Quinzaharu

[Helen POV]

Aku menarik kursi ke meja belajar dan mendudukinya. Melakukan aktivitas yang akhir-akhir ini sedang kugemari. Menulis. Hanya sebuah diary biasa. Namun sekarang jadi luar biasa karena kini cerita keseharianku bukan hal yang biasa.

Aku tak henti-hentinya berpikir. Bagaimana hal ini terjadi padaku? Kenapa aku dipertemukan dengan Aksel? Kenapa dia bisa melihat warnaku padahal dia buta warna? Kenapa hanya aku? Kenapa harus aku?

Apa sebenarnya aku ini dari keluarga yang tak biasa? Apa kakek buyutku adalah seorang penyihir? Lalu kekuatannya menurun padaku. Bisa jadi papa dan mama juga memilikinya tapi tak menceritakannya padaku. Mereka pasti menunggu waktu yang tepat. Apa aku harus menanyakan hal ini pada mereka?

Jangan gegabah. Itu mustahil. Keluargaku pasti manusia biasa. Bukan penyihir. Ah, aku terlalu mengkhayal. Sebenarnya aku terkadang masih ragu dengan Aksel. Dia bener-bener nggak bohong 'kan? Iya lah, aku tidak boleh meragukannya lagi. Dia tidak mungkin membohongiku. Hah, semakin dipikir, semakin aneh jalan pikiranku. Aku tidak mau memikirkannya lagi!

“Kau mau tahu jawaban dari pertanyaanmu itu?”

Terdengar suara asing di dalam kepalaku. Aku langsung memegangi kepalaku yang tiba-tiba terasa pening. Suara siapa tadi?

“Kau mau tahu siapa dirimu?”

Suara itu kembali menggema di kepalaku. Jantungku berdebar cepat. Napasku tersita oleh keanehan ini. Aku menoleh ke kanan-kiri tapi tidak menemukan siapapun di dalam kamarku. Suara itu tidak berwujud. Aku mulai cemas.

“Si-siapa kamu?!”

Napasku memburu. Aku takut tiba-tiba sosok itu muncul dihadapanku dan langsung menerkamku. Karena dari suaranya, dia terdengar garang. Suaranya berat dan menggema.

“Tidak usah takut. Aku hanya menjagamu.”

Menjaga? Gila aja. Sejak kapan aku punya penjaga? Apalagi yang tidak ada wujudnya seperti ini.

“Sejak kau lahir.”

Astaga, bahkan dia bisa mendengar suara hatiku.

“Tentu saja.”

Oke, ini gila. Aku sudah gila. Setelah Aksel, apalagi ini? Malaikat hah?

“Ya, bisa dibilang seperti itu.”

Aku tertegun dan kembali menelan saliva. Jantungku semakin ribut. Aku benar-benar sedang berkomunikasi dengan sesuatu yang bahkan wujudnya tak ada! Oke, ini pasti khayalan. Aku sedang mengkhayal. Ha ha ha shit! Ini nyata, bodoh! Aku benar-benar mendengar suara itu dengan jelas. Astaga.

“Kau ingin tahu kenapa Aksel bisa melihat warnamu?”

Apa? Dia tahu Aksel?

“Tahu lah. Aku kan mengikutimu setiap saat. Aku tahu segala hal dalam dirimu.”

Oke, sepertinya aku harus tenang menyikapi suara ini. Dia bisa mendengar semua suara hatiku. Mungkin dia juga bisa membaca pikiranku. Dia tidak akan menyakitiku kan? Karena dia bilang, dia penjagaku. Penjaga tidak mungkin menyakiti tuannya bukan?

“Sudah selesai berpikirnya? Bagaimana? Apakah kau ingin tahu alasan Aksel bisa melihat warnamu?”

“Ba-baiklah. Beritahu saja alasannya sekarang.”

Astaga! Barusan aku menanggapi sosok itu! Aku berkomunikasi dengan hal gaib! Aku anak indihome!

“Indigo, bukan indihome. Aksel. Lelaki berusia 19 tahun yang buta warna sejak lahir, suatu ketika melihat warna pada seorang gadis bernama Helen. Helen, perlu kau tahu. Tubuhmu memiliki sebuah kelainan. Ah, bukan kelainan, tapi sebuah kelebihan. Namun ini tidak akan membahayakan kesehatanmu. Ini adalah sebuah kelebihan yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu saja, termasuk Aksel.”

“Kelainan? Kelebihan? Apa itu? Apa yang terjadi dengan tubuhku?” Tak bisa dipungkiri, aku mulai panik.

“Di dalam tubuh manusia, ada sebuah zat pewarna yang disebut pigmen. Banyak sedikitnya pigmen mempengaruhi warna kulit seseorang. Zat pigmen yang mempengaruhi macam-macam warna kulit manusia disebut melanin. Melanin berperan memberi warna rambut dan mata. Apabila tubuh kekurangan melanin, maka warna kulit akan pucat. Sedangkan kalau kelebihan, warna kulit akan menjadi semakin gelap.”

Kenapa aku jadi belajar biologi si? Padahal aku masuk kampus seni biar terhindar dari pelajaran itu malah sekarang dapat lagi dari malaikat nggak jelas di dalam otakku ini.

“Aku bisa mendengarmu, Helen.”

“Iya iya maaf. Lalu bagaimana dengan Aksel? Kenapa dia bisa melihat warnaku?”

“Ini yang kumaksud kelainan. Tubuhmu memproduksi terlalu banyak zat pigmen. Seharusnya warna tubuhmu gelap. Tapi lihat kenyataannya, warna kulitmu putih dan hampir pucat. Lalu kemana larinya zat pigmen tersebut?

Zat pigmen itu menjelma menjadi sebuah pancaran cahaya warna. Cahaya yang hanya bisa dilihat oleh Aksel. Bahasa sederhananya, tubuhmu terlalu banyak memancarkan warna sehingga orang buta warna pun bisa melihat warnamu.”

“Tapi kenapa dia juga bisa melihat warna bajuku? Segala sesuatu yang ku pegang juga dia bisa melihat warnanya. Seharusnya dia hanya bisa melihat warna kulit, rambut dan mataku. Karena zat pigmen hanya berpengaruh pada tiga hal tersebut.”

“Kekuasaan Tuhan selalu ada pada waktu dan tempat yang tepat. Aku tidak bisa menyebutkan alasannya. Kau terlalu lemah untuk menyadari kekuatan besarmu. Baru aku beri tahu segini saja mukamu sudah pucat pasi seperti lihat Kunti.”

Ya gimana aku tidak pucat? Aku ngobrol sama sesosok yang tidak bersosok (?) alias tidak berwujud. Dan fyi, lu lebih serem dari kunti!

“Aksel sepanjang hidupnya selalu memohon pada Tuhan untuk diberi kesempatan melihat warna walau hanya sebentar. Tuhan menjadikanmu perantara untuk mengabulkan doanya. Kau harus membantu Aksel sembuh dari penyakitnya. Kau harus menyembuhkannya.”

“Bagaimana aku bisa?”

Harapan Aksel pasti sangat besar. Aku tidak tahu berapa banyak doa yang dia ucapkan sampai-sampai Tuhan memberikan anugerah khusus padaku untuk Aksel. Aku jadi khawatir, apakah aku bisa membantu Aksel untuk sembuh? Aku takut tidak bisa membantunya.

“Salurkan kelebihan zat pigmen milikmu pada Aksel. Maka kau akan kembali menjadi manusia normal dan Aksel pun akan sembuh dari penyakitnya.”

“Bagaimana caranya?”

Suasana hening. Tidak ada suara malaikat itu lagi. Semuanya kembali normal. Aku gemetaran.

“Halo? Malaikat? Kenapa tidak menjawabku? Hey, katakan padaku bagaimana caranya. Malaikat? Hei!”

Bagaimana ini? Malaikat itu pergi tanpa memberi tahu cara untuk menyembuhkan Aksel. Dasar malaikat gila! Bagaimana aku bisa menyembuhkannya sekarang? Salurkan zat pigmenku katanya. Memang aku ini pipa yang bisa menyalurkan air?

Aku meraup wajahku frustasi. Beban ini bertambah berat. Aku harus mencari cara untuk menyembuhkan Aksel. Harapannya ada di tanganku sekarang. Aku harus mengabulkannya.

Aksel POV

“Lo yakin ini rumah dia?”

“Yakin, gue udah tanya alamat rumahnya ke Fany. Dia punya data pribadi anak klub.”

Gue dan Reza tengah bersembunyi dibalik pohon yang berseberangan dengan sebuah rumah. Rumah bercat putih dengan halaman hijau di depannya dan dikelilingi oleh pagar berwarna putih. Rumah itu diyakini Reza milik Helen, maksudnya punya orang tuanya. Kami memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam tentang Helen. Setelah semua kejadian yang gue alami, Reza yakin Helen ini bukan manusia biasa.

“Ada yang keluar! Ada yang keluar!” bisik Reza sambil menepuk-nepuk pundak gue.

“Itu Helen 'kan? Iya, itu Helen!”

Seorang gadis keluar dari rumah itu sambil menenteng sebuah easel dan meletakannya di halaman. Dia kembali ke teras dan mengambil sebuah kursi. Lalu dia memasang sebuah kertas ke easel dan duduk di kursi. Sepertinya dia akan melukis.

“Hobi banget ngelukis ya dia. Apa jangan-jangan kuasnya itu ajaib? Oh, atau kuas itu tongkat sihir dia?” ucap Reza membuka sesi perjulidan.

