Travis bergegas menghampiri pintu berwarna coklat itu. Namun kembali ditahan oleh Sora. “Haruto,” ujar Sora sambil menggeleng. Namun Travis menghempas tangan Sora dan masuk ke dalam ruangan ayahnya.

“Bohong? Siapa yang sudah berbohong?” ujar Travis mengagetkan kedua orang tuanya. Sang ibu tampak gelagapan. Berbeda dengan sang ayah yang tampak santai namun dari sorot matanya terdapat sebuah kekhawatiran.

“Kenapa nggak ada yang jawab?” tanya Travis lagi. Ia masih setia berdiri di dekat pintu. Mengambil jarak yang cukup jauh dari orang tuanya. Matanya mendadak terasa panas. “Bun, bilang yang sebenarnya. Kenapa bunda bilang ayah berbohong?”

Sang ibu tampak kebingungan. Ia melirik mantan suaminya yang hanya diam lalu kembali menatap Travis. “Bunda tidak pernah meninggalkanmu. Saat itu, saat bunda mendadak pergi, ayahmu merasa bunda tidak bisa merawatmu. Karena itu, bunda disuruh pergi.”

Raut wajah Travis menegang. Begitu terkejut dengan apa yang dibilang ibunya, benar-benar berbanding terbalik dengan yang dikatakan ayahnya. Sang ayah mengatakan ibunya pergi karena tidak mau mengurusnya lagi dan lebih mementingkan pekerjaannya.

Sang ayah yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Bagaimanapun, ibumu yang meminta perceraian. Sama saja dia yang meninggalkanmu,” ujar ayahnya yang makin menambah luka di hati Travis. Apalagi ketika sang ibu yang terlihat terkejut dan menyuruh ayahnya diam.

Ia tertawa kecut. “Trus apa yang dilakukan ayah?” tanya Travis membuat ayahnya bingung. “Ayah bilang sendiri kalau bunda nggak bisa ngurus aku. Emang ayah bisa? Kapan ayah ngurus aku?” ujar Travis pilu yang tak sadar sudah meneteskan air matanya.

Kedua orang tuanya tampak menegang. Sang ibu tampak terkejut oleh kenyataan bahwa mantan suaminya tidak pernah memperhatikan anaknya dengan baik. Selama ini, ia yang selalu disudutkan. Namun nyatanya, mereka berdua sama saja.

Merasa tak menuai jawaban dari sang ayah, Travis tertawa miris. “Oh, aku tau. Ayah dan bunda lagi bersaing untuk jadi yang terburuk ya? Terburuk dalam hal mengurus anaknya.”

“Nggak seperti itu, Haruto,” sambar sang bunda cepat.

Sang ayah lalu berdiri dari kursinya. “Aku yang sudah membesarkanmu. Aku sudah memberikanmu fasilitas lengkap. Sudah banyak biaya yang aku keluarkan untuk mengurusmu. Apa itu tidak bisa dibilang seorang ayah yang mengurus anaknya?”

Travis tergelak. Namun air matanya terus berjatuhan. Ia menggeleng tak percaya dengan yang dikatakan ayahnya. Travis sangat kecewa. Di situasi seperti ini, mereka berdua bahkan masih berusaha membela diri. Tak mau mengakui kesalahan.

“Terserah.” Tungkainya melangkah keluar. Sang ibu lantas menyusulnya. Ia bertemu Sora yang masih menunggu di depan. Perempuan itu tampak terkejut melihat Travis yang berderai air mata. Ia hendak menahan namun Travis sudah menepis.

“Haruto, dengarkan bunda!” panggil sang ibu terus berusaha mengejar anaknya. “Travis tunggu!” Sang anak akhirnya berdiri di salah satu anak tangga.

“Saat kau lahir, umur bunda masih sangat muda. Baru selesai pendidikan, kakekmu menjodohkan bunda dengan ayahmu karena alasan bisnis. Saat itu, bunda masih ingin melakukan semuanya. Karier, keluarga, merawatmu, semua ingin bunda lakukan dengan baik. Tapi ternyata bunda masih belum cukup baik untuk mengatasi semuanya. Bunda sudah gagal.”

Tangis Travis kembali pecah. Ia adalah korban dari ketidaksiapan ibunya menjadi seorang ibu di tengah gejolak semangatnya mengejar karier. Entah siapa yang salah di sini, pernikahan orang tuanya atau kelahirannya? Sepertinya pilihan kedua yang paling tepat.

“Maaf, maafkan bunda,” lirih sang ibu di tengah isakannya. Rasanya bagai dihunus seribu pedang.

