Quinzaharu

Naresh tampak terburu-buru bersiap pergi ke agensi. Ada beberapa hal yang harus ia siapkan sebelum acara penghargaan besok. Sewaktu dia hendak membuka pintu, tiba-tiba ada seseorang yang membukanya dari luar.

“Mau ke mana, Res?” Mochtar berdiri menjulang di hadapan Naresh. Pria tersebut baru saja pulang dari kantor. Pakaiannya tampak kusut dengan raut wajah yang lelah.

“Mau ke kantor dulu, Pa. Ada latihan buat besok.”

“Malam-malam begini?”

Naresh mengangguk. “Gapapa, aku udah biasa kerja malem-malem kok.”

“Bawa mobil sendiri apa pake supir?”

“Sendiri, Pa. Supirku kerja sampe sore aja.”

“Itu ada sopir Papa. Mau pake sopir Papa? Kayaknya belum jauh dia,” tawar Mochtar sambil merogoh sakunya bermaksud menelepon si supir yang baru saja pulang.

“Nggak usah, nggak usah. Aku nyupir sendiri aja. Aman kok. Aku nggak ngantuk sama sekali,” tolak Naresh tampak panik.

Mochtar kembali memasukkan ponselnya. “Yaudah sana hati-hati bawa mobilnya.”

Naresh mengangguk. Ia mengulurkan tangan, bermaksud meminta salam. Mochtar tampak gelagapan mengulurkan tangannya. Naresh mencium tangan sang ayah dengan air mata yang mulai menggenang. Ah, kapan ya terakhir kalinya dia mencium tangan sang papa seperti ini?

“Aku berangkat dulu ya, Pa.” Bahkan untuk berpamitan saja terasa sangat asing untuk Naresh.

“Ya, hati-hati.”

Naresh berlari kecil menghampiri mobilnya yang sudah terparkir di halaman depan rumah. Ia masuk dan mengela napas kasar. Jantungnya berdebar begitu kencang. Semua ini terasa sangat asing dan baru. Namun Naresh bersyukur masih bisa diberi kesempatan untuk merasakan berbagai gejolak perasaan ini.

Dari kaca spion, Naresh melihat Mochtar masih berdiri di sana. Seperti menunggu mobilnya pergi baru dia akan masuk ke rumah. Naresh tersenyum lantas mengela napas lega. Kehidupannya yang baru benar-benar telah dimulai. Semoga bisa jauh lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.


“Pemenang penyanyi wanita terbaik tahun ini adalah ....,” jeda si pembawa acara membuat suasana seketika tegang. “Kamila Seraphine!”

Riuh sorak-sorai penonton bergemuruh seketika. Kamila berdiri sambil membungkuk ke orang di sekitarnya yang memberikan ucapan selamat. Beberapa dari mereka memeluknya membuat suasana jadi semakin haru. Kamila melirik ke kursi penonton, di mana keluarganya berkumpul. Mereka tampak melambaikan tangan sambil bertepuk tangan heboh. Regan, sang suami, bahkan sampai meneriakkan pujian untuknya.

“KAMU HEBAT, SAYANG!” teriak Regan yang makin membuat penonton bersorak. Kamila berjalan menuju atas panggung dengan tertawa malu. Matanya berbinar dengan pipi yang merona. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Setelah sekian lama berkarya, akhirnya ia bisa memenangkan penghargaan ini.

Lampu panggung menyinari wajahnya yang penuh kebahagiaan. Setelah menerima pialanya, ia mendekati mikrofon dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.

“Selamat malam semuanya.” Kamila membuka sambutannya dengan suara penuh haru. “Pertama, aku mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan aku kesempatan untuk bisa memenangkan penghargaan pada malam ini. Penghargaan ini seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata. Dan aku berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras dari aku sendiri, tetapi juga karena dukungan dari orang-orang tercinta. Mereka yang selalu jadi penyemangat terbesar bagi aku hingga bisa mencapai titik ini.”

Ia mengarahkan pandangannya ke Regan, suaminya, yang duduk di barisan depan. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku ingin mendedikasikan penghargaan ini untuk seseorang yang selalu ada buat aku, yang nggak pernah lelah mendukung aku, dan yang selalu percaya sama aku, bahkan ketika aku sendiri sempat ragu. Penghargaan ini aku dedikasikan untuk suamiku tercinta, Regantara Atmadja.”

Tepuk tangan kembali riuh. Regan tersenyum bangga dengan tangan yang membentuk hati. Kamila tersenyum malu namun tetap membalasnya membuat penonton bersorak keras.

Kemudian, Kamila menunduk sebentar dan menarik napas dalam-dalam. Tampak berat untuk melanjutkan sambutannya. “Selain itu, aku juga ingin mendedikasikan kemenangan ini untuk seseorang yang baru aja hadir dalam hidup Kami, yaitu calon anak Kami yang beberapa minggu kemarin datang ke keluarga Kami.”

Sejenak, suasana hening. Lalu, gedung itu meledak dengan tepuk tangan dan sorakan penuh semangat. Regan yang duduk di barisan depan terlihat terkejut, matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Kamila tersenyum sambil melanjutkan, “Suamiku bahkan baru tau soal ini. Lihat tuh, dia sampe melongo begitu,” ujar Kamila yang disambut gelak tawa oleh para penonton ketika layar di panggung menunjukkan raut wajah Regan yang terkejut. “Maaf sayang, aku tau ini terlalu mendadak buat kamu. Tapi aku memang udah merencanakan dari awal buat kasih tau kamu di sini, di depan semua orang. Jangan marah yaa!”

Regan masih terlihat syok. Namun ia tertawa kecil setelahnya. Pantas saja akhir-akhir ini Kamila berbeda. Ternyata ini alasannya.

Setelah mengumumkan kabar besar tersebut, Kamila melanjutkan sambutannya dengan mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu perjalanan karirnya selama ini. Ia menutup sambutannya dengan membungkuk singkat lalu berjalan turun dari panggung. Bukan kembali ke kursinya, melainkan menghampiri sang suami yang langsung berdiri menyambut.

“Selamat, sayang,” ujar Regan sambil memeluk Kamila. “Terima kasih untuk semuanya,” lanjut Regan dengan suara yang bergetar. Ia sampai kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan perasaannya malam ini.

“Aku juga makasih karna Mas udah jadi suami terbaik buat aku,” jawab Kamila yang ikut menahan tangis. “Congrats, Mas. Bentar lagi jadi ayah.”

