“Kardiomiopati. Ibu saya dulu punya penyakit yang sama. Katanya bisa menurun. Ternyata bukan menurun ke saya atau ke kakak-kakak saya, tapi ke anak saya, Vale.”
Evan duduk bersama Bachtiar setelah Vale mendapat ruang perawatan. Perempuan itu terbaring dengan mata yang masih terpejam, bersama selang oksigen yang membantu pernapasannya. Denting alat pendeteksi ritme jantung bergema di ruangan yang lengang. Semua ini tak asing untuk Evan yang sudah terbiasa dengan berbagai alat medis. Namun tidak setelah Vale menjadi salah satu pasien yang bertumpu pada alat-alat tersebut.
“Sebenarnya belum parah karena sudah terdeteksi sejak awal. Tapi masih sesekali kambuh, terutama waktu Vale lagi banyak pikiran.”
“Sejak kapan Vale punya penyakit itu, Om?”
“Awal masuk SMA sudah terdeteksi. Kita langsung berobat saat itu juga. Karena saya punya pengalaman dari ibu saya yang dulu terlambat diobati. Penyakitnya terlanjur parah dan harus dioperasi. Saya nggak mau Vale mengalami hal yang sama.”
“Ibu om ... sekarang?” tanya Evan ragu.
“Sudah meninggal.”
Jantung Evan mengentak keras. Cukup memahami ketakutan Bachtiar karena penyakit itu sudah merenggut orang yang dia sayang.
“Mungkin kamu sudah pernah dengar dari Vale kalo saya benci sama dokter. Sebenarnya saya tidak benci, saya hanya malas dengan omongan mereka. Mereka bilang operasi itu bisa membuat kondisi ibu saya jadi lebih baik. Tapi pada akhirnya, ibu saya pergi. Saya hanya kecewa. Mengapa mereka harus memberikan harapan ketika mereka sendiri tidak bisa menjaminnya?”
Evan menunduk. Dia pikir Bachtiar membenci dokter karena profesi itu tidak menjanjikan banyak keuntungan seperti pebisnis. Ternyata alasan sebenarnya lebih daripada itu. Sebagai seorang anak yang terlahir di keluarga dokter, Evan memahami kalau kekecewaan keluarga pasien yang seperti ini adalah hal yang wajar dan sering ia dengar dari kedua orangtuanya. Kematian pasien adalah kegagalan paling menyakitkan untuk seorang dokter.
“Saya tahu seharusnya saya tidak menyalahkan dokter. Semua itu sudah menjadi takdir dari Tuhan. Namun saya sudah terlanjur kecewa. Makanya saya tidak mau berurusan dengan dokter lagi. Saya tidak ingin mengulang kekecewaan itu pada anak saya maupun keluarga saya lainnya. Namun kenyataannya, saya tetap harus berurusan dengan dokter. Demi kesembuhan anak saya. Saya terima semua itu.”
“Saya minta maaf udah nanya sesuatu yang mungkin sensitif buat Om.”
“Nggak apa-apa. Tujuan saya menyuruh kamu ikut memang ingin menceritakan semua itu.”
Bachtiar menjeda kalimatnya untuk menatap Vale yang terlelap. “Vale adalah anak satu-satunya yang saya punya. Saya selalu mengusahakan semua hal untuk membuat dia bahagia. Saya agak menyesal sudah menjodohkan Vale dengan kamu. Karena saya baru tahu ternyata Vale dulu sangat membenci kamu. Pasti dia kecewa sekali sama saya tapi dia nggak berani bilang. Dia anak yang berbakti sama orangtuanya.”
Tampak senyum tipis tergurat di bibir Bachtiar. Sorot matanya hangat, namun ada setitik kesedihan di sudut matanya yang basah. Untuk pertama kalinya, Evan melihat Bachtiar menatap Vale selayaknya seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya. Berbanding terbalik dengan bayangannya selama ini.
“Itu yang membuat saya bersikeras memisahkan kamu dengan Vale. Saya nggak mau anak saya tersiksa karena harus berhubungan dengan orang yang dia benci. Saya juga minta kamu jangan terlalu banyak menghabiskan waktu dengan Vale karena saya tahu suatu hari nanti kalian akan berpisah. Saya nggak mau anak saya sedih. Tapi ternyata cara saya salah. Perasaan Vale ke kamu sudah berubah dan saya tidak menyadari hal itu.”
“Kalo begitu, kenapa Om ngelarang Vale buat hubungin saya beberapa hari kemarin? Padahal dari situ sudah jelas Vale mau sama saya. Tapi om malah menyita hp Vale biar nggak bisa hubungin saya, kan?”
“Saya memang mengambil hp Vale malam itu. Tapi alasan Vale nggak hubungin kamu kemarin bukan karena hp dia ada di saya. Dia dirawat di rumah sakit. Penyakitnya kambuh malam itu dan baru keluar dua hari sebelum kamu dan keluargamu datang ke rumah saya. Makanya saya peringatin kamu tadi, jangan terlalu keras sama Vale. Dia baru pulih dan masih rentan untuk kambuh lagi.”
