Quinzaharu

“Gue pikir, lo perlu jauhin Freya.”

Travis menaikkan pandangan. Bising lalu lalang kendaraan mengisi keheningan. Dua cangkir kopi penuh uap menemani obrolan dingin dua lelaki di pojok ruangan. Travis menghempaskan punggungnya ke sandaran.

“Lo pikir gue bakal nurutin mau lo?”

Justin membuang pandang. Sudah pasti akan sulit bernegoisasi dengan lelaki keras kepala seperti Travis. Namun bukankah ini lebih baik daripada terus berkelahi? Jujur, Justin sudah muak dengan segala bentuk kekerasan.

Selepas pertemuannya dengan Travis di day care tadi, ia mengajak Travis untuk bertemu di kafe terdekat. Walaupun sempat ditentang oleh teman-temannya, Justin tetap kekeh untuk bertemu dengan Travis. Ada hal yang menganggu pikirannya dari semalam. Justin pikir, ia perlu membagikannya dengan Travis.

“Lo kenal David?” tanya Justin membuat Travis terkesiap. Cowok itu tak menjawab. Justin meletakkan lengannya di meja. “David Pramudya, anak Dark Shadow, masih inget kan?”

Travis memasang raut masam. “Buat apa lo tanya tentang dia?”

“Pastinya lo masih inget apa yang udah lo lakuin ke adiknya.”

Travis memandang sengit. Ia lantas menyambar kunci mobilnya dan hendak beranjak dari sana. “Obrolan lo nggak penting.”

“Dia bakal bales dendam dan Freya yang akan jadi korbannya.”

Langkah Travis tertahan. Ia memandang Justin penuh tanya. “Maksud lo?”

“Duduk,” pinta Justin. Lelaki yang disuruh mendecak namun menuruti perintahnya. “Gue tau selama ini lo tertutup karena nggak mau orang-orang terdekat lo jadi korban buat apa yang udah lo lakuin. Tapi gue heran, sekarang lo terang-terangan punya hubungan sama Freya. Lo mau numbalin Freya?”

“Lo nggak usah sok ngerti tentang gue. Lo siapa hah? Nggak usah sok akrab. Nggak terima lo gue deket sama Freya?”

Justin merotasikan bola matanya. “Gue nggak peduli lo mau deket atau pacaran sama Freya, gue nggak urus. Tapi kalo hubungan lo bisa bahayain Freya, gue nggak bisa diem aja.”

Justin melirik teman-temannya yang duduk di seberang. Mereka mungkin terkejut karena Justin masih saja memikirkan Freya. Namun ia telah berjanji, ini adalah kali terakhirnya mencampuri urusan Freya. “Berhenti gangguin Freya. Setidaknya sampai David bales dendam. Setelah itu, terserah lo mau punya hubungan apapun sama Freya.”

“Bukan urusan lo,” ujar Travis tajam. “Seharusnya lo yang berhenti ikut campur urusan Freya. Hidup Freya udah hancur karena lo. Jadi seharusnya lo tau diri dengan nggak gangguin Freya lagi.”

Jantung Justin mengentak keras. Danny yang sedari tadi menyimak obrolan mereka berdua lantas berdiri menghampiri Travis dan menarik baju lelaki itu. “Jaga bicara lo, bangsat!”

Kevin menghampiri Justin yang masih terpaku. Bahu lebar lelaki itu dirangkul. “Udah, lah, Tin, kita balik aja. Nggak ada gunanya ngomong sama dia.”

Travis menepis tangan Danny. Ia menatap Justin yang terdiam. Tawanya menyembur. Ia tak salah lihat? Kedua bola mata lelaki itu bahkan memerah sekarang. “Kenapa? Yang gue bilang bener, kan? Lo yang hancurin hidup Freya, pembunuh.”

“Bangsat!” teriak Danny diiringi dengan pukulan pada wajah Travis. Suasana kafe mendadak riuh oleh pekikan pengunjung lain. Travis hampir tersungkur. Sambil memegangi pipinya, ia mendekat ke Danny dan membalas pukulannya. Suasana makin ricuh. Satpam kafe datang untuk melerai.

Travis ditarik keluar. Namun sebelum itu, ia memukul meja tepat di hadapan Justin membuat Justin terkejut. “Denger ya, lo nggak bilang pun gue udah tau semuanya. Lo pikir gue selama ini diem aja? Gue punya cara buat lindungin Freya, jadi lo nggak perlu ikut campur urusan gue!” gertak Travis sebelum keluar dari kafe.

Justin mengembuskan napas yang sedari tadi ia tahan. Ya, setidaknya dia tahu Travis telah melakukan sesuatu untuk melindungi Freya.

Alena menyeret anaknya sampai ke ruang tengah. Anak gadisnya itu terus meronta namun tak dihiraukan. Kesabaran Alena sudah habis. Putrinya itu semakin tidak terkontrol dan terus melawannya. Tidak ada cara lain, ia akan memasukkan Freya ke universitas yang lebih baik agar ia jauh dari pengaruh buruk teman-temannya di sini.

“Sakit, Mah! Lepasin aku!” rintih Freya dalam tangisnya. Sang ibu lantas melepas genggaman dan masuk ke ruang kerjanya untuk mengambil sesuatu.

“Sekarang kamu isi formulir ini.”

Freya menatap lembaran formulir yang disodorkan mamahnya. “Surat pengunduran diri?”

“Semester depan, kamu tidak perlu masuk kuliah lagi. Kalo kamu bisa fokus belajar selama enam bulan ke depan, kamu bisa ikut ujian masuk perguruan tinggi lagi. Ambil jurusan yang lebih baik. Mamah yakin kamu bisa.”

“Nggak mau, Mah,” jawab Freya dengan suara bergetar.

“Kamu hanya perlu turutin kemauan mamah. Cepat isi!”

“Aku nggak mau!”

“Jangan membantah mamah, Freya!”

“Aku nggak mau hidup kaya gini!”

Alena terdiam menatap sang anak yang baru saja berteriak di wajahnya. Deru napas keduanya mendominasi ruangan. Isakan Freya terdengar semakin nyaring.

“Maksud kamu apa?”

“Aku nggak bisa napas, Mah,” rintih Freya menahan sesak.

Alena menggeleng pelan. “Kamu selalu turutin semua kemauan mamah. Kenapa sekarang kamu jadi begini? Kamu sudah berjanji mau turutin semua keinginan mamah.”

“Karena mamah nggak pernah mengerti perasaanku! Mamah selalu melakukan semuanya dengan sesuka hati mamah! Semua itu bikin aku gila!” teriak Freya semakin keras. Semua rasa yang ia pendam selama ini berselancar mulus dari pengucapnya. Tak ada lagi ruang yang tersisa untuk terus memendam sesak.

“Beraninya kamu bilang seperti itu!”

“Emang itu kenyataannya!”

“FREYA!” Alena mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Melihat anaknya yang beringsut takut, ia lantas mengurungkan niatnya untuk melayangkan pukulan pada sang anak. “Mamah sudah melakukan segalanya untuk kamu. Dan ini balasan kamu atas semua yang udah mamah lakukan?!”

“Aku udah melakukan semua yang mamah minta! Apa lagi yang mamah mau? Aku selalu berusaha membuat mamah bahagia. Tapi apa mama pernah berpikir apa yang aku inginkan?”

Alena hanya bisa terdiam. Menatap sang anak yang wajahnya sudah berantakan. Pipi kanannya memerah bekas tamparannya tadi. Apa … apa yang sudah ia lakukan pada sang anak? Mengapa ia membuat anaknya jadi seperti ini?

“Yang aku inginkan bukan mamah yang terus menekanku untuk jadi yang terbaik. Bukan mamah yang membentakku kalau aku nggak bisa mencapai standar seperti kak Della yang bahkan mustahil aku raih. Tapi mamah yang selalu mendukungku dan mengatakan kalau aku bisa melakukan yang terbaik. Aku bisa membanggakan mamah dengan caraku sendiri. Aku ingin mamah yang seperti itu.”

Bibir Alena bergetar. Air mata sudah menggenang di pelupuk. Kelopaknya tak berkedip menatap sang anak yang menahan sesak.