Regan semakin menangis mendengar perkataan Kamila. Regan merasakan campuran emosi yang begitu kuat, seolah-olah seluruh dunia berhenti sejenak. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar kabar sepenting ini di momen yang tidak pernah ia duga.

Ada sedikit rasa bersalah menyelinap di hati Regan. Bagaimana ia bisa tidak menyadari hal sebesar ini? Tapi, rasa itu segera kalah oleh kebahagiaan murni yang tak terbendung. Ia merasa hatinya begitu penuh hingga sulit digambarkan dengan kata-kata. Regan merasa dunianya sempurna. Tak ada hal lain yang lebih penting selain mereka bertiga—dirinya, Kamila, dan bayi yang akan segera hadir dalam hidup mereka.


Setelah momen haru di atas panggung, Kamila menggandeng tangan Regan dengan senyum penuh arti. “Aku belum selesai kasih kejutan malam ini,” katanya sambil menarik suaminya ke arah lift hotel.

Regan, yang masih diliputi euforia dan keterkejutan dari pengumuman kehamilan Kamila, hanya bisa mengikuti tanpa banyak bertanya. “Ke mana kita?” tanyanya penasaran.

Kamila tersenyum misterius. “Kamu bakal tahu sebentar lagi.”

Lift berhenti di lantai tertinggi. Mereka melangkah ke area rooftop yang sudah dihiasi dengan cahaya lampu kecil yang romantis. Udara malam terasa sejuk. Bintang-bintang di langit menambah suasana romantis bagi mereka berdua.

Kamila mengarahkan Regan ke sudut balkon, di mana pemandangan kota terbentang luas. Tiba-tiba, salah satu videotron besar di pusat kota menyala. Regan mengerutkan kening, tapi saat tayangan itu mulai, matanya membesar.

Layar itu menampilkan potongan-potongan momen kebersamaan mereka: tawa mereka saat berlibur bersama, senyuman Kamila saat mereka berlari pagi bersama, video Regan yang tanpa sadar direkam Kamila saat ia bercanda di dapur, hingga momen pernikahan mereka yang penuh kehangatan. Semua dirangkai menjadi sebuah cerita tentang cinta mereka, diiringi lagu yang memiliki arti khusus bagi mereka berdua.

Di akhir tayangan, muncul tulisan besar di layar: You’re not just the best husband, but now also the best dad-to-be. Thank you for being my home, my strength, and the future father of our child. I love you endlessly.

Regan terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia menoleh ke Kamila, yang memandangnya dengan senyum penuh cinta. “Kamu nyiapin semua ini?” suaranya hampir berbisik.

Kamila mengangguk. Ia beranjak menggenggam kedua tangan Regan. “Aku Sera Kamila Maharani. Di bawah langit Jakarta malam ini, aku bersumpah bahwa kamu, Regantara Atmadja, adalah seseorang yang paling aku cintai seumur hidupku. Aku mencintai segala hal yang ada pada diri kamu. I love your hair. I love your lips. I love your eyes. Even perut buncit yang selalu kamu keluhin kalo lama nggak nge-gym, aku suka semuanya.”

Keduanya terkekeh. Regan masih menatap Kamila dalam, menunggu perempuan itu melanjutkan kalimatnya.

“Aku mencintai semua kata yang keluar dari mulut kamu. Bahkan ketika kamu terdiam pun, aku tetap mencintainya.”

Kamila menelan ludah, menahan tangis yang membuncah. “Aku mencintai sosok anak kecil ada di diri kamu di masa lalu, sosok lelaki yang kini berdiri di hadapanku, dan sosok ayah yang kayaknya bakal sering ngomel-ngomel di masa depan.”

Keduanya tertawa dengan ujung mata yang mulai basah.

And I swear that I always will. Sama aku terus selamanya, ya, Mas?”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Regan menarik Kamila ke dalam pelukan erat. Malam ini, ia merasa menjadi pria paling beruntung di dunia. Di bawah bintang-bintang dan kilauan lampu kota, mereka berdua merayakan awal dari sebuah babak baru dalam hidup mereka.

Naresh tampak terburu-buru bersiap pergi ke agensi. Ada beberapa hal yang harus ia siapkan sebelum acara penghargaan besok. Sewaktu dia hendak membuka pintu, tiba-tiba ada seseorang yang membukanya dari luar.

“Mau ke mana, Res?” Mochtar berdiri menjulang di hadapan Naresh. Pria tersebut baru saja pulang dari kantor. Pakaiannya tampak kusut dengan raut wajah yang lelah.

“Mau ke kantor dulu, Pa. Ada latihan buat besok.”

“Malam-malam begini?”

Naresh mengangguk. “Gapapa, aku udah biasa kerja malem-malem kok.”

“Bawa mobil sendiri apa pake supir?”

“Sendiri, Pa. Supirku kerja sampe sore aja.”

“Itu ada sopir Papa. Mau pake sopir Papa? Kayaknya belum jauh dia,” tawar Mochtar sambil merogoh sakunya bermaksud menelepon si supir yang baru saja pulang.

“Nggak usah, nggak usah. Aku nyupir sendiri aja. Aman kok. Aku nggak ngantuk sama sekali,” tolak Naresh tampak panik.

Mochtar kembali memasukkan ponselnya. “Yaudah sana hati-hati bawa mobilnya.”

Naresh mengangguk. Ia mengulurkan tangan, bermaksud meminta salam. Mochtar tampak gelagapan mengulurkan tangannya. Naresh mencium tangan sang ayah dengan air mata yang mulai menggenang. Ah, kapan ya terakhir kalinya dia mencium tangan sang papa seperti ini?

“Aku berangkat dulu ya, Pa.” Bahkan untuk berpamitan saja terasa sangat asing untuk Naresh.

“Ya, hati-hati.”

Naresh berlari kecil menghampiri mobilnya yang sudah terparkir di halaman depan rumah. Ia masuk dan mengela napas kasar. Jantungnya berdebar begitu kencang. Semua ini terasa sangat asing dan baru. Namun Naresh bersyukur masih bisa diberi kesempatan untuk merasakan berbagai gejolak perasaan ini.

Dari kaca spion, Naresh melihat Mochtar masih berdiri di sana. Seperti menunggu mobilnya pergi baru dia akan masuk ke rumah. Naresh tersenyum lantas mengela napas lega. Kehidupannya yang baru benar-benar telah dimulai. Semoga bisa jauh lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.