Evan terkejut. Selama ini dia mencari Vale, menunggu kabarnya, bahkan sempat berpikir Vale membuangnya begitu saja setelah mendobrak pertahanan paling kuat yang dia miliki. Padahal perempuan itu tengah berjuang untuk tetap hidup. Evan menyesal karena pernah merasa hanya dia yang berjuang, hanya dia yang merindukan Vale, hanya dia yang menginginkan Vale. Tanpa tahu Vale memiliki sesuatu yang lebih berat dari sekadar mencari kabarnya.
“Lalu, apa alasan Om menuntut Vale buat jadi peringkat pertama waktu SMA?”
Bachtiar menatap Evan. “Saya tidak pernah menuntut apa-apa dari Vale, Van. Dia memang cerdas sejak kecil. Saya pikir selama ini dia menjadi peringkat pertama karena dia mampu. Apa Vale menganggap itu sebagai tuntutan?”
“Vale anggap itu sebagai kewajiban karena dia anak satu-satunya. Tapi selama ini, saya pikir Om juga menuntut. Vale terobsesi banget jadi peringkat pertama. Itu juga yang menjadi alasan dia benci saya waktu SMA. Saya udah ambil peringkat pertama punya dia.”
“Saya benar-benar nggak pernah minta apapun sama Vale. Dia sehat dan bahagia sudah cukup buat saya. Ya, memang akhir-akhir ini saya sedikit kasih peringatan ke Vale untuk segera menyelesaikan tugas akhirnya. Tapi itu hanya alibi biar Vale nggak menghabiskan waktu sama kamu.”
Kepala Evan mendadak pusing. Terlalu banyak kesalahpahaman yang terjadi selama ini. Dia merasa bersalah sudah melihat Bachtiar sebagai sosok ayah yang seburuk itu. Padahal pria itu hanya ingin anaknya sehat dan bahagia.
“Satu lagi yang mau saya tanya, Om,” ujar Evan setelah menenangkan diri. “Kenapa Om mau jodohin Vale sama Regan? Itu bahkan pilihan yang lebih buruk daripada jodohin Vale sama saya. Vale sampai datengin saya ke Singapore buat minta tolong biar saya gagalin perjodohan itu.”
Bachtiar tampak terkejut. “Siapa yang kasih tau Vale soal itu? Saya dan istri sudah sepakat tidak memberitahu Vale karena saya masih belum yakin. Saya sudah merahasiakannya karena saya pikir itu akan menyakiti Vale. Ternyata selama ini dia tau?”
Evan mematung beberapa saat. Apa lagi ini? Kenapa banyak sekali hal mengejutkan hari ini? Kepala Evan sudah tidak sanggup menampung semuanya.
“Kayaknya saya mau pamit pulang dulu, Om,” pamit Evan seraya berdiri. “Boleh saya minta dikabarin kalo Vale sudah siuman?”
“Iya, nanti om kabarin. Tapi kamu nggak mau nunggu ibunya Vale pulang dulu? Om sudah suruh beli makanan buat kamu.”
“Enggak, Om. Makasih. Titip salam aja buat tante Claudia,” jawab Evan sambil menyalami tangan Bachtiar. “Pamit dulu ya, Om.”
“Hati-hati di jalan, Van.”
Evan tiba di rumahnya. Saat ia masuk, tampak orangtuanya bersama Ethan sudah menunggu di ruang tengah. Mereka kompak menatap Evan.
“Gimana kondisi Vale, Van?” tanya Sinta.
Evan mengacungkan ibu jari. “Udah siuman tadi cuman sebentar trus tidur lagi. Aku udah minta dikabarin sama ayahnya Vale kalo Vale siuman lagi.”
“Kamu sudah makan? Sini duduk dulu,” pinta Arya melihat anaknya lesu.
“Aku ke kamar aja, Pi. Mau istirahat.”
Arya dan Sinta saling berpandangan. Bersamaan menoleh ke Ethan yang memilih bungkam. Ketiganya tahu bahwa Evan sedang tidak baik-baik saja. Namun mereka juga tidak bisa memaksakan Evan untuk menceritakannya sekarang.
“Yasudah, istirahat dulu, Nak. Kalo butuh apapun, bilang ke Mami, ya.”
Evan menyetujui permintaan sang ibu dengan sebuah anggukan. Selanjutnya, ia menaiki tangga menuju kamarnya. Saat pintunya kembali menutup, tubuh Evan sontak melorot ke lantai.
Dadanya terasa sesak, seakan udara yang memenuhi ruangan tak lagi cukup untuknya. Ia menatap kosong ke arah lantai, mencoba mencerna kenyataan pahit yang baru saja terungkap hari ini. Semuanya terasa begitu asing, seakan dunia yang ia kenal selama ini runtuh dalam sekejap.
Kepalanya dipenuhi pertanyaan, mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa harus dia? Mengapa harus Vale? Semakin ia berusaha tegar, semakin deras pula perasaan hancur menyeruak keluar. Matanya memanas, dan sebelum ia sempat menahannya, air mata jatuh tanpa ampun.
Evan menggenggam rambutnya dengan kedua tangan, berusaha meredam guncangan dalam dirinya. Tapi semakin ia mencoba kuat, semakin ia sadar bahwa hari ini telah meninggalkan luka yang tidak akan mudah hilang.
Oh, Tuhan, mengapa begitu sulit untuk aku dan Vale menjalani hubungan layaknya sepasang kekasih biasa? Mengapa banyak sekali rintangan yang harus Kami lalui? Mengapa rasanya sesakit ini?