“Ja, plis deh. Helen itu murni manusia biasa. Kalo dia bukan manusia seutuhnya, dia bukan setengah penyihir. Tapi manusia setengah bidadari!”

Reza menjitak kepala gue keras. “Bisa nggak sekali aja nggak bucin? Kita ini sedang melakukan penelitian. Objektif dong!”

“Ya daripada lo, nganggep dia penyihir. Lebih nggak objektif siapa coba?”

“Setidaknya gue ada bukti sihir dia, itu lo. Lo udah disihir sama dia sampe jadi begini.”

“Gue juga ada bukti. Dia cantik, baik, tidak sombong, rajin menabung. Sempurna banget buat jadi bidadari kan?”

“Sssttt!!! Berisik! Liat tuh ada yang datengin dia!”

Gue dan Reza serentak diam dan mengamati seseorang yang menghampiri Helen. Gue menyipit berusaha mengenali wajah orang itu. Namun tidak berhasil karena orang itu membelakangi gue dan menutup kepalanya dengan tudung Hoodie yang dipakainya.

Helen menoleh pada orang itu. Sepertinya orang itu memanggilnya. Lalu Helen meletakan kuas di tangannya di meja dan berjalan menghampiri orang itu.

Mereka bercakap-cakap. Helen terlihat mengerutkan dahinya dan menggeleng dengan mengucapkan beberapa kata yang nggak bisa di dengar kami.

“Mereka ngomongin apa si serius amat.” Gue berusaha menajamkan pendengaran namun gagal. Jarak kami terlalu jauh buat nguping.

“Eh ehh, kok orangnya nunjuk-nunjuk Helen?” Reza menepuk bahu gue cepat dengan panik. Gue langsung membuka mata dan terbelalak kala orang itu terlihat memojokkan Helen sampai Helen melangkah mundur sedikit demi sedikit.

“Ja, kayaknya orang itu lagi ngancem Helen. Kita harus selametin Helen, Ja!” ucap gue buru-buru berlari menghampiri Helen.

“Eh, Sel! Woy! Argh! Tu bocah nggak bisa sabar dikit apa?!” gerutu Reza tapi bisa gue dengar dia ikut berlari mengejar gue.

“Ada apa ini?” Gue berdiri di tengah-tengah mereka. Di depan Helen, berusaha melindunginya. Astaga, gue terkejut. Ternyata orang itu perempuan.

“Aksel? Kok kamu bisa ada disini?” tanya Helen dari balik tubuh gue. Gue hanya menolehkan kepala sedikit tanpa menjawab Helen.

“Woy, tunggu guee. Hah~ hah~ gila cape banget padahal cuman lari segitu doang,” eluh Reza saat tiba diantara kami. Dia menunduk dengan menumpukan kedua tangan di lututnya.

“Loh Reza?” Helen kayaknya bingung melihat Reza juga ada disini. Ahelah ni bocah ngerusak suasana kepahlawanan gua aja.

“Hey, siapa lo? Kenapa gangguin Helen? Mau apa lo sama dia?” Tanpa menghiraukan helaan napas Reza yang terdengar nyaring, gue kembali fokus pada perempuan misterius di depan gue.

“K-kak Aksel? K-kakak di-sini ju-ga?” ucap perempuan itu terbata-bata.

“Lo kok tau nama gue?” tanya gue heran.

“Aku tau semua hal tentang kakak,” jawab gadis itu.

“Hah?” Gue makin heran.

“A-aku emm.. a-aku su-suka sama k-kakak,” ucap gadis itu ragu sambil menunduk takut.

“Hahh???” Gue sekarang kaget.

Gadis itu mengangkat kepalanya. “Kakak tau? Semua kegiatan yang kakak lakuin aku tau. Apapun yang berhubungan sama kakak, aku tau. Hal sekecil apapun yang kakak lakuin akan berpengaruh besar di kehidupanku. Bahkan hanya sepatah kata di Twitter kakak itu udah bisa bikin aku bahagia banget.”

Gue, Reza, dan Helen tertegun mendengar pengakuan dari gadis yang belum diketahui namanya. Gue nggak menyangka, selama ini ada seseorang yang mengamati segala gerak-gerik yang gue lakuin. Jadi selama ini, gue diawasin seseorang?

“Tapi kebahagiaan itu berubah saat kakak mulai cerita tentang seseorang di Twitter-mu.” Gadis itu melirik Valery tajam. Gue meneguk ludah kasar.

“Dia sama sekali nggak pantas untuk kakak. Dia tidak tau apa-apa tentang kakak. Dia hanya perempuan yang seenaknya membuat kakak sakit lalu datang meminta belas kasihan kakak. Dan yang membuatku kaget, kakak maafin dia. Padahal dia udah bikin kakak sakit.”

Bahkan masalah itu pun dia tahu. Dia benar-benar penguntit.

“Orang yang harusnya berlindung di belakangmu itu aku, Kak. Aku! Kenapa kakak lebih memilih dia? Aku selalu mengikuti kakak ke manapun. Tapi kenapa kakak malah ninggalin aku?” ucap gadis itu yang mulai meninggikan suara. Setetes air mata turun membasahi pipinya. Oke, gue rasa gadis ini mulai tidak waras. Gelagatnya sudah menunjukkan tanda-tanda yang tidak baik. Gue harus menghentikan gadis ini sebelum dia mengatakan hal-hal aneh lainnya.

“Tunggu sebentar. Sepertinya ada yang salah disini. Maaf aku sama sekali nggak kenal kamu. Bahkan kayaknya kita nggak pernah ketemu. Kamu nggak bisa seenaknya ngomong kaya gini. Dan lagi perilakumu tadi termasuk tindakan menguntit. Aku bisa tuntut kamu atas hal itu.”

“T-tapi kak, aku udah kenal kakak dari dulu. Kita emang nggak pernah ketemu karena aku malu deketin kakak. Aku cuman ingin kakak jadi milikku. Plis, kak. Jauhin cewe itu.”

“Dengerin aku, kamu itu masih muda. Jangan buang-buang waktu buat ngelakuin hal nggak bermanfaat kaya gini. Apalagi kamu berani melabrak seniormu. Apa kamu nggak malu? Aku bisa jadi kakak buat kamu. Tapi maaf, kita nggak bisa bersama. Aku udah punya pilihan sendiri,” ucap gue dengan lembut agar tidak menyakiti perasaan gadis itu. Ah, hati gue terlalu lemah buat kasar sama gadis kecil kaya dia yang gue tebak dia masih umuran SMA. atau paling enggak baru semester satu.

“Nggak, aku nggak mau jadi adik kakak. Aku mau jadi—,”

“Sssttt ... denger, segala sesuatu yang ada di dunia ini nggak selalu sesuai sama keinginan kita. Kita harus belajar menerima. Kamu mungkin ngga bisa dapetin aku. Tapi aku yakin, Tuhan sedang mempersiapkan seseorang yang lebih pantas buat kamu daripada aku. Apa kamu mau aku jadi pacarmu karena terpaksa? Itu malah lebih nyakitin kamu nantinya dan aku nggak mau ngelakuin itu.”

Gadis itu hanya diam memandang gue sambil terisak. Air mata terus mengalir di pipinya. Apa ini benar-benar menyakitkan buat dia ya? Tapi gue harus gimana? Gue nggak mungkin menyetujui ajakan dia sedangkan hati gue udah buat Helen. Gue jadi serba salah.

“Are you okay? Apa kamu bisa menerima keputusanku?” tanya gue saat suasana hening beberapa saat. Helen hanya terdiam di balik punggung gue dan Reza berdiri bersandar pada pagar sambil menyimak kami tanpa memberi komentar.

“Baiklah, aku terima keputusan kakak. Sebagai seseorang yang menyukai kakak, aku selalu ingin melihat kakak bahagia. Walaupun bukan denganku. Aku akan berusaha menerima semua ini. Terimakasih untuk kenangannya, kak. Aku senang pernah mengagumi kakak sampai detik ini. Semoga kakak selalu bahagia,” ucap gadis itu dengan tersenyum paksa dan air mata yang terus mengalir di kedua pipinya. Kemudian dia berlari pergi sambil mengusap kasar pipinya.

Gue ingin mencegat gadis itu. Gue hanya ingin memberi sedikit hadiah perpisahan untuknya. Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya akan menyulitkan gadis itu untuk melupakan gue. Ya, gue cuman ingin memeluk gadis itu sebentar. Tapi sepertinya tidak perlu.

Gue berbalik menghadap dua orang di belakang. Mereka langsung menatap gue bersamaan. Gue menghela nafas panjang.

“Hahh~~ ya gini lah resikonya jadi orang ganteng.”

Saat itu juga, gue lihat Reza yang pengin mengeluarkan semua isi perutnya di wajah gue.

Aksel POV

Semburat jingga menyergap membawa kehangatan. Dari balik jendela, burung-burung terlihat berkejaran sambil berdecit. Angin lembut membelai pepohonan yang rindang.

Helen kembali dengan sebuah kotak di tangannya. Gue menoleh lalu mengernyit. Kotak apa itu? Helen menyeret sebuah kursi ke depan gue dan duduk disana.

“Kotak apaan itu?”

Tanpa menjawab, Helen membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat berbagai cat warna dengan warna yang bermacam-macam. Gue emang nggak bisa liat warna cat itu. Label warna yang tertempel di wadah itu membantu gue mengenali warna-warni cat itu.

“Cat warna?”

“Eum, dengan cat warna ini, aku jadi lebih mudah buat ngenalin kamu berbagai warna,” jawab Helen ramah.