***

“Pemenang penyanyi wanita terbaik tahun ini adalah ....,” jeda si pembawa acara membuat suasana seketika tegang. “Kamila Seraphine!”

Riuh sorak-sorai penonton bergemuruh seketika. Kamila berdiri sambil membungkuk ke orang di sekitarnya yang memberikan ucapan selamat. Beberapa dari mereka memeluknya membuat suasana jadi semakin haru. Kamila melirik ke kursi penonton, di mana keluarganya berkumpul. Mereka tampak melambaikan tangan sambil bertepuk tangan heboh. Regan, sang suami, bahkan sampai meneriakkan pujian untuknya.

“KAMU HEBAT, SAYANG!” teriak Regan yang makin membuat penonton bersorak. Kamila berjalan menuju atas panggung dengan tertawa malu. Matanya berbinar dengan pipi yang merona. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Setelah sekian lama berkarya, akhirnya ia bisa memenangkan penghargaan ini.

Lampu panggung menyinari wajahnya yang penuh kebahagiaan. Setelah menerima pialanya, ia mendekati mikrofon dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.

“Selamat malam semuanya.” Kamila membuka sambutannya dengan suara penuh haru. “Pertama, aku mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan aku kesempatan untuk bisa memenangkan penghargaan pada malam ini. Penghargaan ini seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata. Dan aku berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras dari aku sendiri, tetapi juga karena dukungan dari orang-orang tercinta. Mereka yang selalu jadi penyemangat terbesar bagi aku hingga bisa mencapai titik ini.”

Ia mengarahkan pandangannya ke Regan, suaminya, yang duduk di barisan depan. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku ingin mendedikasikan penghargaan ini untuk seseorang yang selalu ada buat aku, yang nggak pernah lelah mendukung aku, dan yang selalu percaya sama aku, bahkan ketika aku sendiri sempat ragu. Penghargaan ini aku dedikasikan untuk suamiku tercinta, Regantara Atmadja.”

Tepuk tangan kembali riuh. Regan tersenyum bangga dengan tangan yang membentuk hati. Kamila tersenyum malu namun tetap membalasnya membuat penonton bersorak keras.

Kemudian, Kamila menunduk sebentar dan menarik napas dalam-dalam. Tampak berat untuk melanjutkan sambutannya. “Selain itu, aku juga ingin mendedikasikan kemenangan ini untuk seseorang yang baru aja hadir dalam hidup Kami, yaitu calon anak Kami yang beberapa minggu kemarin datang ke keluarga Kami.”

Sejenak, suasana hening. Lalu, gedung itu meledak dengan tepuk tangan dan sorakan penuh semangat. Regan yang duduk di barisan depan terlihat terkejut, matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Kamila tersenyum sambil melanjutkan, “Suamiku bahkan baru tau soal ini. Lihat tuh, dia sampe melongo begitu,” ujar Kamila yang disambut gelak tawa oleh para penonton ketika layar di panggung menunjukkan raut wajah Regan yang terkejut. “Maaf sayang, aku tau ini terlalu mendadak buat kamu. Tapi aku memang udah merencanakan dari awal buat kasih tau kamu di sini, di depan semua orang. Jangan marah yaa!”

Regan masih terlihat syok. Namun ia tertawa kecil setelahnya. Pantas saja akhir-akhir ini Kamila berbeda. Ternyata ini alasannya.

Setelah mengumumkan kabar besar tersebut, Kamila melanjutkan sambutannya dengan mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu perjalanan karirnya selama ini. Ia menutup sambutannya dengan membungkuk singkat lalu berjalan turun dari panggung. Bukan kembali ke kursinya, melainkan menghampiri sang suami yang langsung berdiri menyambut.

“Selamat, sayang,” ujar Regan sambil memeluk Kamila. “Terima kasih untuk semuanya,” lanjut Regan dengan suara yang bergetar. Ia sampai kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan perasaannya malam ini.

“Aku juga makasih karna Mas udah jadi suami terbaik buat aku,” jawab Kamila yang ikut menahan tangis. “Congrats, Mas. Bentar lagi jadi ayah.”

Regan semakin menangis mendengar perkataan Kamila. Regan merasakan campuran emosi yang begitu kuat, seolah-olah seluruh dunia berhenti sejenak. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar kabar sepenting ini di momen yang tidak pernah ia duga.

Ada sedikit rasa bersalah menyelinap di hati Regan. Bagaimana ia bisa tidak menyadari hal sebesar ini? Tapi, rasa itu segera kalah oleh kebahagiaan murni yang tak terbendung. Ia merasa hatinya begitu penuh hingga sulit digambarkan dengan kata-kata. Regan merasa dunianya sempurna. Tak ada hal lain yang lebih penting selain mereka bertiga—dirinya, Kamila, dan bayi yang akan segera hadir dalam hidup mereka.

***

Setelah momen haru di atas panggung, Kamila menggandeng tangan Regan dengan senyum penuh arti. “Aku belum selesai kasih kejutan malam ini,” katanya sambil menarik suaminya ke arah lift hotel.

Regan, yang masih diliputi euforia dan keterkejutan dari pengumuman kehamilan Kamila, hanya bisa mengikuti tanpa banyak bertanya. “Ke mana kita?” tanyanya penasaran.

Kamila tersenyum misterius. “Kamu bakal tahu sebentar lagi.”

Lift berhenti di lantai tertinggi. Mereka melangkah ke area rooftop yang sudah dihiasi dengan cahaya lampu kecil yang romantis. Udara malam terasa sejuk. Bintang-bintang di langit menambah suasana romantis bagi mereka berdua.

Kamila mengarahkan Regan ke sudut balkon, di mana pemandangan kota terbentang luas. Tiba-tiba, salah satu videotron besar di pusat kota menyala. Regan mengerutkan kening, tapi saat tayangan itu mulai, matanya membesar.

Layar itu menampilkan potongan-potongan momen kebersamaan mereka: tawa mereka saat berlibur bersama, senyuman Kamila saat mereka berlari pagi bersama, video Regan yang tanpa sadar direkam Kamila saat ia bercanda di dapur, hingga momen pernikahan mereka yang penuh kehangatan. Semua dirangkai menjadi sebuah cerita tentang cinta mereka, diiringi lagu yang memiliki arti khusus bagi mereka berdua.

