Quinzaharu

Sebuah mobil berwarna putih melaju menembus dinginnya malam. Kendaraan berlalu lalang menikmati keheningan. Cahaya kekuningan dari lampu-lampu trotoar menciptakan ketenangan yang cocok untuk membersihkan pikiran. Freya membawa mobilnya pelan sembari menikmati pemandangan malam kota Bogor yang lama tak ia jumpai.

Banyak sekali kenangan yang tertinggal di kota ini. Terkadang Freya bingung harus tetap tinggal untuk mengabadikan kenangan itu atau pergi untuk melupakannya. Terlalu banyak kenangan menyakitkan sekaligus membahagiakan. Pada akhirnya Freya memilih jalan tengah.

Mendengar Justin telah menyelesaikan hukuman membuat ia lega. Setidaknya lelaki itu menepati janjinya untuk menyelesaikan semuanya. Walaupun rasa cintanya sudah mulai pudar, tak bisa dipungkiri Freya masih saja berdebar setiap mendengar nama lelaki itu disebut.

Cukup menyebalkan. Dua tahun ternyata tidak cukup untuk menghapus keberadaan Justin di hatinya. Banyak cara yang sudah ia ambil. Kuliah di luar kota, menyibukkan diri dengan banyak kegiatan, bahkan melampiaskan rasa pada Travis. Namun tak satupun dari mereka yang menuai hasil.

Freya sampai di gedung yang dulu pernah ia targetkan sebagai tempat untuk mengakhiri hidupnya. Mungkin saja kalau lelaki itu tidak datang, ia takkan bisa berdiri di sini sekarang. Bisa dibilang lelaki itu telah menyelamatkan nyawanya. Ah, kini Freya sudah berhutang dua nyawa dengan orang yang berbeda.

Gadis itu menaiki lift untuk mencapai puncak gedung tersebut. Dipikir-pikir, aneh juga ia sampai bertindak sejauh ini hanya untuk mengembalikan sebuah jaket. Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Mungkin saja pemilik jaket ini sudah tidak mengharap keberadaannya lagi.

Freya tiba dipuncak. Gelap, hanya ada beberapa pencahayaan di sudut-sudut pagar. Dari sini Freya dapat melihat dengan jelas cerahnya langit malam dihiasi bintang yang bertaburan. Freya berjalan sambil menatap sekitar. Mencari sosok lelaki yang mungkin tak pernah lagi datang ke sini.

Langkah gadis itu sontak terhenti. Maniknya membulat sempurna mendapati seseorang tengah berdiri di pinggir gedung dengan tangan yang terlentang, persis seperti apa yang ia lakukan dua tahun yang lalu. Tanpa pikir panjang, Freya langsung berlari menghampiri orang itu.

Freya sontak menarik tubuh orang itu ke bawah. Mereka jatuh bersamaan. Freya meringis sebab lengannya terbentur cukup keras.

“Astaga! Lo nggak apa-apa?!” ujar orang itu seraya bangun untuk memastikan keadaan Freya.

Sambil meringis, Freya membuka matanya menatap orang itu. Ia sontak mendelik. “Elo?!”


Freya dengan seorang lelaki yang menggunakan masker hitam itu duduk bersandar di dinding. Mereka kompak menekuk lutut lalu memeluknya. Freya sesekali melirik orang di sebelahnya yang sedari tadi diam dan terus menunduk. Mungkin saja lelaki itu masih syok karena kejadian tadi. Namun ini lebih baik daripada ia melompat dan mati sia-sia di bawah sana.

Paper bag berisi jaket tadi Freya ambil lalu disodorkan pada lelaki di sampingnya. Lelaki itu lalu mengangkat kepalanya sedikit dan menatap paper bag itu. Mata sipitnya menatap Freya mencari penjelasan.

“Ini punya lo bukan?” tanya Freya. Lelaki itu lalu menarik bungkusan itu dan membukanya. Kedua alisnya terangkat. Jaket berwarna biru jeans itu memang miliknya.

“Lo dapet dari mana?”

“Lo yang kasih sendiri ke gue. Dua tahun yang lalu kita ketemu di sini. Lo nyelametin gue yang mau lompat dari sini, kaya yang mau lo lakuin tadi. Dan sekarang gue yang nyelametin lo,” jawab Freya lalu mengulas senyum tipis.

