Quinzaharu

“Eh! Itu Ethan sama Aysel!”

Bulan bersama Aruna yang baru saja keluar kelas langsung menghentikan langkah. Bola mata Bulan bergulir cepat ke arah tunjuk Aruna. Tampak gerombolan mahasiswa dari kelas sebelah memenuhi koridor. Ada yang bersandar di pembatas pagar, duduk di lantai, atau berdiri menghalangi jalan. Mereka saling berbincang, menciptakan suasana riuh.

Di antara gerombolan tersebut, Bulan melihat Ethan sedang menyandarkan punggung di pembatas pagar. Di sebelahnya, ada seorang perempuan yang tengah berbincang dengan orang di hadapannya. Ethan tampak sesekali terkekeh mendengar celotehan perempuan itu.

“Yang di sebelah Ethan?” tanya Bulan.

“Iya, itu sebelah Ethan namanya Aysel. Keliatan deket kan mereka?”

Bulan memindai lebih teliti. Pupil matanya melebar. Dia baru menyadari sesuatu.

Tangan kanan Ethan tengah merangkul Aysel yang tampak tak terusik dengan beban di pundaknya.

“Kita balik lewat jalan lain aja ya, Lan?” ujar Aruna yang sepertinya juga melihat apa yang Bulan lihat.

Bulan menggeleng tegas. “Kita lewat sana aja.”

Aruna bergegas menyusul Bulan yang sudah melangkah duluan. Ia merangkul lengan Bulan dengan pandangan was-was. Aruna tidak bisa menebak bagaimana reaksi Ethan melihat Bulan melewatinya ketika ia tengah merangkul perempuan lain. Apakah akan ada keributan besar yang terjadi?

Bulan berjalan dengan langkah tegas dan cepat. Berusaha tidak melirik Ethan sedikitpun. Sebenarnya ia ingin menghindar dari situasi ini. Seperti yang sudah dia bilang kemarin, dia belum siap melihat Ethan bersama Aysel. Namun karena sudah terlanjur terjadi, mau tidak mau dia harus menghadapinya. Dia juga ingin tahu apa yang akan Ethan lakukan saat melihatnya. Apakah Ethan akan langsung melepas rangkulan itu dan mengejarnya atau malah membiarkannya pergi?

“Aysel!” panggil Aruna saat mereka melewati gerombolan Ethan. Jujur, jantung Bulan langsung mengentak keras.

“Eh! Runa!”

Bulan spontan melirik Aysel. Perempuan itu tampak melambai riang ke temannya. Langkahnya melambat, tertahan oleh Runa yang sibuk membalas lambaian Aysel. Bulan ikut tersenyum saat Aysel menyadari tatapannya dan mengangguk kecil.

Bola mata Bulan bergulir ke Ethan. Lelaki itu tampak menatapnya tegang. Namun tangannya masih bertengger di pundak Aysel. Cukup tajam untuk menghujam dada Bulan.

Satu dua langkah setelah melewati gerombolan itu, Bulan tidak mendengar tanda-tanda Ethan mengejar atau sekedar memanggilnya.

“Gue sengaja manggil Aysel karena tadi Ethan sibuk liatin Aysel. Takutnya nggak tau lo lewat. Tapi pas tau pun ternyata dia nggak ngelakuin apa-apa.”

“Padahal dia liat gue loh, Run,” jawab Bulan.

“Dia juga liat gue. Emang nggak mau nyapa aja keknya.”

“Setidaknya rangkulannya dilepas kek!” sahut Bulan kesal.

“Udah tau kan kenapa orang-orang ngira mereka pacaran? Ya gitu tuh mereka tiap hari.”

Bulan menghembuskan napas panjang. Berusaha menenangkan diri di tengah perasaan yang carut marut. Sekarang Bulan percaya. Ethan dan Aysel memang dekat. Pantas banyak orang mengira mereka berpacaran kalau sikap mereka di publik saja seperti itu.

Dan yang membuatnya kecewa adalah mengapa Ethan tidak menyapanya? Bahkan cowok itu terkesan menghindar, bertingkah seakan mereka tidak saling mengenal. Apa Ethan malu? Atau marah karena Bulan menolak ajakan makan sushi semalam?

Atau, Ethan tidak ingin orang-orang tahu mereka dekat karena ingin menjaga perasaan Aysel?

“Kardiomiopati. Ibu saya dulu punya penyakit yang sama. Katanya bisa menurun. Ternyata bukan menurun ke saya atau ke kakak-kakak saya, tapi ke anak saya, Vale.”

Evan duduk bersama Bachtiar setelah Vale mendapat ruang perawatan. Perempuan itu terbaring dengan mata yang masih terpejam, bersama selang oksigen yang membantu pernapasannya. Denting alat pendeteksi ritme jantung bergema di ruangan yang lengang. Semua ini tak asing untuk Evan yang sudah terbiasa dengan berbagai alat medis. Namun tidak setelah Vale menjadi salah satu pasien yang bertumpu pada alat-alat tersebut.

“Sebenarnya belum parah karena sudah terdeteksi sejak awal. Tapi masih sesekali kambuh, terutama waktu Vale lagi banyak pikiran.”

“Sejak kapan Vale punya penyakit itu, Om?”

“Awal masuk SMA sudah terdeteksi. Kita langsung berobat saat itu juga. Karena saya punya pengalaman dari ibu saya yang dulu terlambat diobati. Penyakitnya terlanjur parah dan harus dioperasi. Saya nggak mau Vale mengalami hal yang sama.”

“Ibu om ... sekarang?” tanya Evan ragu.

“Sudah meninggal.”

Jantung Evan mengentak keras. Cukup memahami ketakutan Bachtiar karena penyakit itu sudah merenggut orang yang dia sayang.

“Mungkin kamu sudah pernah dengar dari Vale kalo saya benci sama dokter. Sebenarnya saya tidak benci, saya hanya malas dengan omongan mereka. Mereka bilang operasi itu bisa membuat kondisi ibu saya jadi lebih baik. Tapi pada akhirnya, ibu saya pergi. Saya hanya kecewa. Mengapa mereka harus memberikan harapan ketika mereka sendiri tidak bisa menjaminnya?”