Gue tersenyum tipis. “Tapi Len, aku nggak bisa liat warna cat it—loh?”

Gue tercekat. Nggak, gue nggak mungkin salah liat tadi. Tadi bener-bener jelas kalo...

“Apa?” tanya Helen bingung dengan masih menggenggam cat warna tadi.

“Ta-tadi cat itu nggak berwarna. Tapi pas kamu pegang, tiba-tiba keluar warnanya,” ucap gue gemetar.

Helen sontak melepaskan cat warna di tangannya. Cat itu jatuh ke dalam kotak dan otomatis warnanya menghilang. Helen tertegun, sama kaya gue. Kita bener-bener syok. Gue serius. Tadi cat warna itu jelas muncul warnanya pas Helen pegang.

“Aksel jangan bercanda gitu dong. Aku jadi takut tau,” ucap Helen agak panik.

“Se-serius, Len. Aku benar-benar liat kaya gitu tadi. Maaf, aku nggak bermaksud bikin kamu takut.”

Gue nggak boleh bikin Helen panik. Dia udah berusaha bantu gue. Gue nggak boleh bikin dia takut kaya gini. Tapi ... Astaga ... Gue bener-bener speechless sama Helen. Dia, dia siapa si sebenarnya?

Helen menarik nafas lalu membuangnya pelan. “Oke, malah kebetulan kan? Aku jadi lebih gampang ngenalin warna ke kamu. Tinggal pegang aja terus muncul deh warnanya. Wih, aku jadi ngerasa kaya pesulap sekarang.”

Gue bisa lihat usaha Helen untuk menenangkan suasana. Meskipun gue tahu, pasti dalam benaknya lebih syok dari gue. Lubuk hati gue tersentuh. Oh shit! Helen berhasil membawa gue jatuh lebih dalam lagi.

“Hei! Jangan ngelamun. Katanya mau belajar warna.” Tanpa sadar, Helen dari tadi melambai-lambaikan tangannya di hadapan gue. Gue gelagapan dan memaksakan sebuah senyum terukir di bibir.

“Ah, maaf aku jadi nggak fokus. Ayo, kita mulai.”

Helen berdeham dan memulai kelas warnanya. Satu persatu cat warna ditunjukkan ke gue. Tangannya agak gemetar. Apa dia masih takut sama kejadian tadi ya? Ya jelas masih lah. Gue aja masih deg-degan liat cat warna itu satu persatu muncul warnanya pas Helen pegang.

Tapi di sisi lain, gue juga seneng. Lihat satu persatu wujud warna yang ternyata benar indah. Sampai-sampai gue nggak rela cuman buat kedip sekalipun. Amazing. Hidup gue jadi lebih terasa ramai, nggak sunyi kayak biasanya. Andaikan aja gue bisa liat warna-warni itu selamanya. Pasti hidup gue lebih terasa.

“Nah gimana? Udah ada gambaran gimana warna-warna itu?” tanya Helen yang telah menyelesaikan kelas (dadakan) warnanya.

“Udah. Bener kata kamu, warna itu indah ternyata. Tapi menurutku nggak lebih indah dari kamu tuh,” jawab gue mulai gombalin dia lagi.

“Gombal terus gombal. Hahaha. Ya kamu kan baru liat dari cat warna doang. Kalo kamu udah liat senja, langit cerah, dan warna alam semesta ini, kamu pasti bakal narik kata-katamu tadi.”

“Gitu? Tapi sayangnya aku nggak bisa lihat semua itu. Jadi aku nggak bisa narik kata-kataku tadi. Tetap kamu yang terindah.”

Helen tersenyum lalu memukul bahu gue. “Jangan menyerah gitu dong. Aku kan udah janji bikin kamu bisa liat semua itu. Walaupun jujur, aku nggak tau gimana caranya. Tapi aku yakin, kamu pasti bisa sembuh. Dan saat kamu sembuh nanti, kamu bisa tarik omongan kamu tadi.”

Untuk kesekian kalinya, gue bertanya dalam hati. Helen, mau sedalam apa lagi kau membawaku? Kumohon, jangan lebih dalam lagi. Nanti aku susah keluarnya.

“Makasih, Len. Makasih buat semuanya. Aku nggak tau harus membalasnya dengan apa.”

“Dengan yakin bahwa penyakitmu akan sembuh. Tidak menyerah. Itu udah cukup untuk membalasku,” ucap Helen tulus.

Oh, pliss. Gue bener-bener nggak bisa berkata-kata apa lagi. Mungkin gue akan melebur dengan tanah sekarang.

“Oke, aku akan lakukan semua itu.”

Gue dan Helen saling berpandangan dengan senyum manis di bibir kami. Matahari mulai terbenam. Memancarkan warna oranye menembus jendela menyinari wajah Helen. Lalu meredup dan gelap.


“Habis kencan?”

Suara Reza langsung menyambut saat gue membuka pintu kontrakan. Tidak habis pikir, kenapa si Reza suka banget ngadem di rumah? Padahal kan dia punya pacar. Hangout kek atau gimana. Berasa pacar cuman jadi status doang.

“Kepo lu. Ngapa si di kosan mulu. Nggak bosen apa? Jalan kek sama Fany. Kasihan dia, masa punya pacar nggak pernah ngajak jalan?”

“Hah~ mau jalan gimana? Dia sibuk, gue juga sibuk. Lagian pacaran nggak mesti harus jalan-jalan terus kan? Emangnya lo, belum jadian udah ngajak ketemuan mulu.”

“Dia yang ngajak ketemuan kali bukan gue.”

“Gimana ketemuan sama Helen tadi? Ada hal menarik yang lo temuin dari Helen lagi?” tanya Reza yang duduk di kursi sambil memandangi gue yang lagi mengganti pakaian.

Gue berhenti lalu menoleh cepat ke belakang. “Ada! Lo tau kaga? Barang yang dipegang sama Helen bisa munculin warna juga!”

Reza menarik kursinya mendekat. “Ah, yang bener aja lo! Gimana ceritanya bisa kaya gitu?”

Gue ikut menarik sebuah kursi dan duduk berhadapan dengan Reza. “Jadi tadi dia mau ngajarin warna ke gue. Pake cat warna gitu. Nah sebelumnya gue liat cat warna itu nggak berwarna, tapi pas si Helen pegang tiba-tiba muncul warnanya. Gila, gue kaya liat sihir secara nyata.”

Raut wajah Reza tampak tak percaya. “Gue jadi penasaran sama Helen. Gimana kalau besok kita selidikin dia?”

Disarankan sambil mendengarkan lagu When We Were Young-Adele

Author POV

Esoknya, Aksel kembali lagi ke jembatan itu. Entahlah, sepertinya dia merasa tenang disana. Mungkin ini akan jadi tempat pelarian barunya saat stress. Hmm, daripada datang ke klub seperti kebiasaannya dulu.

Udara malam menerpa rambut panjangnya. When we were young milik Adele sayup-sayup terdengar dari balik airpod yang bertengger di telinganya. Sesekali Aksel menggumamkan lirik yang sudah sangat dihapalnya. Sungguh paket lengkap yang cocok untuk suasana malam ini.

Aksel tersentak. Seseorang mengambil salah satu airpodnya. Ia sontak menoleh dan matanya membulat. Lagi-lagi warna itu. Warna yang akhir-akhir sangat mengganggu pikirannya. Warna yang sangat dia rindukan. Warna Helen.

“Ini lagu apa? Enak banget didenger,” tanya Helen tapi tak menatap Aksel. Pandangannya tertuju pada laut dibawah jembatan.

“When We Were Young, punya Adele,” jawab Aksel sambil memandang ke depan. Raut wajahnya tegang karena kehadiran Helen yang tiba-tiba. Dan lagi bagaimana Helen bisa ada di sini?

“Nyanyiin dong. Kamu pasti udah hapal lagunya kan?” pinta Helen. Tapi lagi-lagi tatapannya masih ke depan. Sama sekali tidak menghadap Aksel.

Aksel menoleh pada Helen. “Kan kamu lagi dengerin lagunya, dari penyanyi aslinya lagi.”

“Aku pengin denger yang versi kamu.”

Aksel tersenyum tipis. Dia mencondongkan tubuhnya dengan siku yang bertumpu pada pembatas jembatan. Telapak tangannya tertaut lalu menghadap ke depan.

Everybody loves the things you do From the way you talk To the way you move

Helen melepas airpod di telinganya dan menatap Aksel.

Everybody here is watching you 'Cause you feel like home You're like a dream come true But if by chance you're here alone Can I have a moment Before I go?

Aksel tersenyum tipis di sela-sela nyanyiannya. Dada Helen berdesir melihat senyuman itu. Senyum yang sangat tulus dan ringan. Aksel seperti sedang bercerita tentang isi hatinya. Apalagi saat menyanyikan lirik terakhir. Before I go? Kenapa terasa begitu nyata?

'Cause I've been by myself all night long Hoping you're someone I used to know

You look like a movie You sound like a song My God, this reminds me Of when we were young

Let me photograph you in this light In case it is the last time That we might be exactly like we were Before we realized We were sad of getting old It made us restless It was just like a movie It was just like a song

Aksel beralih menatap Helen yang tengah terdiam menatapnya dengan mata yang agak sembab. Tak sadar, setetes air menetes dari obsidian Helen. Dia merasa larut dalam lagu. Lagu yang dinyanyikan dengan tulus hingga menyentuh lubuk hatinya. Suara merdu Aksel seakan jadi candu yang ingin terus dia dengarkan. Suara yang membekap suara lain agar sang pendengar hanya fokus padanya.