“Aku pergi,” ujar Travis lalu bergegas menuruni tangga. Sang ibu tak kuat untuk mengejar Travis. Sora yang dari tadi melihat di kejauhan lantas mendekat dan berjanji akan mengejar Travis untuk memastikan lelaki itu baik-baik saja.


“Haruto, tunggu! Jangan berjalan terlalu cepat! Kakimu belum sembuh sepenuhnya! Haruto!” teriak Sora berusaha memperpendek jaraknya dengan Travis. Namun langkah lelaki itu begitu lebar dan cepat. “Haruto!”

“Berhenti!” teriak Travis lalu menghentikan langkahnya. Sora yang berdiri tak jauh di belakang terkejut dan langsung menghentikan langkahnya.

Travis berbalik. Menatap Sora dengan tatapan nanar. “Berhenti ikut campur urusanku. Semuanya sudah berakhir.”

“Belum, belum berakhir Haruto. Kamu cuman salah paham. Ayo bicarakan baik-baik.”

“Aku nggak ada waktu.” Setelahnya, Travis kembali berbalik dan sontak terhenti mendengar kalimat yang diucapkan Sora.

“Aku cinta sama kamu!”

Travis tersenyum sinis. Ia kembali berbalik menghadap Sora. “Cinta? Cintamu itu cuman sebatas bisnis, Sora. Kalau aku bukan anak Tuan Watanabe, kamu nggak mungkin cinta sama aku.”

“Sejak kapan aku cinta kamu cuman karena bisnis? Haruto ingat, kita bahkan pacaran sebelum orang tua kita saling mengenal. Aku bahkan nggak tau kalau kamu anak Tuan Watanabe saat itu. Aku tulus, Haruto. Aku tulus sama kamu.”

“Mungkin kamu tulus saat itu, tapi sekarang?”

Sora menggigit bibir dalamnya. Menghalau perasaan sakit yang menguar. “Aku benar-benar tulus. Aku juga kesulitan di sini. Tapi aku nggak pernah berpikir kalau perasaan aku ke kamu cuman sekadar bisnis.”

Travis mempersingkat jaraknya dengan Sora. Ia menatap perempuan itu dalam. Mencari sirat kebohongan yang tak ia dapatkan. Namun Travis tetaplah Travis yang berpegang teguh pada pendiriannya.

“Kamu lihat sendiri tadi? Keluargaku hancur karena mereka mementingkan urusan bisnis masing-masing. Aku nggak mau hal itu terulang kembali di keluargaku. Aku nggak mau anakku kelak merasakan hal yang sama, seperti yang aku rasakan. Sora, aku tahu gimana pentingnya pekerjaan buat kamu. Jadi aku rasa sampai sini kamu bisa paham kenapa kita nggak bisa bersama.”

Travis langsung melenggang pergi. Meninggalkan perih yang tergores di hatinya maupun hati Sora. Ia sebenarnya belum siap untuk mengakhiri semuanya dengan Sora. Namun entahlah, pikirannnya sangat kalut saat ini.

Sora hendak mengejar. Namun ditahan oleh seseorang di belakangnya, Asahi. “Biar aku yang mengejar, kamu sebaiknya pulang. Aku tahu perasaanmu nggak baik-baik aja sekarang.”

Seketika sebulir air mata jatuh di pipi Sora. Namun segera diusap oleh perempuan itu. Ia lalu melenggang pergi meninggalkan Asahi yang terus menatapnya sampai menghilang di balik mobil.

Sora, aku hanya ingin kamu tahu, tidak apa-apa untuk menjadi lemah. Kamu tidak perlu berusaha untuk selalu terlihat kuat di depanku. Bahu kokoh ini setia menunggumu untuk bersandar.

“Mbak Freya, ya?.”

Freya tersentak. Ia lantas berdiri menyambut seorang wanita yang berdiri di sebelahnya. “Tante,” sapa Freya sambil bersalaman dengan ibu Justin. Tak lupa punggung tangan wanita itu ia kecup sebagai bentuk penghormatan.

“Panggil ibu saja,” sahut Wina sembari menepuk halus bahu Freya. “Ibu boleh duduk?”

“Boleh, boleh, Tan, m-maksud saya, ibu?” ujar Freya ragu. Jantungnya sudah bertalu keras. Dia hanya masih tidak percaya ia benar-benar bertemu dengan Ibu Justin di sini. Terlalu mendadak, itu yang dirasakan Freya. Setelah ia melihat Justin berpelukan dengan cewek lain, tiba-tiba ia harus bertemu dengan ibunya. Rasanya aneh.