Evan menunduk. Dia pikir Bachtiar membenci dokter karena profesi itu tidak menjanjikan banyak keuntungan seperti pebisnis. Ternyata alasan sebenarnya lebih daripada itu. Sebagai seorang anak yang terlahir di keluarga dokter, Evan memahami kalau kekecewaan keluarga pasien yang seperti ini adalah hal yang wajar dan sering ia dengar dari kedua orangtuanya. Kematian pasien adalah kegagalan paling menyakitkan untuk seorang dokter.

“Saya tahu seharusnya saya tidak menyalahkan dokter. Semua itu sudah menjadi takdir dari Tuhan. Namun saya sudah terlanjur kecewa. Makanya saya tidak mau berurusan dengan dokter lagi. Saya tidak ingin mengulang kekecewaan itu pada anak saya maupun keluarga saya lainnya. Namun kenyataannya, saya tetap harus berurusan dengan dokter. Demi kesembuhan anak saya. Saya terima semua itu.”

“Saya minta maaf udah nanya sesuatu yang mungkin sensitif buat Om.”

“Nggak apa-apa. Tujuan saya menyuruh kamu ikut memang ingin menceritakan semua itu.”

Bachtiar menjeda kalimatnya untuk menatap Vale yang terlelap. “Vale adalah anak satu-satunya yang saya punya. Saya selalu mengusahakan semua hal untuk membuat dia bahagia. Saya agak menyesal sudah menjodohkan Vale dengan kamu. Karena saya baru tahu ternyata Vale dulu sangat membenci kamu. Pasti dia kecewa sekali sama saya tapi dia nggak berani bilang. Dia anak yang berbakti sama orangtuanya.”

Tampak senyum tipis tergurat di bibir Bachtiar. Sorot matanya hangat, namun ada setitik kesedihan di sudut matanya yang basah. Untuk pertama kalinya, Evan melihat Bachtiar menatap Vale selayaknya seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya. Berbanding terbalik dengan bayangannya selama ini.

“Itu yang membuat saya bersikeras memisahkan kamu dengan Vale. Saya nggak mau anak saya tersiksa karena harus berhubungan dengan orang yang dia benci. Saya juga minta kamu jangan terlalu banyak menghabiskan waktu dengan Vale karena saya tahu suatu hari nanti kalian akan berpisah. Saya nggak mau anak saya sedih. Tapi ternyata cara saya salah. Perasaan Vale ke kamu sudah berubah dan saya tidak menyadari hal itu.”

“Kalo begitu, kenapa Om ngelarang Vale buat hubungin saya beberapa hari kemarin? Padahal dari situ sudah jelas Vale mau sama saya. Tapi om malah menyita hp Vale biar nggak bisa hubungin saya, kan?”

“Saya memang mengambil hp Vale malam itu. Tapi alasan Vale nggak hubungin kamu kemarin bukan karena hp dia ada di saya. Dia dirawat di rumah sakit. Penyakitnya kambuh malam itu dan baru keluar dua hari sebelum kamu dan keluargamu datang ke rumah saya. Makanya saya peringatin kamu tadi, jangan terlalu keras sama Vale. Dia baru pulih dan masih rentan untuk kambuh lagi.”

Evan terkejut. Selama ini dia mencari Vale, menunggu kabarnya, bahkan sempat berpikir Vale membuangnya begitu saja setelah mendobrak pertahanan paling kuat yang dia miliki. Padahal perempuan itu tengah berjuang untuk tetap hidup. Evan menyesal karena pernah merasa hanya dia yang berjuang, hanya dia yang merindukan Vale, hanya dia yang menginginkan Vale. Tanpa tahu Vale memiliki sesuatu yang lebih berat dari sekadar mencari kabarnya.

“Lalu, apa alasan Om menuntut Vale buat jadi peringkat pertama waktu SMA?”

Bachtiar menatap Evan. “Saya tidak pernah menuntut apa-apa dari Vale, Van. Dia memang cerdas sejak kecil. Saya pikir selama ini dia menjadi peringkat pertama karena dia mampu. Apa Vale menganggap itu sebagai tuntutan?”

“Vale anggap itu sebagai kewajiban karena dia anak satu-satunya. Tapi selama ini, saya pikir Om juga menuntut. Vale terobsesi banget jadi peringkat pertama. Itu juga yang menjadi alasan dia benci saya waktu SMA. Saya udah ambil peringkat pertama punya dia.”

“Saya benar-benar nggak pernah minta apapun sama Vale. Dia sehat dan bahagia sudah cukup buat saya. Ya, memang akhir-akhir ini saya sedikit kasih peringatan ke Vale untuk segera menyelesaikan tugas akhirnya. Tapi itu hanya alibi biar Vale nggak menghabiskan waktu sama kamu.”

Kepala Evan mendadak pusing. Terlalu banyak kesalahpahaman yang terjadi selama ini. Dia merasa bersalah sudah melihat Bachtiar sebagai sosok ayah yang seburuk itu. Padahal pria itu hanya ingin anaknya sehat dan bahagia.

“Satu lagi yang mau saya tanya, Om,” ujar Evan setelah menenangkan diri. “Kenapa Om mau jodohin Vale sama Regan? Itu bahkan pilihan yang lebih buruk daripada jodohin Vale sama saya. Vale sampai datengin saya ke Singapore buat minta tolong biar saya gagalin perjodohan itu.”

Bachtiar tampak terkejut. “Siapa yang kasih tau Vale soal itu? Saya dan istri sudah sepakat tidak memberitahu Vale karena saya masih belum yakin. Saya sudah merahasiakannya karena saya pikir itu akan menyakiti Vale. Ternyata selama ini dia tau?”

Evan mematung beberapa saat. Apa lagi ini? Kenapa banyak sekali hal mengejutkan hari ini? Kepala Evan sudah tidak sanggup menampung semuanya.