“Kok nangis si? Emang aku nyubit kamu?” ledek Aksel lagi-lagi dengan senyum manisnya. Astaga, sepertinya dia ingin membunuh Helen sekarang.

“Suara kamu bagus banget tau. Aku jadi nangis dengernya,” jawab Helen sambil mengusap pipinya yang basah.

Aksel tertawa singkat. “Makasih buat pujiannya. Tapi jangan nangis terus. Nanti aku dikira ngapa-ngapain kamu lagi.”

Tawa itu, tawa paling lembut dan manis yang pernah Helen dengar. Segala hal tentang Aksel selalu penuh ketulusan. Bagaimana dia bisa jahat kepada sosok sebaik Aksel?

Helen begitu menyesali sikap sombongnya saat Reza meminta bantuan kepadanya. Aksel begitu terluka. Dan dia malah menyepelekan semua itu.

“Aksel?” panggil Helen lirih tapi masih dapat didengar oleh Aksel.

“Hm?” Aksel menoleh.

“Kamu liat warnaku?” ujar Helen sambil berbalik menghadap Aksel.

Aksel termenung. Ya, tentu saja. Dia melihatnya. Warna Helen masih dapat terlihat jelas. Warna yang begitu indah. Warna yang memberi kehidupan untuk tempat yang disinggahinya. Warna yang selalu Aksel harapkan bisa merengkuhnya setiap saat.

“Lihat,” jawab Aksel singkat. Ribuan pujian sebenarnya siap dia ucapkan namun kembali dia telan. Sia-sia saja jika Helen tidak peduli dengan semua itu.

“Apa warnanya indah?” tanya Helen kembali. Namun kali ini tak menghadap Aksel lagi.

“Hm, seperti biasanya,” jawab Aksel tenang. Padahal dadanya bergetar hebat.

“Kamu tahu? Warnaku belum seberapa dibanding warna sekitarmu. Dunia ini indah. Aku hanya sebagian kecil warna yang ada di dunia ini. Dibanding mereka, aku nggak menarik sama sekali,”

Aksel tersenyum tipis. “Oiya? Kalau begitu dunia ini indah banget ya? Warna seindah milikmu aja nggak menarik, bagaimana yang paling menarik? Bisa-bisa aku mati berdiri melihatnya.”

Helen menoleh cepat. Tidak, dia tidak tersipu dengan pujian tak langsung itu. Tapi hatinya malah teriris. Kata-kata indah Aksel terdengar begitu menyakitkan. Hal paling sederhana dalam hidupnya adalah hal yang paling diharapkan oleh Aksel. Dia hanya ingin melihat warna dunia, begitu sederhana bukan?

“Kamu nggak pengin melihatnya?” tanya Helen lagi.

“Aku nggak ingin mengharapkan sesuatu yang nggak akan pernah terjadi,” ujar Aksel sambil tersenyum lalu menunduk.

“Aku akan membuatnya terjadi,” ujar Helen tegas. Mata Aksel yang terpejam seketika membulat dan mendongak cepat. Gadis itu tengah menatapnya dalam dan penuh keyakinan. Mereka bertatapan cukup lama dengan suara kendaraan yang melintas mengisi keheningan.

Aksel POV

Di pinggir jembatan, gue duduk dengan kaki terjuntai ke bawah. Sebatang rokok terapit di kedua jari kanan. Sesekali gue hisap sambil memandangi kelap-kelip lampu jalanan yang terlihat kecil dari atas sini. Suara lalu lalang kendaraan memenuhi pikiran gue yang kalut.

Gue menghisap rokok itu lagi kemudian berjengit. Bara apinya menyulut jari. Sudah terlalu pendek. Ujung rokoknya lalu gue gesekkan ke pembatas jalan dan dibuang jauh ke laut di bawah. Gue merogoh saku. Sudah habis.

Langit sangat gelap. Hanya ada beberapa titik putih menyebar disana. Itu bintang kan?

Warna bintang itu apa si? Apa benar warnanya putih?

Lalu langit malam itu warnanya bagaimana? Apa warnanya gelap pekat seperti ini?

Lalu senja itu seperti apa? Kenapa banyak sekali orang berkata senja itu indah?

Gue tadi lihat senja tapi nggak indah. Warnanya abu-abu. Apa itu indah? Atau yang gue lihat itu berbeda dengan yang lain?

Haha, tentu saja. Gue kan buta warna. Mana mungkin senja berwarna abu-abu. Pasti warnanya lebih indah dan cerah. Warna yang takkan pernah gue lihat sampai kapanpun. Semua warna di dunia ini mustahil bisa gue lihat, kecuali warna milik Helen.

Helen. Hah~ gadis itu masih terus menggangu. Bukan dalam bentuk nyata. Tapi bayang-bayangnya yang seakan mengikuti kemanapun gue pergi. Helen, emang lo nggak cape apa ikutin gue terus? Gue aja cape diikutin lo terus.

Pembatas jalan di belakang gue genggam erat untuk menarik tubuh gue berdiri. Dengan tangan yang masih menggenggam erat, gue limbungkan tubuh ke depan menggantung. Mata gue terpejam dan langsung terbelalak saat sesuatu menarik gue dengan keras dan menjatuhkan gue ke jalanan.

“LO GILA YA! MAU NGAPAIN LO TADI? MAU BUNUH DIRI HAH? BUAT APA? NGGAK BAKAL NYELESAIN MASALAH LO TAU NGGAK. MIKIR!”

Jantung gue berdegup kencang saking kagetnya. Ternyata dia Reza. Dengan pakaian yang sama seperti tadi pagi dan Fany yang berdiri di belakangnya sambil menutup mulut. Kenapa Reza bisa tahu gue disini?

“Ngapain lo disini?” tanya gue sambil menatap Reza heran. Reza menatap gue nanar dengan beberapa lipatan di dahinya.

“Ngapain kata lo? Lo mikir ngga si? Lo mendadak ilang gimana gue nggak panik? Hape kalo nggak bisa dihubungi buang aja mendingan. Bisanya nyusahin aja lo!”

Gue terdiam mendengar semua perkataan Reza, atau lebih seperti makian? Lubuk hati gue tergores. Reza nggak pernah ngata-ngatain gue sampe segitunya. Dan ditambah sama ekspresi yang menakutkan, bahkan nggak pernah gue lihat. Kenapa Reza jadi gini?

“Reza cukup! Kenapa kamu jadi marahin Aksel? Dia lagi down! Nggak seharusnya kamu maki dia kaya tadi!”

Tiba-tiba Fany ada disamping gue, merangkul pundak dan membersihkan pakaian gue dari pasir jalanan yang menempel.

“Aksel, lo nggak apa-apa?” tanyanya lembut. Tapi nggak gue jawab. Gue masih menatap Reza yang sedang meraup wajahnya kasar.

“Oh, jadi gue nyusahin lo ya, Ja? Iya si. Gue baru sadar kalau gue udah repotin lo dari dulu. Lo harus milihin baju buat gue, lo bantu ngurusin segala kebutuhan gue. Ya, orang buta kaya gue mah emang bisanya gitu. Maaf ya. Gue nggak bisa kasih apa-apa buat lo kecuali beban.”

Mata Reza terbelalak lalu menggelengkan kepalanya. Isakan Fany terdengar jelas di telinga kiri gue. Dia nangis. Dari sudut mata gue, Fany menggeleng kuat dan mencengkeram erat pundak gue.

Hati gue teriris. Mengingat segala hal yang pernah gue lakukan dengan Reza yang ternyata menyusahkannya. Entah pikiran gue yang lagi berantakan atau apa, gue merasa sangat sensitif dengan kata-kata Reza tadi. Rasanya sangat menusuk.

“Kalo gue nyusahin lo, kenapa nggak biarin gue jatuh aja tadi? Kan beban lo bisa berkurang,”

“Aksel pliss udahhh. Jangan dengerin omongan Reza. Lo nggak pernah nyusahin. Plis jangan bilang kaya gitu.” Fany menggoyangkan badan gue sambil terisak. Gue menoleh menatapnya sambil tersenyum tipis. Beruntungnya Reza punya pacar berhati lembut kaya Fany.

Fany memalingkan wajahnya. “REZA NGAPA LO DIEM AJA! LO UDAH KETERLALUAN SAMA AKSEL. APA LO NGGAK MERASA BERSALAH?!”

Gue tersentak. Baru aja Fany menggentak Aksel keras. Reza sampai terbelalak tak percaya. Fany nggak pernah ngomong kasar ke Reza. Dan sebenarnya dia juga bukan gadis yang kasar.

“Fan, aku nggak maksud buat-,”

“Aku bilang ngomong buat Aksel bukan buat aku!” timpal Fany cepat membuat Reza tak berkutik.

“Udah, Fan. Nggak apa-apa. Yang dibilang Reza bener kok. Aku nggak perlu penjelasan apapun lagi,” ucap gue sambil beranjak berdiri. Lalu gue menjulurkan tangan untuk membantu Fany berdiri.

“Makasih udah nyelamatin gue tadi. Sebenarnya gue nggak mau bunuh diri. Gue cuman lagi menenangkan pikiran. Tapi kayaknya sekarang gue jadi kepikiran buat ngelakuin itu,”

Gue tersenyum lalu berbalik. Fany menahan tangan gue. Gue lepaskan dengan lembut kemudian berjalan pelan meninggalkan mereka.

Seseorang menarik tangan gue dan mendekap gue erat. Gue melihat Fany masih berdiri disana sambil terisak. Tubuh gue membeku.