“Sorry baru gue balikin sekarang. Gue bener-bener lupa harus balikin ini ke lo. Lagian lo juga nggak kasih tau gue ke mana gue harus kembaliin jaket lo. Untung aja kita ketemu lagi di sini,” tambah Freya.

Lelaki itu hanya menanggapinya dengan anggukan. Freya sesekali mencuri pandang padanya. Apa yang akan dilakukan dia tadi? Apa benar ia akan melompat? Kalau iya, mungkin saja lelaki ini sedang menghadapi masalah yang cukup besar. Apa Freya harus menanyakannya?

“Dua tahun lalu, lo udah nyelametin hidup gue. Lo yang udah cegah gue buat bunuh diri. Tapi kenapa sekarang lo yang mau lakuin itu?”

Lelaki itu tak menjawab. Freya berusaha memaklumi. Mungkin sulit untuknya menceritakan masalah pada orang asing. Mereka baru pernah bertemu dua kali. Bahkan tak mengenal nama satu sama lain. Dan sekarang Freya malah sok-sokan menanyakan masalah lelaki itu. Jelas saja ia takkan memberitahu.

Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang untuk menenangkan lelaki ini?

“Nggak apa-apa kok kalo lo nggak mau cerita sama gue. Masalah emang nggak boleh dibagi sama sembarang orang kan? Apalagi sekarang orang-orang cenderung kepo daripada benar-benar peduli. Gue juga selektif cari orang buat diajak curhat,” tambah Freya yang hanya mendapat anggukan lemah dari lelaki itu.

“Gue juga pernah dapet masalah, berat banget malahan.” Lelaki itu akhirnya menaruh atensi pada Freya. “Masalah itu bikin hidup gue hancur lebur. Gue ngerasa kehilangan semuanya, keluarga, teman, bahkan orang yang gue cintai.” Tak ada yang tahu, ada sebuah debaran keras yang berdentum di antara mereka. “Saat itu gue ngerasa kehadiran gue di dunia ini hanya untuk menikmati duka dari Tuhan. Karena gue ngerasa Tuhan nggak pernah biarin gue ngerasain kebahagiaan. Ketika gue ketemu orang yang gue kira bisa bikin gue bahagia, eh ternyata dia sumber dari segala penderitaan yang gue alami.”

“Gue sebel banget sama dia. Benci banget. Sampai rasanya dada gue sesek banget cuman karena denger nama dia. Lo pernah ngerasain nggak sih?”

Pertanyaan Freya hanya ditanggapi dengan kekehan. Freya jadi ikut terkekeh. Udara terasa semakin dingin menusuk tulang. Lelaki itu menyuruh Freya untuk menggunakan jaket miliknya. Freya pun menurut.

“Lo emang sering ke sini apa? Perasaan gampang banget kita ketemu di sini,” tanya Freya.

“Enggak. Ini pertama kalinya gue dateng lagi ke sini setelah dua tahun yang lalu.”

“Serius? Wah, bisa pas gitu ya. Bagus deh, gue jadi nggak perlu bolak-balik lagi. Soalnya gue nggak tau kapan bisa balik ke sini lagi.”

“Kenapa?”

“Gue kuliah di luar kota. Jauh. Capek kalo bolak-balik terus. Ini aja gue nyesel udah bawa mobil sendirian dari Jakarta. Badan gue rasanya remuk semua.”

“Kalo lo cape harusnya istirahat di rumah. Ngapain malah jauh-jauh ke sini cuman buat balikin jaket?”

“Nggak tau juga sih. Pas liat jaket itu gue langsung pengen buru-buru kembaliin. Eh tapi kalo gue nggak ke sini, lo pasti bakal loncat kan? Untung gue dateng di waktu yang tepat.”

Dia terkekeh sebelum menjawab. “Sebenarnya gue nggak mau lompat tadi, cuman iseng berdiri di situ.”

Refleks Freya menepuk punggung lelaki itu. “ Kenapa lo nggak bilang sih? Gue kan jadi malu.”

“Lo tadi langsung narik gue kan nggak nanya dulu.”

“Ya maaf, gue kan panik.”

Lelaki itu tersenyum. “Makasih udah peduli sama gue.”

Freya membalas senyuman lelaki itu. “Sama-sama. Btw, suara lo mirip seseorang yang gue kenal.”