“Kayaknya saya mau pamit pulang dulu, Om,” pamit Evan seraya berdiri. “Boleh saya minta dikabarin kalo Vale sudah siuman?”

“Iya, nanti om kabarin. Tapi kamu nggak mau nunggu ibunya Vale pulang dulu? Om sudah suruh beli makanan buat kamu.”

“Enggak, Om. Makasih. Titip salam aja buat tante Claudia,” jawab Evan sambil menyalami tangan Bachtiar. “Pamit dulu ya, Om.”

“Hati-hati di jalan, Van.”


Evan tiba di rumahnya. Saat ia masuk, tampak orangtuanya bersama Ethan sudah menunggu di ruang tengah. Mereka kompak menatap Evan.

“Gimana kondisi Vale, Van?” tanya Sinta.

Evan mengacungkan ibu jari. “Udah siuman tadi cuman sebentar trus tidur lagi. Aku udah minta dikabarin sama ayahnya Vale kalo Vale siuman lagi.”

“Kamu sudah makan? Sini duduk dulu,” pinta Arya melihat anaknya lesu.

“Aku ke kamar aja, Pi. Mau istirahat.”

Arya dan Sinta saling berpandangan. Bersamaan menoleh ke Ethan yang memilih bungkam. Ketiganya tahu bahwa Evan sedang tidak baik-baik saja. Namun mereka juga tidak bisa memaksakan Evan untuk menceritakannya sekarang.

“Yasudah, istirahat dulu, Nak. Kalo butuh apapun, bilang ke Mami, ya.”

Evan menyetujui permintaan sang ibu dengan sebuah anggukan. Selanjutnya, ia menaiki tangga menuju kamarnya. Saat pintunya kembali menutup, tubuh Evan sontak melorot ke lantai.

Dadanya terasa sesak, seakan udara yang memenuhi ruangan tak lagi cukup untuknya. Ia menatap kosong ke arah lantai, mencoba mencerna kenyataan pahit yang baru saja terungkap hari ini. Semuanya terasa begitu asing, seakan dunia yang ia kenal selama ini runtuh dalam sekejap.

Kepalanya dipenuhi pertanyaan, mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa harus dia? Mengapa harus Vale? Semakin ia berusaha tegar, semakin deras pula perasaan hancur menyeruak keluar. Matanya memanas, dan sebelum ia sempat menahannya, air mata jatuh tanpa ampun.

Evan menggenggam rambutnya dengan kedua tangan, berusaha meredam guncangan dalam dirinya. Tapi semakin ia mencoba kuat, semakin ia sadar bahwa hari ini telah meninggalkan luka yang tidak akan mudah hilang.

Oh, Tuhan, mengapa begitu sulit untuk aku dan Vale menjalani hubungan layaknya sepasang kekasih biasa? Mengapa banyak sekali rintangan yang harus Kami lalui? Mengapa rasanya sesakit ini?

Sudah lewat tiga jam sejak Evan melihat instastory Vale, tapi lelaki itu tak kunjung datang seperti yang Vale harapkan. Vale sudah lelah. Tidak terhitung berapa kali ia menoleh ke pintu masuk setiap ada pengunjung baru yang datang tapi tetap saja dia tidak menemukan kehadiran Evan. Vale sedih. Apakah hanya dia yang merindukan Evan? Apakah Evan benar-benar tidak mau menemuinya lagi?

Air mata Vale mulai berjatuhan. Bodoh sekali dia berpikir Evan akan datang. Jelas-jelas lelaki itu mengatakan kalau berpisah adalah keputusan yang terbaik untuk mereka. Sudah pasti Evan tidak akan menemuinya lagi.

Vale lantas menyeka air matanya lalu bersiap pergi. Tidak ada lagi yang perlu ia perjuangkan. Hubungan ini memang harus diakhiri. Buat apa dia buang-buang waktu untuk seorang lelaki yang tidak menginginkannya lagi?

Pandangan Vale berpendar ke sekitar kafe saat ia keluar. Masih saja mencari keberadaan Evan namun hasilnya tetap nihil. Evan tidak datang. Evan tidak menemuinya. Evan tidak ingin bertemu dengannya lagi. Evan tidak lagi memperjuangkannya. Evan sudah menyerah. Mereka benar-benar sudah berakhir.

Langkah Vale tegas dan cepat menghampiri mobilnya. Achmad, supir Vale, tampak membukakan pintu untuk Vale lalu kembali ke kursi pengemudi. Melihat majikannya menangis membuat dia agak panik. Bosnya tidak akan suka dengan ini.

Mobil Vale meninggalkan area kafe. Vale tampak melamun sambil menatap jalanan dari balik jendela. Terlalu banyak hal mengejutkan yang datang ke hidupnya akhir-akhir ini. Dari mulai Evan sakit, Evan berpikir tidak bisa menyelamatkan mereka, Evan menciumnya, Evan menjauh, sampai Evan mengakhiri hubungan mereka. Vale baru sadar, terlalu banyak nama Evan di hidupnya. Hampir semua bagian hidupnya memiliki nama Evan di sana.

“Lagi mikirin apa, Non? Kok murung gitu mukanya?”

Vale menghembuskan napas pelan. “Sedih aja, Pak. Orang yang mau aku temuin tadi nggak dateng.”

“Loh, padahal non udah nunggu lama banget. Keterlaluan tuh temennya non.”

Vale tersenyum tipis sambil melirik kaca spion di atas kepala supirnya. Tadinya ia ingin membalas tatapan pak Achmad, tapi dia malah menemukan sesuatu yang ganjil di sana.

Kepala Vale spontan berputar penuh ke belakang. Matanya memicing. Tepat beberapa meter di belakang mobilnya, ada seorang pengendara motor yang seperti tengah mengikuti mobilnya. Vale tidak asing dengan pengendara motor itu. Bukankah dia ... Evan?

Iya! Itu Evan! Vale masih mengingat plat nomor motor lelaki itu. Evan datang. Evan datang menemuinya!