“Sudah lama di Bogor, Mbak?”

“Sudah, Bu. Dari hari pertama libur semester, saya langsung pulang ke Bogor.”

“Oh, iya, ibu denger kamu kuliah di UI ya? Pinter ya mbak.”

“Eh, enggak, Bu,” balas Freya lantas tertawa canggung.

Ibu Justin tersenyum. “Sudah pesan makan?”

“Anu, belum, Bu.”

“Ehh, kok belum? Pesan dulu ayo. Mbak! Mbak! Saya minta daftar menunya ya!” ujar ibu Justin lantas mengangkat tangan memanggil pelayan. Seseorang datang sambil membawa lembaran daftar menu makanan di sana. “Pesan dulu ayo. Nanti ibu yang bayar. Ayo, mbak!”

“Anu, bu, nggak usah, saya bayar sendiri-”

“Ehh kok gitu? Udah, ndak usah malu. Kamu mau apa? Ini, pilih yang kamu suka.”

Freya menerima daftar menu itu dengan ragu. Duh, canggung banget rasanya. Tapi nggak enak juga kalo nolak. Lagian, ibu Justin kenapa baik banget sih? Rasanya Freya jadi mau nangis. Andaikan dia punya ibu sebaik ibu Justin. Pasti selama ini Justin bahagia banget punya ibu kaya beliau.

“Makasih, Bu.”


“Ibu ajak Freya ketemu di sini karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan.” Freya menahan napas. “Mas Danny sudah bilang sesuatu ke kamu?”

Freya berdeham. “Belum, bu. Danny cuman bilang ibu mau ketemu sama saya aja.”

Ibu Justin mengaitkan kedua telapaknya di meja. Menatap lurus tepat di bola mata Freya. Bibirnya bergerak ragu, mencari sebuah kalimat yang tepat untuk memulai percakapan. Sedang gadis yang ditatap tampak menahan napasnya. “Ibu mau bicara soal Justin.”

Dada Freya berdesir hebat. Dia memang sudah menebak bahwa arah pembicaraan mereka takkan jauh dari Justin. Namun ia tak bisa menebak apa yang akan ibu bicarakan tentang Justin. Apakah ini ada kaitannya dengan sikap Justin yang mendadak memblokir semua akun sosial medianya dan … berpelukan dengan gadis lain? Atau … tentang masa lalu …?

“Sebelumnya, ibu mau meminta maaf untuk kesalahan Justin yang buat Freya jadi kehilangan kakak. Ibu sadar, ibu dan keluarga belum meminta maaf secara resmi dengan keluarga Freya. Mungkin kalau keluarga Freya berkenan, ibu ingin bertemu dan … meminta maaf atas segala kesalahan yang sudah dilakukan Justin pada keluarga Freya.”

Freya terhenyak. Ia dapat mendengar suara ibu Justin yang bergetar. Setiap kalimat yang beliau ucapkan terasa berat, seperti menahan beban berat yang membelenggu. Entah sudah berapa lama Ibu Justin menanggung beban tersebut. Yang pasti, Freya dapat merasakan kalau beliau adalah wanita yang kuat dan tegar.

“Justin memang sudah mendapat hukuman yang setimpal. Namun ibu rasa itu belum cukup kalau belum mendapatkan maaf dari keluarga Freya. Jadi, ibu sebagai orang tua Justin benar-benar meminta maaf untuk kesalahan anak ibu yang mungkin sulit untuk dimaafkan,” ujar ibu Justin diakhiri dengan sebulir air mata yang mengalir.

“Bu …,” lirih Freya tampak panik lantas merogoh tasnya untuk mengambil tisu. “Saya ada tisu. Silakan, Bu,” ujar Freya lantas meletakkan sebungkus tisu di hadapan ibu Justin. Wanita itu tampak mengambil selembar seraya melempar senyum lembut.

Sejujurnya Freya benar-benar bingung sekarang. Bukan, ia bukan bingung karena tidak bisa menjawab pertanyaan ibu Justin. Ia hanya khawatir karena pembahasan ini sepertinya sangat menyakiti perasaan wanita itu. Freya harus mencari kalimat yang tepat agar tidak semakin menyakitinya.

Lagi pula, masalah itu sudah berlalu lama. Freya merasa semuanya sudah selesai dan tidak perlu dibahas lagi.

“Bu, saya udah maafin kesalahan Justin sejak dulu. Jadi ibu nggak perlu pikirin lagi. Dan untuk meminta maaf pada keluarga saya, sepertinya nggak perlu, Bu. Karena saya yakin keluarga saya pun sudah memaafkan Justin.”