“Mamah tau semua itu. Mamah melakukan semua ini agar kamu tidak dipandang remeh oleh keluarga kita, terutama keluarga papa. Mamah ingin kamu jadi seseorang yang terpandang. Selama ini, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu sudah berhasil menembus universitas yang baik, tetapi untuk apa kalau kamu hanya masuk ke jurusan yang nggak ada nilainya?”

“Karena cuman itu yang aku bisa, Mah,” timpal Freya cepat. “Mungkin kalo kak Della masih ada, dia bisa masuk ke jurusan yang menurut mamah ada nilainya.”

Alena menggeleng. “Nggak, mamah yakin kamu juga bisa. Kamu hanya perlu berusaha sedikit lebih keras lagi. Kamu bisa melakukan yang terbaik seperti kak Della. Kamu bisa, Freya.”

Freya menggeleng pilu. “Nggak, Mah. Freya nggak bisa. Freya udah capek, Mah.”

“Freya.” Alena hendak meraih wajah sang anak. Namun Freya melangkah mundur.

“Kadang aku berpikir, seharusnya yang selamat dari kecelakaan itu kak Della. Jadi mamah nggak perlu bersusah payah untuk menaikkan derajat keluarga kita di hadapan keluarga papa. Aku ini cuman anak yang nggak berguna, nggak sepintar kak Della. Kenapa harus aku yang hidup?”

Alena terkesiap mendengar penuturan Freya. Hatinya seperti disayat habis. Perlu dia akui, kedua anaknya ini sama berharganya. Tidak ada yang lebih, tidak ada yang kurang. Namun ia masih saja belum ikhlas atas kepergian anak sulung kebanggaanya. Dan semuanya membuat ia tak sadar kalau ada si bungsu yang membutuhkan kasih sayangnya juga.

Freya melenggang meninggalkan sang ibu yang mematung. Ia masuk ke kamar dan bersimpuh di balik pintu. Di keheningan malam, Freya melampiaskan segala sesak yang lama terpenjara dalam lubuk hatinya. Seharusnya ia lega. Namun entah mengapa rasanya semakin sesak. Duka yang terpendam seperti dikorek habis dan rasa sakitnya seperti mengelupas luka baru yang belum kering. Perih.

Sang ibu dan anak gadisnya itu menangis dalam luka mereka masing-masing. Menyadari banyak hal yang sudah terlupakan oleh mereka. Mereka terlalu berpaku pada kehilangan sampai melupakan fakta kalau mereka akan baik-baik saja karena telah memiliki satu sama lain.

“Apa aja yang belum diurus, Dam?” tanya Freya sambil mengalungkan id card yang diberikan Adam padanya. Mereka sudah sampai di lokasi dengan aman. Faiz menjamin ibu Freya tidak menaruh curiga padanya.

“Udah, semuanya udah selesai. Lo tinggal nonton hiburannya aja,” jawab Adam membuat Freya bingung.

“Serius? Gue nggak ngapa-ngapain dong?”

“Kerja lo selama ini udah berat, Frey. Sekarang waktunya lo istirahat. Lagian emang udah nggak ada kerjaan lagi. Liat noh, depan panggung penuh sama panitia. Lo gabung aja.”

Freya tidak bisa menahan senyumnya. Stella lantas menarik lengannya mendekat ke panggung. Freya turut mengajak Adam. Namun lelaki itu menolak dan berkata akan bergabung nanti. Setelah melambai pada Adam, gadis itu berlari menyusul Stella yang sudah berbaur dengan penonton lain.

Adam tersenyum tipis. Sebenarnya masih ada beberapa hal yang harus diurus malam ini. Namun biarlah gadis itu bersenang-senang sejenak. Lagi pula pekerjaan Freya masih bisa ia handle.

Lelaki itu mengambil HT yang terselip di saku belakang celananya. Mengontrol satu persatu anak buahnya, memastikan semuanya aman.

“Oh iya, kayaknya perlu ditambah keamanan lagi di pintu masuk. Takut ada apa-apa. Lima menit lagi close gate. Area expo cuman boleh dimasuki sama panitia. Kalo bisa panitia jangan ada yang keluar dulu. Oh, oke, kalo anak konsumsi mau keluar buat beli galon boleh. Iya, iya,” ujar Adam sambil berlalu.


Sebuah ponsel yang tengah digenggam seseorang menyala terang di kegelapan. Bibir kerut membisu itu menatap lamat layar yang menunjukkan garis-garis peta dengan sebuah titik merah yang berdenyut. Manik bulat kecoklatan itu mengerling ke samping. Menelisik satu persatu orang yang lewat dengan tatapan dingin. Gemerlap lampu dari luar menyinari wajah tampannya. Lelaki bernama Travis itu keluar setelah mengenakan masker hitam dan tudung jaketnya.

Langkahnya tegap. Menghiraukan orang-orang yang menatapnya curiga. Ia terus memandangi ponselnya. Gadis itu ada di sini. Sebenarnya ia sudah menduga ini akan terjadi. Namun tak menyangka Freya bisa berbuat sejauh ini hanya untuk menghadiri acara receh seperti ini.

Sesampainya di gerbang masuk, Travis dihadang oleh beberapa panitia. Katanya acara sudah selesai dan pengunjung tidak diperbolehkan untuk masuk lagi. Namun bukan Travis namanya kalau ia tidak bisa mendapatkan apa yang dia mau. Buktinya dia berhasil menembus pintu masuk dan segera mencari gadis incarannya.

Kakinya menerjang rerumputan alun-alun. Dentum musik mengiringi langkahnya. Beberapa orang menatapnya curiga, namun ada juga yang malah terpana.

Itu dia. Gadis berambut panjang tergerai itu tengah menari bersama teman-temannya. Langkah Travis semakin tegap dan cepat. Ia mendorong orang-orang yang menghalangi dan lantas mencekal lengan kanan Freya. Gadis itu berbalik dengan raut terkejut.

“Pulang,” ujar Travis sambil menarik Freya keluar dari sana.

“Ah! Lepas! Travis!” Freya memberontak namun genggaman Travis terus mengerat. Ia menoleh ke belakang, meminta bantuan pada Stella. Temannya itu terlihat panik dengan ponsel yang menempel di telinganya.

“Travis lepas!” Freya menghempas tangan Travis membuat genggaman mereka terlepas. Napasnya memburu, menatap Travis penuh amarah. “Kamu apa-apaan sih?!”

Travis melepas tudung jaketnya lalu mendekat. “Hei, harusnya aku yang tanya, ngapain kamu kabur buat acara sampah kaya gini hah? Mau jadi pemberontak kamu?”

Freya menggertakkan giginya. “Jaga bicaramu, Vis. Ini bukan urusan kamu.”

“Aku nggak peduli. Sekarang kamu ikut aku.”

Travis kembali menarik Freya tanpa memperdulikan teriakan dan rintihan gadis itu. Langkahnya terhenti saat seorang lelaki menghadang langkahnya.

“Ada apa ya ini?” tanya lelaki bernama Adam itu.

Travis tak acuh. Dia kembali melangkah melewati Adam. Namun lengan Adam menahan tubuhnya. Travis langsung menatapnya tajam. “Nggak usah ikut campur.”

Adam menaikkan pandangan tepat di mata Travis. “Gue yang bertanggung jawab atas apapun yang menimpa Freya, jadi gue berhak ikut campur.”

Travis melepas genggaman pada lengan Freya. Gadis itu lantas meringis sambil menatap lengannya yang memerah. Adam sedikit mundur saat Travis balik badan menghadapnya. “Oh iya? Pantes aja lo selama ini ngikutin Freya, ya.”

Adam sedikit terbelalak namun ia berusaha mengontrol raut wajahnya. Freya menatap keduanya skeptis. Travis menyeringai dari balik maskernya.

“Perlu kamu ketahui Freya, dia selama ini ngikutin kamu ke manapun. Dia nggak sebaik yang kamu kira.”

Alis Freya bertaut. Ia menatap Adam yang memalingkan wajah lalu kembali menatap Travis. “Bukannya kamu juga kaya gitu?”

“Apa?”

“Kamu juga ngikutin aku ke manapun kan, Vis?”

