[Helen POV]
Aku menarik kursi ke meja belajar dan mendudukinya. Melakukan aktivitas yang akhir-akhir ini sedang kugemari. Menulis. Hanya sebuah diary biasa. Namun sekarang jadi luar biasa karena kini cerita keseharianku bukan hal yang biasa.
Aku tak henti-hentinya berpikir. Bagaimana hal ini terjadi padaku? Kenapa aku dipertemukan dengan Aksel? Kenapa dia bisa melihat warnaku padahal dia buta warna? Kenapa hanya aku? Kenapa harus aku?
Apa sebenarnya aku ini dari keluarga yang tak biasa? Apa kakek buyutku adalah seorang penyihir? Lalu kekuatannya menurun padaku. Bisa jadi papa dan mama juga memilikinya tapi tak menceritakannya padaku. Mereka pasti menunggu waktu yang tepat. Apa aku harus menanyakan hal ini pada mereka?
Jangan gegabah. Itu mustahil. Keluargaku pasti manusia biasa. Bukan penyihir. Ah, aku terlalu mengkhayal. Sebenarnya aku terkadang masih ragu dengan Aksel. Dia bener-bener nggak bohong 'kan? Iya lah, aku tidak boleh meragukannya lagi. Dia tidak mungkin membohongiku. Hah, semakin dipikir, semakin aneh jalan pikiranku. Aku tidak mau memikirkannya lagi!
“Kau mau tahu jawaban dari pertanyaanmu itu?”
Terdengar suara asing di dalam kepalaku. Aku langsung memegangi kepalaku yang tiba-tiba terasa pening. Suara siapa tadi?
“Kau mau tahu siapa dirimu?”
Suara itu kembali menggema di kepalaku. Jantungku berdebar cepat. Napasku tersita oleh keanehan ini. Aku menoleh ke kanan-kiri tapi tidak menemukan siapapun di dalam kamarku. Suara itu tidak berwujud. Aku mulai cemas.
“Si-siapa kamu?!”
Napasku memburu. Aku takut tiba-tiba sosok itu muncul dihadapanku dan langsung menerkamku. Karena dari suaranya, dia terdengar garang. Suaranya berat dan menggema.
“Tidak usah takut. Aku hanya menjagamu.”
Menjaga? Gila aja. Sejak kapan aku punya penjaga? Apalagi yang tidak ada wujudnya seperti ini.
“Sejak kau lahir.”
Astaga, bahkan dia bisa mendengar suara hatiku.
“Tentu saja.”
Oke, ini gila. Aku sudah gila. Setelah Aksel, apalagi ini? Malaikat hah?
“Ya, bisa dibilang seperti itu.”
Aku tertegun dan kembali menelan saliva. Jantungku semakin ribut. Aku benar-benar sedang berkomunikasi dengan sesuatu yang bahkan wujudnya tak ada! Oke, ini pasti khayalan. Aku sedang mengkhayal. Ha ha ha shit! Ini nyata, bodoh! Aku benar-benar mendengar suara itu dengan jelas. Astaga.
“Kau ingin tahu kenapa Aksel bisa melihat warnamu?”
Apa? Dia tahu Aksel?
“Tahu lah. Aku kan mengikutimu setiap saat. Aku tahu segala hal dalam dirimu.”
Oke, sepertinya aku harus tenang menyikapi suara ini. Dia bisa mendengar semua suara hatiku. Mungkin dia juga bisa membaca pikiranku. Dia tidak akan menyakitiku kan? Karena dia bilang, dia penjagaku. Penjaga tidak mungkin menyakiti tuannya bukan?
“Sudah selesai berpikirnya? Bagaimana? Apakah kau ingin tahu alasan Aksel bisa melihat warnamu?”
“Ba-baiklah. Beritahu saja alasannya sekarang.”
Astaga! Barusan aku menanggapi sosok itu! Aku berkomunikasi dengan hal gaib! Aku anak indihome!
“Indigo, bukan indihome. Aksel. Lelaki berusia 19 tahun yang buta warna sejak lahir, suatu ketika melihat warna pada seorang gadis bernama Helen. Helen, perlu kau tahu. Tubuhmu memiliki sebuah kelainan. Ah, bukan kelainan, tapi sebuah kelebihan. Namun ini tidak akan membahayakan kesehatanmu. Ini adalah sebuah kelebihan yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu saja, termasuk Aksel.”