“Pak Achmad! Berhenti, Pak!” teriak Vale sambil menepuk-nepuk sandaran kursi supirnya.

“Eh, kenapa, Non?!”

“Itu di belakang ada Evan! Evan mau ketemu sama aku, Pak! Aku harus temuin dia!”

“Maaf, non. Tapi ayahnya non Vale sudah titip pesan kalo non nggak boleh ketemu mas Evan. Maaf ya non. Pak Achmad nggak bisa turutin kemauan non.”

“Sebentar aja, Pak! Aku janji!” mohon Vale sampai hampir menangis.

“Maafin saya, Non. Saya nggak berani melawan perintah ayahnya non.”

“Pak Achmad aku mohon. Aku cuman pengen ketemu Evan sebentar aja. Hati aku sakit banget sekarang. Cuman Evan yang bisa sembuhin. Tolong aku, Pak. Tolongin, Vale.”

Mendengar Vale menangis, hati pak Achmad jadi tersentuh. Ia sudah menjadi supir Vale sejak perempuan itu masih kecil. Sudah terbentuk rasa kasih sayang layaknya seorang ayah kepada anak perempuannya di antara mereka. Mendengar anak yang ia rawat sejak kecil memohon seperti ini, tidak mungkin dia bisa mengabaikannya.

“Sebentar aja ya, Non,” peringat pak Achmad sambil menepikan mobil.

Vale bergegas keluar dari mobil. Menemukan Evan yang ikut berhenti tak jauh dari sana. Vale langsung berlari menghampiri lelaki itu. “EVAN!” teriaknya.

Evan melepaskan helm yang ia pakai. Raut wajahnya tegang melihat Vale tergesa-gesa menghampirinya. Ia lantas menurunkan standar, hendak turun dari motornya tapi Vale mencegah.

“STOP!” pekik Vale. Ia menubruk Evan dan menggenggam lengan lelaki itu dengan kencang. “Pergi! Kita harus pergi sekarang!”

“Hah! Pergi gimana?!”

“Please, Evan! Bawa gue pergi!”

Rahang Evan mengeras. Menatap wajah Vale yang berderai air mata. “Naik,” ujarnya lantas kembali memakai helm. Standar motornya telah kembali ke tempat. Ia membantu Vale menaiki motornya dan memastikan perempuan itu duduk dengan nyaman. Setelah itu, Evan kembali menghidupkan motornya lalu melesat ke jalanan, meninggalkan supir Vale yang berteriak memanggil mereka.

Evan masih ingat betul pertemuan terakhirnya dengan Vale di Singapura. Saat itu, Evan mengucapkan satu kalimat yang masih ia sesali sampai sekarang. Kalimat yang dampaknya lebih besar dari yang ia kira. Saat itu, Vale menangis hebat dan memohon Evan untuk menarik kembali ucapannya. Evan panik. Ia benci melihat Vale menangis. Ia benci melihat perempuan itu tersakiti oleh ucapannya sendiri.

Alasan itu yang membuat Evan mencium Vale. Ia berharap ciuman itu bisa meredakan semuanya. Namun justru sebaliknya, Vale menolak, bahkan mengigit bibirnya yang perihnya masih ia ingat sampai sekarang. Evan sadar, ia malah melakukan kesalahan lain. Kalau seandainya jarum infusnya tidak lepas saat itu, mungkin hubungannya dengan Vale bisa lebih buruk dari sekarang.

Namun bukan berarti masalah mereka selesai. Semuanya mendadak berubah. Vale jarang memberi kabar. Pesan Evan sering tidak dibalas. Perempuan itu mungkin beralasan sedang sibuk dengan tugas akhirnya. Namun semakin lama, Evan khawatir kalau itu hanya alasan Vale untuk menjauh darinya.

Maka dari itu, setibanya di Indonesia, Evan langsung pergi menuju rumah Vale. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. Ia tidak ingin membiarkan celah sedikitpun tercipta di antara mereka. Evan merasa perlu menemui perempuan itu sebelum terlambat. Ia belum siap berpisah dengan Vale. Ia ingin mereka mencari jalan keluar bersama-sama.

Evan telah sampai di depan pintu utama rumah Vale. Saat mengetuk pintu tersebut, Evan berharap Vale yang menyambutnya. Namun justru bukan Vale yang berdiri di sana. Melainkan seorang pria bernama Bachtiar yang menatapnya dingin dan tampak tidak suka dengan kedatangannya.

Evan cukup terkejut dengan penyambutan itu. Namun ia berusaha mengabaikan dan tetap menyapa Bachtiar ramah. “Siang, Om! Vale nya ada? Tadi saya udah chat dia mau ke sini. Katanya Vale lagi di rumah.”

Wajah Bachtiar mengeras. Semakin menunjukkan ketidaksukaannya. “Vale sedang sibuk. Dia harus fokus menyelesaikan tugas akhirnya. Saya tidak mau ada yang mengganggu.”

Evan tercekat, tidak menyangka kehadirannya ditolak. “Saya cuman ingin ketemu sebentar aja, Om. Saya nggak akan ganggu Vale.”

“Saya sudah peringatkan kamu untuk fokus pada diri kamu sendiri. Tapi kamu tetap saja mengganggu Vale dan memintanya melakukan hal-hal yang tidak penting untuk masa depannya.” Bachtiar menghela napas berat. “Saya sudah cukup baik dengan memperingatkan kamu secara halus tapi sepertinya kamu tidak menangkap maksud saya.”

Evan terdiam. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Bachtiar mendekat. “Saya akan tegaskan sekarang. Kamu harus ingat, hubungan kamu dan Vale dari awal hanya karena bisnis. Dan sekarang, bisnis itu sudah jelas gagal. Kamu sudah tidak punya hak lagi untuk bersama Vale. Jadi jangan habiskan waktu Vale untuk sesuatu yang sudah jelas harus diakhiri. Biarkan dia fokus dengan masa depannya.”