Mendengar itu, Adam seketika kembali menatap mereka berdua. Diam-diam dia mengulum senyum. Nggak semudah itu lo nangkep gue.

“Aku ngelakuin itu semua buat lindungin kamu, Fre!”

“Lindungin apa? Apa yang perlu dilindungin dari aku?!”

Travis berdecak. Ia kembali meraih lengan Freya. “Apapun itu, kamu harus ikut aku sekarang.”

Freya kembali ditarik. Adam refleks menahan Freya. Namun ia malah mendapat bogem mentah dari Travis sampai ia tersungkur. Keributan itu sukses membuat orang-orang yang melihatnya memekik. Beberapa teman Adam lantas mendekat untuk membantu.

“Jangan sekali-kali lo berani sentuh Freya, Brengsek!”

“Lo main jangan pake kekerasan dong, Bro! Ini acara orang! Punya sopan santun nggak lo?!” gertak Bagas yang sedari tadi memang sudah menahan amarah.

“Nggak usah bacot lo anjing!”

Umpatan Travis turut menyulut emosi Bagas. Lelaki itu hendak memukul namun berhasil ditangkis oleh Travis. Akibatnya ia mendapat satu pukulan di perutnya. Ya, tidak ada yang boleh meremehkan Travis. lelaki itu tumbuh dengan tempaan keras kehidupan.

“Ada yang mau ikut campur lagi? Hah? Maju sini kalo lo mau halangin gue!”

Tak ada yang menjawab. Semuanya menciut. Selain takut, mereka pun tidak mau memperkeruh suasana.

Freya hanya bisa diam menahan tangis melihat dua teman yang berusaha menolong tersungkur menahan sakit. Ia memandang takut Travis yang kembali mencekal tangannya.

“Ikut aku sekarang kalo kamu nggak mau acara ini makin kacau,” ancam Travis dengan intonasi yang mengintimidasi. Freya akhirnya pasrah diseret Travis keluar dari area expo.


“Udah telat belom, sih? Lo kelamaan jemput guenya anjing!” umpat Justin sambil menilik jam di ponselnya.

“Gue bingung cari outfit yang pas buat couple sama Stella,” jawab Kevin santai sambil memarkirkan mobilnya. Justin lantas menggeplak kepala Kevin sebelum keluar dari mobil.

Mereka berdua menyusuri trotoar menuju pintu masuk. Dentum musik masih terdengar dari dalam sana. Berarti acara belum selesai.

“Coba lo chat Danny, Tin. Bilang kita udah sampe gitu,” pinta Kevin yang diangguki Justin. Mereka lantas berhenti. Saat Justin tengan fokus mengirim pesan untuk Danny, Kevin menatap sekitaran. Pandangannya berhenti pada sebuah keributan yang tak jauh dari mereka.

Kevin memicing. Ada tiga orang di sana. Dua di antaranya seperti tak asing. Itu bukannya Freya sama Noir? Ngapain mereka di situ? batin Kevin mencoba mengingat siapa wanita yang berdiri di hadapan Freya. Maniknya terbelalak. Wanita itu menampar Freya.

“Vin, kata Danny kita langsung ke pintu masuk aja,” ujar Justin sambil mengetikkan balasan. Merasa tidak mendapat jawaban, ia mendongak. “Heh! Liatin apa sih? Ayo!”

Kevin tampak gelagapan. Justin yang heran lantas mengikuti arah pandang Kevin. Keningnya berkerut tegang. “Freya?” gumam Justin.

Freya tampak menangis sambil memegangi pipinya. Gadis itu tak sengaja menangkap siluet seorang lelaki yang memandanginya dari seberang jalan. Mereka beradu tatap. Dalam isakannya, Freya menggumam, “Justin ….”

Kevin yang panik langsung menutup mata Justin. Temannya ini kan tidak boleh melihat Freya. Bisa-bisanya dia terlambat menyadari. “Tin! Gue kebelet boker! Ayo balik aja!” ujar Kevin seraya menyeret Justin kembali masuk ke mobilnya. Tentu saja masih dalam keadaan menutup mata Justin.

“Singkirin tangan lo, bangsat!” umpat Justin berusaha melepas tangan Kevin dari wajahnya. Dia heran, sejak kapan Kevin punya tenaga sebesar ini? Sebenarnya tenaga itu refleks muncul karena Kevin panik, sih.

Di lain sisi, Freya ditarik ibunya untuk masuk ke mobil. Mereka pergi meninggalkan Travis yang menghela napas lega sekaligus khawatir dengan Freya. Semoga saja gadis itu baik-baik saja.

Setelah memastikan Freya sudah tidak ada di sana, Kevin lantas menyingkirkan tangannya dari wajah Justin. Ia menghela napas lega. Untung saja temannya baik-baik saja. Ya, walaupun agak engep karena tiba-tiba dibekap.

“Bangsat! Apaan sih lo!” teriak Justin sambil memukul punggung Kevin. Ia kembali menatap ke seberang. Namun gadis yang dicarinya telah menghilang.

Lorong itu tampak lengang. Presensi lima anak adam di sana tak cukup untuk menghidupkan suasana. Mereka tenggelam dalam pikiran kalut masing-masing. Melayang memikirkan banyak hal yang sejatinya berinti satu.

Tak ada yang bisa dibagi. Mereka sibuk mengontrol diri sendiri.

Hingga isakan wanita yang tengah duduk di kursi besi dingin itu menginterupsi. Sang suami yang duduk di sampingnya lantas menarik istrinya untuk bersandar di bahu. Sebuah usapan lembut ia sapukan di punggung istrinya. Berusaha menyalurkan kekuatan yang sebenarnya sama hancurnya.

Ketiga anak lelaki di sana memandang dengan tatapan memanas. Tubuh kokoh yang tadinya mampu berdiri tegap kini menyandar di dinding. Bahkan lelaki bernama Kevin itu meluruh ke lantai dan menumpahkan segala sesak yang tertahan. Jayden yang berdiri di sebelahnya lantas berjongkok untuk memeluknya. Danny dari seberang pun mendekat turut memberi kekuatan yang sebenarnya ia butuhkan juga.

“Kenapa jadi kayak gini? Dia bakal baik-baik aja, kan?” ujar Kevin di tengah isakannya. Hanya setetes air mata yang meluncur di kedua belah pipi Danny dan Jayden yang mampu menjawab.

Justin tengah menjalani hipnoterapi. Terapi tersebut biasa memakan waktu sekitar satu, dua, atau mungkin lebih sesuai kebutuhan. Satu jam digunakan untuk wawancara mendalam dengan pasien agar terapis bisa mengetahui gambaran jelas mengenai segala permasalahan pasien, dari mulai asal muasalnya sampai siapa saja yang terlibat dari terciptanya rasa trauma tersebut. Setelah wawancara selesai, baru dilanjutkan ke sesi terapi.

Dua jam sudah berlalu, tapi dokter yang menangani Justin belum juga menampakkan diri. Apalagi mereka tidak bisa mendengar apa yang terjadi di dalam sana. Tak ayal, berbagai macam pikiran buruk mulai menghantui.

Derit pintu yang sedari tadi ditunggu akhirnya terdengar. Mereka yang berdiri di luar sontak berdiri. Dokter yang telah menduga akan terjadi keributan langsung menyuruh mereka tenang.

“Sesi terapi berjalan lancar. Pasien masih memerlukan beberapa waktu untuk kembali ke kondisi sadar normal. Sebaiknya jangan ditemui terlebih dahulu. Biarkan dia menenangkan diri,” ujar sang dokter dengan tenang.

“Anak saya baik-baik saja kan, Dok? Apa saya ndak bisa menemuinya sebentar saja?” ujar ibu Justin.

“Satu orang saja, ya.” Ucapan sang dokter langsung diangguki. Ibu justin meminta ijin ke suaminya sebelum masuk. Setelah mendapat anggukan dari sang suami, ia segera masuk ke ruangan tersebut.

“Bagaimana hasil terapinya, Dok? Apa anak saya bisa sembuh?” tanya ayah Justin.

“Bisa, hanya saja butuh beberapa tahap sampai benar-benar pulih. Untuk lebih jelasnya, mari bicarakan di ruangan saya. Apa Bapak ada waktu?”