Pemuda itu sontak berdeham.

“Yooo! Welcome home Justin Mahendra!!!” seru Kevin sontak berlari menghambur ke Justin saat mendapati teman yang ia rindukan keluar dari gedung tahanan. Justin yang terkejut sedikit terhuyung saat Kevin memeluk dan menaikkan kedua kaki ke gendongannya.

“Lo berat anjing!” umpat Justin diselingi tawa yang mengharukan. Dapat Justin dengar Kevin yang mulai menangis.

Jayden dan Danny menghampiri dua lelaki yang masih betah berpelukan. Justin menjulurkan satu tangannya untuk memeluk dua temannya yang lain bergantian. “Selamat bro! Lo udah berhasil menyelesaikan tanggung jawab lo,” ujar Danny sembari menepuk bahu Justin berkali-kali.

“Thanks, Dan,” jawab Justin sembari menggosok punggung Danny.

“Gue bangga sama lo, Tin. Selamat!” ujar Jayden dengan mengelus belakang kepala Justin. Kemudian menepuk pantat Kevin membuat lelaki itu turun dari gendongan.

“Makasih, Den,” jawab Justin. Sorot mata lelaki itu tak bisa membohongi rasa bahagia bercampur lega yang lama ia nanti. Matanya berkaca-kaca. Terharu, ia masih memiliki teman yang setia menunggu kepulangannya. Ia sempat khawatir, mereka tak mau menerimanya lagi.

Justin menatap ke depan. Ayah dan ibunya tengah menanti dengan senyuman haru. Bahkan sang ibu sudah meneteskan air mata menyambut kembalinya sang putra yang sangat dicintai. Justin mengurai pelukan dengan temannya lalu menghampiri orang tuanya.

Ia berdiri tepat di depan mereka. Terdiam sejenak dengan pandangan yang mulai memanas. Justin mencium tangan ayahnya. Sebuah tepukan kebanggan mendarat di punggungnya. Tak ada kata yang terucap. Namun siapapun yang melihat dapat menangkap sirat kebahagiaan di mata ayah Justin.

Justin menatap ibunya sejenak. Ia mencium tangan ibunya cukup lama. Air mata yang bercucuran membasahi punggung tangan sang ibu. “Justin minta maaf, Bu. Justin udah mengecewakan ibu. Justin minta maaf,” ujar Justin dengan gemetar. Sebuah elusan menenangkan di punggungnya menambah rasa sesak yang Justin rasakan.

“Iyo, iyoo, Justin sudah ibu maafkan. Jangan diulangi lagi, yo, Le. Cah baguse ibu,” balas sang ibu lalu menarik putranya dalam sebuah pelukan hangat. Tangisan haru sontak pecah. Sang ayah yang berusaha tegar pun tak sanggup menahan air matanya. Ia lalu merangkul istrinya dan memberikan elusan lembut pada Justin.

Ketiga teman Justin turut merasakan suasana haru. Mereka turut bahagia sang sahabat telah kembali ke pelukan hangat keluarganya. Tarikan napas yang berair terdengar bersahutan. Jayden dan Danny sampai harus memenangkan Kevin yang menangis sesenggukan.

Justin telah berhasil melewati badai dalam kehidupannya. Mungkin dia pernah menjadi lelaki brengsek yang bernyali kecil dan tak punya rasa tanggung jawab. Namun langkah akhir yang ia tempuh membuktikan kalau Justin punya nyali yang lebih besar dari seekor bayi burung yang baru belajar terbang.

Berani mengakui kesalahan bukanlah hal yang mudah. Resiko yang didapat akan berdampak buruk untuk kehidupan Justin. Keluarga, teman, lingkungan sosial, semuanya akan hancur. Namun Justin tak mundur. Ia terus melangkah, menerjang semuanya. Sebab Justin tahu, masalah akan terus membuntuti seperti bayang-bayang di bawah sinar mentari.

Kini saatnya Justin untuk membuka lembaran kehidupan baru yang lebih baik. Napas masih mengembus. Malam kelam akan segera bertemu pagi cerah. Ini bukan akhir dari segalanya. Bumi akan terus berputar, menanti Justin untuk memperjuangkan lebih banyak hal yang sudah menghadang. Masa lalu bolehlah sesekali ditengok, demi masa depan yang lebih elok.

