Bertemu dengan Masa Lalu
Sebuah mobil berwarna putih melaju menembus dinginnya malam. Kendaraan berlalu lalang menikmati keheningan. Cahaya kekuningan dari lampu-lampu trotoar menciptakan ketenangan yang cocok untuk membersihkan pikiran. Freya membawa mobilnya pelan sembari menikmati pemandangan malam kota Bogor yang lama tak ia jumpai.
Banyak sekali kenangan yang tertinggal di kota ini. Terkadang Freya bingung harus tetap tinggal untuk mengabadikan kenangan itu atau pergi untuk melupakannya. Terlalu banyak kenangan menyakitkan sekaligus membahagiakan. Pada akhirnya Freya memilih jalan tengah.
Mendengar Justin telah menyelesaikan hukuman membuat ia lega. Setidaknya lelaki itu menepati janjinya untuk menyelesaikan semuanya. Walaupun rasa cintanya sudah mulai pudar, tak bisa dipungkiri Freya masih saja berdebar setiap mendengar nama lelaki itu disebut.
Cukup menyebalkan. Dua tahun ternyata tidak cukup untuk menghapus keberadaan Justin di hatinya. Banyak cara yang sudah ia ambil. Kuliah di luar kota, menyibukkan diri dengan banyak kegiatan, bahkan melampiaskan rasa pada Travis. Namun tak satupun dari mereka yang menuai hasil.
Freya sampai di gedung yang dulu pernah ia targetkan sebagai tempat untuk mengakhiri hidupnya. Mungkin saja kalau lelaki itu tidak datang, ia takkan bisa berdiri di sini sekarang. Bisa dibilang lelaki itu telah menyelamatkan nyawanya. Ah, kini Freya sudah berhutang dua nyawa dengan orang yang berbeda.
Gadis itu menaiki lift untuk mencapai puncak gedung tersebut. Dipikir-pikir, aneh juga ia sampai bertindak sejauh ini hanya untuk mengembalikan sebuah jaket. Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Mungkin saja pemilik jaket ini sudah tidak mengharap keberadaannya lagi.
Freya tiba dipuncak. Gelap, hanya ada beberapa pencahayaan di sudut-sudut pagar. Dari sini Freya dapat melihat dengan jelas cerahnya langit malam dihiasi bintang yang bertaburan. Freya berjalan sambil menatap sekitar. Mencari sosok lelaki yang mungkin tak pernah lagi datang ke sini.
Langkah gadis itu sontak terhenti. Maniknya membulat sempurna mendapati seseorang tengah berdiri di pinggir gedung dengan tangan yang terlentang, persis seperti apa yang ia lakukan dua tahun yang lalu. Tanpa pikir panjang, Freya langsung berlari menghampiri orang itu.
Freya sontak menarik tubuh orang itu ke bawah. Mereka jatuh bersamaan. Freya meringis sebab lengannya terbentur cukup keras.
“Astaga! Lo nggak apa-apa?!” ujar orang itu seraya bangun untuk memastikan keadaan Freya.
Sambil meringis, Freya membuka matanya menatap orang itu. Ia sontak mendelik. “Elo?!”
Freya dengan seorang lelaki yang menggunakan masker hitam itu duduk bersandar di dinding. Mereka kompak menekuk lutut lalu memeluknya. Freya sesekali melirik orang di sebelahnya yang sedari tadi diam dan terus menunduk. Mungkin saja lelaki itu masih syok karena kejadian tadi. Namun ini lebih baik daripada ia melompat dan mati sia-sia di bawah sana.
Paper bag berisi jaket tadi Freya ambil lalu disodorkan pada lelaki di sampingnya. Lelaki itu lalu mengangkat kepalanya sedikit dan menatap paper bag itu. Mata sipitnya menatap Freya mencari penjelasan.
“Ini punya lo bukan?” tanya Freya. Lelaki itu lalu menarik bungkusan itu dan membukanya. Kedua alisnya terangkat. Jaket berwarna biru jeans itu memang miliknya.
“Lo dapet dari mana?”
“Lo yang kasih sendiri ke gue. Dua tahun yang lalu kita ketemu di sini. Lo nyelametin gue yang mau lompat dari sini, kaya yang mau lo lakuin tadi. Dan sekarang gue yang nyelametin lo,” jawab Freya lalu mengulas senyum tipis.