“Terima kasih, Mbak Freya. Namun ibu merasa perlu untuk bertemu dengan keluarga Freya. Karena ini untuk kesembuhan Justin.”

Alis Freya bertaut. “Kesembuhan Justin? Memang Justin sakit apa, Bu?” tanya Freya was-was. Jujur, dia takut mendengar jawabannya.

“Justin punya trauma. Kemarin, dia sudah menjalani terapi. Tapi hasilnya belum maksimal.”

“T-trauma? Trauma kenapa, Bu?”

Ada jeda yang diambil Wina sebelum melanjutkan kalimatnya. “Karena masa lalunya. Dia masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri, Mbak.”

Hening tiba-tiba mendominasi. Freya sampai bisa mendengar degup jantungnya yang berdentum keras. Masa lalu? Maksudnya masa lalu itu? Sesuatu yang sedari tadi mereka bahas? Sebuah peristiwa yang membuat hubungannya dengan Justin mendadak kandas?

“Justin sudah beberapa kali masuk rumah sakit karena trauma tersebut. Dia juga rutin minum obat dan datang ke psikiater. Semuanya sudah membaik. Tapi …,” jeda Wina sejenak. Freya menyimak tanpa berkedip. “Setelah Justin ketemu kamu, kondisinya kembali memburuk. Semuanya karena setiap melihat kamu, Justin jadi teringat dengan kesalahannya. Itu yang membuat kondisinya terus memburuk.”

Freya merasakan hening yang begitu kuat menembus telinganya. Dadanya terasa sesak lalu matanya panas. Sesak, ia merasakan nyeri yang luar biasa di dada. Otaknya kembali memutar pertemuan-pertemuannya kemarin dengan Justin yang ternyata … menyiksa lelaki itu?

“Ibu ndak menyalahkan kamu. Ibu tahu kalau Justin ndak pernah cerita tentang ini. Tapi ibu mohon, jangan temui Justin dulu, ya? Semuanya demi kesehatan Justin.”

Jiwa Freya sudah runtuh seluruhnya. Ia tak menyesali permintaan ibu Justin untuk menjauhi anaknya. Namun ia menyesali ketika selama ini ia terus berusaha menemui Justin. Bahkan ketika lelaki itu telah berusaha menghindar, dengan tak tahu diri Freya terus mengejar. Saat itu, mungkin Justin tengah menahan luka. Namun yang ia lakukan malah menabur garam di luka itu.

“Tapi ibu juga minta tolong sama kamu.” Freya mengedip untuk menghapus pandangannya yang mengabur. Ia usap cepat-cepat jejak air mata itu. “Tolong, yakinkan Justin kalau kamu sudah memaafkan kesalahannya di masa lalu. Karena hanya itu cara Justin untuk bisa lepas dari traumanya. Selama ini, Justin masih menganggap kamu belum ikhlas dengan apa yang dia perbuat. Namun, jangan temui Justin dulu. Kamu bisa bantu ibu kan, Mbak Freya?”

Pikiran Freya mendadak kosong. Ia harus meyakinkan Justin, tapi dia tidak boleh bertemu? Lalu bagaimana ia bisa meyakinkan lelaki itu? Semua akses ke Justin bahkan sudah diblokir. Dia bisa apa?

Namun tidak mungkin ia menolak permintaan Ibu Justin. Wanita penuh kelembutan itu sudah rela bertemu dengannya hanya untuk meminta maaf. Ia harus bisa menyanggupi permintaan ibu Justin.

“Iya, Bu. saya akan bantu.”

Jawaban Freya mengakhiri pertemuannya dengan Ibu Justin. Wanita itu lantas berpamitan pulang. Beliau sebenarnya menawarkan tumpangan untuk Freya. Namun Freya menolak dengan alasan masih ada urusan di sini. Padahal dia hanya ingin menenangkan diri.

Ia meghempaskan punggungnya di sandaran. Lemas, ia bahkan tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa. Semua ini datang terlalu tiba-tiba dan berlalu begitu cepat. Ada beban berat tertinggal di pundaknya. Sisa-sisa jiwanya perlahan melayang di udara, diiringi oleh derai air mata yang menderas.

“Fre,” panggil seseorang membuat ia menoleh. Danny, ia berdiri di sana dengan mengenakan jaket kebesaran putih dengan dalaman hitam serta topi hitam yang bertengger di kepalanya. “Gue yakin lo bisa. Lo, adalah perempuan yang kuat, Fre. Gue akan bantu sebisa gue,” ujar Danny berusaha menenangkan.