Prom Night Party

Gedung sekolah itu disulap menjadi sebuah gemerlap pesta di keheningan malam. Lahan parkir penuh oleh mobil para siswa yang berjejeran. Berpasang-pasang siswa datang dengan pakaian serba hitam yang menjadi dress code pesta malam itu. Tawaan dan pekikan dari para gadis turut meramaikan malam kelulusan itu.

Dua mobil hitam dan sebuah mobil putih memasuki area parkir. Lelaki bernama Samuel turun di sana lalu berlari memutar untuk membukakan pintu di sampingnya. Seorang gadis penuh kilauan keluar seraya terkekeh kecil oleh sikap Samuel. Mobil hitam lainnya mengangkut Kevin dan Jayden beserta kekasih mereka masing-masing. Sedangkan mobil putih tadi milik Danny.

Freya langsung berhambur pada Stella dan Bella. Sedangkan Kevin yang tak tau malu langsung merangkul Samuel untuk bergabung dengan mereka. Samuel tidak menolak. Sebenernya ia pun tak masalah untuk bergaul dengan gerombolan pembuat onar itu. Samuel bukan orang yang selektif dalam memilih lingkaran pertemanan. Hanya saja saat itu ia kesal dengan Justin. Makanya ia tidak mau dekat dengan Sweet Escape.

“Lo hari ini jadi pasangannya Samuel, Fre?” tanya Stella yang mendapat anggukan dari Freya. “Cocok sih, kalian pasti bakal dapet gelar king and queen prom malem ini!” tambah Stella kelewat excited.

“Justin belum keluar dari penjara ya, Fre? Kalau dia nggak dipenjara pastinya sekarang dia yamg yang jadi pasangan lo,” timpal Bella yang langsung mendapat injakan dari Stella di kakinya. Freya hanya terkekeh melihatnya.

Benar juga, kalau saja garis takdir konyol yang menghubungkan ia dan Justin tidak pernah ada, mungkin sekarang ia akan menjadi pasangan Justin. Freya jadi membayangkan bagaimana Justin mengenakan setelah jas hitam dan bersanding dengannya.

Oh, tidak tidak! Freya tidak boleh memikirkan Justin lagi. Dia kan mau move on. Kalau dipikirin terus, kapan move on-nya?


“Gimana hasil kelulusan kemarin? Lulus 100% kan? Seneng nggak?” seru Kevin selaku pembawa acara. Sang kekasih, Stella, berdiri di samping untuk mendampingi. “Akhirnya perjuangan kita selama tiga tahun ini terbayar lunas! Banyak keringat dan air mata yang mengiringi langkah kita sampai di titik ini. Selamat! Kalian semua sudah berhasil memenangkan medan perang! Tepuk tangan untuk kita semua!”

Riuh tepuk tangan dan sorakan dari penonton meramaikan malam yang cerah itu.

“Nggak perlu berlama-lama lagi, kita langsung masuk ke perfomance aja gimana?” tanya Stella sontak mendapat seruan setuju dari para penonton. “Oke! Kayaknya kalian udah nggak sabar ngeliat talent yang bakal ngisi acara malam ini. Langsung aja kita sambut penampilan pertama, Adam!”

Penonton bersorak gembira. Penampilan pembuka yang sempurna. Adam terkenal sebagai primadona di setiap acara sekolah karena suaranya yang selalu berhasil membuat telinga meleleh. Kali ini ia menyanyikan lagu Blue Jeans dari GANGGA. Setelah itu ada Bagas dengan To The Bone dari Pamungkas. Kemudian kub dance pun turut mengirimkan anggotanya dengan meng-cover dance dari Treasure, I Love You.

Kevin pun turut menyumbang lagu milik Ed Sheeran yang berjudul Perfect. Para penonton takkan melewatkan moment ini. Sudah jadi rahasia umum Kevin adalah cowo terbucin se-Taruna Bangsa. Buktinya kini ia turun panggung dan menarik kekasihnya, Stella, ke atas panggung. Para penoton histeris melihat Kevin yang bernyanyi sambil menggenggam tangan Stella.

Darling you look perfect tonight...” Kevin mengakhiri nyanyiannya dengan menjulurkan setangkai bunga mawar pada Stella sambil berlutut. Hal itu sukses membuat penonton semakin menjerit histeris. Tak terkecuali Freya yang sudah melompat kegirangan di samping Samuel.