Di akhir tayangan, muncul tulisan besar di layar: You’re not just the best husband, but now also the best dad-to-be. Thank you for being my home, my strength, and the future father of our child. I love you endlessly.

Regan terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia menoleh ke Kamila, yang memandangnya dengan senyum penuh cinta. “Kamu nyiapin semua ini?” suaranya hampir berbisik.

Kamila mengangguk. Ia beranjak menggenggam kedua tangan Regan. “Aku Sera Kamila Maharani. Di bawah langit Jakarta malam ini, aku bersumpah bahwa kamu, Regantara Atmadja, adalah seseorang yang paling aku cintai seumur hidupku. Aku mencintai segala hal yang ada pada diri kamu. I love your hair. I love your lips. I love your eyes. Even perut buncit yang selalu kamu keluhin kalo lama nggak nge-gym, aku suka semuanya.”

Keduanya terkekeh. Regan masih menatap Kamila dalam, menunggu perempuan itu melanjutkan kalimatnya.

“Aku mencintai semua kata yang keluar dari mulut kamu. Bahkan ketika kamu terdiam pun, aku tetap mencintainya.”

Kamila menelan ludah, menahan tangis yang membuncah. “Aku mencintai sosok anak kecil ada di diri kamu di masa lalu, sosok lelaki yang kini berdiri di hadapanku, dan sosok ayah yang kayaknya bakal sering ngomel-ngomel di masa depan.”

Keduanya tertawa dengan ujung mata yang mulai basah.

And I swear that I always will. Sama aku terus selamanya, ya, Mas?”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Regan menarik Kamila ke dalam pelukan erat. Malam ini, ia merasa menjadi pria paling beruntung di dunia. Di bawah bintang-bintang dan kilauan lampu kota, mereka berdua merayakan awal dari sebuah babak baru dalam hidup mereka.

Tangan gue gemetar hebat pas baca chat dari Hylda. Saat itu juga, gue buru-buru lari ninggalin kantin buat nyamperin Dias. Yang dibilang Hylda pasti salah. Nggak mungkin Dias tega ngelakuin hal kaya gitu ke gue. Selama ini Dias selalu baik, selalu perhatian, selalu bantuin gue. Nggak mungkin dia berubah jadi jahat dalam sekejap. Bahkan gue masih inget gimana manisnya senyum Dias pas nerima cookies gue. Nggak, ini nggak mungkin. Hylda pasti bohong.

Dari kejauhan, gue liat banyak orang menggerombol di depan kelas gue. Langkah gue seketika terhenti. Gue bisa melihat Fandias Airlangga ada di sana sedang tertawa terbahak-bahak bersama temannya.

Tiba-tiba tubuh gue ditarik seseorang. Saat gue lihat, ternyata itu Hylda. Dia narik gue untuk bersembunyi di balik tembok. Mendengarkan apa saja yang dikatakan Dias bersama teman-temannya di sana.

Tingali, awewe mah hampangan, dianter saeutik, merena kukis, disangka manehanana geulis, anjirr goreng patut kitu jigah munding modol,” ujar Dias disusul tawaan. (“Liat, cewe mah gampangan banget, tinggal dianter, langsung ngasih cookies, disangka dia cantik kali ya sampe gue baikin, padahal mah mukanya jelek banget kayak kebo lagi berak”)

Jantung gue meledak. Pikiran gue kosong menyisakan denging yang memekakan telinga. Kepala gue berputar pelan ke arah Hylda. Bibir gue gemetar. Gue bahkan lupa untuk mengedipkan mata hingga air mata gue luruh begitu saja.

“Hyl ....” Cuman itu yang bisa gue ucap sebelum akhirnya Hylda menarik gue ke dalam pelukan. Dia menangis. Air mata gue pun ikut menderas. Kenapa ... Kenapa jadi gini?

Sejak hari itu, gue nggak pernah dateng ke sekolah lagi. Padahal pas itu lagi ujian praktik. Gue nggak peduli. Gue malu. Gue udah nggak punya muka lagi buat dateng ke sekolah. Setiap inget kejadian itu, tubuh gue selalu gemetar. Gue bener-bener trauma. Gue nggak mau ketemu Dias lagi, bahkan sekedar denger namanya pun gue udah nggak sudi.

Lihat aja, suatu saat, gue yakin lo bakal dapet balesan atas trauma gue, Fandias Airlangga.

Tangan gue gemetar hebat pas baca chat dari Hylda. Saat itu juga, gue buru-buru lari ninggalin kantin buat nyamperin Dias. Yang dibilang Hylda pasti salah. Nggak mungkin Dias teg ngelakuin hal kaya gitu ke gue. Selama ini Dias selalu baik, selalu perhatian, selalu bantuin gue. Nggak mungkin dia berubah jadi jahat dalam sekejap. Bahkan gue masih inget gimana manisnya senyum Dias pas nerima cookies gue. Nggak, ini nggak mungkin. Hylda pasti bohong.

Dari kejauhan, gue liat banyak orang menggerombol di depan kelas gue. Langkah gue seketika terhenti. Gue bisa melihat Fandias Airlangga ada di sana sedang tertawa terbahak-bahak bersama temannya.

Tiba-tiba tubuh gue ditarik seseorang. Saat gue lihat, ternyata itu Hylda. Dia narik gue untuk bersembunyi di balik tembok. Mendengarkan apa saja yang dikatakan Dias bersama teman-temannya di sana.

Tingali, awewe mah hampangan, dianter saeutik, merena kukis, disangka manehanana geulis, anjirr goreng patut kitu jigah munding modol,” ujar Dias disusul tawaan. (“Liat, cewe mah gampangan banget, tinggal dianter, langsung ngasih cookies, disangka dia cantik kali ya sampe gue baikin, padahal mah mukanya jelek banget kayak kebo lagi berak”)

Jantung gue meledak. Pikiran gue kosong menyisakan denging yang memekakan telinga. Kepala gue berputar pelan ke arah Hylda. Bibir gue gemetar. Gue bahkan lupa untuk mengedipkan mata hingga air mata gue luruh begitu saja.

“Hyl ....” Cuman itu yang bisa gue ucap sebelum akhirnya Hylda menarik gue ke dalam pelukan. Dia menangis. Air mata gue pun ikut menderas. Kenapa ... Kenapa jadi gini?