Tangis Freya semakin pecah. Entah dorongan dari mana, Danny beranjak mendekat dan membawa gadis itu dalam rengkuhannya. Freya meraung dalam dekapan Danny. Jaket lelaki itu ia remas. Menyalurkan betapa sesaknya rasa yang bercokol di dada.

Freya mengendarai mobilnya menembus jalan berkabut senja. Semburat oranye terlukis di langit, menyinari wajah cantiknya yang melongok ke luar jendela. Ia telah sampai di kafe tujuan. Seperti biasa, suasana kafe itu selalu ramai. Semoga saja di antara orang-orang itu, ada Justin yang bisa ia temui.

Setelah memarkir mobil sedan hitamnya, tungkai Freya yang berbalut sepatu boots sebatas mata kaki melangkah masuk. Rambutnya terikat rapi menjadi sebuah ikatan kuda yang tak terlalu tinggi. Ah, sepertinya ia lupa menggunakan jaket. Baju tanpa lengan yang dikenakan membuat tubuhnya terasa dingin.

Seperti biasa, setiap menjelang senja, kafe Sweet Night selalu menggelar pertunjukan musik. Cocok sekali untuk anak muda yang memang menyukai senja dan kopi. Ah, uncle Lim pandai berbisnis rupanya.

I know you love her but it’s over, mate It doesn’t matter, put the phone away It’s never easy to walk away Let her go~ It’ll be okay

Freya masuk lebih dalam. Menempati kursi yang bisa menjangkaunya ke panggung. Suara itu, suara yang tidak asing. Benar dugaannya, lelaki itu ada di sini. Mengenakan kaus warna coklat yang kontras dengan mic dalam genggamannya yang berwarna biru.

Mulanya, Freya mendengar nyanyian itu dengan senyum di bibirnya. Namun setelah ditelisik baik-baik nyanyian Justin, mengapa tiba-tiba timbul suatu perasaan sesak?

It’s gonna hurt for a bit of time So bottoms up, let’s forget tonight You’ll find another and you’ll be just fine Let her go~

Lagi-lagi, mengapa semua lagu yang dinyanyikan lelaki itu selalu berhubungan dengan apa yang terjadi antara dia dan Justin? Lelaki itu sudah memblokir seluruh akses kontaknya, seperti membiarkannya pergi. Let her go, seperti lirik itu. Apakah Justin benar-benar akan melepasnya kali ini?

Namun mengapa saat itu Justin datang? Bukankah berarti Justin masih punya rasa peduli padanya? Lelaki itu tidak benar-benar membuangnya, kan?

Karena sejujurnya, Freya ingin ia dan Justin memperbaiki semuanya. Mengulang semuanya dari awal, membuka lembaran baru. Namun ia tidak sampai berpikir apakah Justin juga bersedia untuk membuka lembaran baru dengannya.

Justin selesai bernyanyi. Freya memberi tepuk tangan ringan tanpa melepas pandang dari lelaki itu. Ini saatnya, ia akan menemui Justin dan mengucapkan terima kasih untuk bantuan Justin kala itu. Freya pun ingin menanyakan alasan Justin memblokir semua kontaknya. Ya, Freya berharap semuanya akan selesai sekarang.

Namun harapannya kandas. Justin tak menatapnya sama sekali. Walaupun Freya yakin, Justin pasti mengetahui kehadirannya. Namun lelaki itu hanya melenggang pergi setelah menyambar jaket hitamnya.

“Justin!” panggil Freya yang tak digubris Justin. Langkah lelaki itu semakin cepat keluar dari kafe. Freya refleks berlari menyusul sambil terus memanggil lelaki itu.

“Justin tunggu!” Justin makin tak acuh. Langkah Freya tersendat oleh beberapa pengunjung yang datang. Punggung lebar Justin makin jauh tenggelam di antara orang-orang. Tidak, Freya tidak boleh kehilangan Justin.

Freya berhasil menembus kerumunan. Ia lantas berlari keluar kafe. Namun apa yang ia lihat di sana membuatnya mematung.

Justin tengah berpelukan dengan perempuan lain.

Gadis itu refleks memegangi dadanya yang terasa sesak. Pelukan itu, pelukan erat yang lama Freya rindukan kini tengah diberikan kepada perempuan lain. Telapak Freya yang gemetar lantas menutupi mulutnya yang terperangah.

Perempuan dalam pelukan Justin melirik ke arahnya. Rasa nyeri itu semakin dalam. Sebuah bulir air mata mengantarkan langkahnya pergi dari sana.