“Seperti tradisi kita sebelumnya, akan ada satu orang laki-laki dan perempuan yang bakal jadi king and queen prom malam ini. Kira-kira siapa ya yang bakal mendapat gelar itu malam ini?” Kevin mendekatkan telinga pada para penonton yang kembali ramai.

“Hahahaa, nggak perlu berlama-lama lagi lah, Vin. Pasangan ini pasti udah nggak asing lagi buat kalian. Mereka berdua ini sama-sama kebanggaan Taruna Bangsa. Ada yang bisa nebak siapa?” Stella menjeda sejenak untuk mendengar respon penonton. “Ya! Samuel Pratama dan Freya Grizelle!”

Freya tampak terkejut karenanya. Ia menatap Samuel yang hanya mengangkat kedua bahunya. Setelah itu, Samuel menjulurkan tangan di hadapan Freya. Gadis itu menatap sejenak sebelum menaruh tangan kanannya di telapak lelaki itu.

Mereka berjalan anggun ke panggung. Sorak sorai penonton turut mengiringi langkah mereka. Sesampainya di atas panggung, Kevin dan Stella mengalungkan kain selempang bertuliskan “King Prom” dan “Queen Prom” kepada Samuel dan Freya.

“Sebelumnya kita mau ngucapin terima kasih udah kasih gelar ini ke kita. Sebenernya nggak nyangka banget bakal dapet ini. Tapi kita merasa sangat terhormat dapat kepercayaan dari kalian untuk menyandang gelar ini. Dan aku cuman mau bilang, perjalanan kita memang udah berakhir di sini. Tapi pemberhentian ini bukan akhir dari segalanya. Masih banyak jalur-jalur yang harus kita tempuh. Aku berharap kalian semua terus semangat untuk mencapai impian masing-masing and see you on top guys! Thank you!!” sorak Samuel yang mendapat respon positif dari penonton.

“Oh, iya, Samuel, kita dapet banyak pertanyaan nih dari temen-temen, kamu sama Freya sebenernya ada hubungan apa sih? Kalian kan udah dari dulu deket banget. Walaupun Freya sempet pacaran sama cowok lain, tapi akhirnya kalian deket lagi kaya sekarang. Kasih tau ke kita dong apa hubungan kalian,” goda Stella yang mendapat persetujuan dari penonton.

Samuel beranjak merangkul Freya. “Freya adalah sahabat terbaik yang aku punya. Dia itu cewek yang pantang menyerah, kuat, dan selalu punya cara untuk menyelesaikan masalahnya. Walaupun kadang kaya anak kecil, tapi dia adalah cewe yang hebat. Dan aku merasa beruntung punya sahabat kaya dia.” Jawaban Samuel membuat debat jantung Freya sedikit meningkat.

“Jadi kalian cuman sahabatan?” timpal Stella berusaha memperjelas. Keduanya mengangguk. Para penonton serentak mengeluh. Freya menatap Samuel, begitu pula sebaliknya. Mereka sontak terkekeh bersama.

“Lihat, dia berani merangkul Freya-ku.”

“Sudahlah, mereka kan hanya sahabat.”

Lelaki tinggi menjulang itu menghela napas kasar. “Shit, aku harus menyeretnya dari sana.”

“Hei! Kau mau ke mana? Ingat, ini bukan wilayahmu. Kau tidak bisa masuk ke sana!”

Lelaki yang sudah melenggang beberapa langkah itu berbalik. “Tidak ada kata tidak bisa untuk Travis.”


“Itu tadi si Noir bukan sih? Ngapain dia dateng ke acara kita? Sejak kapan dia kenal Freya?” tanya Jayden setelah ia, Kevin dan Danny mengambil tempat duduk di kedai Uncle Lim. Acara malam kelulusan sudah selesai dan mereka memutuskan untuk nongkrong sebelum kembali ke rumah. Tentunya setelah mengantarkan gadis mereka masing-masing.

“Lah, si Freya kan emang anak gengnya Noir. Lo nggak tau, Den?” timpal Kevin.

“Oh, iya, gue hampir lupa kalo Freya sempet jadi anak sentul juga.”

Dari balik ponsel, Kevin melirik Danny yang sedari tadi hanya diam. “Lo ngapa diem aja, Dan?” tanya Kevin dengan pandangan ke ponselnya.