Ayah Justin mengangguk tanpa ragu. “Dan, Om tinggal dulu. Nanti bilang ke Tante Wina, Om lagi bicara sama dokter.” Danny mengangguk paham. Setelah melambai ke Kevin dan Jayden, ayah Justin pergi bersama si dokter.

Kevin terduduk lemas di kursi. Perasaanya sudah lebih lega mendengar Justin bisa melewati sesi terapinya. Namun rasanya belum puas kalau belum melihat Justin secara langsung.

“Setidaknya dia baik-baik aja sekarang,” ujar Danny mencoba menghilangkan kegelisahan teman-temannya.

Sedangkan di dalam ruangan, Justin masih terbaring di ranjang dengan mata terpejam dan napas tersengal. Ia tidak mengingat apa yang terjadi barusan. Hanya saja saat terbangun, matanya sudah membengkak dan rasanya lelah sekali. Namun ada rasa lega yang terasa sejuk di rongga dadanya. Beban berat yang selama ini terpendam perlahan memudar.

Lengan kanannya ia letakkan di dahi. Pusing. Terapi tadi membuatnya kembali mengingat kejadian traumatis di masa lalu. Namun Justin sudah bersyukur ia bisa melewati semuanya. Ya, mungkin dokter tadi butuh tenaga ekstra untuk menenangkannya.

“Justin.” Suara sang ibu membuat Justin membuka matanya. Ia menoleh dan mendapati sang ibu berdiri di sampingnya disertai tangis haru.

“Bu,” lirih Justin.

“Ada yang sakit?”

Justin menggeleng lemah. “Cuman sedikit pusing, Bu.”

Ibu Justin mengusap dahi anaknya dengan halus. “Ndak apa-apa, nanti pusingnya pasti hilang.” Justin mengangguk dan kembali memejam merasakan usapan lembut sang ibu.

“Sehat terus, yo, anak kesayangan ibuk.”

“Mau pulang bareng, Frey?” ajak Adam saat keduanya keluar dari sebuah kafe. Mereka baru saja selesai radiv (rapat divisi) bersama anggota lainnya. Atmosfer divisi acara masih cukup panas. Mereka harus gerak cepat setelah banyak membuang waktu hanya untuk memutuskan konsep dan tema acara.

“Nggak usah, Dam. Gue bawa mobil sendiri,” jawab Freya lesu. Gadis itu masih merasa bersalah telah mengacaukan suasana di divisinya.

Adam menepuk pucuk kepala Freya pelan. “Nggak usah dipikirin. Pasti selesai, kok. Sekarang lo fokus sama bagian lo. Segera hubungi koordinator divisi ATP buat konfirmasi venue yang bakal kita pakai. Kalau ada kesulitan, jangan ragu buat kabarin gue atau yang lain.”

Freya tersenyum ringan. “Makasih, Dam.”

Lelaki itu mengangguk lalu melambaikan tangannya pergi. Freya berjalan lesu menuju mobilnya. Namun ia belum ingin pulang. Ia lalu duduk di kursi yang berjejer di pinggir trotoar.

Freya duduk di sana. Memandangi jalanan ramai dengan pandangan yang menerawang. Ia menyadari ternyata bekerja bersama banyak orang tak semudah yang ia bayangkan. Banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum membuat sebuah keputusan. Semakin banyak kepala yang berpikir tidak berarti masalah semakin mudah untuk diselesaikan. Namun akan semakin rumit sebab setiap kepala memiliki pemikiran yang berbeda-beda.

Maniknya menyipit. Bola matanya bergerak mengikuti seorang lelaki di seberang sana. “Itu Justin bukan, sih?” gumam Freya tanpa melepas pandangan dari lelaki di sana. Ia sontak teringat sesuatu. “Astaga! Gue belum hubungin dia! Udah lama banget, dong? Ya, ampun bisa-bisanya gue lupa.”

Freya segera mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Mencari sebuah kontak yang telah disimpan oleh lelaki itu dengan nama ”Jangan lupain gue.”. Freya belum mengganti namanya. Sengaja mungkin? Entahlah, ia pun berharap takkan melupakan lelaki itu.

Gadis itu lantas menelepon Justin. Refleks yang baru disadari saat nada sambung berbunyi. Ngapain gue nelpon, sih? batin Freya. Namun sebelum ia berhasil memutuskan telepon, seseorang di seberang sana sudah mengangkatnya.

“Halo?” Jantung Freya mengentak sangat keras. Suara Justin masih sama merdunya seperti tiga tahun yang lalu.

“Justin? Gue di belakang lo,” ujar Freya seraya berdiri. Lelaki di sana tampak berbalik. Freya mengangkat tangannya ragu lalu melambai. Sebuah perasaan hangat menjalar di tubuhnya saat Justin berdiri menghadapnya.


“Sorry baru hubungin lo. Kemarin gue sibuk sama kepanitiaan.”

Justin dan Freya duduk bersebelahan. Ada sedikit jarak di antara mereka. Namun masih cukup untuk saling mendengar degup jantung mereka yang menggema. Freya memainkan tali tas selempangnya untuk mengurangi rasa gugup. Sedangkan Justin menggenggam gelas coklat hangatnya dan es coklat yang diletakkan di antara mereka berdua.

“Nggak apa-apa. Gue udah seneng lo masih mau hubungin gue. Gue nggak pernah minta lo harus hubungin gue sekarang, besok, atau mungkin lusa. Kapanpun itu, gue bakal selalu tunggu.”

Freya tersenyum canggung. Peninggalan masa lalu yang sedang dikubur dalam-dalam kembali tergali.

“Ya … gue juga bakal hubungin lo. Cuman waktu itu gue lupa jadi baru hubungin sekarang.”

Sebuah tawa ringan menyapa telinga kiri Freya. “Iya udah, gue juga udah bilang nggak apa-apa, kan? Nggak usah dipikirin lagi.” Justin menyodorkan minuman dalam genggamannya. “Mau minum?”

Freya menggeleng. “Gue baru aja minum tadi. Lo beli dua?”

“Iya, tadi ada temen yang nitip.”

Freya mengangguk kecil. Ia memperhatikan seragam yang dikenakan Justin. “Gue kayak pernah lihat baju yang lo pakai.”

Justin yang sedang meminum coklat hangatnya lalu menatap kaos yang dipakainya. “Oh, iya? Gue kerja di sana. Tempat penitipan anak,” jawab Justin sambil menunjuk bangunan di seberang. Freya refleks mengikuti arah tunjuk Justin. “Ya, udah luamayan lama, sih. Hampir setahun. Lo pernah ke sana?”

“Ah, iya! Gue pernah ke situ. Waktu itu nemenin Trav …,” jeda Freya tiba-tiba.

“Nemenin siapa?”

“Travis,”lirih Freya. Ia melihat kerutan bingung di kening Justin. “Noir,” jelasnya yang sontak memudarkan kerutan tersebut.

“Ooh, gue baru tau dia nitipin …?”

“Adik.”

“Iya, gue baru tau adiknya dititipin di situ. Nggak pernah ketemu juga.”

Keduanya hanya mengangguk bersamaan. Canggung, tidak ada obrolan yang mengalir lagi. Mereka sama-sama sibuk menatap jalanan yang mulai menguning akibat langit senja. Mengais hal yang mungkin dapat dijadikan bahan obrolan selanjutnya.

“Oh ya, lo berarti ikut kepanitian bareng Danny, kan?” Gotcha! Akhirnya Justin menemukan topik selanjutnya.

“Iya, Jayden juga ikut kan? Gue waktu itu liat pas temu perdana.”

Justin mengangguk. “Mereka berdua ikut. Tapi mereka beda divisi katanya. Lo masuk divisi apa, Fre?”

Ada perasaan aneh yang Freya rasakan saat Justin menyebut namanya. “Oh, gue masuk acara. Capek banget. Banyak hal yang harus dipikirin dan dikerjain. Kayaknya gue nggak cocok jadi anak acara. Baru awal aja gue udah ngerusak suasana, bikin beban anak acara makin banyak. Gue jadi nyesel masuk ke acara.”