Di sisi lain, Justin memejamkan matanya rapat. Pelukannya mengerat sebagai perwujudan rasa gugupnya kepada seorang gadis yang mungkin tengah menatapnya di belakang sana. Tolong, jangan mendekat. Justin terus merapalkan kalimat itu.

“Ceweknya udah pergi, Tin. Anu … bisa lepas pelukannya? Gue sesek banget,” ujar sang gadis dalam pelukan tiba-tiba. Kedua kelopak mata Justin terbuka perlahan. Ia lantas melepas pelukan.

“Ah, maaf, gue refleks tadi. Sorry, kalo bikin lo kaget,” ucap Justin sambil merapikan pakaiannya.

“Nggak masalah, seneng bisa bantu lo,” balas gadis itu dengan sedikit gugup. Ia lantas menatap Freya yang sudah melenggang pergi bersama mobilnya. Jadi itu yang namanya Freya?

Thanks, Anggie,” ujar Justin sambil menatap gadis di depannya lalu menengok ke arah mobil hitam yang melaju ke jalanan. Maaf.

“Okay.”

Cerita ini mengandung banyak adegan kekerasan yang mungkin akan membuat beberapa orang merasa tidak nyaman. Silakan skip sampai sub-judul “Di rumah sakit” kalo kalian nggak mau baca adegan kekerasannya.


Hampir tiga hari Freya tak keluar kamar. Sepertinya ia butuh sedikit udara segar untuk menenangkan pikiran. Ia sengaja tidak memberitahu Travis. Lelaki itu pasti akan membuntutinya ke manapun. Jujur, Freya merasa sangat tidak nyaman. Apalagi ketika ia mengingat kejadian expo. Freya benar-benar malu dengan apa yang diperbuat Travis.

Malam ini, Adam mengajaknya keluar. Lelaki itu benar-benar jelmaan Samuel. Selalu ada ketika ia membutuhkannya. Ia berharap, Adam akan terus di sampingnya. Menjadi pengganti Samuel yang begitu dirindukan.

Ponselnya berdering. Oh Tuhan, lelaki itu masih saja menanyakan keberadaannya. Apa dia tidak bisa membiarkan Freya hidup tenang sehari saja? Lama-lama, Freya jadi muak dengan semua sikap overprotektif Travis.

Ponsel dalam genggamannya tak berhenti berdering. Melodi dan getarannya menghantui pikiran. Kepalanya terasa sangat pening. Ia tidak kuat. Dengan emosi yang memuncak, Freya membanting ponsel itu ke trotoar. Napasnya memburu. Bunyi pengganggu itu akhirnya lenyap.

“Frey? Lo baik-baik aja?”

Freya berbalik cepat. Adam berdiri tak jauh darinya. Mengenakan kemeja kebesaran dengan kaus hitam sebagai dalaman. Sepertinya ia sudah cukup lama di sana. Ah, apakah Adam melihatnya membanting ponsel?

Ia menggeleng. “Nggak, gue nggak baik-baik aja, Dam.”

Terdengar Adam mengela napas. Terlihat turut prihatin dengan apa yang menimpa Freya. “Mau ikut gue?”


Derap langkah Travis menapaki sebuah lahan kosong gelap dan sunyi. Tak ada siapapun di sana. Degup jantungnya terdengar begitu keras. Di mana mereka? Bukankah ini lokasi yang tepat?

Terdengar langkah lain menyusul. Travis membawa seluruh anak buahnya untuk menyelamatkan Freya. Mereka berpencar ke segala penjuru lahan. Mungkin tidak harus sejauh ini sebab Travis yakin geng David tak begitu kuat. Namun ia tak bisa meremehkan rencana matang lelaki itu.

Ia tak menyangka. Apa yang dibilang Justin kemarin benar terjadi. Sebenarnya Travis pun sudah was-was akan hal ini. Ia berusaha menemani Freya ke manapun. Di hari pertama gadis itu menampakkan kaki di Bogor, Travis sudah menaruh curiga pada Adam. Wajah lelaki itu tak asing.

Beberapa kali ia memergoki Adam yang membuntuti Freya. Namun Travis sadar, Freya takkan percaya dengan hal itu. Adam begitu rapi menutupi identitas aslinya. Lelaki itu memang berperan sebagai mata-mata dan pengatur strategi di Dark Shadow.

“Bos! Di sini!” pekik salah satu anak buah Travis. Mereka semua serentak berlari menghampiri.


“Bang, mereka udah dateng!”