“Oh, nggak apa-apa kok.” Respon Danny tanpa gelagapan. Kevin yang melihatnya jadi merasa bersalah. Ia teringat ucapan Stella kalau mungkin saja Danny tengah tertekan sekarang. Sebagai teman, seharusnya ia memenangkan Danny bukannya menambah bebannya.

“Gue minta maaf karena selama ini terus nyalahin lo. Padahal gue tau semua ini bukan cuman salah lo.” Ucapan Kevin membuat Danny mengangkat kepalanya. Jayden hanya diam menyimak dua sahabatnya yang mungkin akan berdamai malam ini.

“Gue cuman ngerasa nggak ikhlas karena kita sama sekali nggak dapet balesan apa-apa dari perbuatan kita, terutama lo, Dan. Tapi gue sadar, ngga seharusnya gue bersikap kaya gini ke lo.” Kevin menjeda kalimatnya sejenak. “Lo nggak usah pikirin omongan jahat gue kemarin-kemarin. Gue nggak bener-bener benci sama lo, Dan. Gimanapun lo tetep sahabat gue, sama kaya Justin.”

Danny menunduk sembari meremas celananya. Apa ini? Bisa-bisanya dia menangis hanya karena ucapan menyentuh dari Kevin. Namun jujur, ia begitu menantikan kesempatan ini. Sudah banyak cara ia lakukan untuk mendapat pengampunan dari Kevin. Dan sekarang, lelaki itu sendiri yang mengajak berdamai.

“Nggak apa-apa, Vin. Gue tau perasaan lo. Gue juga benci sama diri gue sendiri karena nggak bisa melakukan apapun buat bantu temen gue. Tapi gue janji sama kalian, gue akan tanggung jawab. Dan gue akan melakukan apapun untuk menebus dosa gue. Gue janji.”

Jayden dan Kevin sama-sama menatap Danny dengan tulus. Dari sorot mata Danny, mereka dapat menemukan sebuah kesungguhan yang menggebu. Mereka tahu, Danny bukanlah orang yang egois. Di beberapa kesempatan ia seringkali mengutamakan Sweet Escape daripada kehidupan pribadinya. Bahkan ketika orang tuanya ingin memindahkan Danny ke kuar negeri, Danny malah memilih kabur bersama teman-temannya.

Semua itu semakin terbuktikan ketika Danny lebih memilih membantu Justin ketimbang mengurusi kekasihnya yang menjadi korban dari kesalahan Justin.

“Ya nggak pake nangis juga lah. Cengeng amat lo jadi cowo!” ledek Kevin melihat Danny mengusap matanya berkali-kali.

“Apaan! Gue kelilipan bangsat!”

Kevin dan Jayden tertawa bersama. Ya, inilah bagaimana permasalahan mereka selesai. Cukup saling mengobrol dengan kepala dingin. Komunikasi itu sangat penting, kawan! Masalah adalah hal yang wajar datang di kehidupan setiap manusia. Hanya bagaimana cara mereka mengurai benang kusut itu menjadi lurus kembali, itu yang paling penting.

Masalah datang untuk dihadapi, bukan dihindari. Jadi, semangat untuk kita yang tengah berjuang untuk bertahan hidup di dunia penuh sandiwara ini!

Freya tidak menyangka kalau ia benar-benar akan menginjakkan kakinya di sini. Namun ia merasa lega sebab bangunan di hadapannya tak sama persis dengan apa yang ada di mimpinya. Menyebalkan. Bisa-bisanya ia memimpikan lelaki itu. Apa jangan-jangan Justin juga tengah mengharap kedatangannya?

Selama ini Freya selalu menahan rasa yang memberontak dalam jiwa. Lisannya mungkin dapat berbohong, tapi tidak dengan hatinya. Namun Freya selalu menyangkal. Tak mungkin ia masih mencintai seseorang yang telah menghancurkan hidupnya. Apalagi pertemuan mereka yang terbilang singkat.

Singkat, namun sangat mengikat.

Freya bersama Kevin dan Stella memasuki gedung itu. Intensitas debaran jantung Freya mulai naik. Ia akan kembali bertemu dengan Justin, lelaki yang mati-matian ia lupakan. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana ia memulai obrolan? Bagaimana ia menyapanya?