Napas Evan tercekat. Kalimat Bachtiar terasa begitu menusuk. Seolah bukan hanya menegaskan kegagalan yang selama ini berusaha Evan abaikan, tapi juga menggaungkan ketakutannya sendiri.

Apa Vale juga berpikir begitu? Apa dia sengaja menjauh karena memang sudah tidak ada alasan lagi untuk mereka bertahan? Apakah Vale mengiyakan kemungkinan yang Evan bicarakan kemarin menjadi sebuah kenyataan yang membuat mereka benar-benar harus berpisah?

“Om, saya tau hubungan saya dengan Vale awalnya hanya karena bisnis. Tapi bagi saya, Vale lebih dari itu sekarang.” Suara Evan bergetar, tapi matanya tegas menatap Bachtiar. “Saya nggak bisa pisah dari Vale. Vale juga punya pemikiran yang sama. Tolong kasih kami kesempatan sekali lagi. Biarkan kami yang tentukan sendiri soal hubungan kami.”

Bachtiar terdiam beberapa detik lalu menjawab, “Dalam sebuah bisnis, keputusan tidak bisa diubah hanya berdasarkan perasaan saja. Kamu tentu masih ingat hubungan ini terikat oleh sebuah perjanjian. Dan di dalam surat perjanjian itu, jelas tercantum kalau urusan bisnis antara keluarga kita gagal, maka kamu harus melepaskan Vale.”

“Saya janji bakal jagain Vale baik-baik, Om. Saya nggak akan menyakiti dia. Tolong, Om. Saya nggak tau gimana cara melanjutkan hidup saya kalau bukan sama Vale.”

Bahkan ketika Evan sudah memohon-memohon, tatapan dingin Bachtiar tetap tak berubah.

“Perasaan kamu tidak bisa mengubah apapun, Evan. Perjanjian sudah jelas. Kamu harus menepati bagian yang sudah kamu dan Vale setujui sendiri. Saya dan ayah kamu punya bukti surat yang sudah kalian tanda tangani berdua. Silakan minta surat itu ke ayah kamu kalau kamu butuh buktinya.”

Bachtiar menjeda kalimatnya saat melihat sepasang mata Evan memerah.

“Om berharap kamu bisa mengerti, Evan. Tunjukkan kedewasaan kamu dalam menyikapi ini. Tolong jangan temui Vale dulu. Setelah rapat tahunan selesai, datanglah ke sini bersama orangtuamu. Kita selesaikan urusan bisnis keluarga kita sekaligus hubunganmu dan Vale dengan baik.”

Langkah kaki Seorin bergema di sepanjang lorong sempit yang pengap. Ia berjalan di belakang Asahi, mengikuti setiap pergerakan cowok itu. Mereka sudah melewati tiga pintu keamanan. Semuanya dapat dibukan dengan mudah oleh Asahi. Berbeda saat Seorin menyelinap ke ruang ini sendirian. Mungkin karena Asahi sudah memiliki sidik jari vampir yang menjadi kunci setiap ruangan di sini.

Entah mengapa Seorin merasa lebih aman saat bersama Asahi. Kemarin ia sampai harus menyamar jadi kru, bersembunyi di berbagai sudut, bahkan sampai menahan napas agar para vampir itu tidak dapat mendeteksi keberadaannya. Namun saat bersama Asahi, semua terasa mudah. Tak banyak penjaga yang mereka temui. Mereka seperti memang diijinkan untuk masuk.

Mereka tiba di sebuah pintu besi terakhir yang diyakini menjadi ruang para member disekap. Asahi menempelkan ibu jarinya di alat pemindai sidik jari. Tak butuh waktu lama sampai pintu itu terbuka. Bau amis serta aroma logam langsung menyergap. Ruangan itu hanya diterangi cahaya remang dari lampu neon tua yang menggantung di langit-langit. Sesekali berkedip pelan, seolah kehabisan daya.

Di dalamnya, ada sembilan sel besi berjajar. Tidak begitu besar, hanya cukup untuk duduk dan berbaring dengan lutut menekuk. Di dalamnya, tubuh seseorang yang kurus dan lemah terlihat terkulai. Sebagian ada yang bersandar di dinding, sebagian lagi meringkuk sambil memeluk lutut.

Itu mereka. Para member TR10. Mereka masih hidup.

Asahi menahan napas. Matanya menyapu satu persatu wajah di balik jeruji besi. Perih mendera batinnya. Asahi mendekat ke salah satu sel dengan langkah berat.

“Hyung?”

Suara Asahi nyaris pecah. Walaupun lirih, tapi suaranya masih cukup membuat tubuh dalam sel itu tersentak. Jihoon yang terkulai lemas dengan posisi tubuh bersandar di dinding membuka matanya pelan. Untuk sesaat, ia hanya menatap kosong. Lalu napasnya tercekat.

“Asahi?” ujarnya lemah.

Asahi berjongkok di depan sel. Kedua tangannya mencengkram jeruji. “Hyung, ini aku.”

Jihoon tersenyum kecil. Wajahnya pucat, matanya cekung. Ada sebuah cahaya yang bersinar dari bola matanya saat melihat Asahi. “Syukurlah kalau kamu selamat.”

Asahi mengepalkan tangan. Air matanya jatuh diam-diam. “Aku bakal bebasin Hyung dan yang lain.”

Melihat Jihoon mengangguk, Asahi mengeluarkan kunci pemberian vampir Doyoung dari kantong jaketnya dengan tangan gemetar. Satu per satu, dia membuka pintu sel, dibantu oleh Seorin. Penghuni sel itu pun terbangun mendengar gemerincing besi di hadapan mereka.

“Sahi Hyung?” Suara lirih lainnya terdengar. Ia menatap Asahi dengan matanya yang bengkak, tampak tak percaya.

Asahi tersenyum samar. “Bangun, Jeongwoo. Waktunya pulang.”

Lelaki bernama Jeongwoo itu sontak meneteskan air mata. Terlampau senang melihat kehadiran Asahi yang akan membawanya pulang.