“Sorry baru gue balikin sekarang. Gue bener-bener lupa harus balikin ini ke lo. Lagian lo juga nggak kasih tau gue ke mana gue harus kembaliin jaket lo. Untung aja kita ketemu lagi di sini,” tambah Freya.
Lelaki itu hanya menanggapinya dengan anggukan. Freya sesekali mencuri pandang padanya. Apa yang akan dilakukan dia tadi? Apa benar ia akan melompat? Kalau iya, mungkin saja lelaki ini sedang menghadapi masalah yang cukup besar. Apa Freya harus menanyakannya?
“Dua tahun lalu, lo udah nyelametin hidup gue. Lo yang udah cegah gue buat bunuh diri. Tapi kenapa sekarang lo yang mau lakuin itu?”
Lelaki itu tak menjawab. Freya berusaha memaklumi. Mungkin sulit untuknya menceritakan masalah pada orang asing. Mereka baru pernah bertemu dua kali. Bahkan tak mengenal nama satu sama lain. Dan sekarang Freya malah sok-sokan menanyakan masalah lelaki itu. Jelas saja ia takkan memberitahu.
Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang untuk menenangkan lelaki ini?
“Nggak apa-apa kok kalo lo nggak mau cerita sama gue. Masalah emang nggak boleh dibagi sama sembarang orang kan? Apalagi sekarang orang-orang cenderung kepo daripada benar-benar peduli. Gue juga selektif cari orang buat diajak curhat,” tambah Freya yang hanya mendapat anggukan lemah dari lelaki itu.
“Gue juga pernah dapet masalah, berat banget malahan.” Lelaki itu akhirnya menaruh atensi pada Freya. “Masalah itu bikin hidup gue hancur lebur. Gue ngerasa kehilangan semuanya, keluarga, teman, bahkan orang yang gue cintai.” Tak ada yang tahu, ada sebuah debaran keras yang berdentum di antara mereka. “Saat itu gue ngerasa kehadiran gue di dunia ini hanya untuk menikmati duka dari Tuhan. Karena gue ngerasa Tuhan nggak pernah biarin gue ngerasain kebahagiaan. Ketika gue ketemu orang yang gue kira bisa bikin gue bahagia, eh ternyata dia sumber dari segala penderitaan yang gue alami.”
“Gue sebel banget sama dia. Benci banget. Sampai rasanya dada gue sesek banget cuman karena denger nama dia. Lo pernah ngerasain nggak sih?”
Pertanyaan Freya hanya ditanggapi dengan kekehan. Freya jadi ikut terkekeh. Udara terasa semakin dingin menusuk tulang. Lelaki itu menyuruh Freya untuk menggunakan jaket miliknya. Freya pun menurut.
“Lo emang sering ke sini apa? Perasaan gampang banget kita ketemu di sini,” tanya Freya.
“Enggak. Ini pertama kalinya gue dateng lagi ke sini setelah dua tahun yang lalu.”
“Serius? Wah, bisa pas gitu ya. Bagus deh, gue jadi nggak perlu bolak-balik lagi. Soalnya gue nggak tau kapan bisa balik ke sini lagi.”
“Kenapa?”
“Gue kuliah di luar kota. Jauh. Capek kalo bolak-balik terus. Ini aja gue nyesel udah bawa mobil sendirian dari Jakarta. Badan gue rasanya remuk semua.”
“Kalo lo cape harusnya istirahat di rumah. Ngapain malah jauh-jauh ke sini cuman buat balikin jaket?”
“Nggak tau juga sih. Pas liat jaket itu gue langsung pengen buru-buru kembaliin. Eh tapi kalo gue nggak ke sini, lo pasti bakal loncat kan? Untung gue dateng di waktu yang tepat.”
Dia terkekeh sebelum menjawab. “Sebenarnya gue nggak mau lompat tadi, cuman iseng berdiri di situ.”
Refleks Freya menepuk punggung lelaki itu. “ Kenapa lo nggak bilang sih? Gue kan jadi malu.”
“Lo tadi langsung narik gue kan nggak nanya dulu.”
“Ya maaf, gue kan panik.”
Lelaki itu tersenyum. “Makasih udah peduli sama gue.”
Freya membalas senyuman lelaki itu. “Sama-sama. Btw, suara lo mirip seseorang yang gue kenal.”
Pemuda itu sontak berdeham.