Ia jadi teringat saat Justin berlutut di hadapannya sembari memohon pengampunan. Peristiwa yang selalu berhasil memicu perih di hati. Semakin dipikir, semakin ia merasa bersalah sudah memaki Justin dengan begitu kasar. Padahal mungkin saat itu Justin tengah ada dalam tekanan yang begitu besar.

Namun bagaimanapun Freya takkan pernah salah. Siapapun yang berada di posisi itu pasti akan memberikan respons yang sama. Kau hanya akan tahu rasanya jika kau yang mengalaminya. Ya, mungkin masing-masing orang memiliki cara berbeda untuk menghadapinya. Semua itu kembali pada diri masing-masing.

Kevin yang sudah beberapa kali mengunjungi Justin terlihat familier dengan penjaga di sana. Dari cara lelaki itu bertindak, Freya tahu kalau Stella adalah gadis yang beruntung telah mendapatkan Kevin. Lelaki yang penuh perhatian dan lembut. Sangat royal pada temannya, terutama Justin. Terlihat saat ia berusaha untuk mempertemukan Freya dengan Justin.

“Justin lagi dipanggil. Lo nanti masuk ke ruangan itu, Fre,” ujar Kevin sembari menunjuk ruangan berdinding kaca yang berisikan sebuah meja dan dua buah kursi yang berhadapan. “Karna ruangannya cuman boleh dimasukin dua orang, gue sama Stella tunggu di luar aja ya?”

Freya menoleh cepat. Tidak! Mana mungkin ia bisa bertahan seruangan berdua dengan Justin setelah semua ini? Lalu untuk apa pasangan bucin itu menemani kalau pada akhirnya ia hanya akan berdua dengan Justin?

“Masa gue sendirian sih? Temenin masuk dong,” eluh Freya yang hampir menangis. Serius, tangannya bahkan mulai mendingin. Ia belum sanggup untuk mengobrol empat mata dengan Justin.

“Freya, gue yakin lo pasti bisa. Lo mau kan masalah lo sama Justin cepet selesai?” ujar Stella menenangkan.

“Tapi kan—”

“Eh, itu Justin udah dateng!” seru Kevin membuat Freya sontak memutar kepalanya. Saking cepatnya mungkin tulang lehernya bisa retak.

Tiba-tiba jantungnya jadi hilang kendali. Aliran darah yang mengalir deras membuat tubuhnya jadi panas. Ia terpaku menatap presensi lelaki yang hampir setahun tak ia jumpai. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Semuanya terlalu berantakan.

Lelaki itu. Lelaki yang ia lihat telah terbujur pucat dengan darah mengalir di pergelangan tangannya dalam mimpinya kini hadir nyata di wajahnya. Ia berdiri di sana dengan memakai pakaian khas tahanan. Menatapnya tanpa kedip dengan rahang yang mengeras.

“Kita tinggal dulu ya. Semoga masalah kalian cepet selesai,” pamit Stella seraya memeluk Freya sekilas lalu menarik kekasihnya pergi dari sana. Freya kelabakan menatap kepergian mereka. Ia kembali menatap Justin yang menunduk lalu masuk ke ruangan tempat mereka akan bertemu. Dengan membenahi rambutnya, Freya berjalan menyusul Justin.


“Apa kabar?” Freya terlonjak kaget. Untung saja ia bisa langsung mengontrol diri. Suara berat itu, suara yang seringkali menyapa pendengarannya dengan hangat. Suara yang seringkali membahasakan kalimat yang selalu berhasil menggelitik hatinya. Suara yang ia rindukan.

“Baik.” Tak ada kata lain yang mampu terucap lagi. Lidahnya seakan kelu untuk sekadar menanyakan kabarnya juga. Freya mengembus pelan. Pertemuan ini adalah keinginannya. Ia tak bisa menunggu Justin untuk memulai percakapan.

“Ada apa?” Baru saja ia akan memulai, Justin kembali menunjukkan eksistensinya. Just information, Freya bahkan tak sanggup untuk menatap wajah lelaki itu. Pandangannya tertuju di meja, sesekali melirik sepasang tangan yang bertaut di hadapannya.

“Nothing, cuman pengen nengokin lo.” Kini Freya hanya bisa merutuki mulutnya. Sangat tidak masuk akal ia datang hanya untuk menengok Justin. Dugaan itu dipertegas dengan kekehan pemuda di depannya.