Justin menatap Freya dari samping kiri. Maniknya meneliti satu persatu detail wajah cantik gadis itu yang lama ia rindukan. Semuanya masih sama, yang membedakan hanya polesan make up yang makin membuatnya berkilau. Cara gadis itu berbicara, gestur, raut wajah, semuanya sangat tidak asing untuk Justin.

Gadis itu masih sama, masih suka mengeluh. Padahal ia bisa melakukan segalanya. Di saat seperti ini, Justin hanya mengeluarkan kalimat penyemangat singkat lalu membawa gadis itu untuk bersandar di pundaknya, itu dulu. Apakah sekarang ia masih bisa melakukan hal yang sama?

“Gimanapun lo harus tetep ngelakuin itu kan? Jadi, selesaikan aja apa yang udah lo mulai.” Gue di sini bakal selalu dukung lo dan ada buat lo. Begitu kalimat yang diucapkan Justin sebelum Freya tenggelam di pundaknya.

Freya menatap Justin dengan pandangan berair. Ia tentu mengingat kebiasaan itu. Saat telapak lebar Justin menangkup pipinya lalu menariknya dalam pelukan. Pundak Justin adalah pelabuhan ternyaman untuk segala rasa penat yang menghampiri hidupnya. Apakah pundak itu masih sama nyamannya seperti dulu? Sayangnya, Freya sudah tak punya kesempatan untuk memastikannya.

Gadis itu menoleh cepat saat Justin tiba-tiba menangkup mulutnya, seperti ingin muntah. “Justin, kenapa? Lo sakit?” ujar Freya penuh raut kekhawatiran. Wajah Justin sudah memerah. Sepertinya ia sudah menahan mualnya dari tadi.

Lelaki itu melambai ringan, berusaha mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Matanya masih memejam. Lagi-lagi efek obat itu menyerangnya. Perlahan, Justin membuka matanya lalu menurunkan tangan yang membekap mulutnya. Ia menatap Freya lalu tersenyum ringan. “Minumannya nggak enak. Lo jangan beli di situ ya. Nggak enak sumpah,” ujar Justin disertai kekehan. Freya sangat yakin Justin berbohong.

“Oh, iya, gue kayaknya harus balik kerja. Takut temen gue nungguin. Gue duluan nggak apa-apa, kan?” pamit Justin lantas berdiri.

Freya refleks ikut berdiri. “Lo beneran nggak apa-apa? Muka lo pucet banget, Tin.”

Justin menggeleng lalu tertawa ringan. “Nggak apa-apa, Fre.” Tungkainya kembali melangkah. Sekuat apapun Justin menahan, tubuhnya tak mampu menerima. Pandangannya semakin kabur. Tubuhnya limbung yang lantas ditangkap oleh Freya.

“JUSTIN!”

Freya memandangi sebuah kedai dari seberang jalan. Warung Uncle Lim, itu adalah nama yang ia ketahui dari seseorang. Hari ini ia baru sadar kalau nama asli kedai tersebut adalah Kafe Sweet Night. Desain interiornya masih sama, khas kafe tradisional di Korea yang biasa ia lihat di Instagram. Ya, Freya kan belum pernah ke Korea.

Di atas sepatu berhak sedang, Freya menyebrangi jalan menuju kafe tersebut. Ada sesuatu yang menariknya ke sana. Sebuah tempat yang menjadi saksi kencan pertamanya bersama Justin.

Ada sebuah kehangatan yang menyambut Freya saat ia memasuki kafe tersebut. Sesuatu dalam dirinya berdesir, seperti bernostalgia. Semuanya masih sama. Sayangnya, kenangan yang tertinggal di sini yang tak lagi sama.

Ketukan sepatu Freya mengiringi langkahnya memasuki kawasan bebas rokok. Ah sial, dia bahkan masih mengingat di mana ia duduk bersama Justin saat itu. Ada rasa sesak yang membuat intensitas detak jantungnya sedikit meningkat.

Oh, ternyata ada pertunjukkan musik di sini. Tunggu, sepertinya Freya tidak asing dengan suara ini. Bukankah ini suara ...

“Justin?”

Freya terpaku dalam diam. Rongga dadanya menghangat. Ia menatap Justin yang bernyanyi sambil memejamkan mata. Sangat mengkhayati apa yang sedang ia nyanyikan.

Long ago and oh so far away I fell in love with you Before the second show

Freya mengambil tempat duduk. Ia memesan segelas coklat hangat. Sama seperti yang dipesan Justin saat itu. Pandangannya tak lepas dari sosok lelaki dengan suara yang begitu manis.

And your guitar And you sound so sweet and clear But your not really here It's just the radio

Entah mengapa Freya merasa ada sesuatu yang menusuk jantungnya.

Don't you remember you told me you loved me baby? You said you'd be coming back this way again Baby Baby Baby Baby oohh baby.. I love you... I really do

Tanpa Freya sadari, kedua belah pipinya telah basah. Lagu itu, mengapa terdengar begitu menyakitkan? Mengapa Freya merasa lagu itu begitu mewakili hubungannya dengan Justin?

Hari itu, Freya sudah berjanji untuk meninggalkan Travis. Dia sudah berjanji akan kembali bersama Justin. Namun mengapa ia tidak bisa menepatinya? Mengapa ia malah kembali meninggalkan Justin?

Sementara di sisi lain, Justin menarik napas setelah berhasil menyelesaikan nyanyiannya. Rasanya begitu sesak. Ia bahkan menggengam stand mic begitu erat selama bernyanyi. Saat memejam, ia membayangkan segala kenangannya bersama Freya, terutama kenangan setahun yang lalu. Saat Freya berjanji akan kembali bersamanya.

Ingin sekali rasanya ia menyanyikan lagu ini di hadapan Freya langsung. Menumpahkan segala rasa yang tak dapat terucap oleh mulutnya.

Setelah berterima kasih pada orang yang sudah mengiringi lagunya, Justin turun dari panggung. Dadanya mengentak begitu keras. Gadis itu, gadis yang ia bayangkan dalam nyanyiannya benar-benar di sini. Mendengarkan lagunya, mendengarkan segala rasa yang tak pernah terucap, seperti yang ia harapkan.

Pandangannya mendadak agak kabur. Ah, rasa sakit ini kembali menyerang . Tidak, Justin tidak bisa terus menerus menyerah. Banyak hal yang perlu ia selesaikan dengan Freya. Ia harus menemui gadis itu. Namun apakah Freya mau menemuinya?

Justin melangkah pelan, menghampiri Freya. Gadis itu bahkan tak melepas pandang darinya. Segelas coklat panas yang mengepul digenggam begitu erat. Dia tidak menghindar. Dia mau menemui Justin.

“Hai,” sapa Justin terdengar serak sehingga ia langsung berdeham.

Freya tampak gelagapan. “O-oh, hai,” balasnya sembari meletakkan gelas di meja lalu beranjak berdiri untuk menyambut.

“Oh, gapapa duduk aja,” ujar Justin cepat membuat Freya kembali duduk dengan canggung. “Gue boleh duduk di sini?” ijin Justin sambil menunjuk kursi di hadapan Freya.

“B-boleh kok, duduk aja.”

Justin mengulas senyum lantas menarik kursi itu dan mendudukinya. Freya tampak berusaha memalingkan wajah. Tangannya terlihat bergetar saat ia mengangkat gelasnya.

Justin menggosok tangannya yang mendadak dingin. Apa yang harus dia obrolkan bersama Freya?

“Gimana kabar lo?” Pertanyaan klasik, Justin. Nmaun itu bagus juga untuk memulai sebuah percakapan.

“Baik,” jawab Freya yang dibalas anggukan oleh Justin. Ah, apa yang ia harapkan? Sekadar ditanya balik? Mungkin itu keinginan Justin. “Lo gimana?”

Justin hampir terlonjak. Ini benar-benar hari keberuntungan sekaligus aneh. Semua keinginannya benar-benar terjadi. “Gue baik juga.” Bohong Justin, kau bahkan baru keluar dari klinik kemarin.

Freya hanya mengangguk kecil. Suasana kembali menghening.