“Gue minta maaf, Sel. Gue nggak maksud maki-maki lo. Lo nggak pernah nyusahin gue. Sama sekali nggak pernah. Gue kebawa emosi sampe nggak sadar sama apa yang gue omongin. Tolong, jangan lakuin hal macem-macem. Jangan tinggalin gue.”

Reza mendekap gue erat. Pelukan seorang sahabat. Terakhir kali gue pelukan sama dia saat kami berhasil diterima di universitas impian kami. Itu pun hanya pelukan sesaat, lebih tepatnya rangkulan. Sangat berbeda dengan sekarang. Reza seakan nggak ingin melepasnya. Gue jadi merasa canggung.

“Reza, bisa lepasin sekarang ngga? Lo bikin kita keliatan aneh di pinggir jalan kaya gini,”

Gue rasakan tubuh Reza menyentak dan langsung mendorong tubuh gue. “Nggak usah mikir macem-macem! Gue masih normal anjir! Liat noh pacar gue ada disana,” sentak Reza sambil menunjuk Fany di sana.

Gue terkekeh. “Lagian ngapain si peluk-peluk gue? Kan masih ada Fany yang bisa lo peluk? Ngapain malah peluk gue?”

“Najis! Gue takut lo tiba-tiba loncat kesana tau ngga! Ah, nyesel gue udah meluk lo tadi,”

“Siapa juga yang mau loncat kesana? Gue nggak bodoh kali. Gue cuman mau ambil korek disana tuh. Lo si dorong gue keras banget sampe koreknya kelempar,”

Gue menunjuk sebuah korek api yang tergeletak beberapa centi dari tempat kami berdiri. Kemudian menghampiri dan mengambilnya. Reza masih terus menatap gue. “Kenapa lagi? Udah gue bilang, gue nggak akan loncat. Ngapain liatin gue terus si?”

“Sel, lo habis ngerokok kan? Baunya kecium banget dari tubuh lo. Nggak usah bohong, gue tau lo ada masalah. Kenapa nggak cerita aja sama gue? Ngerokok segitu banyaknya nggak bakal nyelesain masalah.”

Reza memang cenayang. Pasti dia tahu ada sebungkus rokok yang sudah kosong di saku celana gue. Tadi gue nggak sadar udah ngabisin semuanya. Padahal gue udah lama berhenti merokok.

“Nggak usah. Nanti gue nyusahin lo lagi,”

“B**t! Lupain aja omongan gue tadi! Lo itu sahabat gue. Nggak mungkin lo nyusahin. Udahlah, mendingan kita bicarain di kontrakan aja. Ayo!”

Reza menarik tangan gue menuju mobil yang terparkir beberapa meter dari kami. Reza juga menghampiri Fany dan menggandeng tangannya mengajaknya untuk masuk ke mobil. Sebenarnya itu mobil Fany si. Kemudian kami pulang bersama

Aksel POV

Di pinggir jembatan, gue duduk dengan kaki terjuntai ke bawah. Sebatang rokok terapit di kedua jari kanan. Sesekali gue hisap sambil memandangi kelap-kelip lampu jalanan yang terlihat kecil dari atas sini. Suara lalu lalang kendaraan memenuhi pikiran gue yang kalut.

Gue menghisap rokok itu lagi kemudian berjengit. Bara apinya menyulut jari. Sudah terlalu pendek. Ujung rokoknya lalu gue gesekkan ke pembatas jalan dan dibuang jauh ke laut di bawah. Gue merogoh saku. Sudah habis.

Langit sangat gelap. Hanya ada beberapa titik putih menyebar disana. Itu bintang kan?

Warna bintang itu apa si? Apa benar warnanya putih?

Lalu langit malam itu warnanya bagaimana? Apa warnanya gelap pekat seperti ini?

Lalu senja itu seperti apa? Kenapa banyak sekali orang berkata senja itu indah?

Gue tadi lihat senja tapi nggak indah. Warnanya abu-abu. Apa itu indah? Atau yang gue lihat itu berbeda dengan yang lain?

Haha, tentu saja. Gue kan buta warna. Mana mungkin senja berwarna abu-abu. Pasti warnanya lebih indah dan cerah. Warna yang takkan pernah gue lihat sampai kapanpun. Semua warna di dunia ini mustahil bisa gue lihat, kecuali warna milik Helen.

Helen. Hah~ gadis itu masih terus menggangu. Bukan dalam bentuk nyata. Tapi bayang-bayangnya yang seakan mengikuti kemanapun gue pergi. Helen, emang lo nggak cape apa ikutin gue terus? Gue aja cape diikutin lo terus.

Pembatas jalan di belakang gue genggam erat untuk menarik tubuh gue berdiri. Dengan tangan yang masih menggenggam erat, gue limbungkan tubuh ke depan menggantung. Mata gue terpejam dan langsung terbelalak saat sesuatu menarik gue dengan keras dan menjatuhkan gue ke jalanan.

“LO GILA YA! MAU NGAPAIN LO TADI? MAU BUNUH DIRI HAH? BUAT APA? NGGAK BAKAL NYELESAIN MASALAH LO TAU NGGAK. MIKIR!”

Jantung gue berdegup kencang saking kagetnya. Ternyata dia Reza. Dengan pakaian yang sama seperti tadi pagi dan Fany yang berdiri di belakangnya sambil menutup mulut. Kenapa Reza bisa tahu gue disini?

“Ngapain lo disini?” tanya gue sambil menatap Reza heran. Reza menatap gue nanar dengan beberapa lipatan di dahinya.

“Ngapain kata lo? Lo mikir ngga si? Lo mendadak ilang gimana gue nggak panik? Hape kalo nggak bisa dihubungi buang aja mendingan. Bisanya nyusahin aja lo!”

Gue terdiam mendengar semua perkataan Reza, atau lebih seperti makian? Lubuk hati gue tergores. Reza nggak pernah ngata-ngatain gue sampe segitunya. Dan ditambah sama ekspresi yang menakutkan, bahkan nggak pernah gue lihat. Kenapa Reza jadi gini?

“Reza cukup! Kenapa kamu jadi marahin Aksel? Dia lagi down! Nggak seharusnya kamu maki dia kaya tadi!”

Tiba-tiba Fany ada disamping gue, merangkul pundak dan membersihkan pakaian gue dari pasir jalanan yang menempel.

“Aksel, lo nggak apa-apa?” tanyanya lembut. Tapi nggak gue jawab. Gue masih menatap Reza yang sedang meraup wajahnya kasar.

“Oh, jadi gue nyusahin lo ya, Ja? Iya si. Gue baru sadar kalau gue udah repotin lo dari dulu. Lo harus milihin baju buat gue, lo bantu ngurusin segala kebutuhan gue. Ya, orang buta kaya gue mah emang bisanya gitu. Maaf ya. Gue nggak bisa kasih apa-apa buat lo kecuali beban.”

Mata Reza terbelalak lalu menggelengkan kepalanya. Isakan Fany terdengar jelas di telinga kiri gue. Dia nangis. Dari sudut mata gue, Fany menggeleng kuat dan mencengkeram erat pundak gue.

Hati gue teriris. Mengingat segala hal yang pernah gue lakukan dengan Reza yang ternyata menyusahkannya. Entah pikiran gue yang lagi berantakan atau apa, gue merasa sangat sensitif dengan kata-kata Reza tadi. Rasanya sangat menusuk.

“Kalo gue nyusahin lo, kenapa nggak biarin gue jatuh aja tadi? Kan beban lo bisa berkurang,”

“Aksel pliss udahhh. Jangan dengerin omongan Reza. Lo nggak pernah nyusahin. Plis jangan bilang kaya gitu.” Fany menggoyangkan badan gue sambil terisak. Gue menoleh menatapnya sambil tersenyum tipis. Beruntungnya Reza punya pacar berhati lembut kaya Fany.

Fany memalingkan wajahnya. “REZA NGAPA LO DIEM AJA! LO UDAH KETERLALUAN SAMA AKSEL. APA LO NGGAK MERASA BERSALAH?!”

Gue tersentak. Baru aja Fany menggentak Aksel keras. Reza sampai terbelalak tak percaya. Fany nggak pernah ngomong kasar ke Reza. Dan sebenarnya dia juga bukan gadis yang kasar.

“Fan, aku nggak maksud buat-,”

“Aku bilang ngomong buat Aksel bukan buat aku!” timpal Fany cepat membuat Reza tak berkutik.

“Udah, Fan. Nggak apa-apa. Yang dibilang Reza bener kok. Aku nggak perlu penjelasan apapun lagi,” ucap gue sambil beranjak berdiri. Lalu gue menjulurkan tangan untuk membantu Fany berdiri.

“Makasih udah nyelamatin gue tadi. Sebenarnya gue nggak mau bunuh diri. Gue cuman lagi menenangkan pikiran. Tapi kayaknya sekarang gue jadi kepikiran buat ngelakuin itu,”

Gue tersenyum lalu berbalik. Fany menahan tangan gue. Gue lepaskan dengan lembut kemudian berjalan pelan meninggalkan mereka.

Seseorang menarik tangan gue dan mendekap gue erat. Gue melihat Fany masih berdiri disana sambil terisak. Tubuh gue membeku.

“Gue minta maaf, Sel. Gue nggak maksud maki-maki lo. Lo nggak pernah nyusahin gue. Sama sekali nggak pernah. Gue kebawa emosi sampe nggak sadar sama apa yang gue omongin. Tolong, jangan lakuin hal macem-macem. Jangan tinggalin gue.”