Lalu ada Hyunsuk, Jaehyuk, Haruto, Junghwan, Doyoung, Yoshi, Junkyu. Wajah-wajah yang sempat hilang kini kembali. Tubuh mereka tampak lemah dengan luka-luka yang membekas di kulit. Namun saat melihat Asahi, ada percikap harapan yang menyala.

Semua pintu sel itu telah terbuka. Asahi mundur selangkah, berdiri di tengah lorong dan menatap semua member yang berdiri di luar sel mereka masing-masing. Ia tidak bisa menahan air mata.

Jihoon berjalan paling awal lalu memeluk Asahi tanpa sepatah kata. Lengan yang gemetar melingkari tubuh Asahi erat-erat, seolah memastikan bahwa ini nyata, bahwa Asahi benar-benar ada di sana.

Hyunsuk menyusul. Lalu Yoshi, Jaehyuk, Haruto, Jeongwoo, Junghwan, Doyoung, dan Junkyu. Mereka saling menghampiri dengan langkah yang tertatih. Para member saling berpelukan. Suara isakan tertahan, desahan lega, dan ucapan syukur terucap pelan. Seorin yang melihatnya ikut meneteskan air mata.

Akhirnya, TR10 bisa utuh kembali.

Matahari siang menyelinap masuk lewat jendela kaca sebuah rumah makan. Cahayanya yang hangat terpantul ke sebuah meja kayu sederhana. Rumah makan itu tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa pegawai kantor yang makan cepat sebelum kembali bekerja.

Seorin duduk di seberang Asahi. Ia sudah beberapa kali bertemu idolanya itu belakangan ini. Namun perasaan gugup belum juga hilang. Ia bahkan tidak bisa duduk dengan tenang sekarang.

“Lo nggak keberatan makan di luar kayak gini, Sa?” tanya Seorin sambil menatap ke luar jendela. “Lo bisa kena skandal kalau ketahuan.”

Asahi mengangkat bahu dengan senyum kecil tersungging di wajahnya. “Siapa yang bakal nangkep kita? Semua orang udah terhipnotis sama vampir. Mereka nggak akan inget pernah mergokin kita makan bareng.”

Seorin tertawa kecil. Sesekali ia mencubit pipinya sendiri seolah meyakinkan bahwa ini bukan mimpi.

Sementara itu, Asahi diam-diam merogoh saku jaketnya. Ia menggenggam erat plastik kecil berisi serbuk yang Doyoung berikan. Warnanya abu keperakkan, hampir tidak akan terlihat kalau ditaburkan ke makanan. Sebenarnya Asahi tidak mau mempercayai Doyoung. Namun, apa salahnya mencoba? Toh, serbuk ini tidak akan membahayakan Seorin jika dia memang manusia.

Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Sepiring bulgogi panas, kimchi, dan nasi putih mengepul disajikan di atas nampan. Sepasang mata Seorin langsung bersinar.

“Makanan di sini emang nggak pernah mengecewakan! Lo harus coba sih, Sa! Walaupun tempatnya sederhana, tapi gue jamin makanannya enak!”

Asahi tertawa kecil. “Keliatannya emang enak.”

“Bentar, gue cuci tangan dulu.”

Nice timing! Saat Seorin pergi mencuci tangan, Asahi langsung bergerak cepat. Ia menyobek plastik kecil di bawah meja lalu menaburkannya ke atas nasi Seorin. Warna serbuk itu langsung menyatu dengan nasi. Asahi segera memasukkan kantung plastik tadi kembali ke saku jaketnya lalu beralih mengaduk makanannya seperti tidak terjadi apa-apa.

Beberapa detik kemudian, Seorin kembali duduk dan mulai makan. Ia mengangkat sendok, menyuap nasi dan potongan bulgogi, lalu mulai mengunyah. Beberapa detik pertama tidak terjadi apa-apa. Dia masih bisa mengobrol ringan dengan Asahi, seperti menceritakan hal-hal yang ia sukai dari TR10, hal konyol yang member lakukan di variety show, sampai betapa sulitnya mendapat tiket konser TR10.

Asahi hampir menyimpulkan kalau tuduhan Doyoung salah sebelum akhirnya tiba-tiba Seorin terbatuk. Awalnya hanya batuk kecil, kemudian berubah lebih keras. Sendok jatuh dari tangannya, menimpa piring hingga berbunyi nyaring. Wajah Seorin memerah dengan mata yang berair. Ia buru-buru meraih gelar air di sampingnya lalu meneguknya.

“Rin? Lo nggak apa-apa?” tanya Asahi panik.

Seorin mengangkat satu tangan, memberi isyarat bahwa dia mengatasi hal ini. “G-gue cuman kesedak dikit,” jawabnya dengan suara parau. “Kayaknya agak kepedesan. Maaf, ya.”

Asahi hanya menatap. Tak percaya dengan apa yang ia lihat. Serbuk itu bereaksi. Dugaan Doyoung benar.

Seorin bukan manusia.

Dan kemungkinan besar, dia adalah vampir darah murni yang para vampir itu cari.

Di sebuah ruang private, para vampir berwujud member duduk melingkar. Bersama Asahi yang berdiri di tengah ruangan dengan keringat dingin yang membasahi leher belakangnya. Di hadapannya, seorang gadis remaja berdiri pasrah. Dia adalah salah satu fans yang sengaja dipilih untuk ritual malam ini. Sorot matanya kosong. Masih terhipnotis oleh penampilan TR10 palsu yang berlangsung beberapa jam lalu.

“Hisap darahnya. Buktikan bahwa kau memang salah satu dari kami,” ujar Junkyu yang duduk dengan jubah panjang dan mata yang membara tak pernah padam.

Member lainnya menatap dengan tajam. Tak semua percaya kalau Asahi benar-benar vampir. Mereka sudah mencium aroma aneh sejak tadi. Keringat manusia, denyut jantung yang makin keras, dan napas yang berhembus berat. Semua itu adalah ciri-ciri seorang manusia.