“Gue liat lo beberapa hari yang lalu.” Ucapan Justin membuat Freya sontak mendongak. “Gue mau nyapa tapi lo langsung pergi. Gue pikir lo nggak mau ketemu sama gue lagi,” tambah Justin diakhiri senyuman tipis.

Freya mengembus napas tipis lalu menunduk. “Gue emang berharap nggak ketemu sama lo lagi,” lirihnya namun masih bisa terdengar begitu jelas oleh Justin.

Justin tercekat. Ia kira Freya sengaja datang ke sini untuk menemuinya. Ekspetasinya terlalu tinggi ya?

“Mmm, maksud gue ....”

Annyeonghaseyo uncle lim!

Ucapan Freya terpotong oleh seseorang yang tiba-tiba berteriak dari pintu depan. Manik Freya melebar. Itu kan Kevin dengan yang lain? Benar, lihatlah Kevin yang sok-sokan mengobrol menggunakan bahasa Korea dengan sang pemilik kafe.

“Ne, kamsahamnida! Yo, saranghae! Ne, ne, ne! Hahaha! Pinter ngelawak juga ni uncle. Mana neh yang namanya Justin?”

Mereka berjalan masuk. Freya panik dan langsung membenahi barang bawaannya. “Gue pergi dulu,” pamitnya pada Justin.

“Eh, Fre!” panggil Justin namun Freya sudah melangkah cepat meninggalkannya.

“Loh, Freya?” ujar Kevin saat ia berpapasan dengan Freya. Namun gadis itu mengabaikannya.

Kevin menatap ke depan, melihat Justin yang berjalan menghampirinya. “Lo ketemu Freya?!” tanya Kevin heboh. Justin hanya mendecak.

“Ngeri! Diem-diem ketemuan sama mantan,” ledek Kevin seraya merangkul Justin. “Lo udah dapet kontaknya belum? Nomor lo masih diblokir kan sama dia?”

Justin melotot. Sial! Ia belum meminta nomor Freya.

Sontak ia mendorong Kevin dan segera berlari. Kevin dan Jayden lantas tertawa. Sedangkan Danny memandang Justin khawatir.

“Freya!” panggil Justin. Namun gadis itu tak menghentikan langkahnya.

Dengan cepat, Justin meraih tangan Freya membuat gadis itu hampir menubruk tubuhnya. Justin gelagapan. Ia mengambil ponsel dalam genggaman Freya. Gadis itu tak bergeming. Mungkin masih terkejut dengan apa yang dilakukan Justin.

Setelah berhasil mengetikkan nomornya di sana, Justin mengembalikan ponsel Freya.

“Hubungin gue kapanpun lo mau. Gue akan selalu tunggu lo sampai kapanpun.”

Freya memandangi sebuah kedai dari seberang jalan. Warung Uncle Lim, itu adalah nama yang ia ketahui dari seseorang. Hari ini ia baru sadar kalau nama asli kedai tersebut adalah Kafe Sweet Night. Desain interiornya masih sama, khas kafe tradisional di Korea yang biasa ia lihat di Instagram. Ya, Freya kan belum pernah ke Korea.

Di atas sepatu berhak sedang, Freya menyebrangi jalan menuju kafe tersebut. Ada sesuatu yang menariknya ke sana. Sebuah tempat yang menjadi saksi kencan pertamanya bersama Justin.

Ada sebuah kehangatan yang menyambut Freya saat ia memasuki kafe tersebut. Sesuatu dalam dirinya berdesir, seperti bernostalgia. Semuanya masih sama. Sayangnya, kenangan yang tertinggal di sini yang tak lagi sama.

Ketukan sepatu Freya mengiringi langkahnya memasuki kawasan bebas rokok. Ah sial, dia bahkan masih mengingat di mana ia duduk bersama Justin saat itu. Ada rasa sesak yang membuat intensitas detak jantungnya sedikit meningkat.

Oh, ternyata ada pertunjukkan musik di sini. Tunggu, sepertinya Freya tidak asing dengan suara ini. Bukankah ini suara ...

“Justin?”

Freya terpaku dalam diam. Rongga dadanya menghangat. Ia menatap Justin yang bernyanyi sambil memejamkan mata. Sangat mengkhayati apa yang sedang ia nyanyikan.

And your guitar And you sound so sweet and clear But your not really here It's just the radio

Don't you remember you told me you loved me baby? You said you'd be coming back this way again Baby Baby Baby Baby oohh baby.. I love you... I really do

Freya memandangi sebuah kedai dari seberang jalan. Warung Uncle Lim, itu adalah nama yang ia ketahui dari seseorang. Hari ini ia baru sadar kalau nama asli kedai tersebut adalah Kafe Sweet Night. Desain interiornya masih sama, khas kafe tradisional di Korea yang biasa ia lihat di Instagram. Ya, Freya kan belum pernah ke Korea.

Di atas sepatu berhak sedang, Freya menyebrangi jalan menuju kafe tersebut. Ada sesuatu yang menariknya ke sana. Sebuah tempat yang menjadi saksi kencan pertamanya bersama Justin.

Ada sebuah kehangatan yang menyambut Freya saat ia memasuki kafe tersebut. Sesuatu dalam dirinya berdesir, seperti bernostalgia. Semuanya masih sama. Sayangnya, kenangan yang tertinggal di sini yang tak lagi sama.

Ketukan sepatu Freya mengiringi langkahnya memasuki kawasan bebas rokok. Ah sial, dia bahkan masih mengingat di mana ia duduk bersama Justin saat itu. Ada rasa sesak yang membuat intensitas detak jantungnya sedikit meningkat.

Oh, ternyata ada pertunjukkan musik di sini. Tunggu, sepertinya Freya tidak asing dengan suara ini. Bukankah ini suara ...

“Justin?”

Freya terpaku dalam diam. Rongga dadanya menghangat. Ia menatap Justin yang bernyanyi sambil memejamkan mata. Sangat mengkhayati apa yang sedang ia nyanyikan.

And your guitar And you sound so sweet and clear But your not really here It's just the radio Don't you remember you told me you loved me baby? You said you'd be coming back this way again Baby Baby Baby Baby oohh baby.. I love you... I really do

“Jadi mamah masih sering menekan Freya?”

“Nggak separah dulu sih, Dok. Tapi Freya merasa nggak nyaman. Rasanya pusing, apalagi Freya harus bisa nurutin kemauan mamah buat kuliah di luar negeri terus jadi model yang sebenernya nggak Freya inginkan. Freya bingung harus gimana, Dok.”

Freya memainkan jari-jarinya yang ia letakkan di atas meja. Memperhatikan gerak-gerik dokter Eriska yang menuliskan beberapa keluhannya. Beliau sudah lama bersamanya sejak SMA, lebih tepatnya saat ia mengalami trauma akibat kematian kakaknya.

Kini Freya sudah tidak memiliki jadwal konsul yang tetap. Dosis obat depresannya pun perlahan mulai dikurangi. Semenjak kuliah di luar kota, Freya sedikit merasa lebih bebas. Ya, karena ia jauh dari ibunya. Dan ia tak lagi mudah mengingat masa lalunya.

“Begini Freya, di dunia ini nggak ada satupun yang bisa bertanggung jawab atas kebahagiaan kamu. Hanya kamu, hanya kamu yang bisa membuat diri kamu bahagia. Sekeras apapun usaha orang lain untuk membuatmu bahagia, itu akan sia-sia kalau kamu memang nggak mau bahagia.

“Lakukan hal-hal yang bisa membuat kamu melupakan hal-hal yang bisa menekanmu. Mendengarkan musik, membaca buku, atau sekedar jalan-jalan ke taman dekat rumah sekalipun. Intinya yang bisa membuat pikiranmu fresh. Jangan biarkan pikiran-pikiran buruk itu mengendalikan kamu terus menerus, Freya. Jangan mau diperbudak sama mereka. Lawan! Dokter tahu kamu perempuan yang kuat. Kamu sudah bertahan sejauh ini, akan sia-sia kalau kamu menyerah.

“Saat kamu ingin menyerah, kamu hanya perlu bertahan satu hari lagi. Besok kalau mau nyerah lagi, kamu bilang ‘Aku mau tahan satu hari lagi.’ begitu seterusnya sampai kamu benar-benar menemukan arti bertahan yang sebenarnya.”