Sejak hari itu, gue nggak pernah dateng ke sekolah lagi. Padahal pas itu lagi ujian praktik. Gue nggak peduli. Gue malu. Gue udah nggak punya muka lagi buat dateng ke sekolah. Setiap inget kejadian itu, tubuh gue selalu gemetar. Gue bener-bener trauma. Gue nggak mau ketemu Dias lagi, bahkan sekedar denger namanya pun gue udah nggak sudi.

Lihat aja, suatu saat, gue yakin lo bakal dapet balesan atas trauma gue, Fandias Airlangga.

Travis tidak bisa menahannya lagi. Dia harus ke toilet sekarang. Tapi dia tidak mungkin meninggalkan Ara sendirian di sini. Bunda masih dalam perjalanan. Setidaknya dia harus menunggu bundanya datang. Namun sepertinya panggilan alam ini sudah tidak mau menunggu lagi.

Dia melangkah ke luar ruangan. Mencari seseorang yang bisa dimintai tolong menjaga Ara selama ia ke toilet. Kepalanya tengok kanan-kiri. Ada seseorang tengah duduk di kursi tunggu tak jauh darinya. Ia menengok sekali ke Ara, memastikan adiknya masih terlelap, lantas melangkah cepat menghampiri orang itu.

“Mas, lagi sibuk nggak?”

Seseorang yang sedang sibuk dengan ponselnya itu mendongak. Ia tengok kanan-kiri lantas menunjuk dirinya. “Saya?”

“Iya, sibuk nggak, Mas? Saya mau minta tolong.”

“Minta tolong apa?” tanya orang itu ragu-ragu.

“Bisa jagain adik saya sebentar? Saya mau ke toilet. Udah kebelet banget. Bisa nggak?”

Orang itu menggaruk kepala ragu. “Emang adiknya di mana, Mas?”

“Di ICU. Bantu liatin dari jendela aja. Kalo ada apa-apa langsung lapor ke perawat misal saya belum balik. Bisa nggak, Mas?”

Orang itu tampak berpikir, meneliti penampilan Travis dari atas sampai bawah, lantas menatap pintu ruangan di mana adik Travis berada.

“Yaudah boleh.”

“Makasih banyak, Mas! Saya bakal balik secepatnya!”

Travis lantas mengantar orang itu berpindah ke dekat ruangan sang adik. Mereka sama-sama mengintip ke dalam, melihat seorang gadis yang dikelilingi beberapa alat rumah sakit masih terlelap tenang. Travis menepuk bahu orang itu berkali-kali sekaligus berjanji akan kembali secepatnya.


“Kalo boleh tau, adiknya sakit apa, Mas?”

Travis telah kembali dari toilet. Kebetulan Bunda juga sudah datang. Orang yang ia mintai tolong tadi duduk di kursi tepat di depan ruangan adiknya. Mungkin menunggu Travis kembali untuk melaporkan bahwa ia telah menyelesaikan tanggung jawab.

“Anemia aplastik, pernah denger nggak?”

Sebagai ucapan terima kasih, Travis membelikan sebotol minuman untuk orang itu. Mereka jadi mengobrol bersama di sana.

“Taunya cuman anemia sih.”

“Sama.”

Mereka tenggelam pada minuman masing-masing setelahnya. Travis baru sadar kalau ini pertama kalinya ia mau basa-basi dengan orang lain. Seharusnya dia hanya mengucapkan terima kasih, tidak sampai memberikan reward ke orang itu. Apalagi sampai memberitahu penyakit yang diderita adiknya.

“Kalo mas...? Ngapain di sini?”

Lihatlah, Travis bahkan membuka topik obrolan lagi. Sejak kapan dia peduli dengan kehidupan orang lain?

“Abis ambil obat, Mas. Eh, kayaknya saya pamit sekarang ya, Mas. Udah ditunggu orang rumah.”

Keduanya lantas berdiri bersamaan. “Oh, oke, Mas. Makasih ya buat bantuannya,” ujar Travis sambil menjabat tangan orang itu.

Orang itu membungkuk sebelum melangkah pergi. Ia berjalan membawa rasa bingung sambil sesekali memeriksa penampilannya dari pantulan layar ponsel.

“Emang gue kayak mas-mas, ya?”

Semua orang yang berada di markas Black Rose terkejut oleh suara benda berjatuhan. Saat mereka mendatangi sumber suara, mereka menemukan Travis telah terjerembab di antara tumpukan kardus. Lelaki itu meringkuk sambil memegangi kepala. Raut wajahnya mengernyit dan memerah. Mereka sontak lari menghampiri.

“Bos, kenapa, Bos?!”

Travis hanya memberontak tanpa menjawab. Kakinya menendangi orang-orang yang berusaha menarik tangannya. Gemuruh itu tak boleh terdengar. Petir itu tak boleh terlihat. Travis panik luar biasa dan dia tidak tahu cara untuk mengontrolnya.

Seorang anak lelaki meringkuk di sudut kamar sambil meraung-raung. Wajahnya telah basah oleh air mata dan keringat dingin. Jendela kamarnya mengepak seperti sayap burung, seiring kencangnya angin bertiup. Air hujan membasahi lantai bawah jendela tersebut. Anak itu terlambat menutupnya. Serangan panik menyerang ketika kilat petir tertangkap penglihatannya.

“BUNDAAAAA!!!!”

Tangis anak lelaki itu semakin kencang. Sampai ia tidak mendengar seseorang dari tadi menggedor-gedor pintu kamarnya yang terkunci. Jeritannya sampai ke telinga orang tersebut. Pintu kamarnya terdengar didobrak berkali-kali yang justru membuat anak lelaki itu makin panik akan suaranya.

“KAZUO! INI BIBI, NAK! BUKA PINTUNYA!”

“BUNDAAAA! BUNDAAAA!”

“JANGAN TAKUT, NAK! BIBI DI SINI!”

“BUNDA MANAAAA!”

“KAZUO TENANG YAAA!!!”

Tenang? Bagaimana bisa dia tenang? Tidak ada orang yang menemaninya di sini. Dia sendiri. Dipaksa menghadapi ketakutannya, dituntut bertahan di rumah yang hampir koyak. Tak ada pelukan nyaman sang ibu. Tak ada kata penenang sang ayah. Ia ditinggalkan tanpa bekal untuk bertahan atau tempat baru untuk hunian.

Pintu kamarnya berhasil didobrak, disusul seorang pria yang dikenal sebagai supir pribadi anak lelaki itu terjatuh ke lantai. Seorang wanita paruh baya menyusul setelahnya dan langsung berlari menghampiri. Ia menarik tubuh anak lelaki itu ke pelukan, sedangkan si pria langsung menutup jendela yang tirainya sudah basah kuyup.