David yang berdiri di tepi jendela menoleh. Diliriknya seorang gadis yang terikat di kursi dengan mulut tersumpal tengah meronta-ronta.

“Biarin mereka masuk.”

Freya berusaha berteriak sekencang mungkin walaupun semuanya percuma. Suaranya tertahan oleh kain yang menyumpal mulutnya. Ia tidak menyangka Adam melakukan semua ini padanya. Selama ini, ia sudah percaya pada Adam. Namun apa yang ia dapat?

Lelaki itu tengah duduk tak jauh darinya. Sibuk dengan ponsel yang Freya yakini hanya sebagai alibi saja. Nyatanya lelaki itu tak henti melirik ke arahnya. Kecewa, Freya sungguh kecewa dengan Adam.

Ia sama sekali tidak tahu situasi apa yang terjadi saat ini. Apa yang membuat mereka menahannya di sini? Ia bahkan tak mengenal mereka kecuali Adam. Oh, tunggu, sepertinya ia tahu lelaki yang berdiri di sampingnya ini. Bukankah dia teman kerja Kevin? Apa semua ini ada hubungannya dengan geng Justin?

Freya jadi sadar. Apakah ini maksud Travis menyuruhnya untuk menghubungi kala ia ingin pergi ke suatu tempat? Apakah Travis sudah tahu hal ini akan terjadi?

Terdengar keramaian di luar. Freya mendongak. Ia sangat berharap itu Travis yang akan menyelamatkannya.

Dan benar saja, lelaki pertama yang muncul di ambang pintu adalah Travis. Freya berteriak kencang. Lelaki itu hendak menghampiri tapi langsung dicegah oleh orang di sana.

“Lepasin Freya atau gue habisin lo semua!” teriak Travis penuh amarah. Namun hanya dibalas tawaan remeh oleh geng David.

“Silakan aja,” ujar David santai. Travis langsung mengarahkan anak buahnya untuk menyerang. Namun mereka terhenti saat David mencekal leher Freya. “Kalo lo mau cewek lo celaka di tangan gue.”

Keringat dingin mengucur di dahi Freya. Sebuah pisau siap menggores lehernya. Walaupun bagian yang tajam di arahkan keluar, namun tak menutup kemungkinan jika ia bergerak sedikit saja, pisau itu akan menciptakan guratan merah di lehernya.

“Singkirin pisau lo!” teriak Travis yang begitu menggema. Semua anak buahnya tak berani bergerak.

“Gue akan lepasin cewek ini kalo lo mau menyerah sekarang.”

Travis menatap David dengan rahang yang mengeras. Manik penuh gejolak amarah itu tak lepas dari Freya yang tak berhenti meneteskan air mata.

“Berlutut sekarang dan terima semua pukulan anak buah gue tanpa perlawanan. Tarik semua anak buah lo. Setelah itu, gue bakal lepasin cewek ini.”

Travis tak gentar. Tidak mungkin ia mengalah di hadapan semua anak buahnya. Seorang Travis menyerah dengan lawan? Takkan terjadi.

Ia menatap sekitar. Tak ada jalan keluar lain. Semua anak buahnya pun tak bisa bergerak. Apalagi pisau yang masih saja mengalung di leher Freya. Haruskah, haruskah ia menyerah?

Bahunya naik turun pelan. Mengontrol deru napas yang memburu. Lutut Travis menekuk. Jatuh pasrah di lantai tepat di hadapan Freya. Gadis itu menggeleng cepat. Tidak, Travis tidak boleh mengorbankan diri untuk menyelamatkannya. Namun tentunya Travis tidak mengindahkan larangan tersebut.

“Gue menyerah. Gue siap terima semua yang bakal lo lakukan. Tapi gue minta lo lepasin cewek gue.”

David tertawa puas. Ia menyuruh anak buahnya untuk menahan Travis. Pisau dalam genggaman ia buang. Ikatan pada mulut gadis itu dibuka. Freya langsung meraup oksigen dengan terengah.

“TRAVIS! BERDIRI!” teriak Freya dengan tangis histeris. Ia melihat Travis tersenyum sebelum lelaki itu dikerubungi anak buah David.

“TRAVISSSS!”


Justin dan yang lain berlari tergesa. Mereka begitu kesulitan mencari markas David yang ternyata sudah berpindah tempat. Hanya sebuah lahan sunyi dengan bangunan tua yang terlihat. Tidak tahu di mana keberadaan Freya dan yang lain.

“Kayaknya di balik gedung itu,” ujar Danny sambil menunjuk gedung tua yang lebih terang dari gedung yang lain. Mereka lantas berlari ke sana.