Perasaan Freya jauh lebih lega dari sebelumnya. Ya, dia hanya perlu bertahan. Sekeras apapun teriakannya untuk menolak semua ini tidak akan berarti apapun. Pada akhirnya dia harus menghadapinya dan ia yakin jiwanya cukup tangguh untuk bertahan.

Tungkainya melangkah ke luar dari ruang praktik dokter Eriska. Tak sengaja ia menabrak seseorang yang hendak masuk.

“Eh, maaf!” ujar Freya seraya membungkuk sedikit.

“Iya,” jawab seseorang yang mengenakan hoodie dengan tudung dan masker yang menutupi wajahnya. Ia mengangguk kecil kemudian berlalu dari Freya.

Suara itu, seperti tidak asing. Masa iya gue ketemu Justin lagi? Kayaknya nggak mungkin deh. Ngapain coba Justin ke sini? batin Freya lalu kembali melanjutkan langkahnya.


“Bagaimana kabar kamu, Justin?”

“Nggak baik, dok.”

“Bisa kamu ceritakan apa yang membuat kamu merasa nggak baik?”

Justin menurunkan tudung yang menyelumuti kepalanya. Masker putihnya dilepas. Eriska dapat melihat mata Justin menatapnya kosong dengan lingkaran mata yang menghitam. Bibirnya pucat. Jakunnya tampak kesulitan untuk meneguk ludah. Ia mengambil segelas air mineral dan menyerahkannya pada Justin. Namun tidak digubris oleh lelaki itu.

“Saya nggak tidur tadi malam. Saya terlalu takut. Mimpi itu kembali mendatangi saya. Kepala saya pusing. Perut saya mual tapi saya nggak bisa muntah. Saya sering merasa cemas tanpa alasan. Saya sudah coba menenangkan diri tapi gagal.”

Pena Eriska menari-nari begitu cepat seiring ucapan Justin yang begitu cepat, seakan ia mengucapkannya dalam satu tarikan napas. Tidak terdengar suara lagi dari Justin, Eriska lalu menatapnya. Kedua mata lelaki itu sudah basah. Eriska meletakkan penanya.

“Kamu mau rawat inap?” tawarnya yang langsung mendapat penolakan dari Justin.

Eriska menjeda sejenak. Memberikan waktu pada Justin untuk menenangkan dirinya. Seingatnya, terakhir kali Justin konsul, keadaannya tidak separah ini. Pasti ada pemicunya.

“Kamu sudah bertemu sama dia?”

Justin menunduk. “Belum, mungkin bentar lagi. Dia udah pulang.”

“Justin.” Lelaki itu mendongak, menatap sang dokter yang menaruh beban tubuhnya di atas meja. Ia berusaha memberi kesan pada Justin kalau kini seluruh atensinya hanya untuk lelaki itu. “Kamu harus mencoba untuk mengubah pandanganmu terhadap dia.”

Justin sedikit mengerutkan alisnya. “Bagaimana caranya, dok?”

“Dulu, dia adalah seseorang yang sangat kamu cintai bukan? Kamu bilang dia cinta pertama kamu. Perempuan yang kamu sayangi selain ibu. Masih ingat kamu pernah bilang gitu sama dokter?”

Netra Justin melebar sejenak membuatnya tampak lebih hidup. Ia mengangguk ringan.

“Cobalah pandang dia seperti itu lagi. Pandanglah dia sebagai seorang gadis yang kamu cintai. Bukankah dia sudah memaafkanmu? Walaupun dia tidak lagi mau menemuimu bukan berarti kamu yang salah. Dia hanya butuh waktu untuk menata hatinya.

“Semuanya sudah berlalu, Justin. Kamu tidak bisa terus berdiri di titik yang sama. Ini tidak sulit, Justin. Dokter yakin kamu bisa.”

Tidak ada jawaban dari Justin. Namun Eriska merasa ada setitik energi yang terpancar dari sorot mata lelaki berusia sembilan belas tahun itu. “Namun kamu tidak perlu memaksakannya. Cobalah sedikit demi sedikit mengikis kenangan buruk itu. Okay?” ujarnya diakhiri senyuman tulus. Justin sedikit mengangguk.

Eriska kembali mencoret-coret kertasnya. “Dokter buatkan resep obat yang harus ditebus di apotek. Dosisnya dokter tambah ya. Jangan lupa minum dengan teratur sampai habis. Nanti kalau ada keluhan lain, langsung hubungi dokter. Jangan lupa cerita sama orang tuamu ya, Justin.”

“Terima kasih, Dok,” jawab Justin lirih.

“Semangat dong!” ujar Eriska diiringi tawa membuat Justin tersenyum.


Now playing: Stray Kids – Ex

Justin berjalan lunglai ke pinggir jalan. Menanti mobil Grab yang akan mengantarnya pulang. Ia teringat pada ucapan dokter Eriska. Justin lalu membuka galeri dan memandangi foto yang dikirim Jayden.

Pandanglah ia sebagai gadis yang kamu cintai. Justin berusaha memutar kenangan indahnya bersama gadis itu. Kenangan yang membahagiakan tentunya. Namun sepertinya gagal. Pening mulai menderanya. Namun berusaha Justin tahan. Lama-lama tubuhnya mulai limbung. Tidak, ia tidak bisa.

Justin segera menutup ponselnya dan mengatur napas. Ia tidak boleh memaksakan diri. Bisa-bisa ia benar-benar akan dirawat inap.

Sepertinya kendaraan yang akan mengantarnya pulang itu masih lama. Ia menyeberangi jalan menuju kedai untuk membeli minuman. Sambil berbalik, ia membuka penutup botol itu. Namun pandangannya mendadak terpaku pada seseorang yang berdiri di seberang sana. Botol di tangannya lantas terjatuh.

Tubuhnya membeku. Pandangannya terkunci pada presensi seorang gadis yang turut terdiam di seberang sana. Gelapnya malam membuat mereka tak bisa menatap wajah satu sama lain. Namun hanya dengan sebuah bayang-bayang, mereka sudah dapat mengenali satu sama lain.

Freya merasa kedua obsidiannya memanas. Rasa penasaran akan seseorang yang terus ia lihat sebagai Justin membuatnya nekat akan menghampiri lelaki itu. Namun saat lelaki itu berbalik, Freya mendadak tak sanggup melangkahkan kakinya lagi.

Gadis itu berbalik lalu berlari. Justin tersentak lantas mengulurkan tangannya hendak menggapai gadis di sana. Degup jantungnya berdebar kencang. Apakah ia harus mengejar gadis itu? Keraguannya langsung runtuh saat mengingat Freya lari ke sebuah gang yang cukup rawan. Justin segera berlari menyusul.

Justin tiba di mulut gang dengan napas yang tersengal. Tubuhnya melemas. Ia terlambat.

Gadis itu sudah berada di pelukan lelaki lain, Travis.

Dengan pandangan nanar, ia melenggang dari sana. Mereka tidak menyadari kehadiran Justin. Benar, seharusnya Justin sadar kalau dia bukan gadisnya lagi. Kini ada seseorang yang melindungi gadis itu. Seharusnya ia tak perlu repot-repot mengkhawatirkan Freya.

Tiba-tiba Justin merasa bumi seperti berputar. Pandangannya mulai kabur. Ia mencari sandaran namun tak ada yang bisa ia gapai. Setelahnya, Justin tak lagi mengingat apa yang terjadi pada dirinya.

Libur panjang semester telah tiba. Hari yang ditunggu oleh para mahasiswa perantau. Tak terkecuali Freya yang langsung memutuskan pulang ke Bogor. Satu semester ini ia tidak sempat pulang dikarenakan padatnya jam kuliah. Ia sangat merindukan Bogor dan segala kenangan yang tertinggal di sana.

“Lo dari stasiun naik apa ke rumah?” tanya Adam, teman kuliahnya, yang duduk di sebelah. Dia adalah teman yang cukup dekat dengan Freya. Mungkin karena berasal dari kota yang sama mereka jadi mudah akrab. Sebagai seorang perantau, bertemu dengan orang dari kota yang sama dapat meruntuhkan satu beban yang terpikul di pundak.