Reza mendekap gue erat. Pelukan seorang sahabat. Terakhir kali gue pelukan sama dia saat kami berhasil diterima di universitas impian kami. Itu pun hanya pelukan sesaat, lebih tepatnya rangkulan. Sangat berbeda dengan sekarang. Reza seakan nggak ingin melepasnya. Gue jadi merasa canggung.

“Reza, bisa lepasin sekarang ngga? Lo bikin kita keliatan aneh di pinggir jalan kaya gini,”

Gue rasakan tubuh Reza menyentak dan langsung mendorong tubuh gue. “Nggak usah mikir macem-macem! Gue masih normal anjir! Liat noh pacar gue ada disana,” sentak Reza sambil menunjuk Fany di sana.

Gue terkekeh. “Lagian ngapain si peluk-peluk gue? Kan masih ada Fany yang bisa lo peluk? Ngapain malah peluk gue?”

“Najis! Gue takut lo tiba-tiba loncat kesana tau ngga! Ah, nyesel gue udah meluk lo tadi,”

“Siapa juga yang mau loncat kesana? Gue nggak bodoh kali. Gue cuman mau ambil korek disana tuh. Lo si dorong gue keras banget sampe koreknya kelempar,”

Gue menunjuk sebuah korek api yang tergeletak beberapa centi dari tempat kami berdiri. Kemudian menghampiri dan mengambilnya. Reza masih terus menatap gue. “Kenapa lagi? Udah gue bilang, gue nggak akan loncat. Ngapain liatin gue terus si?”

“Sel, lo habis ngerokok kan? Baunya kecium banget dari tubuh lo. Nggak usah bohong, gue tau lo ada masalah. Kenapa nggak cerita aja sama gue? Ngerokok segitu banyaknya nggak bakal nyelesain masalah.”

Reza memang cenayang. Pasti dia tahu ada sebungkus rokok yang sudah kosong di saku celana gue. Tadi gue nggak sadar udah ngabisin semuanya. Padahal gue udah lama berhenti merokok.

“Nggak usah. Nanti gue nyusahin lo lagi,”

“B**t! Lupain aja omongan gue tadi! Lo itu sahabat gue. Nggak mungkin lo nyusahin. Udahlah, mendingan kita bicarain di kontrakan aja. Ayo!”

Reza menarik tangan gue menuju mobil yang terparkir beberapa meter dari kami. Reza juga menghampiri Fany dan menggandeng tangannya mengajaknya untuk masuk ke mobil. Sebenarnya itu mobil Fany si. Kemudian kami pulang bersama

Justin mondar-mandir mencari gadis yang ia pikir pernah melihatnya di suatu tempat. Namun gadis itu tak ada di manapun. Ia lalu berinisiatif masuk ke bar. Benar saja, si gadis tengah duduk di meja bartender dengan segelas orange jus di hadapannya.

Bahu gadis itu ditepuk kuat. Ia menoleh dan Justin dibuat terkejut sebab masker yang sedari tadi menutupi wajah gadis itu telah tertanggal. Kini sepenuhnya ia mengenali gadis itu. Si gadis yang terkenal dengan sebutan siswi nomer satu, Freya Grizelle.

“Freya?” ujar Justin tak percaya.

Gadis yang disebut terbelalak sempurna. Ia tak menyangka jika Justin benar-benar mencarinya. Sial, wajahnya sedang tak terhalang apapun dan Justin berhasil mengenalinya. Freya harus segera pergi dari sini.

Freya lalu menyambar minumannya dan menyiram wajah Justin dengan itu. Lelaki itu terlambat menghindar dan berakhir basah kuyup. Freya segera berlari dari Justin. Namun lelaki itu dengan cepat menyusulnya.

Kaki panjang Freya melangkah cepat menuju area parkir. Ia harus segera mengambil motornya dan kabur dari sini. Derap langkah Justin begitu menghantui. Tidak ada orang di sana. Dan terpenting, tidak ada Travis yang bisa menolong Freya. Gadis itu bahkan hampir menangis saking takutnya.

Lengannya berhasil diraih Justin. Tubuh ramping gadis itu didorong ke dinding. Justin mengukung Freya dengan deru napas yang memburu.

“Kenapa lo kabur dari gue, hm?” ujar Justin di tengah-tengah napasnya yang terputus. Freya menatap sorot mata Justin dengan bahu yang naik turun.

Tak ada cara lain. Freya meninju perut Justin membuat lelaki itu mundur beberapa langkah. Gadis itu lalu berlari menuju motor yang tepat di depannya. Ia naik dan langsung memasang kunci. Namun anehnya kunci tersebut tidak mau masuk ke lubangnya. Tangannya gemetar. Freya benar-benar ingin menangis.

“Hei! Tunggu dulu ngapa! Gue nggak bakal ngapa-ngapain lo njir! Ngapa takut banget sih?”

Freya menangkis tangan Justin yang berusaha menahannya. Maniknya melebar saat lelaki itu mengarahkan ponsel ke arahnya dengan flash yang menyala. Justin tengah memotretnya!

Tepat saat itu, kunci motornya berhasil terpasang. Freya langsung menyalakan motor dan melesat jauh.

Justin bersiul menanggapi. Ia melihat hasil jepretannya di ponsel.

“Freya Grizelle, ternyata gini ya lo di luar sekolah? Menarik,” gumam Justin sembari membasahi bibir bawahnya dengan lidah.

Sweet Escape terlebih dahulu sampai di arena. Lawan mereka, Black Rose, memang terbiasa datang belakangan. Yang tertinggi memang selalu ditunggu, bukan menunggu. Mungkin seperti itu hukum alamnya.

Suasana Sentul cukup ramai. Sebagian datang memang sengaja untuk menonton dan sebagian lagi memenuhi bar yang terletak tak jauh dari sirkuit. Justin dan teman-temannya tahu jika mereka pasti datang untuk Black Rose. Mendadak Justin merasakan tekanan yang cukup besar. Harga dirinya benar-benar dipertaruhkan di sini.

Justin memasuki sebuah area yang dikhususkan untuk mengecek motor, dari mulai mesin sampai bagian lainnya. Ini penting untuk keselamatan pembalap dan memudahkan mereka untuk memenangkan arena.

Lelaki dengan rambut yang disigar tengah itu berjongkok ikut memperhatikan mekanik yang mengontrol motornya. Tidak ada yang bermasalah, sebut si mekanik. Justin menepuk punggung si mekanik lalu berdiri. Kepalanya melongok saat orang-orang di luar sana mendadak heboh. Ini dia, lawannya sudah datang.

“Udah selesai?” tanya Kevin yang baru saja masuk ke arena bengkel. Justin mengangguk. “Noir udah dateng. Buru keluar.” Justin merogoh sakunya untuk mengambil kunci motor. Ia menyambar helm dan langsung menaiki motornya menghampiri sang lawan.


“Oh jadi lo yang berani nantangin gue? Gede juga nyali lo, bro,” sambut Noir saat melihat kedatangan Justin dan gengnya. Hal tersebut memicu tawaan dari teman-temannya.

“Emang perlu nyali segede apa buat nantangin lo?” balas Justin yang langsung mendapat sikutan dari teman-temannya.

Noir meringis seraya menjulurkan lidahnya sedikit. “Gue apresiasi keberanian lo. Dan gue punya penawaran. Gimana kalo lo pemanasan dulu sebelum lawan gue? Ya, gue cuman mau tau seberapa jauh kemampuan lo, sih. Layak apa nggak buat tanding sama gue.” Anak geng Noir bersorak heboh.

“Pemanasan apa maksud lo?”

Noir menengok ke belakang dan melambaikan tangannya. Seseorang datang mendekat. Ia menggunakan pakaian serba hitam dengan rambut yang tergerai bebas. Wajahnya terhalang masker dan topi yang bertengger di kepalanya. Gadis itu melangkah anggun membuat Justin sesaat terpana dengan pesonanya.

“Lo lawan dia dulu. Kalo lo menang, lo boleh berhadapan sama gue. Kalo nggak, ya, harga diri lo amblas!” ejek Noir yang mendapat tawaan menggelegar dari penonton.

“Gue lawan cewek? Yang bener aja lo!” jawab Justin terkekeh remeh.

“Nggak usah bawa-bawa gender. Di sini kita bermain dengan skill. Jangan menganggap remeh seseorang hanya karena mereka perempuan.”

Jawaban Noir membuat Justin memgembus sinis. “Gue bukan nganggap remeh dia. Gue cuman takut dia nangis aja pas dia kalah. Gue paling nggak bisa liat cewek nangis soalnya.”

Si perempuan yang dari tadi diam maju selangkah menghadap Justin. “Know your limit, man. Gue bakal bikin lo berlutut di depan gue di garis finish nanti.”

Sebuah gertakan cantik yang sukses membungkam mulut Justin dan menciptakan gelenyar aneh dalam tubuhnya.


Justin dan gadis bernama samaran Vanessa itu telah menempati garis start. Justin tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik Vanessa. Tatapan lentik penuh ambisi gadis itu tertuju ke depan. Dari auranya, Justin tahu kalau ia tidak boleh meremehkan kemampuan gadis ini.

Bendera start dikibarkan. Justin dan Vanessa serentak menarik pedal gasnya. Gadis itu berhasil memimpin, tapi langsung dikikis jauh oleh Justin. Jantung lelaki itu berdegup kencang. Tidak menyangka rasanya bisa setegang ini hanya karena beradu dengan seorang perempuan.

Vanessa berhasil menyusul. Justin tak berani mengurangi kecepatannya sedikitpun. Pedal gasnya sudah ditarik habis. Ia melirik Vanessa saat gadis itu berhasil menyejajarkan motornya dengannya. Pandangan gadis itu masih terfokus ke depan. Namun tiba-tiba ia menengok ke Justin dan mengedipkan mata kanannya.