“Kazuo, bibi di sini. Tenang, ya, tenang. Kazuo nggak sendirian lagi. Maafin bibi, sayang.”

“Bunda, bunda, bunda.”

“VIS! TRAVIS! SADAR, VIS! TRAVIS!”

Travis spontan membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah seorang gadis tengah menangkup wajahnya. Gadis itu basah kuyup. Raut wajahnya panik. Desir hangat mengalir di tubuh Travis membuat air matanya kembali menggenang. Ia menarik gadis itu ke dalam pelukan dan menangis sejadi-jadinya di sana.

Satu persatu orang di ruangan itu keluar dengan perasaan lega. Mereka membiarkan keduanya saling menenangkan karena memang hanya mereka berdua yang bisa saling memberikan.

Kevin melihat Stella berjalan keluar gerbang. Ia segera berlari ke parkiran meninggalkan ketiga temannya. Ia merasa ada suatu kesalahan yang telah diperbuat dan harus segera diperbaiki. Salah satu caranya dengan mengejar Stella untuk kembali menawarkan tumpangan.

Motor merahnya melaju keluar dari parkiran. Kepalanya tengok kanan kiri mencari keberadaan Stella. Sontak ia menarik pedal remnya tiba-tiba saat mendapati gadis yang dicarinya berdiri di halte, bersama lelaki lain. Pegangan di stang motornya mengerat.

Stella yang sedang fokus dengan ponselnya berjengit mendengar bunyi klakson motor. Ia mendongak dan mendapati seorang lelaki dengan motor cross-nya berhenti di depannya.

“Kak Agam?” panggil Stella dengan raut terkejut.

Yang dipanggil membuka helm lantas melempar senyum tipis pada Stella. “Baru keluar kelas?”

“Iya, kak! Biasa, Bu Dewi suka ngelebihin waktu,” jawab Stella menuai anggukan paham dari Agam.

“Jam segini lagi banyak yang pulang sekolah. Bakal susah dapet gojek. Pulang sama kakak aja yuk!” ajak Agam seraya mengulurkan helm ke hadapan Stella.

Mata gadis itu membulat. Menatap helm yang diulurkan Agam. Sesuatu dalam rongga dadanya berdebar tak karuan. Ditatapnya sang adam yang tak melewatkan satu kedipan untuk meyakinkan Stella agar menerima ajakannya.

“Ayo! Nggak akan kakak bawa ke mana-mana kok. Langsung pulang ke rumah,” ucap Agam diiringi kekehan melihat Stella tampak ragu.

“Eh! Bukan gitu kak!” balas Stella panik. “Iya, aku mau kok,” tambah Stella lantas menerima helm dari Agam dan memasangnya di kepala.

“Bisa naik ke motornya kan? Pegangan ke bahu kakak aja.”

Jantung Stella kembali berdentum keras. Ragu-ragu, ia memegang bahu lebar Agam lantas naik ke motor yang cukup tinggi. Tangan kiri Agam tampak siaga menangkap tubuh Stella kalau-kalau cewek itu terpeleset atau oleng. Ia menunggu sampai Stella menemukan posisi duduk yang nyaman.

“Udah?” tanya lelaki itu.

“Udah, Kak.”

Agam mengangguk sambil memakai helmnya kembali. Gerakannya terjeda saat melihat seseorang dari kaca spionnya. Ia lantas menoleh dan mendapati seorang lelaki dengan motor merahnya tak sedikitpun melepas pandang darinya.

Stella ikut menoleh. Pandangannya melebar seketika. Kevin?

Entah mengapa ia seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan dengan Agam. Padahal ini adalah hal yang wajar. Namun mengapa ia merasa bersalah dengan Kevin?

Kepalanya menggeleng cepat. Pikiran macam apa tadi? Tidak seharusnya dia memikirkan Kevin sampai sejauh ini. Memang dia siapa?

Agam membuang wajah dari Kevin dengan seringaian kecil di bibirnya. Ia lantas mengunci helmnya dan melaju meninggalkan area sekolah.

“Anjing!” umpat Kevin sambil memukul tangki motornya. “Dia nolak balik bareng gue, tapi malah balik sama Agam? Bercanda ya!” gerutu lelaki itu.

“Mana cewek lo?” Kevin menoleh. Justin mendadak sudah ada di sebelah dengan motor hitamnya. Dan di belakang mereka ada Danny dan Jayden dengan motor mereka masing-masing.

“Diem lo!” jawab Kevin sewot lantas pergi meninggalkan ketiganya.

“Dih! Gila tu anak!”

Kevin melihat Stella berjalan keluar gerbang. Ia segera berlari ke parkiran meninggalkan ketiga temannya. Ia merasa ada suatu kesalahan yang telah diperbuat dan harus segera diperbaiki. Salah satu caranya dengan mengejar Stella untuk kembali menawarkan tumpangan.

Motor merahnya melaju keluar dari parkiran. Kepalanya tengok kanan kiri mencari keberadaan Stella. Sontak ia menarik pedal remnya tiba-tiba saat mendapati gadis yang dicarinya berdiri di halte, bersama lelaki lain. Pegangan di stang motornya mengerat.

Stella yang sedang fokus dengan ponselnya berjengit mendengar bunyi klakson motor. Ia mendongak dan mendapati seorang lelaki dengan motor cross-nya berhenti di depannya.

“Kak Agam?” panggil Stella dengan raut terkejut.

Yang dipanggil membuka helm lantas melempar senyum tipis pada Stella. “Baru keluar kelas?”

“Iya, kak! Biasa, Bu Dewi suka ngelebihin waktu,” jawab Stella menuai anggukan paham dari Agam.

“Jam segini lagi banyak yang pulang sekolah. Bakal susah dapet gojek. Pulang sama kakak aja yuk!” ajak Agam seraya mengulurkan helm ke hadapan Stella.

Mata gadis itu membulat. Menatap helm yang diulurkan Agam. Sesuatu dalam rongga dadanya berdebar tak karuan. Ditatapnya sang adam yang tak melewatkan satu kedipan untuk meyakinkan Stella agar menerima ajakannya.

“Ayo! Nggak akan kakak bawa ke mana-mana kok. Langsung pulang ke rumah,” ucap Agam diiringi kekehan melihat Stella tampak ragu.