Asahi melangkah pelan mendekati gadis itu. Kakinya terasa berat. Asahi tidak ingin menyakiti siapapun. Asahi hanya ingin teman-temannya kembali. Namun kalau dia menolak sekarang, dia akan dibunuh di tempat ini. Teman-temannya akan terjebak selamanya.

Wajahnya mendekat ke leher gadis itu. Dia bisa merasakan detak nadi di balik kulit tipis itu. Asahi tidak mungkin bisa menggigitnya. Taringnya tidak cukup tajam dan hanya akan semakin menyakiti gadis itu.

Asahi tidak kehabisan akal. Dia menutupi tengkuk gadis itu dengan tangannya lalu menunduk seolah hendak mencium. Namun di balik gerakan itu, Asahi menyelipkan sebuah jarum kecil untuk membuat bekas luka palsu di leher gadis itu. Ia menusuknya cukup dalam sampai mengeluarkan darah. Gadis itu mengerang. Setetes darah muncul.

Asahi menjilat darah tersebut dengan tenang. Namun sebenarnya dia merasa jijik dengan dirinya sendiri.

Seluruh vampir di sana berseru senang. Sang pemimpin, Junkyu, memiringkan kepala sambil bertepuk tangan. Seolah puas dengan pertunjukan di hadapannya namun matanya belum sepenuhnya puas.

“Sudah cukup. Bawa dia pergi,” perintah Junkyu pada penjaga. Gadis itu ditarik pergi.

Asahi berdiri tegak di tempatnya dengan bangga. Ia menatap Junkyu. “Aku tidak berbohong bukan?”

Junkyu hanya menyunggingkan senyum penuh arti. “Setidaknya untuk hari ini. Bersiaplah untuk tes selanjutnya,” ujarnya lalu menghilang seketika bersama vampir lainnya.

Asahi tahu mereka tidak akan berhenti sampai mereka puas. Namun setidaknya malam ini ia dibiarkan bebas. Dia harus segera menyelesaikan misinya sebelum para vampir itu benar-benar membunuhnya.

Malam telah tiba. Menelusup ke sela-sela gedung yang mulai sepi. Udara dingin menerpa tubuh Seorin. Ia menggigil namun bukan karena dinginnya udara di sana. Ada sesuatu yang tidak beres, yang sedari mengikutinya di belakang.

Langkah Seorin cepat, tapi ia berusaha untuk tidak tergesa. Wajahnya tetap tenang tapi waspada. Sesekali melirik ke belakang. Menemukan seseorang berjalan mengikutinya dadi jarak yang cukup jauh.

Seorin mengambil jalur lain alih-alih ke rumahnya. Jangan sampai orang itu tahu di mana ia tinggal. Seorin hanya perlu mencari tempat yang ramai. Setidaknya orang itu tidak akan menyerang di tengah banyaknya orang kan?

Namun sebelum Seorin berbalik arah, tiba-tiba sesosok tubuh melesat cepat melewatinya. Seorin memekik. Sosok itu kini berdiri di hadapannya. Matanya menyala merah dengan mulut yang menyeringai menampakkan taring.

“Manusia bodoh. Kau pikir bisa melenyapkan Kami?”

Seorin tidak mengenali wajah Vampir itu. Ini berarti tidak hanya member TR10 yang sudah diculik dan diambil identitasnya. Namun para vampir itu juga sudah mulai mencuri identitas para penggemar TR10. Kalau dibiarkan terus menerus, bisa jadi seluruh kota ini akan dihuni oleh bangsa Vampir.

Vampir itu bergerak menyerang. Seorin sudah siap dengan pisau kecil dari dalam tasnya. Tanpa ragu, ia menghunus senjata dari logam perak yang tampak berkilau samar di bawah cahaya bulan dan terbungkus kain berwarna merah tua. Masih pisau yang sama yang diberikan Asahi saat Seorin menyelundup ke ruang bawah tanah.

Saat vampir itu menerjang, Seorin memutar tubuh dan menyayat lengan penyerangnya dalam satu gerakan lincah. Teriakan kesakitan langsung meledak dari mulut vampir itu. Dagingnya melepuh. Asap hitam tipis mengepul dari lukanya.

“Apa ini?! Darah manusia?!”

Seorin tidak menjawab. Dengan satu dorongan kuat, ia menghantamkan tubuh vampir itu ke dinding. Pisau perak itu menusuk tepat di jantung vampir itu. Seorin tidak yakin vampir itu akan mati karena pisau ini tidak direndam oleh darah manusia yang ia tiru.

Benar saja, Vampir itu tidak langsung musnah. Ia hanya menjerit dan meronta minta dilepaskan. Kakinya menendang Seorin hingga terjatuh. Ia langsung melesat ke langit dan menghilang.

Seorin terdiam. Napasnya berat. Genggaman pada pisaunya gemetar namun tetap erat.

Benar kata Asahi, para vampir itu hanya bisa mati dengan senjata yang telah direndam oleh darah manusia yang ia tiru. Padahal Seorin telah menusuknya tepat di jantung, tapi tetap saja tidak berhasil memusnahkan vampir itu.

Malam itu, Seorin semakin bertekad untuk menemukan tubuh asli para member TR10 sebelum semuanya terlambat.

Sebuah lampu gantung menyala kemerahan di tengah ruangan gelap berlangit-langit rendah. Di tengah ruangan, para vampir duduk membentuk setengah lingkaran. Pemimpin mereka, Junkyu, berdiri di tengah dengan sebuah foto Asahi tertempel di dinding yang bagian tengahnya telah ditusuk oleh sebilah pisau.

“Ada penyusup,” ujarnya dingin. “Aku tidak mengerti mengapa kita sampai tidak sadar dengan keberadaan dia.”

“Dia pandai menyamar.” Jihoon menimpali. “Aku bahkan tidak mendeteksi detak jantungnya. Entah bagaimana cara dia menyamarkannya.”