“Gue dijemput, Dam. Lo gimana?”

“Naik Grab paling. Kirain lo nggak dijemput. Mau ngajak pulang bareng,” ujar Adam diselingi tawa.

“Kapan-kapan, ya! Gue udah terlanjur bilang soalnya.”

“Santai. Nggak ada yang ketinggalan kan?”

Freya dan Adam saling mengecek barang bawaan mereka. Semuanya sudah tergenggam aman. Adam memberi jalan pada Freya untuk turun dari kereta terlebih dahulu. Mereka mengela napas bersamaan. Akhirnya bisa mencium udara segar Bogor lagi.

Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari stasiun. Freya yang menangkap keberadaan Travis lantas mengangkat tangannya. Senyum Travis mengembang dan kembali meredup melihat seorang lelaki berjalan di sebelah Freya. Ia lalu melangkah menghampiri Freya.

“Travis, ini yang namanya Adam. Dam, kenalin ini Travis.” Wajah Adam terlihat menyambut. Ia meletakkan tasnya sejenak di lantai untuk bersalaman dengan Travis.

Sebelum menyambut uluran tangan Adam, Travis menelisik sosok di hadapnnya dari atas sampai bawah. Kemudian menyambut tangan Adam setengah hati. “Travis, pacar Freya,” ujarnya.

“Vis!” tegur Freya cepat yang hanya dibalas tatapan tanya dari Travis. Apa yang salah? Mungkin itu arti dari tatapan Travis.

“Hohoo pacar? Oke, salam kenal, Vis. Kalau gitu gue duluan ya,” pamit Adam sambil melambaikan tangannya kemudia menjauh.

Travis mengambil koper yang diseret Freya dan tas yang digendongnya. Freya merasa beban di tubuhnya kosong seketika. Ia tersenyum atas perlakukan Travis.

“Ayo!” ajak Travis sambil menekuk sikunya, mengisyaratkan Freya untuk berpegangan di sana. Tanpa ragu, Freya menenggerkan tangannya di sana. Sudah biasa.


“Katanya tadi buru-buru. Gue udah sampe lo nggak pergi-pergi,” sindir Anggie melihat Justin masih berdiri di ambang pintu belakang.

“Temen gue belum jemput,” jawab Justin dengan pandangan terpaku pada ponselnya.

Anggie yang sedang menemani Arabella bermain seluncuran hanya menggelengkan kepalanya. Terdengar bunyi krincing dari pintu depan tanda ada seseorang yang masuk. Justin dan Anggie serentak menatap ke depan.

“Udah dateng tuh. Gue balik ya. Temen gue udah dateng juga,” pamit Justin.

“Oke, ati-ati di jalan, Tin,” jawab Anggie seraya menggendong Arabella. Justin mengangguk lalu keluar melalui pintu belakang.

Travis dan Freya masuk bersama. Freya menatap sekeliling dengan pandangan berbinar. Ini pertama kalinya ia datang ke tempat seperti ini. Tampak cerah dan menenangkan. Walaupun suasananya cukup ramai oleh anak-anak yang bermain.

“Itu Ara,” ucap Travis membuat Freya menoleh. Dilihatnya seorang gadis kecil dengan rambut kuncir dua dalam gendongan seorang perempuan. Ia tampak menggemaskan dengan senyum yang tertahan oleh dua pipinya yang tembam.

“Kak piss!” teriaknya saat ia turun dari gendongan dan langsung berlari menghampiri sang kakak. Travis memeluknya erat. Melepas rindu yang takkan pernah habis walau masih sering berjumpa. Pipi gembul adiknya dicium keduanya.

“Seneng mainnya?” tanya Travis ditengah serbuan ciuman yang ia berikan. Sang adik mengangguk. Mata bulat kecil itu bergulir ke atas, menatap seorang gadis yang berdiri di samping kakaknya. Travis yang menyadarinya ikut menengok. Ia lantas menggendong Ara dan menghadapkannya pada Freya.

“Ara, ini kak Freya. Temennya kak pis. Ayo, salim dulu.”

Mendengar itu, Freya langsung bersemangat melambaikan tangannya dan menjulurkan tangannya. Namun Ara malam beringsut ke pelukan Travis. “Kak Ola mana?”ujar Ara membuat Freya mengernyit.

Travis tampak gelagapan. Merasa tak mendapat jawaban , Ara menengok ke atas. Menatap wajah kakaknya. “Kak Ola ga ikut?” tanyanya kembali. Travis melirik Freya sejenak.

“Kak Ola lagi jauh. Sekarang Ara sama kak Freya ya?”

“Kak pis nda sama kak Ola?”

Freya makin bingung dengan situasi ini. Kak Ola? Siapa? Ia merasa tak pernah mendengar nama itu. Namun sepertinya orang bernama Ola ini cukup dekat dengan adik Travis. Ia terus menanyakan sosok itu. Dan lagi, adik Travis tampak tidak suka dengan kehadirannya.

“Ara mau beli es krim? Beli es krim yuk?” tawar Travis berusaha mengalihkan perhatian Ara dan berhasil. Ia lalu mengajak Freya keluar. Menyadari raut kebingungan Freya, Travis pun berbisik. “Nanti aku jelasin.” Mendengar itu, Freya hanya mengangguk.


Justin dan teman-temannya tiba di sebuah panti asuhan. Merek turun dengan menenteng kardus berisi berbagai bahan makanan. Sembako, camilan, atau kadang juga baju-baju bekas yang masih bagus hasil donasi dari orang-orang sekitar. Kegiatan ini rutin mereka lakukan setiap hari minggu. Semua bahan makanan sebagian besar dibeli menggunakan uang Justin, terutama dari uang gajinya bekerja di penitipan anak.

Tidak hanya satu atau dua panti asuhan, Justin berusaha untuk menjangkau semua panti asuhan yang ada di kotanya. Terkadang ia pun memberi untuk tunawisma yang ia temui di jalanan.

Sweet Escape sudah tak pernah datang ke Sentul. Mereka semua sudah berhenti dari kegiatan kotor itu. Semua ini mereka lakukan untuk menghargai Justin yang tak lagi mengendarai motor. Sebisa mungkin mereka menghindari hal-hal yang berbau masa lalu mereka. Kini mereka fokus berbuat baik dengan harapan bisa membersihkan mereka dari jiwa yang telah lama kotor.

“Mampir warung uncle Lim yok!” ajak Kevin setelah menyelesaikan urusan mereka di panti asuhan. Semuanya setuju dan bergegas pergi ke markas baru mereka.


“Asem banget mulut gue. LA mint ada kagak? Lupa beli gue,” ujar Justin.

“Adanya Marlboro, mau?” tawar Danny seraya melemparkan sebungkus rokok ke meja.

Justin mendecak. “Nggak enak. Uncle jual kagak ya?” Justin beranjak melongok etalase berisi deretan rokok tepat di depannya. Saat ia akan melangkah, tak sengaja ia menabrak seseorang. “Eh, bang David?”

“Lah, Tin? Lagi di sini juga lo?” Lelaki bernama David itu ikut menegur lalu menepuk bahu Justin.

“Iya bang, lagi ngumpul bareng yang lain. Apa kabar lo? Lama banget nggak keliatan.”

“Oy bang, ke mana aja lo?” sapa Kevin menimpali.

“Baik gue, hahahaa. Gue sekarang nyibuk di kafe jadi nggak pernah ke Sentul lagi.”

“Gue sama yang lain juga kagak bang,” timpal Jayden.

“Bagus lah, kagak usah ke sana lagi. Duluan ya, gue mau beli makan buat orang rumah.”

“Adik lo gimana bang?” tanya Danny.

“Di rumah. Kemarin baru jatoh. Maksain naik motor jadi gitu.”

“Semoga cepet sembung buat adik lo bang.”

“Salam buat adik lo.”

“Iya iya, gue duluan ya.”

Sepeninggal David, Kevin membuka obrolan. “Nggak main-main, bro. Nyampe sekarang masih berasa efeknya. Untung aja lo selamet waktu itu, Tin.”

Justin yang mendengar itu hanya menyunggingkan bibirnya.