“Eh! Bukan gitu kak!” balas Stella panik. “Iya, aku mau kok,” tambah Stella lantas menerima helm dari Agam dan memasangnya di kepala.

“Bisa naik ke motornya kan? Pegangan ke bahu kakak aja.”

Jantung Stella kembali berdentum keras. Ragu-ragu, ia memegang bahu lebar Agam lantas naik ke motor yang cukup tinggi. Tangan kiri Agam tampak siaga menangkap tubuh Stella kalau-kalau cewek itu terpeleset atau oleng. Ia menunggu sampai Stella menemukan posisi duduk yang nyaman.

“Udah?” tanya lelaki itu.

“Udah, Kak.”

Agam mengangguk sambil memakai helmnya kembali. Gerakannya terjeda saat melihat seseorang dari kaca spionnya. Ia lantas menoleh dan mendapati seorang lelaki dengan motor merahnya tak sedikitpun melepas pandang darinya.

Stella ikut menoleh. Pandangannya melebar seketika. Kevin?

Entah mengapa ia seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan dengan Agam. Padahal ini adalah hal yang wajar. Namun mengapa ia merasa bersalah dengan Kevin?

Kepalanya menggeleng cepat. Pikiran macam apa tadi? Tidak seharusnya dia memikirkan Kevin sampai sejauh ini. Memang dia siapa?

Agam membuang wajah dari Kevin dengan seringaian kecil di bibirnya. Ia lantas mengunci helmnya dan melaju meninggalkan area sekolah.

“Anjing!” umpat Kevin sambil memukul tangki motornya. “Dia nolak balik bareng gue, tapi malah balik sama Agam? Bercanda ya!” gerutu lelaki itu.

“Mana cewek lo?” Kevin menoleh. Justin mendadak sudah ada di sebelah dengan motor hitamnya. Dan di belakang mereka ada Danny dan Jayden dengan motor mereka masing-masing.

“Diem lo!” jawab Kevin sewot lantas pergi meninggalkan ketiganya.

“Dih! Gila tu anak!”

Sebut gue gila seperti pertanyaan Naya kala itu. Gue beneran bantuin Justin buat nyari topik chat sama Freya. Nggak tau beneran dipake apa engga sama dia. Lagian bukan itu yang gue peduliin. Gue cuman berusaha buat terus ada topik chat sama Justin. Walaupun harus nyakitin diri sendiri sekalipun.

Rasa sakitnya nggak terasa kok pas gue chat sama Justin. Ya kaya lagi ngobrolin temen yang lagi kasmaran. Kek seru-seru aja gitu. Bahkan gue kadang ngakak sama jawaban Justin yang bilang takut chat Freya duluan lah atau Freya yang katanya sewot banget sama dia. Trus peran gue di situ nyemangatin dia dan bilang kalo sikap Freya yang begitu bisa jadi karena dia juga naksir sama Justin.

Tapi setelah obrolan itu berhenti, baru rasa sakitnya dateng. Seakan hari gue tadi rame banget trus tiba-tiba hampa. Renungan pun datang buat menampar gue atas tindakan yang baru gue lakukan. Lo ngomongin apa sih tadi? Lo udah gila ya? Begitu sumpah serapah yang dia katakan. Air mata yang sedari tadi bersembunyi pun perlahan menampakkan diri. Wkwk, kenapa harus sesakit ini sih?

Freya duduk di baris sisi kiri gue. Sedangkan Justin di sebelahnya lagi, tapi nggak duduk sejajar sama Freya, dia lebih ke belakang. Paham nggak sih? Semoga paham ya wkwk. Kalo Freya berdiri, Justin langsung nengok. Kalo Freya balik badan buat ambil sesuatu di tasnya, Justin diam-diam ngelirik. Pokoknya setiap pergerakan yang dilakuin Freya, Justin selalu menaruh perhatian.

Begitu juga yang dilakuin Freya. Setiap Justin jalan ngelewatin mejanya, dia selalu ngeliatin sampe Justin keluar dari kelas. Abis itu, dia senyum tipissss banget. Gue agak bingung.

Gue bisa nebak alesan Justin suka sama Freya. Tapi kalo Freya? Masa sih dia suka cowok modelan Justin yang awut-awutan gitu? Poin plusnya paling Justin termasuk cowok ganteng di kelas gue. Iya, malah dia yang paling mending di kelas gue setelah Kevin. Cuman ketutup style dia yang berantakan bukan maen.

Tapi bisa jadi emang itu alesan Freya suka sama Justin.

Iya sih, gue juga suka Justin karena dia ganteng.

Ganteng banget.


“Justin!”

Saat-saat paling membahagiakan buat gue adalah ketika gue nemuin Justin jalan sendirian menuju parkiran. Sering kali gue sengaja buru-buru keluar kelas cuman biar bisa jalan di belakang Justin. Walaupun nggak ngobrol apa-apa karena dia sibuk ngobrol sama Kevin, dan gue juga ngobrol sama Naya. Tapi rasanya seneng aja bisa jalan dengan jarak sedekat itu.

Justin noleh lalu berhenti menunggu gue menyusul. Gue berlari kecil ke sisi dia lalu Kami jalan bersama.

“Kevin mana?” tanya gue membuka obrolan.

“Sama Stella katanya mau mampir kantin dulu.”

Gue cuman mengangguk-angguk.

“Lo nggak sama Naya?” Justin bertanya.

“Dia nggak bawa motor hari ini. Katanya tadi mogok.”

“Kasian amat.”

Langkah Kami terbilang super santai. Sampe gue ngerasa kok parkiran jadi jauh banget ya. Padahal jarak kelas ke parkiran tuh nggak terlalu jauh. Tapi justru ini yang bagus. Harapan gue didengar sama Tuhan.

Gue selalu berharap, waktu selalu berjalan lambat saat gue bersama Justin. Biar gue bisa berlama-lama sama dia. Walau sekedar jalan bareng ke parkiran.

“Emang Freya nggak bawa motor ya? Gue nggak pernah liat dia ke parkiran.”

Freya lagi, Freya lagi. Kenapa sih gue selalu keceplosan bahas Freya setiap bareng Justin??? Bener-bener definisi nyari penyakit sendiri, sakit sendiri trus ngarepin orang lain buat nyembuhin? Orang gila itu namanya.

“Dia balik sama Samuel, naik mobil.”