“Kelainan? Kelebihan? Apa itu? Apa yang terjadi dengan tubuhku?” Tak bisa dipungkiri, aku mulai panik.
“Di dalam tubuh manusia, ada sebuah zat pewarna yang disebut pigmen. Banyak sedikitnya pigmen mempengaruhi warna kulit seseorang. Zat pigmen yang mempengaruhi macam-macam warna kulit manusia disebut melanin. Melanin berperan memberi warna rambut dan mata. Apabila tubuh kekurangan melanin, maka warna kulit akan pucat. Sedangkan kalau kelebihan, warna kulit akan menjadi semakin gelap.”
Kenapa aku jadi belajar biologi si? Padahal aku masuk kampus seni biar terhindar dari pelajaran itu malah sekarang dapat lagi dari malaikat nggak jelas di dalam otakku ini.
“Aku bisa mendengarmu, Helen.”
“Iya iya maaf. Lalu bagaimana dengan Aksel? Kenapa dia bisa melihat warnaku?”
“Ini yang kumaksud kelainan. Tubuhmu memproduksi terlalu banyak zat pigmen. Seharusnya warna tubuhmu gelap. Tapi lihat kenyataannya, warna kulitmu putih dan hampir pucat. Lalu kemana larinya zat pigmen tersebut?
Zat pigmen itu menjelma menjadi sebuah pancaran cahaya warna. Cahaya yang hanya bisa dilihat oleh Aksel. Bahasa sederhananya, tubuhmu terlalu banyak memancarkan warna sehingga orang buta warna pun bisa melihat warnamu.”
“Tapi kenapa dia juga bisa melihat warna bajuku? Segala sesuatu yang ku pegang juga dia bisa melihat warnanya. Seharusnya dia hanya bisa melihat warna kulit, rambut dan mataku. Karena zat pigmen hanya berpengaruh pada tiga hal tersebut.”
“Kekuasaan Tuhan selalu ada pada waktu dan tempat yang tepat. Aku tidak bisa menyebutkan alasannya. Kau terlalu lemah untuk menyadari kekuatan besarmu. Baru aku beri tahu segini saja mukamu sudah pucat pasi seperti lihat Kunti.”
Ya gimana aku tidak pucat? Aku ngobrol sama sesosok yang tidak bersosok (?) alias tidak berwujud. Dan fyi, lu lebih serem dari kunti!
“Aksel sepanjang hidupnya selalu memohon pada Tuhan untuk diberi kesempatan melihat warna walau hanya sebentar. Tuhan menjadikanmu perantara untuk mengabulkan doanya. Kau harus membantu Aksel sembuh dari penyakitnya. Kau harus menyembuhkannya.”
“Bagaimana aku bisa?”
Harapan Aksel pasti sangat besar. Aku tidak tahu berapa banyak doa yang dia ucapkan sampai-sampai Tuhan memberikan anugerah khusus padaku untuk Aksel. Aku jadi khawatir, apakah aku bisa membantu Aksel untuk sembuh? Aku takut tidak bisa membantunya.
“Salurkan kelebihan zat pigmen milikmu pada Aksel. Maka kau akan kembali menjadi manusia normal dan Aksel pun akan sembuh dari penyakitnya.”
“Bagaimana caranya?”
Suasana hening. Tidak ada suara malaikat itu lagi. Semuanya kembali normal. Aku gemetaran.
“Halo? Malaikat? Kenapa tidak menjawabku? Hey, katakan padaku bagaimana caranya. Malaikat? Hei!”
Bagaimana ini? Malaikat itu pergi tanpa memberi tahu cara untuk menyembuhkan Aksel. Dasar malaikat gila! Bagaimana aku bisa menyembuhkannya sekarang? Salurkan zat pigmenku katanya. Memang aku ini pipa yang bisa menyalurkan air?
Aku meraup wajahku frustasi. Beban ini bertambah berat. Aku harus mencari cara untuk menyembuhkan Aksel. Harapannya ada di tanganku sekarang. Aku harus mengabulkannya.