“Gue seneng lo masih punya keinginan buat nengokin gue.” Meledak sudah jantung Freya. Untung saja kursi yang ia duduki memiliki sandaran. Kalau tidak, mungkin tubuhnya sudah terhuyung lemas.

“Sebenarnya ada yang mau gue omongin.”

“Gue tau.”

Freya memberanikan untuk mengangkat kepalanya. Dua pandang dari arah berlawanan itu saling bertubrukan. Menciptakan desiran panas yang merambat ke seluruh tubuh. Tak terelakkan, kini sesuatu di dalam dada mereka sama-sama tengah meronta-ronta ingin keluar.

Justin menahan napas. Kehadiran gadis yang sampai saat ini masih mengisi relung kosong di hatinya tak mungkin bisa membuat ia duduk dengan tenang. Bahkan tangannya yang terjulur di meja perlahan mulai mendingin. Tak tahu persis apa yang akan dibicarakan Freya. Namun yang pasti takkan jauh dari masalah di antara keduanya.

“Gue pengen lo cerita tentang kecelakaan itu.” Tebakan Justin benar. Namun mengapa Freya kembali mengungkit kejadian itu? Bukankah semuanya sudah berakhir saat Justin mendapat hukuman?

“Cerita gimana?”

“Kejadian sebenarnya. Kejadian yang nggak gue tau.”

Justin tampak merenung. Rasanya tak sanggup untuk mengingatnya lagi. Peristiwa itu telah melebur menjadi traumanya.

“Buat apa? Semuanya udah selesai kan? Gue udah ngaku dan dapet hukuman. Apapun kejadian di balik itu nggak akan mengubah apa yang udah terjadi sekarang.”

Jawaban yang sama sekali tidak Freya duga. Kenapa Justin malah jadi seperti ini? Ia seakan ingin melupakan semuanya di saat Freya malah makin tak bisa melupakannya.

“Ya, gue cuman pengen ngerti. Siapa tau selama ini gue udah salah paham.”

Justin menggeleng. “Enggak, lo nggak pernah salah paham. Gue emang pelakunya.”

“Tapi kata Kevin lo nggak sengaja nabrak gue karna lo khawatir sama keadaan ibu lo. Terus lo selama ini merasa bersalah karena udah bersembunyi di balik semua kesalahan yang udah lo perbuat. Kenapa susah banget sih bilang itu ke gue?!” Freya mengakhiri kalimatnya dengan terengah. Matanya berair, menahan tangis yang akan jatuh. Tidak, ia tidak akan menangis lagi karena Justin.

“Percuma, Freya. Pada intinya, gue tetep salah. Dan gue udah mendapat hukumannya sekarang.”

“Tapi kalo lo bilang semua ini sebelumnya, gue mungkin nggak akan sebenci ini sama lo.” Freya menahan suaranya mati-matian agar tidak bergetar. Namun ia tak bisa menahan air mata yang mulai berjatuhan ke pipinya.

“Jangan nangis,” ujar Justin lirih. Saking lirihnya mungkin hanya bisa didengar oleh Justin sendiri. Namun ia salah, Freya bisa mendengarnya dengan jelas. Dan itu sukses menambah debit air mata yang mengalir.

“Hei, gue kan bilang jangan nangis. Kenapa lo malah makin kenceng nangisnya?” ledek Justin. Sebenarnya ia hanya berusaha mengalihkan perasaannya yang perih melihat gadis itu kembali menangis di depannya.

“Lo jahat banget ke gue,” ujar Freya yang tak lagi menahan suaranya.

“Iya maaf.”

“Lo harus bayar semua kesalahan lo ke gue.”

“Iya gue akan bayar lunas semuanya. Gue nggak akan pergi lagi.”

Tangis Freya mulai sesenggukan. Justin terkekeh lalu beranjak meminta tisu ke penjaga. Ia menyodorkan kotak tisu itu lalu kembali duduk. Menatap gadis di depannya yang menghapus air matanya sambil menarik cairan yang keluar dari hidungnya.

“Jangan pernah nangis lagi di depan gue, Fre.” Freya menghentikan tangannya lalu menatap Justin. “Gue tersiksa dengan kenyataan gue nggak bisa lagi kasih pelukan hangat buat nenangin lo. Jadi, jangan pernah nangis lagi di depan gue.”