Justin terbelalak. Ia mendadak kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Kesempatan itu dimanfaatkan Vanessa untuk menambah kecepatan. Pertandingan pun akhirnya dimenangkan oleh Vanessa.


“Goblok lu anjir! Bisa-bisanya lu kalah dari cewek? Mau ditaro mana muka kita bangsat!” maki Jayden.

“Tu cewek gila anjir! Dia main curang!” bela Justin.

“Curang apa?!” Justin tak bisa menjawab. Ya, masa dia bilang Vanessa curang karena mengedipkan matanya yang sukses membuatnya salting?

“Udahlah anjir. Terima aja lah. Anak geng sana emang hebat semua. Nggak heran kalo kita kalah,” lerai Kevin.

“Tapi dia cewek Vin! Cewek! Ya kali geng kita kalah sama cewek?!”

“Udah gue bilang, jangan bawa-bawa gender di sini. Sekarang udah terbukti kan?” timpal Noir tiba-tiba menghampiri Sweet Escape. Justin dan teman-temannya tak ada yang menjawab. Hal itu membuat Noir tersenyum sinis. “Vanessa! Sini!” panggil Noir.

Justin melihat gadis yang baru saja merampas harga dirinya itu kembali berjalan menghampirinya. Mereka bertatapan cukup lama. Justin masih tidak menyangka kalau ia sudah terkalahkan oleh makhluk indah milik Tuhan itu.

“Sesuai kesepakatan tadi, sekarang lo berlutut di hadapan Vanessa. Cepet!” pinta Noir membuat Justin naik darah. Namun ia menahannya karena memang itu konsekuensi yang harus ia tanggung.

Justin lalu menekuk kedua kakinya. Membiarkan kedua lututnya bertubrukan dengan aspal. Penonton bersorak-sorai. Justin mengangkat kepalanya pelan. Menatap si gadis pemenang dan sontak terkesiap saat gadis itu ternyata tengah menatapnya juga.

Sabtu sore yang cerah. Seorang gadis duduk di pojok kafe dengan sebuah novel berjudul “Hujan” karangan Tere Liye dan secangkir kopi yang mengepul. Sesekali ia menyesap minumannya dengan kening yang berkerut oleh kisah yang cukup menguras otaknya. Sebuah kisah tentang melupakan. Freya jadi membayangkan, apakah alat penghilang ingatan akan benar-benar ada di masa depan nanti? Kalau iya, mungkin Freya harus mencobanya.

Lonceng berdenting tanda seseorang masuk ke kafe. Freya refleks melirik dan hampir tersedak mendapati gerombolan lelaki yang dikenalnya memasuki kafe. Ia lantas mengubah posisi duduk agar mereka tidak menyadari keberadaannya. Untung saja mereka mengambil tempat duduk cukup jauh darinya.

Lelaki berjaket hitam dengan dalaman kaos putih itu mencuri perhatiannya. Ia tampak merogoh saku lalu memantik sepuntung rokok. Ia tersenyum miring seraya mengembus asap yang dihirupnya. Irama detak kehidupan di rongga dadanya meningkat. Ini tidak bisa dibiarkan. Freya harus pergi dari sini.

Gadis itu segera mengemasi barangnya. Novel tadi ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Ia melangkah mengendap menuju pintu keluar. Hampir saja ia lega berhasil mencapai gagang pintu, tiba-tiba seseorang memanggilnya.

“Freya?”

Freya mengenal sekali suara itu. Suara Justin Mahendra. Ia lantas berbalik berusaha mengatur eskpresi wajahnya jadi setenang mungkin.

“Oh, bener ternyata. Sendirian?” tanya Justin. Teman-temannya hanya melirik sekali lantas kembali sibuk sendiri, kecuali Danny yang ikut menatap keduanya.

“Ya, kaya yang lo liat sekarang,” jawab Freya tak acuh.

“Mau gabung sama kita?” tawar Justin membuat yang lain menatapnya bersamaan.

“Nggak usah, gue mau pulang kok.” Setelah melempar senyum tipis, Freya kembali berbalik. Namun lagi-lagi ia tertahan oleh panggilan Justin.

“Gue boleh ngobrol sebentar sama lo?”


“Sejak kapan lo kenal Noir?”

Justin dan Freya mengambil tempat duduk terpisah dari ketiga teman Justin. Mereka duduk berhadapan dengan Freya yang bersandar di kursi dan Justin yang menaruh kedua tangannya di meja.

“Udah lumayan lama. Sebelum kita kenal. Lebih tepatnya waktu pertama kali kita ketemu, di jalan Kenanga.” Jawaban Freya berhasil membungkam Justin. “Dia yang nyelametin gue malam itu. Pas lo ninggalin gue.”

Justin menegakkan tubuhnya. Raut kebencian itu kembali tumbuh di wajah Freya. Ia tahu, Freya takkan semudah itu untuk memaafkannya. Bahkan di malam ketika mereka bertemu kembali setelah dua tahun berpisah, Freya lebih memilih pulang bersama Noir. Lalu esoknya, ada sebuah pesan masuk ke ponsel Justin dari Freya yang menyuruhnya untuk melupakan kejadian semalam.

Pahit. Mana mungkin Justin bisa melupakan sebuah pelukan hangat yang lama ia idamkan?

“Gue cuman tanya kapan, Freya.”

“Biar lebih jelas.”

“Lo bisa jauhin dia?”

“Kenapa?”

Justin menyesap minumannya sebelum menjawab pertanyaan Freya. “Dia bukan cowok yang baik buat lo.”

“Terus cowok yang baik buat gue siapa? Lo?”

Justin hampir tersedak air liurnya sendiri. “Kalo menurut lo begitu, ya udah,” ujarnya dengan senyuman menggoda.

Freya merotasikan bola matanya. “Nggak juga sih.”

Justin kembali mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke Freya. “Tapi gue serius, Noir bukan cowo baik-baik. Lo harus hindari dia.”

Gadis itu menghela napas kasar. “Lo nyegah gue balik cuman buatan bicarain ini?” Ia mengemasi barangnya. “Nggak penting banget sih.” Freya lantas beranjak pergi..

“Ayo buat kesepakatan!” teriak Justin membuat langkah Freya terhenti.

Kemudian Justin berjalan menghampiri Freya. Ia berhenti tepat di sebelah gadis itu. Justin mendekatkan mulutnya di telinga Freya lalu berbisik. “Gue nggak akan ganggu lo lagi kalo lo dateng ke Sentul malam ini, jam sembilan.”

Tubuh Freya membeku bersamaan dengan bisikan menggelitik di telinganya. Ia menatap kepergian Justin yang kembali bergabung dengan temannya. Setelahnya ia baru bisa memgembus napasnya. Apa-apaan lelaki itu. Gila.


“Lo yakin bakal balapan lagi sama Justin, Fre?”

Freya berdiri setelah selesai mengecek mesin motornya. Ia berbalik menghadap sahabatnya, Stella, yang memandangnya khawatir. Freya mengangguk mantap. “Ini salah satu cara biar gue bisa ngelupain dia secepatnya.”

“Tapi lo nggak tau Justin kaya apa! Dia bahkan pernah ngalahin Noir, Fre. Lo nggak takut apa?”

Freya terkekeh. “Gue juga pernah ngalahin Justin kali.”

Gadis itu mengangkat helmnya lalu menggantungnya di pergelangan tangan. Seseorang yang ia tunggu kedatangannya menghampiri untuk memberikan sapaan singkat.

“Jadi apa kesepakatannya?” Tanpa basa-basi Freya kembali mengulang penawaran Justin saat di kafe tadi.

Justin tampak sedikit terkejut. Terlihat dari sorot matanya. “Jadi lo beneran berani lawan gue?”

Pertanyaan Justin membuat salah satu sudut bibir Freya terangkat. “Kenapa gue harus takut? Lo pernah kalah dari gue, kalo lo lupa,” jawab Freya dengan tatapan yang menghujam, menembus sepasang obsidian pemuda di hadapannya. Tatapan itu sukses memicu debaran aneh pada sang adam. Justin berusaha menyembunyikan debaran tersebut.

Kehadiran Freya masih menjadi kekuatan terbesar untuk menghancurkan dunianya. Balutan pakaian serba hitam yang melekat di tubuh gadis cantik itu semakin menarik Justin untuk semakin dalam menyelami pesona Freya.

“Kalo gue menang, lo beneran berhenti muncul di kehidupan gue kan?”

Pilihan yang menyakitkan. Justin jadi menyesali kalimat itu. Mana bisa ia menjauh dari Freya disaat gadis itu adalah dunianya?

“Tapi kalo gue menang, lo harus jauhin Noir.” Freya tak mampu untuk menyembunyikan keterkejutannya. Sepertinya Justin sangat berambisi untuk menjauhkan hubungannya dengan Travis.

“Deal.” Kata itu terucap seiring tautan tangan yang terayun. Justin bersorak. Malam ini akan jadi saksi bagaimana ia memenangkan balapan dan membebaskan Freya dari laki-laki yang salah.


Dua pembalap itu sudah siap di garis start. Mata lentik sang gadis menyiratkan sebuah ambisi untuk menenangkan pertandingan. Sedangkan pemuda di sebelahan tengah mati-matian menahan senyum.

Bendera start telah dikibarkan. Keduanya melaju dengan menarik habis gas motor masing-masing. Sorak sorai penonton menggelegar saat mereka sudah melesat jauh dari garis permulaan.