Benar saja, terdengar kerusuhan dari dalam sana. Jayden berlari memimpin. Menghampiri seseorang yang langsung menyambutnya. “Den, tolong! Kayaknya bos udah nggak sadar di sana. Tapi mereka nggak berhenti mukul!” ujar Jarvis begitu panik.

Justin lantas menerobos. Melihat Travis yang tengan dipukul dan Freya yang dijegal oleh Adam dan David.

“Berhenti!” teriak Justin membuat seluruh perhatian tertuju padanya. Ia memandang David. “Nggak gini cara buat nyelesain masalah, bang. Lo cuman nambah masalah lain.”

“Ini bukan urusan lo, Tin. Jadi lo nggak usah ikut campur.”

Pandangannya memanas menatap Freya yang begitu berantakan. “Berhenti atau gue laporin ke polisi,” ancam Justin sambil mengangkat ponselnya dengan nomor polisi tertera di sana.

David mendecak. Ia lalu memberi instruksi pada anak buahnya untuk mundur. Mereka yang mengeroyok Travis lantas melenggang pergi. Meninggalkan Travis yang langsung tersungkur tak sadarkan diri.

“Travis!” pekik Freya yang langsung berlari bersimpuh ke hadapan Travis. Gadis itu menangis pilu sambil memandangi wajah Travis yang sudah babak belur.

Justin memandang datar. Ia lantas menatap Danny. “Panggil ambulans, Dan. Kita bawa dia ke rumah sakit.”


Di rumah sakit

Justin memandangi Freya dari kejauhan. Gadis itu tak berhenti menangis sedari tadi. Ia jadi khawatir. Namun ia tak bisa melakukan apapun untuk menenangkan Freya.

Gadis itu seharusnya turut mendapat perawatan karena ada beberapa luka di tubuhnya. Dan yang pasti, kondisi kejiwaan Freya terguncang hebat. Namun gadis itu menolak dan kekeh ingin menunggu Travis di sini.

“Mending kita balik sekarang. Kita udah nggak ada urusan di sini. Lagi pula anak bauh noir udah banyak yang nunggu,” saran Kevin. Sebenarnya dia khawatir dengan Justin yang terus memandangi Freya.

“Gue setuju sama Kevin. Ayo, kita balik,” ajak Danny yang kemudian merangkul Justin pergi.

Justin melepas rangkulan Danny. “Gue nggak bisa ninggalin Freya dalam keadaan kacau kaya gitu,” ujarnya lantas menatap Kevin. “Lo bisa suruh Stellah ke sini nggak? Temenin Freya.”

“Oh, bisa-bisa! Gue telfon dulu.”

“Kalo dia takut sendirian, boleh ajak Bella sekalian. Yang penting ada yang temenin Freya di sini,” tambah Justin. Kevin mengangguk.

Danny memandang Justin penuh arti. Dari sorot matanya, Danny bisa merasakan kalau Justin masih memiliki rasa sayang yang begitu besar pada Freya. Namun ia menahan semua itu.

Tak butuh waktu lama untuk menunggu kedua gadis itu datang. Justin dan yang lain pergi saat Freya sudah ada yang menemani dan semuanya aman.

Saat mereka keluar dari rumah sakit, tak sengaja mereka berpapasan dengan orang tua Freya. Mama freya terlihat begitu panik. Melihat keberadaannya, wanita itu lantas mendekat dan menampar wajah Justin. “Kamu lagi! Mau apa lagi kamu hah?! Mau bikin anak saya celaka lagi?! Iya?!” bentak mamah Freya di wajah Justin.

Danny dan yang lain langsung melindungi Justin. “Jangan asal tuduh, Bu! Justru Justin yang udah menyelamatkan anak ibu!” balas Danny tak terima dengan perlakuan mamah Freya.

“Udah, Mah! Jangan buat keributan di sini. Mending kita langsung temui Freya,” bujuk sang suami pada istrinya.

“Awas ya kamu kalo berani macam-macam lagi dengan anak saya!” ancam mamah Freya dengan menuding Justin sebelum melenggang pergi.

Justin masih memegangi pipi bekas tamparan mamah Freya. Benar, kan, dugaannya. Kesalahan masa lalu itu belum usai. Tidak ada kata maaf untuknya. Selamanya Justin akan menanggung kesalahan itu.

“Tin, lo nggak usah pikirin yang tadi, oke? Buru, buru! Bawa ke mobil!” pinta Danny begitu khawatir. Ia takut Justin kumat. Kevin dan Jayden lantas memapah Justin pergi dari sana.