Gue liat raut nggak suka dari wajah Justin. Keknya dia beneran kemusuhan deh sama si Samuel. Ya, gue juga bakal ngelakuin hal yang sama sih kalo ada di posisi Justin.

Cuman bedanya, gue bisa nyembunyiin perasaan. Kaya apa yang pernah Justin bilang, itu emang tabiat cewek.

“Gimana progres lo sama dia?”

“Motor gue di sebelah sini. Motor lo mana?”

Eh? Kenapa nggak dijawab pertanyaan gue?

“Motor gue di ujung. Nggak kebagian parkir gue tadi.”

“Bisa ngeluarinnya nggak?”

“Bisa kok. Motor gue sendirian di sana.”

“Yaudah, ati-ati ya.”

“Lo juga ati-ati, Tin!”

Habis itu Kami misah padahal sebenarnya masih bisa jalan bareng karena searah. Cuman Justin ngambil jalan lain. Dia kenapa ya? Kenapa kesannya dia ngindar setelah gue tanya soal Freya?

Eh, jangan jauhin gue loh, Tin...

Sebut gue gila seperti pertanyaan Naya kala itu. Gue beneran bantuin Justin buat nyari topik chat sama Freya. Nggak tau beneran dipake apa engga sama dia. Lagian bukan itu yang gue peduliin. Gue cuman berusaha buat terus ada topik chat sama Justin. Walaupun harus nyakitin diri sendiri sekalipun.

Rasa sakitnya nggak terasa kok pas gue chat sama Justin. Ya kaya lagi ngobrolin temen yang lagi kasmaran. Kek seru-seru aja gitu. Bahkan gue kadang ngakak sama jawaban Justin yang bilang takut chat Freya duluan lah atau Freya yang katanya sewot banget sama dia. Trus peran gue di situ nyemangatin dia dan bilang kalo sikap Freya yang begitu bisa jadi karena dia juga naksir sama Justin.

Tapi setelah obrolan itu berhenti, baru rasa sakitnya dateng. Seakan hari gue tadi rame banget trus tiba-tiba hampa. Renungan pun datang buat menampar gue atas tindakan yang baru gue lakukan. Lo ngomongin apa sih tadi? Lo udah gila ya? Begitu sumpah serapah yang dia katakan. Air mata yang sedari tadi bersembunyi pun perlahan menampakkan diri. Wkwk, kenapa harus sesakit ini sih?

Freya duduk di baris sisi kiri gue. Sedangkan Justin di sebelahnya lagi, tapi nggak duduk sejajar sama Freya, dia lebih ke belakang. Paham nggak sih? Semoga paham ya wkwk. Kalo Freya berdiri, Justin langsung nengok. Kalo Freya balik badan buat ambil sesuatu di tasnya, Justin diam-diam ngelirik. Pokoknya setiap pergerakan yang dilakuin Freya, Justin selalu menaruh perhatian.

Begitu juga yang dilakuin Freya. Setiap Justin jalan ngelewatin mejanya, dia selalu ngeliatin sampe Justin keluar dari kelas. Abis itu, dia senyum tipissss banget. Gue agak bingung.

Gue bisa nebak alesan Justin suka sama Freya. Tapi kalo Freya? Masa sih dia suka cowok modelan Justin yang awut-awutan gitu? Poin plusnya paling Justin termasuk cowok ganteng di kelas gue. Iya, malah dia yang paling mending di kelas gue setelah Kevin. Cuman ketutup style dia yang berantakan bukan maen.

Tapi bisa jadi emang itu alesan Freya suka sama Justin.

Iya sih, gue juga suka Justin karena dia ganteng.

Ganteng banget.


“Justin!”

Saat-saat paling membahagiakan buat gue adalah ketika gue nemuin Justin jalan sendirian menuju parkiran. Sering kali gue sengaja buru-buru keluar kelas cuman biar bisa jalan di belakang Justin. Walaupun nggak ngobrol apa-apa karena dia sibuk ngobrol sama Justin, dan gue juga ngobrol sama Naya. Tapi rasanya seneng aja bisa jalan dengan jarak sedekat itu.

Justin noleh lalu berhenti menunggu gue menyusul. Gue berlari kecil ke sisi dia lalu Kami jalan bersama.

“Kevin mana?” tanya gue membuka obrolan.

“Sama Stella katanya mau mampir kantin dulu.”

Gue cuman mengangguk-angguk.

“Lo nggak sama Naya?” Justin bertanya.

“Dia nggak bawa motor hari ini. Katanya tadi mogok.”

“Kasian amat.”

Langkah Kami terbilang super santai. Sampe gue ngerasa kok parkiran jadi jauh banget ya. Padahal jarak kelas ke parkiran tuh nggak terlalu jauh. Tapi justru ini yang bagus. Harapan gue didengar sama Tuhan.

Gue selalu berharap, waktu selalu berjalan lambat saat gue bersama Justin. Biar gue bisa berlama-lama sama dia. Walau sekedar jalan bareng ke parkiran.

“Emang Freya nggak bawa motor ya? Gue nggak pernah liat dia ke parkiran.”

Freya lagi, Freya lagi. Kenapa sih gue selalu keceplosan bahas Freya setiap bareng Justin??? Bener-bener definisi nyari penyakit sendiri, sakit sendiri trus ngarepin orang lain buat nyembuhin? Orang gila itu namanya.

“Dia balik sama Samuel, naik mobil.”

Gue liat raut nggak suka dari wajah Justin. Keknya dia beneran kemusuhan deh sama si Samuel. Ya, gue juga bakal ngelakuin hal yang sama sih kalo ada di posisi Justin.

Cuman bedanya, gue bisa nyembunyiin perasaan. Kaya apa yang pernah Justin bilang, itu emang tabiat cewek.

“Gimana progres lo sama dia?”

“Motor gue di sebelah sini. Motor lo mana?”

Eh? Kenapa nggak dijawab pertanyaan gue?

“Motor gue di ujung. Nggak kebagian parkir gue tadi.”

“Bisa ngeluarinnya nggak?”

“Bisa kok. Motor gue sendirian di sana.”

“Yaudah, ati-ati ya.”

“Lo juga ati-ati, Tin!”

Habis itu Kami misah padahal sebenarnya masih bisa jalan bareng karena searah. Cuman Justin ngambil jalan lain. Dia kenapa ya? Kenapa kesannya dia ngindar setelah gue tanya soal Freya?

Eh, jangan jauhin gue loh, Tin...