Justin membiarkan gadisnya memimpin balapan. Saat ia lengah, Justin akan menarik habis gasnya sampai menyejajarkan motornya dengan milik Freya. Justin lalu membuka kaca helmnya.

“Siapin diri lo buat kalah malam ini!” teriak Jusitn membuat Freya menoleh. Lelaki itu tertawa. Setelahnya, ia memacu motornya kencang melewati Freya begitu saja.

“Nggak bisa dibiarin!” Freya menaikkan kecepatan. Namun percuma sebab Justin sudah berhasil memutus pita kemenangan. Sorakan penonton menggelegar keras.

Motor Freya akhirnya sampai. Pemuda yang sudah melepas helmnya itu tersenyum puas dan menghampirinya. Freya kesal melihat senyuman yang seakan mengejeknya. Ia lalu melepas helm-nya dan membiarkan rambut panjangnya terbang bersama angin malam.

Justin dibuat tak berkedip melihatnya. Aura Freya tak pernah gagal membuatnya terpesona.

“Gue yang menang. Jadi mulai malam ini, lo harus jauhin Noir.”

Justin menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapan Freya. Meminta sebuah ikatan perjanjian yang telah disetujui. Justin menatap gadis di hadapannya penuh harap. Demi langit gelap dan gemerlap lintang, ia sangat berharap Freya mau menuruti keinginannya.

Freya menimbang sejenak. Apa dia bisa menjauh dari Travis di saat lelaki itu tahu segala hal yang ia lakukan? Di manapun Freya berada, Travis akan selalu menemukannya. Lelaki itu seperti mengintainya setiap saat.

Senyum tipis terukir di bibir Freya. Dua kelingking itu saling bertaut. Bagaimanapun, Freya harus kooperatif. Lagipun, Travis akan kembali ke Jepang. Pastinya mereka akan berjauhan.

Justin mendelik sempurna, tak percaya dengan Freya yang menyetujui permintaannya. Freya tertawa kecil melihat ekspresi Justin yang begitu berlebihan.

Dari kejauhan, seorang pemuda menatap mereka tajam dengan tangan yang mengepal kuat. Anjing.

Sebuah Pilihan

”... btw, suara lo mirip seseorang yang gue kenal.”

Pemuda itu sontak berdeham. “Masa sih? Perasaan lo aja kali.”

Freya memajukan bibir bawahnya. “Mungkin.” Gadis itu lalu melepas gelang dari pergelangannya. Ia menarik tangan lelaki itu lalu menaruh gelang tadi di telapaknya.

“Apa ini?” tanya pemuda itu kebingungan menatap sebuah gelang berwarna hitam dengan bandul bulan sabit di telapaknya.

“Gue nggak yakin kalo lo beneran iseng doang berdiri di sana. Apapun masalah lo, gue berharap lo cepet dapet jalan keluarnya. Dan gue berharap lo nggak mengaku kalah pada takdir. Lo harus berjuang buat dapetin kemenangan. Ini udah larut. Gue kayaknya mau pulang sekarang.”

“Terus ini gelangnya?”

Freya berdiri seraya menepuk pantatnya yang kotor karena debu. “Buat jaminan lo nggak akan lompat pas gue pergi. Dua tahun yang lalu, lo nitip jaket ke gue biar gue nggak lompat. Sekarang gue nitip gelang biar lo nggak lompat juga.” Freya melepas jaket milik lelaki tadi lalu melipatnya dan memasukan kembali ke paper bag. “Gue balik ya. Jangan lupa, lo punya tanggung jawab buat balikin gelang gue. Dah.”

Baru beberapa langkah Freya pergi, ia kembali dibuat berhenti oleh panggilan lelaki itu. Freya, begitu lelaki tadi memangilnya. Bagaimana ia tahu namanya bahkan ketika mereka tak pernah berkenalan sebelumnya?

Freya berbalik. Seketika jantungnya memompa darah begitu kuat hingga aliran darah yang panas mengalir ke seluruh tubuhnya. Di hadapannya, lelaki tadi berdiri dengan masker yang sudah tertanggal dari wajahnya. Dan yang membuat Freya mendelik adalah lelaki itu ternyata Justin.

Justin melangkah menghampiri Freya. Kini jarak mereka hanya sebatas satu jengkal. Mereka saling memandang dengan perasaan yang begitu menggebu. Tak sadar, sebuah kristal bening meluncur dari pelupuk mata Freya.

Lelaki yang mati-matian ia lupakan sekaligus yang tak pernah bisa ia lupakan. Lelaki yang tak pernah absen menemani malamnya. Lelaki yang begitu ia rindukan. Justin Mahendra, cinta pertamanya.

“Lo bilang, lo nggak bisa kembaliin jaket gue karena gue nggak kasih tau di mana lo harus kembalikan jaketnya. Sekarang gue nggak mau hal itu terulang lagi. Jadi, di mana gue bisa kembaliin gelang lo, Freya Grizelle?”

Keheningan menyelimuti mereka. Angin malam menerbangkan anak rambut Freya hingga menghalangi wajah cantik gadis itu. Freya tak sanggup menjawab. Hanya aliran sungai di pipinya yang mampu mewakili perasaannya.

Justin menelan salivanya dengan susah payah. Freya, gadis yang tak pernah ia lupakan. Gadis yang ia biarkan abadi di relung jiwanya. Kini gadis itu berdiri di hadapannya. Mati-matian ia berusaha menahan diri untuk tidak menarik gadis itu dalam pelukan. Namun ia gagal.

Tanpa ragu, Justin menarik tubuh Freya ke pelukannya. Tak ada kata yang terucap. Hanya ada sebuah pelukan yang terus mengerat seiring dengan detak kehidupan yang berlomba untuk jadi yang tercepat. Justin memejam erat menahan gejolak yang mendobrak keras pertahanannya. Rasanya sesak, sampai sangat sulit rasanya hanya untuk menarik napas.

“Gue kangen, kangen banget.” Hanya kalimat itu yang mampu terucap dari bibir Justin. Mungkin setelah ini Freya akan memberontak dan mendorongnya. Justin sudah siap dengan itu.

Namun yang ia dapat adalah sebuah remasan kuat di punggungnya. Gadis itu menyusup ke dada bidangnya. Menenggelamkan wajah di sana hingga Justin dapat merasakan dingin dari air mata yang membasahi kemejanya. “Gue juga,” rintih Freya yang menggema sampai menembus tulang rusuknya. Justin sontak semakin menekan tubuh Freya ke dalam pelukannya.

Malam itu menjadi saksi pertemuan dua insan yang saling membenci dan mencinta di waktu yang bersamaan. Biarkan mereka sejenak melupakan kebencian yang terpendam. Hanya ada sebuah kerinduan menggebu yang takkan bisa terbayar dengan pelukan singkat yang tak bersekat.

“FREYA!”

Mereka berdua terlonjak bersamaan. Freya sontak berbalik dan menemukan Travis tengah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu melangkah tegas dengan raut wajah menegang. Pandangannya tertuju pada Justin yang terkejut. Tanpa basa-basi, Travis langsung melayangkan pukulan ke wajah Justin hingga lelaki itu tersungkur.

“BAJINGAN NGGAK TAU DIRI LO! BERANINYA LO MELUK FREYA SETELAH SEMUA YANG UDAH LO LAKUIN KE DIA!”

Travis hendak melayangkan pukulan kembali namun segera dicegah oleh Freya. “TRAVIS STOP!”

Lelaki itu balik menatap Freya nanar. “Kamu juga! Udah aku bilang kalau mau ke mana-mana bilang! Susah banget sih cuman ngabarin gitu doang!”

Freya menggeleng tak percaya dengan yang dikatakan Travis.

“Sekarang pulang!” Travis lalu menarik Freya dari sana. Cengkraman lelaki itu begitu kuat hingga membuat Freya meringis. Freya menoleh ke belakang melihat Justin yang bangun dan berlari menyusul. Tautan tangan Travis dan Freya diputus.

“Jangan kasar sama cewe gue!” bentak Justin seraya menarik Freya ke sisinya. Gadis itu tampak mendelik tak percaya dengan yang dikatakan Justin barusan.

“Cewe lo?” Travis terbahak. “Woy! Ngimpi ya lo? Freya nggak akan mau jadi milik lo, cowok pengecut! Perlu lo tahu, Freya udah nggak ada rasa lagi sama lo! Jadi lo nggak usah deketin dia lagi.”

Justin tertawa sinis. “Banyak bacot lo. Emang lo siapa berani ngatur gue?”

Travis menjilat bibir atasnya lalu melangkah ke hadapan Justin dengan pandangan meredup. “Gue ... pacarnya Freya,” bisik Travis diakhiri dengan menaikkan salah satu alisnya. “Jadi, lo jauh-jauh ya dari CEWE gue.”

Travis mendengus lalu berbalik dan kembali menarik Freya pergi. Namun lagi-lagi langkahnya tertahan oleh seseorang yang menahan tangan Freya yang lain.

“Gue nggak percaya. Karena gue yang paling tahu persis gimana perasaan Freya sekarang.”

Kedua lelaki itu saling memandang sengit. Mereka sama-sama mengeratkan genggaman pada tangan Freya. Gadis yang berada di tengah-tengah mereka hanya bisa pasrah menanti salah satu dari mereka untuk mengalah.

Sebuah persaingan baru telah dimulai. Kali ini siapa yang akan jadi pemenangnya? Apakah Justin, lelaki yang menjadi cinta pertama Freya atau Travis, lelaki yang selalu ada untuk Freya?

—end