“Mungkin saja dia memang benar-benar vampir?” Anggota termuda, Junghwan, bersuara. Bibirnya mengerucut saat para vampir yang lebih tua menatapnya tajam, tanda tak setuju dengan apa yang baru saja ia katakan.

“Sudah berapa kali dia feeding?” tanya Junkyu. “Aku tidak pernah melihat dia minum darah manusia sebelumnya.”

“Beberapa hari yang lalu, aku cekoki dia dengan darah,” sahut Haruto. “Dia meminumnya sampai tandas. Kalau dia memang manusia, seharusnya dia tidak bisa menelan darahnya sendiri.”

“Mungkin saja dia sudah berubah jadi setengah vampir karena ritual itu.” Hyunsuk masuk ke obrolan dengan tangan yang terlipat di dada. “Makanya dia bisa menyamarkan detak jantung dan meminum darahnya sendiri.”

“Kita harus memastikannya segera. Sepertinya dia sedang berusaha membebaskan teman-temannya lewat bantuan seorang penggemar yang saat itu tidak terpengaruh oleh efek hipnotis kita,” ujar Jaehyuk.

“Ah, Seorin, ya?” Jihoon membalas. “Aku sudah menyadari ada yang berbeda dengan perempuan itu.”

Junkyu tampak berpikir. Ia menatap semua anggota satu persatu, lalu berkata, “Kita akan uji dia. Besok malam, kita beri dia satu mangsa. Dia harus bisa menghabisinya di depan kita semua.”

Tangan Junkyu berayun. Menangkap salah seorang manusia yang menjadi tawanan mereka dengan sihirnya lalu melemparnya ke sembarang arah. Ia melakukannya berkali-kali sampai manusia itu mati, lalu membawa jasadnya ke tengah-tengah mereka untuk disantap.

“Tangkap juga perempuan itu. Dia harus menjadi santapan kita malam Jumat besok.”

Di sebuah studio yang gelap, Asahi duduk sendirian. Hanya satu lampu studio yang menyala. Tangannya menggenggam botol air yang akan ia gunakan untuk mengambil salah satu sidik jari para vampir itu. Suasana mendadak berubah dingin. Bukan karena AC, tapi karena kedatangan seorang vampir berwajah Yoshi yang menatapnya tajam sejak ia masuk ke ruangan.

“Sedang apa di sini sendirian?”

Yoshi mendekat. Sepasang mata merahnya menyorot penuh curiga. Asahi merasa bulu kuduknya naik. Namun dia berusaha tetap tenang.

“Baru selesai latihan.”

“Latihan?” Bibir Yoshi menyungging tipis. Ia lalu duduk tak jauh dari Asahi. “Aku dengar kemarin kau berkelahi dengan Jaehyuk.”

“Cuman salah paham.”

“Salah paham?”

Yoshi mendekat, lalu mengambil botol air dari tangan Asahi. Dia meminum separuh isi botol lalu meletakkannya di meja kaca dengan keras sampai sedikit retak.

“Kuharap itu memang salah paham.”

Yoshi melangkah pergi. Asahi buru-buru bergerak. Dia membuka saku hoodie-nya, mengeluarkan kantong plastik, lalu memasukkan botol yang Yoshi sentuh ke dalamnya. Ada alat yang bisa menyimpan sidik jari hanya dari bekas sentuhan di kamarnya. Dia akan menggunakan alat itu untuk merekam sidik jari Yoshi dan menggunakannya untuk membuka akses ruang tersembunyi yang ia yakini sebagai tempat penyekapan para member.

“Selesai!” gumam Asahi lantas bergegas pergi dari studio itu.


Lokasi fanmeeting sudah dipenuhi staff sejak pagi. Truk-truk peralatan keluar masuk, lampu dan layar LED dipasang. Seorin berdiri di antara mereka. Menggunakan ID card palsu buatan Asahi yang menggantung di leher beserta penyamaran utuh dari mulai model rambut hingga gaya berpakaian yang berbeda dari biasanya.

Jantungnya berdetak kencang. Bukan karena takut ketahuan, tapi karena hari ini dia dan Asahi akan menyusup ke ruang bawah tanah, tempat para member asli TR10 dikurung.

Di dalam ruang ganti, Asahi dan para member vampir sudah bersiap untuk sesi fanmeeting. Seorin hanya sempat bertukar pandang singkat dengannya dari kejauhan. Kepalanya menunduk singkat, tanda siap melancarkan penyerangan.


Fanmeeting dimulai. Sorak sorai fans menggema. Seorin menyusup ke gudang bawah tanah setelah sebelumnya menukar id card miliknya dengan milik kru asli seperti perintah Asahi. Ia menggeret box hitam besar yang berisi speaker untuk penyamaran.

Seorin sampai di lift servis. Asahi sudah mematikan sensor kamera lewat jalur yang dia tembus malam sebelumnya. Dengan id card yang sudah Seorin curi, pintu terbuka.

Lift turun. Lantai demi lantai, sampai akhirnya:

B3 – No Access

Pintu terbuka pelan. Seorin disambut oleh lorong panjang yang membentang. Lampu di sana menyala remang. Udara terasa dingin tercampur oleh bau darah dan zat kimia yang menyengat.

Seorin bergerak cepat mencari tempat persembunyian sembari menunggu Asahi datang. Di kantung jaketnya, ia sudah menyimpan pisau perak kecil yang sebelumnya sudah direndam darah Asahi. Hanya itu perlindungan yang Seorin punya. Semoga saja tidak ada yang terjadi sampai Asahi datang.

Ponsel Seorin bergetar. Ia menemukan ada pesan dari Asahi di sana.

HKN911: rin, sorry gue nggak bisa nyusul sekarang

HKN911: gue ditahan mereka

Seorin menggeram kesal. Padahal tinggal sedikit lagi mereka berhasil. Ruangan yang kemungkinan besar tempat penyekapan member pun ada di depan matanya. Masa dia harus mundur setelah melangkah sejauh ini?

Haruskah dia mencoba masuk ke sana dengan sidik jarinya? Siapa tau masih berfungsi bukan?